Kemenangan Film Indonesia Timur dan Momen-Momen Berkesan Lainnya dalam FFI 2023

Film
21.11.23

Kemenangan Film Indonesia Timur dan Momen-Momen Berkesan Lainnya dalam FFI 2023

Kemenangan cerita dari Indonesia Timur, Woman From Rote Island, dan beberapa rangkuman momen memorable dalam FFI 2023.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Ahmad Haetami
Foto: Youtube/Festival Film Indonesia

Ajang apresiasi bergengsi untuk insan perfilman tanah air, Festival Film Indonesia (FFI), telah sukses digelar pada Selasa (14/11). Sebanyak 26 kategori nominasi telah diumumkan pemenangnya. Para nominasi maupun pemenang tampil dengan busana khas Indonesia yang beragam. Mereka merayakan FFI tahun ini yang mengangkat tema “Piala Citra”, sebuah piala yang telah diberikan sejak tahun 1967 dan menjadi simbol penyemangat bagi para sineas dalam membangun citra positif dan kreatif bagi perfilman Indonesia.

In case you missed to watch it, berikut ini adalah recap beberapa momen-momen tak terlupakan yang berlangsung dalam perhelatan FFI 2023. 

Sorotan besar terhadap film Indonesia Timur

Daftar nama pemenang FFI 2023 didominasi oleh film yang mungkin out of radar dari pilihan tontonan film kebanyakan orang pada tahun ini. Film kesukaan penonton seperti Budi Pekerti atau Sleep Call belum berhasil meraih titel Film Cerita Panjang Terbaik pada tahun ini. 

Bak kuda hitam, film Women From Rote Island yang disutradarai oleh Jeremias Nyangoen, berhasil menyabet kategori tertinggi pada ajang FFI. Film yang baru tayang pada pemutaran terbatas ini bercerita tentang buruh perempuan bernama Martha yang mengalami depresi akibat pemerkosaan di Negeri Jiran. Martha harus kembali ke tanah airnya di Rote, Nusa Tenggara Timur, untuk menggenapi permintaan terakhir mendiang ayahnya sebelum dikuburkan. 

Selain Film Cerita Panjang Terbaik, Women From Rote Island memenangkan kategori Sutradara Terbaik serta Penulis Skenario Asli Terbaik (Jeremias Nyangoen), dan Pengarah Sinematografi Terbaik (Joseph Christoforus Fofid). Karya Jeremias tersebut merupakan debut film panjang pertamanya sebagai sutradara, sekaligus menjadi nominasi dan perolehan juara pertama kali untuk rumah produksi Bintang Cahaya Sinema dan Langit Terang Sinema.

Film yang akan tayang pada Jogja NETPAC Asian Film Festival, November tahun ini, bukan satu-satunya film yang bercerita soal Indonesia Timur. Ada film berjudul Evakuasi Mama Emola garapan Anggun Priambodo yang menang dalam kategori Film Pendek Terbaik, dan dokumenter Wisisi Nit Meke dari sutradara Arief Budiman, Harun Rumabak, Boni Lany, yang menang dalam kategori Film Dokumenter Pendek Terbaik.

Film pendek Evakuasi Mama Emola yang berlatar tempat di Ternate, Maluku Utara, menceritakan soal evakuasi Mama Emola yang dilakukan oleh anaknya yang seorang narapidana bernama Julius. Daerah Maluku Utara yang rawan gempa karena dilewati jalur ring of fire ini sengaja dipilih oleh sutradara untuk menggambarkan kisah manusia berhadapan dengan konflik di tengah bencana alam. Film pendek ini termasuk dari omnibus film yang bisa ditonton melalui platform Vision+.

Adapun film dokumenter pendek Wisisi Nit Meke yang salah satu sutradaranya adalah anak asli Lembah Baliem Papua Pegunungan bernama Bony Lany, menceritakan soal perkembangan musik wisisi di era sekarang. Wisisi merupakan tarian pergaulan anak muda di Papua Pegunungan yang sejak dulu diiringi alat musik tradisional. Namun, kini Wisisi harus tetap mempertahankan ciri khasnya meski harus dengan proses editing yang dibantu oleh software.

Prilly Latuconsina akhirnya meraih Piala Citra

Prilly Latuconsina dengan Piala Citra miliknya (Foto: Instagram/@prillylatuconsina96)

Penampilan Prilly dalam film panjang kedua sutradara asal Jogja, Wregas Bhanuteja mendapatkan sambutan yang luar biasa dari penonton Indonesia. Sebuah potongan film yang menampilkan Prilly berakting dengan mengeluarkan air mata hanya di sebelah kiri matanya, hingga adegan dengan dialog memorable, “Orang jahat!,” pun cukup populer di internet dan mendapatkan banyak pujian.

Aktris yang terkenal berkat perannya dalam sebuah sinetron ini akhirnya mampu meraih Piala Citra untuk penampilannya dalam film Budi Pekerti. Prilly terharu ketika menerima penghargaan tersebut. Ia sempat jeda sebentar dalam sambutannya untuk menghapus air mata.

“Penghargaan ini sangat berarti untuk saya, apalagi untuk orang yang selama perjalanan karirnya selalu diragukan dan dipertanyakan,” ujarnya.

Speech lucu dari para pemenang

Salah satu yang ditunggu-tunggu dari ajang penghargaan seperti FFI adalah bagaimana para pemenang mengekspresikan kebahagiaan mereka ketika melakukan speech di atas panggung. Beberapa pemenang banyak yang menangis haru, tetapi ada juga yang mengundang gelak tawa penonton karena tingkah laku atau perkataan yang lucu.

Di FFI tahun ini, Timo Tjahjanto yang mewakili Marthino Lio di kategori Pemeran Pendukung Pria Terbaik yang berucap, “Ya, saya Marthino Lio,” membuat para penonton tertawa. Lebih lanjut, Timo menyampaikan bahwa Marthino pasti sedang bersenang-senang di rumahnya. Ia menutup sambutannya dengan berterima kasih kepada beberapa pihak yang mungkin diucapkan oleh Marthino, di antaranya Tuhan, istri, dan anak perempuannya.

Selain Timo, ada Aline Jusria yang menerima penghargaan Penyunting Gambar Terbaik melalui film Like & Share. Setelah mengucapkan rasa terima kasih ke banyak orang, Aline mengucapkan, “Sisanya nanti saya japri aja ya.”

Farewell speech dari Ketua Komite FFI 2021–2023

Reza Rahadian ketika menyampaikan sambutannya sebagai Ketua Komite FFI 2021–2023 (Foto: Youtube/Festival Film Indonesia)

Ketua Komite FFI 2021–2023, Reza Rahadian menyampaikan sambutan perpisahannya pada malam FFI tahun ini. Di awal sambutannya, Reza menangis terharu karena telah melewati tugasnya selama tiga tahun.

Selama masa kepemimpinannya, Reza dan para komite atau tim juri dan balik layar FFI telah melakukan beberapa perubahan. Mulai dari melewatkan masa-masa sulit pandemi Covid-19, hingga pelaksanaan FFI tahun ini dengan situasi yang lebih baik.

“Tahun 2021, bersama dengan beberapa insan perfilman, Komite FFI telah mendorong pengukuhan Bapak Film Indonesia, Usmar Ismail sebagai pahlawan nasional. Kami juga mendorong terbentuknya Akademi Citra sebagai platform yang mengumpulkan peraih Piala Citra untuk memberikan suara dan menentukan nominasi Festival Film Indonesia sesuai kategori yang pernah diraih. Dan untuk kepentingan penjurian karya-karya film terbaik, kami membuat ruang penayangan FFI untuk memfasilitasi proses tersebut,” ujarnya.

Never forget the legends

Dhalia dan A.N. Alcaff dalam Lewat Djam Malam (1954) (Foto: Wikipedia)

Nama-nama legendaris di perfilman Indonesia dijadikan sebagai nama penghargaan khusus dalam kategori Pilihan Penonton dan Kritik Film. Kategori Film Pilihan Penonton menyematkan nama Lilik Sudjio yang merupakan sutradara film Tarmina, peraih Film Terbaik pada pelaksanaan perdana FFI pada tahun 1995. Tahun ini, Film Pilihan Penonton dimenangkan oleh film Ketika Berhenti di Sini yang digarap oleh sutradara muda Umay Shahab.

Nama Dhalia, seorang aktris Indonesia kelahiran 1925 yang populer di era 1950-an disematkan pada penghargaan Khusus Aktris Pilihan Penonton. Dhalia terkenal berkat perannya dalam Lewat Djam Malam (1954) yang menenangkan Pemeran Utama Perempuan Terbaik dalam FFI 1955. Rachel Venya dalam film Sleep Call memenangkan kategori ini.

Dalam kategori aktor, A.N. Alcaff menjadi nama terpilih untuk disematkan dalam penghargaan khusus Aktor Pilihan Penonton yang pada tahun ini dimenangkan oleh Refal Hady di Ketika Berhenti di Sini. A.N. Alcaff pernah memenangkan penghargaan Aktor Terbaik FFI 1955 lewat film  Lewat Djam Malam (1954).

Sedangkan, pada kategori Kritik Film, yang turut mendapatkan sambutan hangat dari publik karena pada akhirnya FFI mengapresiasi para kritikus yang juga bagian dari ekosistem film, hadir dengan nama Penghargaan Tanete Pong Masak. Tanete Pong Masak adalah satu dari sedikit cendikiawan film yang bergelar doktor di Indonesia.

Penghargaan Pengabdian Seumur Hidup

Raam Punjabi dan M. Soleh Ruslani ketika menerima penghargaan Pengabdian Seumur Hidup FFI 2023. (Foto: Hypeabis.id)

FFI selalu melakukan apresiasi terhadap para sineas lokal yang telah berpulang lebih dulu pada setahun ke belakang. Nama-nama terkemuka seperti Aminah Cendrakasih, pemain Si Doel Anak Sekolahan tidak terlewatkan dalam momen apresiasi tersebut.

Selain itu, FFI 2023 juga turut memberikan Penghargaan Pengabdian Seumur Hidup kepada M. Soleh Ruslani dan Raam Punjabi. Soleh adalah sinematografer senior yang telah aktif mempercantik film Indonesia sejak 1970-an. Hasil karyanya dapat dilihat di Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982), Kodrat (1986), Cinta dalam Sepotong Roti (1990), hingga Potret (2015).

Raam Punjabi menjadi sosok unik yang menerima penghargaan itu. Pasalnya, ia adalah produser dari berbagai film kelas B yang telah memproduksi lebih dari 100 film dengan perusahaan PT Parkit Film yang didirikannya pada 1981. Film Kanan Kiri OK (1989), Akal-Akalan (1991), Boleh Dong Untung Terus (1992), Kesempatan dalam Kesempitan (1985), hingga serial sinetron komedi Gara-Gara (1992), telah sukses Raam produksi.whiteboardjournal, logo