Memaknai Bromocorah Melalui Gelaran Arkipel Ketujuh

Film
06.09.19

Memaknai Bromocorah Melalui Gelaran Arkipel Ketujuh

Melihat progresivitas kemasyarakatan dunia lewat lensa kamera.

by Emma Primastiwi

 

Foto: Arkipel 

Merupakan salah satu festival film eksperimental terbesar, Arkipel berhasil sukseskan gelarannya yang ketujuh. Menilik berbagai fenomena global dalam aspek sosial, ekonomi, budaya dan politik melalui film, gelaran tahun ini diramaikan oleh bermacam submisi dan penampilan kaya akan tema spesial, Bromocorah. 

Dipimpin oleh Forum Lenteng, gelaran tahun ini diselenggarakan selama 9 hari, dari tanggal 19-26 Agustus di dua lokasi yang berbeda, yakni GoetheHaus dan Galeri Nasional. Menggarap tema Bromocorah, tahun ini Arkipel berupaya untuk menelaah progresivitas kemasyarakatan dunia melalui sinema yang disajikan dalam 7 program yang terdiri dari beberapa macam kompetisi karya dan kuratorial, presentasi dan penayangan khusus, workshop, forum, serta pameran kultursinema. Secara keseluruhan, program-program tersebut mengumpulkan 51 film dari 33 negara yang telah lolos seleksi di antara 1200 film dari 85 negara. 

Gelaran acara Arkipel resmi dimulai di tanggal 20 Agustus lalu di GoetheHaus. Sebagai adegan pembuka, auditorium GoetheHaus diramaikan oleh penampilan 69 Performance Club bertajuk “The Partisan”. Pertunjukan yang sungguh eklektik, rancangan Otty Widasari ini menyajikan penampilan tari yang dilengkapi dengan nyanyian “Kopral Jono”, serta manipulasi cahaya dan audio melalui ponsel dan pre-recorded audio. Lebih dari itu, acara ini juga dilengkapi dengan screening 4 film, “Chinafrika.mobile” karya Daniel Kotter (Jerman), “Chairs” karya Avner Pinchover (Israel), “Stones” karya Jorn Staeger (Jerman), dan “Adegan Yang Hilang Dari Petrus” (Indonesia). Dari ribuan entry, 4 film inilah yang dipercaya dapat menghidupi unsur topik bromocorah sepenuhnya. 

Setelah berjalan selama seminggu, malam yang ditunggu-tunggu pun datang. Arkipel mengadakan malam penghargaannya sebagai puncak dari proses seleksi sekaligus penutup dari gelaran tahun ini. Setiap tahunnya, Arkipel memiliki 4 penghargaan yang turut diseleksi oleh sederet panel juri. Tahun ini, pemenang penghargaan akan diseleksi oleh Hafiz (Indonesia), Mahardika Yudha (Indonesia), Akbar Yumni (Indonesia), dan Scott Miller Berry (Kanada). 

Masing-masing kategori mewakili berbagai macam aspek yang menghidupi esensi bromocorah. Misalnya, Peransi Award khusus diperuntukkan bagi karya-karya sutradara dibawah 31 tahun, dan untuk tahun ini, award tersebut dianugerahkan kepada “Sapu Angin” karya Cahyo Prayogo. 

Selanjutnya, terdapat Jury Award yang diseleksi oleh dewan juri tahun ini berdasarkan kemampuannya untuk mengemas topik tahun ini dengan puitis. Jury Award tahun ini diberikan kepada dua film internasional, “Centar” oleh Ivan Marcovic (Serbia) yang menceritakan perubahan peradaban dunia sejak tahun 1970-an melalui apresiasi tradisi arsitektur brutalis, dan “The Love of Statues” karya Peter Samson (Inggris) yang mengunggulkan skill montage baru dan imajinatif. Terdapat pula Forum Lenteng Award, pilihan favorit semua anggota Forum Lenteng yang dimenangkan oleh “Blues Sides on the Blue Sky” karya Rachmat Hidayat Mustamin. Terakhir adalah penghargaan yang telah ditunggu-tunggu, yakni Arkipel Award. Mengeksplorasi duka, trauma dan luka yang dirasakan seseorang paska perang, Arkipel Award tahun ini pun dianugerahkan kepada “The Future Cries Beneath Our Soil” karya Pham Thu Hang, berkat kesetiaannya terhadap perjalanan para tokohnya. whiteboardjournal, logo

Tags