
Artist on Artist: Big Thief Interviewed by Friends and Fans
Mengajak teman-teman dan penggemar Big Thief, kami berkesempatan untuk ngobrol dengan Buck Meek untuk membahas caranya tetap tumbuh sebagai personil dalam band, humor, sampai inisiatif dari Big Thief untuk melawan kejahatan kemanusiaan yang kita lihat di Palestina.
Words by Whiteboard Journal
Words: Garrin Faturrahman & Wahyu Handayani
Photo: Genesis Báez
Jika hari-hari dirasa seperti kegelapan tanpa berujung, kamu tidak sendiri. Namun, ingatlah bahwa selalu ada sudut-sudut kecil yang bisa kamu gunakan untuk menemukan ketenangan sementara. Salah satunya mungkin adalah musik folk.
Double Infinity adalah nama yang diberikan untuk album mendatang Big Thief, yang mengumpulkan lagu-lagu dari James, Buck, dan Adrianne, sambil juga mengajak teman-teman terdekatnya untuk bergabung dalam album studio keenam ini.
Lantas, kami ingin memperluas kehangatan (dan juga humor!) yang dihidupkan oleh mereka bertiga. Karena itu, kami turut mengajak teman-teman (yang kebetulan juga penggemar sang band) untuk turut serta berdialog dengan Big Thief.
Album upcoming dari Big Thief—bagiku pribadi—menjadi tempat berlindung yang aman di masa-masa sulit ini, dan “happy with you” adalah salah satu yang menenangkan dan empowering dalam Double Infinity, yang secara pribadi sangat beresonansi dengan aku. Jadi, apakah Anda juga menemukan kenyamanan atau ketenangan selama proses penulisan lagu-lagu ini? Atau apakah itu lebih seperti outlet yang lebih cathartic?
Pertanyaan yang bagus. Nah, ini adalah album pertama yang kami tulis bersama-sama dari awal—Adrianne, James, dan saya. Jadi ada beberapa lagu yang kami tulis bersama, seperti “Grandmother” dan “Los Angeles”, di mana James dan saya membantu Adrianne menulis bait terakhirnya. Lagu “How Could I Have Known” pun juga. Kami menambahkan sedikit di sana-sini. Tapi, sebagian besar lagu-lagu ini ditulis oleh Adrianne. Mereka benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan pengalamannya. Dia berbicara dengan jujur melalui lagu. Saya pikir lagu-lagu adalah cara baginya untuk mendokumentasikan hidupnya, menangkap segala kenangan dan sisi emosionalnya, serta memahami pengalamannya sendiri, menurut saya.
Suara-suara khas genre folk yang halus dan mengharukan selalu memiliki daya pikat yang kuat dalam menyentuh hati banyak orang, menurutku, dan hal ini juga berlaku di Indonesia. Kita selalu sangat suka pada lagu-lagu yang mendayu dan penuh perasaan. Namun, dari segi bisnis, apakah ada masukan dari pasar yang memengaruhi penulisan lagu kalian sebagai band?
No. We’ve never once allowed any kind of outside influence on our creative process. And ironically, I think that’s the thing that people like about it. It seems to be one of the things that people are drawn to. It’s that they can maybe sense that we’re uncompromising and that we’re just really making music for ourselves, which maybe—I would hope—empowers others to do the same. And there’s like a gravity to that.
Tidak. Kami belum pernah sekali pun membiarkan pengaruh dari luar memengaruhi proses kreatif kami. Dan ironisnya, saya pikir itulah hal yang disukai orang-orang. Sepertinya juga itu salah satu hal yang menarik orang-orang. Itu mungkin karena mereka bisa merasakan bahwa kami tidak berkompromi dan bahwa kami benar-benar membuat musik untuk diri kami sendiri, yang mungkin—saya harap—memberikan inspirasi kepada orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Benar juga sih. Karena, lagi-lagi, semua itu tentang kejujuran dan sincerity dalam music making, bukan?
Definitely.
Okay, so let’s go right ahead to the questions from the local bands.
Hell yeah. Great questions. Thank you for those. Love those.
Thanks to these people as well!
Eky Rizkani
Reruntuh
Ada semacam rawness yang mengalir dalam musikmu, namun semua dieksekusi dengan begitu rapi, dan itu benar-benar sesuatu yang indah untuk didengarkan. Dan aku pernah membaca bahwa Two Hands (yang merupakan favoritku) direkam secara live. Apa alasan di balik rekaman live tersebut? Apakah itu karena keputusan teknis, preferensi pribadi, ataukah ada niat artistik atau emosional yang lebih dalam di baliknya?
Saya pikir semua hal itu adalah alasan mengapa kita suka merekam secara langsung di dalam ruangan bersama-sama. Karena alasan utamanya adalah, ketika kamu membuat musik bersama orang lain di dalam ruangan, kamu lantas bereaksi terhadap satu sama lain secara bersamaan, kan?
Segala sesuatu adalah suatu respons akan satu sama lain. Dengan waktu reaksi pikiran manusia yang luar biasa cepat terhadap suara yang juga menyebar sangat cepat, dan otot-otot kita pun begitu responsif. Saya pikir, setiap kali Anda berada di ruangan bersama orang lain dan Anda membuka telinga Anda, serta mampu merespons apa yang terjadi di ruangan tersebut, Anda akan membuat progress [dalam music making] yang jauh lebih cepat—hal itu hampir mustahil untuk direplikasi. Saya berpendapat bahwa hal itu tidak mungkin direplikasi melalui overdubbing.
Dan menurut saya, ada human quality di dalamnya yang benar-benar kita sukai; Ada kelemahan, tapi ada juga kekuatan karena itu nyata, dan bahwa orang pada dasarnya benar-benar suka mendengarkan satu sama lain. Selain itu, itu jauh lebih cepat, bukan? Secara praktis, kamu bisa menyelesaikannya jauh lebih cepat, dan kamu bisa melanjutkan buat yang lain.
Benar juga. Juga prosesnya pun lebih organik.
Betul. Karena menurut kami, niat sangat penting di dalam proses kreatif. Menurut saya, kita semua sangat menghargai niat dan meluangkan waktu untuk banyak berpikir. Tapi kami juga menghargai tolak belakang dari spektrum ini dengan sepenuhnya melepaskan kendali. Dan kita juga suka berayun di antara dua sisi ekstrim: kami akan menaruh banyak niat dalam menuliskan lagu dan menyempurnakan setiap detil kecil liriknya.
Tetapi, saat lagu sudah selesai, seru saja saat bisa memainkan musik alakadarnya seperti melemparnya ke tembok dan melihat apa yang terjadi dan apa yang kembali dan mengumpulkan semua serpihannya dan mungkin lalu memberi banyak perhatian dalam proses mixing dan melakukannya berkali-kali.
Itu indah sekali! Terima kasih!
Tentu!
Khusus untuk Buck Meek, saya selalu mengagumi kehalusan anda dalam bermain gitar, saya juga merasa cara anda bermusik membawa emosi yang mendalam dan menciptakan perbedaan dalam suara band. Bolehkah anda berbicara tentang cara pendekatan anda dalam bermain gitar, dan jika ada, filosofi di baliknya?
Terima kasih banyak. That’s so sweet. Jadi, filosofi inti saya adalah lagu itu sendiri mempunyai semua informasi yang saya butuhkan untuk merespon sebagai gitaris.
Lagu itu tuh, seperti punya struktur tulang, punya jiwa tersendiri. Ada banyak sekali pertanda di dalam sebuah lagu. Jika anda mendengarkannya dengan teliti, lagunya akan memberitahu anda apa yang ia mau. Maksud saya, dalam level yang sangat praktikal, hanya dengan menggunakan ritme di dalam melodi sebuah lagu yang bisa anda refleksikan sebagai pemain gitar, atau melodinya, anda tahu kan, menggunakan melodi di gitar anda atau menciptakan harmoni diatasnya. Tapi juga dalam sisi emosional, di antara ruang kosong, ruang negatif, di sela-sela lirik lagunya, yang tersirat, ada banyak sekali informasi disana yang bisa kita respon. Jadi saya selalu mencoba untuk menghadapi setiap lagu dengan pandangan yang kosong. Saya selalu mencoba menjadi gitaris baru, dan membiarkan lagunya menuntun saya.
Di single terbaru Anda, Incomprehensible, saya rasa Anda sedang mengeksplorasi bentuk-bentuk suara yang berbeda yang kita belum pernah dengar di lagu band ini sebelumnya, atau paling tidak ini sesuatu yang berkembang. Dari sisi suara, bolehkah berbicara sedikit tentang apa yang bisa dinantikan dari Double Infinity yang akan datang?
Pasti. Kami ingin menggunakan banyak drones di album ini. Kami ingin menciptakan perasaan yang menyerupai sungai, seperti suara air yang mengalir terus-menerus. Jadi kita membawa masuk Laraaji untuk memainkan zither dan menciptakan drone dengan iPad dia dan kita membawa masuk teman kami Mikey Buishas untuk membuat suara tape berulang dengan eight track tape machine miliknya dan sebuah mikrofon. Dia mengumpulkan samples dari dalam ruangan itu, dia merekam Laraaji atau saya bermain gitar, lalu dia akan memasukkannya ke dalam tape machine dan melakukan loop pada tape di sekitar mikrofon dan diputar secara reverse. Jadi dia membuat drones dan saya membuat drones. Dan lagi, saat itu kita bermain bersama di dalam satu ruangan besar dalam sebuah lingkaran besar dengan tiga penyanyi.

Image via Nadela Putri
Deandra Aurellia
The Nerverackers
Setelah menyebut John Prine sebagai salah satu songwriting heroes Anda, dengan jejak wit luar biasanya terlihat di lagu seperti “Spud Infinity”, apakah kita bisa mengharapkan lebih banyak humor disematkan di rekaman yang akan datang?
Pasti. Saya pikir akan selalu ada humor yang tersembunyi di dalam lagu-lagunya, pastinya. Kami menyukai lelucon yang bagus, juga receh!
Katanya Adrianne sering menahan diri dalam mendekonstruksi tulisannya sendiri, sebagian untuk memberikan ruang interpretasi kepada pendengar. What’s the most striking take on your work you’ve heard?
Ya, saya pikir. Dia menulis dari ruang yang sangat liminal. Seringkali lagunya berawal dari semacam gumaman, kata bernada, tidak masuk akal. Dia akan mengambil gitarnya dan menggumam tidak jelas, lalu membiarkan kata-kata pelan-pelan terbentuk sesuai dengan apa yang mereka mau, dan tanpa narasi apa-apa di awal. Hanya semacam aliran kesadaran yang abstrak.
Lalu, saat kata-kata mulai terbentuk, saat itulah narasi akan mulai dikembangkan. Proses pembuatan lagunya selalu seperti itu, tetapi kemudian keren juga melihat lagu seperti “Words” ditulis seperti itu dan tentang hal itu juga. Saat itu hampir seperti meta reflection dari fenomena itu sendiri, menulis lagu dari ruang liminal ini, juga tentang subjektivitas atau liminalitas bahasa. Saya mencintai lagu itu untuk alasan tersebut. Terasa sedikit seperti ode terhadap absurditas bahasa.
Lucu juga-
–Lucu kan!
Itu juga bagian dari humor dalam lagu Anda juga, bukan?
Pastinya. Iya, tepat sekali. Ada, seperti, humor sembrono tersendiri, paling tidak, menurut saya.
Merujuk kepada sebuah Instagram story yang pernah diposting akun bandmu yang berkata “Di mana saya bisa melihat noise music di Yogyakarta?” – apa saja penemuan berharga di ranah musik global bagi Anda sejauh ini?
Sebagai catatan, tidak ada yang merespon saya tentang noise music di Yogyakarta! Saya masih menunggu. Oke. Jika anda mempunyai rekomendasi bagus, saya sangat ingin mendengarnya.
Saat itu saya di Batu Karas untuk dua minggu untuk surfing di Batu Karas. Dan supir taksinya menunjukkan kepada saya sebuah band keren bernama, kalau tidak salah Momonon, bunyinya “Kopi Hitam Kupu-Kupu”. Oke. Saat itu menyenangkan. Tapi saya juga sangat menyukai musik Mbira. Ada banyak sekali.
The King of History adalah salah satu gitaris paling favorit saya, D. O. Misiani. African guitarist yang luar biasa, ada album bernama The King of History (1970) yang saya cintai.
Ada band bernama Los Machucambos, sebuah lagu bernama “Subo Subo”, lagunya indah sekali. Dan saya juga sangat suka Sinn Sisamouth.
Sini, akan saya beri tahu kepada anda rekaman Mbira favorit saya. Ini Stella Chiweshe, Talking Mbira (2002). Itu adalah album Mbira favorit saya.
Oh, tidak lupa, Joseph Spence. Ya ampun, saya cinta Joseph Spence! Apakah anda tahu dia? Dia berasal dari Karabia. Luar biasa.

Image via hara
Rara Sekar
Anda sudah membuat musik bersama selama sekitar 10 tahun sekarang, melalui pergeseran dan perubahan yang datang dengan waktu. Satu hal yang saya kagumi adalah bagaimana anda membuat ruang untuk projek solo masing-masing orang sementara masih bertemu kembali dengan terencana. Bagaimana cara anda menavigasi perbedaan dan menjaga agar sisi kreatif dan hubungan personal tetap sehat? Dan bagaimana cara anda menjaga keseimbangan pertumbuhan masing-masing dengan bertumbuh bersama sebagai sebuah band?
Ah, pertanyaan yang indah. Terima kasih. Saya kira salah satu nilai dari memiliki banyak projek atau berkolaborasi diluar Big Thief adalah anda bisa melihat bahwa semua orang bekerja dengan cara yang berbeda. Semua orang punya metodenya sendiri-sendiri: relasi mereka sendiri dengan proses kreatif, pintu masuk sendiri ke dalam sebuah lagu, relasi mereka sendiri dengan rekaman atau bermusik atau berkomunikasi sebagai band, bahkan metode shorthand mereka sendiri untuk teori musik.
Ini sangat subjektif, dan semua orang mempunyai berbagai pengaruh pribadi dan cerita dan idiom sendiri tentang musik dan prosesnya dan anda belajar banyak, tentunya, tentang metode yang berbeda-beda ini. Tapi pelajaran paling besar untuk saya adalah tidak ada dogma yang objektif. Tidak ada metode pasti untuk kreativitas. Dia sangat fluid, dan saya rasa kita merasa paling hidup sebagai satu band di saat kami menuju proses kreatif dengan telinga yang terbuka dan rasa ingin tahu dan agak melepaskan pola yang sudah dibangun di masa lalu dan dogma apapun itu.
Tentu saja, merangkulkan pengaruh kita kepada yang lain, tapi juga, tetap terbuka terhadap perubahan dan cara baru dalam, merasa bebas, atau merasa semangat tentang membuat musik bersama di satu momen dan juga, yang paling penting, cukup mendengarkan, saya kira dan merespon apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam ruangan itu. Jadi, untuk saya, itu adalah nilai paling besar dari berkolaborasi diluar satu band ini. Dan, iya. Kita hanya ikut merasa senang untuk satu sama lain, gitu?
Sebagai musisi, sangat sulit untuk tidak terpengaruhi oleh apa yang terjadi di dunia saat ini, terlebih lagi sesuatu seperti genosida di Gaza. Apa maknanya untuk anda, sebagai band, untuk mengambil pendirian atau menjadi politis? Apakah anda melihat musik berperan di saat krisis, dan jika iya, bagaimana anda membuat pendekatan itu?
Pastinya. Hal ini harus berhenti, dan kita semua sangat mempercayai hal ini. Dan kami sudah mencoba untuk menggunakan platform kami untuk memberi dukungan bantuan di Gaza. Contohnya, kami merilis album berisi lagu yang belum pernah rilis yang sebelumnya tidak pernah direkam di masa lalu yang kami koleksi, dan kalau saya tidak salah kami mengumpulkan lebih dari 125.000 USD untuk memberi dukungan bantuan di Gaza. Jadi kami mencoba untuk menggunakan platform kami dengan cara yang lebih nyata, tapi juga di saat yang bersamaan, kami berharap untuk membuat music dari niat naik dan memperlakukan satu sama lain dengan kebaikan di dalam band dan memperlakukan keluarga, teman, dan pendengar kami dengan kebaikan dan cinta.
Kami harap hal ini dapat mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama dan paling tidak membuat perbedaan kecil di dunia dengan memperlakukan satu sama lain dengan hormat.
Saya hanya ingin tahu, apakah Anda mengenal lagu-lagu dari Indonesia? Jika iya, adakah favoritmu? Kami sangat ingin melihat anda bermusik di sini kapan-kapan. Please come to Indonesia soon!
Terima kasih. Lagi-lagi, Monomon adalah satu-satunya yang saya dengarkan paling banyak karena saya mendengarnya di dalam taksi, dan saat itu saya merasakan pengalaman yang sangat indah saat menyusuri pegunungan dari Batu Karas menuju Yogyakarta melewati hutan itu dan mendengarkan itu juga, secara terus-menerus dengan supir taksi saya. Terutama karena dia melekat kepada sebuah memori–banyak sekali musik yang saya cintai adalah sebagian karena dia melekat kepada sebuah pengalaman, seseorang yang saya cintai, atau sebuah memori.
Dan jadi lagu itu, contohnya, saya tidak akan bisa memisahkannya dengan waktu saya disana. Dan lagu itu adalah favorit supir taksinya, tahu? Kita bersenang-senang bersama. Kami berada di dalam taksi selama kira-kira 5 jam, jadi… yah, begitu.
–
Double Infinity akan rilis sepenuhnya pada 5 September 2025.




