Mengapa Kita Tidak Boleh Protes? Sikap ‘Anti Kritik’ Pemerintah dan Penggunaan UU ITE sebagai Tameng di Kasus Haris Azhar dan Fatia 

Human Interest
24.03.22

Mengapa Kita Tidak Boleh Protes? Sikap ‘Anti Kritik’ Pemerintah dan Penggunaan UU ITE sebagai Tameng di Kasus Haris Azhar dan Fatia 

Proses berjalannya kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menapaki babak baru, setelah lima bulan mereka akhirnya ditetapkan sebagai tersangka, namun apakah benar dalam prosesnya penyidik tidak tumpang tindih dalam menyikapinya?

by Whiteboard Journal

 

Teks: Yusril Mukav
Foto: metrotempo.co

Beberapa hari ini tagar #SayaBersamaHarisFatia naik sembari munculnya berita jika proses kasus mereka telah sampai ke tahap penyidikan. Mereka berdua diduga telah mengutarakan kalimat pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.

Pihak Luhut menerangkan jika apa yang menjadi persoalan dalam pelaporan mereka berdua adalah pernyataan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dalam channel Youtube mereka yaitu “Luhut bermain tambang di Papua” dan juga judul dari video Youtube tersebut yang membuat nama Luhut tercemarkan.

Berawal dari somasi dan menekan mereka untuk meminta maaf, ternyata Luhut tidak puas terhadap respon yang mereka berdua sampaikan mengenai tuntutan tersebut.

Dasar pelaporan Luhut terhadap Haris dan Fatia

Haris dan Fatia mengunggah satu video pada platform Youtube mereka pada Agustus 2021, tentang riset mengenai operasi militer di Papua. Selain mereka membicarakan mengenai operasi militer yang ilegal, mereka juga melihat adanya indikasi keterkaitan antara operasi militer tersebut dengan bisnis tambang yang dimiliki oleh Luhut Binsar Panjaitan.

Riset tersebut tidak hanya disusun oleh mereka berdua, melainkan oleh beberapa kelompok masyarakat sipil seperti Walhi Papua, YLBHI, Pusaka Bentara Rakyat, Greenpeace Indonesia, dan juga Trend Asia.

Bagaimana proses kasus ini berjalan?

Dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Elektronik (UU ITE), polisi mengklaim bahwa penetapan kasus ini telah sesuai fakta dari proses penyelidikan, dan tidak karena tendensi politis. Mereka mengatakan jika kasus ini telah dipelajari dengan baik, dan tidak tergesa-gesa ketika menyatakan Haris dan Fatia menjadi tersangka.

Dalam proses berjalannya kasus ini terdapat banyak kejanggalan, terlebih jika dilihat dari bagaimana mereka dapat terjerat UU ITE. Dalam SKB Tiga Menteri terdapat pedoman mengenai implementasi penerapan Undang-undang tersebut, salah satunya mengenai pengecualian terhadap kasus, pengecualian itu diterapkan agar Undang-undang tersebut tidak dipergunakan seenaknya, dan ada batasan atas pasal yang tertuang dalam Undang-undang tersebut.

Pengecualian yang tertuang dalam SKB Tiga Menteri tersebut antara lain adalah jika konten itu berisi penilaian, pendapat, hasil evaluasi, dan fakta lapangan. Julius Ibrani, pengacara Haris dan Fatia menyatakan dalam laman BBC, “Data-data itu kami ambil dari seluruh instansi yang terkait, badan hukum yang relevan, dan perusahaan terkait. Kalau misalnya data dari Kemenkumham enggak benar, ya berarti Kemenkumham kita tunjuk kenapa data ini enggak benar, kami unduh data itu dari mereka kok.” 

Proses dalam kasus ini-pun dianggap janggal, Julius juga mengatakan jika ia sebagai kuasa hukum Haris dan Fatia tidak mengetahui basis bukti dari kepolisian mengapa dapat menetapkan Haris dan Fatia menjadi tersangka. Karena hingga hari ini pihak Luhut tidak memberikan penyanggahan dengan data mengenai hasil riset mereka.

Kesalahan mekanisme dalam proses hukum

Riset yang dibeberkan oleh Haris dan Fatia adalah sejumlah data fakta, dan bersifat kritikan, bukan merujuk kepada pencemaran nama baik. Maka jika dilanjutkan memakai hukum pidana, rasanya kurang tepat, karena wajar jika memberikan kritik terhadap pemerintah dilontarkan oleh masyarakatnya.

Namun jika Luhut merasa keberatan, maka seharusnya pelaporan tersebut bersifat privat atau pribadi, lebih tepat jika penggugat atau penyidik melaksanakan peradilan perdata, dengan konsekuensi dari perbuatan tersebut adalah ganti rugi dan bukan pemidanaan seseorang.

Bagaimana tanggapan para pakar mengenai kasus ini?

Agustinus Pohan, pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan mengatakan jika pencemaran nama baik adalah suatu kasus yang personal, bukan bersifat publik, jika dalam semua laporan pencemaran nama baik bersifat publik, maka semua orang yang terjerat oleh Undang-undang ini akan dipenjara.

Pasal-pasal yang tertera dalam UU ITE dianggap menjadi pasal karet, karena tidak ada batasan dari hukumnya. Selain itu UU ITE juga kerap menjadi alat untuk mengkriminalisasi seseorang, Safe.net merincikan data dari 324 kasus pidana dalam UU ITE pada tahun 2020, yang terjerat oleh Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik sebanyak 209 orang.

Proses kasus yang menimpa Haris dan Fatia yang dijerat oleh UU ITE, bisa menjadi indikasi munculnya pemberangusan hak atas berpendapat. Di negara yang mempunyai sistem demokrasi tidak seharusnya menutup ruang kritik masyarakat terhadap pemerintahnya, karena secara logis jika masyarakat merasa keberatan terhadap kinerja atau perbuatan pejabat dalam negara tersebut, maka mereka akan melayangkan sebuah kritikan.

Apakah yang dimaksud UU ITE?

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah Undang-undang yang mengatur tentang informasi elektronik dan transaksi elektronik. Informasi elektronik yang dimaksud adalah sekumpulan data elektronik, namun tidak hanya terbatas pada tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (email), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Sedangkan transaksi elektronik yang dimaksud adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya, yang sengaja diperbuat untuk melawan hukum atau mencelakakan orang lain.

Meskipun sangat dibutuhkan karena adanya perkembangan zaman, namun UU ITE yang kita punya masih jauh dari kata ideal, karena masih banyak Pasal yang termaktub pada Undang-undang ini harus dirubah ulang dikarenakan multitafsir.

Menurut laporan Institute for Criminal Justice Reform, terdapat masalah pada Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Mereka menyebutkan bahwa istilah pada pasal tersebut, seperti mendistribusikan dan transmisi merupakan istilah teknis, yang dalam prakteknya tidak sama dalam dunia teknologi informasi dan dunia nyata. 

Selanjutnya pada rumusan delik Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE membawa konsekuensi tersendiri, karena pada prakteknya pengadilan memutuskan secara berbeda terhadap rumusan delik tersebut.

Southeast Asia Freedom of Expression Network juga memaparkan beberapa persoalan terhadap UU ITE adalah Pasal 27 hingga Pasal 29 UU ITE dalam bab Kejahatan Siber, dan juga Pasal 26, Pasal 36, Pasal 40, dan Pasal 45. Persoalan yang terdapat di antaranya adalah mengenai penafsiran hukum, di mana rumusan pasal-pasal dalam UU ITE tersebut tidak ketat (karet) dan tidak tepat serta menimbulkan ketidakpastian hukum (multitafsir). 

UU ITE dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2008, tepat 10 tahun dari reformasi Indonesia. Reformasi yang menginginkan Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis. UU ITE disahkan dengan maksud untuk melindungi masyarakat dalam melakukan transaksi elektronik di tengah meluasnya penggunaan internet dan perekonomian nasional.

Alih-alih dibentuk untuk melindungi masyarakat, hadirnya UU ITE seringkali digunakan oleh pemerintah dan aparat untuk membungkam para pengkritik kinerja mereka. Safe.net dalam theconversation.com menunjukkan pada tahun 2018, dari 245 kasus yang menggunakan UU ITE dari tahun 2008, lebih dari sepertiga pelapor (35,92%) adalah pejabat negara, yang mereka sasar adalah aktivis, jurnalis, pegawai negeri, hingga guru.

Sebagai contoh, Ravio Patra, peneliti kebijakan publik dan pegiat demokrasi, ditangkap oleh aparat kepolisian pada 22 April 2020 lalu. Tertera dalam laman CNN Indonesia, Ravio ditangkap karena diduga melanggar Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 huruf A ayat (2) UU ITE juncto Pasal 14 ayat (1) atau ayat (2) atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Pasal 160 KUHP. Ravio dianggap telah mengajak khalayak untuk melakukan penjarahan nasional, yang pada akhirnya kepolisian tidak bisa membuktikan apapun.

Selain Ravio, I Gede Ari Astina atau yang biasa dipanggil Jerinx ditahan selama 1 tahun 2 bulan penjara karena ujarannya terhadap Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sementara itu, Baiq Nuril, seorang guru, dilaporkan oleh mantan kepala sekolah tempat ia bekerja, karena laporan pelecehan seksual secara verbal, dan masih banyak lagi.whiteboardjournal, logo