We_Review: Yuni

Film
10.12.21

We_Review: Yuni

Ulasan film karya Kamila Andini. Pertemuan estetika dan esensi dalam film dengan gagasan penting. 

by Muhammad Hilmi

 

Ada beberapa kritik yang menulis bahwa sebuah film akan terjerembap bila berambisi membahas terlalu banyak hal dalam satu kesempatan. Bahwa sebaiknya sebuah film berfokus pada satu gagasan saja untuk disampaikan. Film “Yuni”, adalah antitesis yang lantang untuk pandangan tersebut. Mengingatkan kembali positioning film sebagai medium untuk merekam realita yang juga pada kenyataannya kompleks. 

Di 120 menit lebih durasinya, “Yuni” membahas banyak perihal: kesetaraan gender, pernikahan usia muda, pendidikan seksual, masalah institusi pendidikan, hingga kemiskinan dan kapitalisme. Kamila Andini dengan caranya sendiri berhasil menyampaikan itu semua dengan paripurna. 

Menariknya, Kamila Andini bisa menyampaikan hal-hal besar tersebut sembari menjahitnya dengan pilihan artistik yang juga indah. Melepaskan dikotomi bahwa film “bermuatan” harus berjarak dengan pilihan-pilihan estetis. Penuturan film yang riil membuat “Yuni” kadang terasa seperti film dokumenter, tapi kemudian diimbangi dengan bahasa audio visual yang elok. Membuat “Yuni” hadir dengan nuansa yang sama dengan muasal gagasannya di “Hujan Bulan Juni”: puitis. 

Pertalian antara esensi dan estetis ini bisa dilihat pada penggunaan warna ungu sebagai palet utama di film ini. Warna ungu yang menjadi simbol beberapa hal (individuality, sensitivity, passion, hingga janda) melebur jadi semesta sekaligus identitas Yuni secara karakter sekaligus film. Lebih dari sekedar identitas yang gimmicky, tapi justru menambah arti. 

Nilai lebih dari Yuni juga hadir pada dialog berbahasa Jawa-Serang yang mumpuni. Aktor-aktor utamanya dengan fasih berbicara dalam dialek Jaseng nyaris tanpa kikuk. Sebuah kualitas yang cukup jarang ditemukan di film kita. Tak hanya di urusan dialek, beberapa percakapan ditulis dengan indah, terutama saat karakter Yuni berbicara dengan ayahnya. Kualitas skrip dialog eksistensial di adegan ini mengingatkan pada kualitas dialog series “Midnight Mass” yang menyentuh dan penuh makna. 

Secara casting “Yuni” juga istimewa. Arawinda berhasil menubuhkan karakter Yuni dengan sangat pas hingga pada level di mana seolah dia terlahir untuk peran ini. Entah bagaimana caranya garis muka Arawinda bisa secara akurat melukiskan keberanian Yuni dalam bersikap. Ketajaman casting ini juga berlanjut ke karakter-karakter pendukung yang juga berakting di atas rata-rata. Pujian khusus untuk Marissa Anita (sangat ditunggu film dimana Marissa menjadi pemeran utama), Mian Tiara yang mengejutkan, teman innercircle Yuni, juga talenta lokal yang tampil prima. Satu-satunya yang agak di bawah rata-rata adalah Dimas Aditya yang tampaknya masih beradapasi dengan pendekatan yang berbeda dengan apa yang biasa dia lakukan sebelumnya.  

Bangunan yang telah dibangun dengan baik ini agak sedikit terganggu dengan ending yang melompat dengan penuturan yang dilakukan sepanjang durasi. Adegan pemungkas yang surreal/metaforis memang sebenarnya konsisten menjadi DNA dalam filmografi Kamila Andini, sayangnya di “Yuni” ini terasa agak out of place dan melepaskan beberapa pesan yang sebenarnya bisa lebih kuat jika adegan penutupnya lebih konsisten dengan bangunan cerita. 

Tapi apapun itu, “Yuni” berhasil menjalankan banyak hal yang sulit dieksekusi dan mengemasnya dalam satu karya yang tak hanya penting, namun juga indah. Pahit, juga melankolis, namun juga mengundang tawa di beberapa hal. Seperti realita.whiteboardjournal, logo