
Jason Ranti x Dongker: “Kamu mau nggak saya bebaskan dari tirani musik punk?”
Sekalian merayakan kolaborasi Dongker dan Jason Ranti, kami menyempatkan untuk ngobrol bersama sekumpulan sosok-sosok ini untuk membahas banyak hal: mulai dari rasa bosan, penggunaan satir dalam karya, hingga pengalaman spiritual di Roblox.
Words by Whiteboard Journal
Words: Rajan Nausa
Photo: Agung Hartamurti/Whiteboard Journal
Berawal dari penyebutan nama Jason Ranti dalam salah satu lagu mereka, Dongker kini siap mencurahkan sanubari dan keresahan bersama sang musisi multifaset lewat album kolaborasi bertajuk Jason Ranti: I Don’t Know and I Dongker.
Walau, pada permukaan, perkawinan ini terasa asing—mengarungi genre, generasi, dan letak geografis. Namun, di balik itu semua, tersimpan banyak sekali benang merah yang menghubungkan dua entitas ini, terutama kecintaan mereka yang mendalam terhadap seni dan pengekspresiannya.
Kala itu, di tengah perjalanan promosi dan kunjungan media yang melelahkan, mas Jeje (Jason Ranti) bersama dua personel Dongker—Arno (Gt./Vo.) dan Delpi (Gt./Vo.)—menyempatkan diri mampir ke kediaman kami. Kami berbincang tentang banyak hal: mulai dari rasa bosan, penggunaan satir dalam karya, hingga pengalaman spiritual di Roblox.
“Jim! Jim! Jim! Jim Supangkat!” Kenapa Jim Supangkat?
Jeje: Karena bunyinya.
Delpi: Betul. Spontan karena bunyi gitar waktu dimainkan Arno mirip dengan “Jim! Jim! Jim! Jim Supangkat!”
Tapi ada inspirasi dari semangat kuratorialnya yang spesifik kalian ambil untuk kemudian dijadikan karya atau memang hanya sebatas bunyi yang tidak disengaja ini?
Delpi: Kalau aku pribadi mungkin terpengaruh karena sering terpapar waktu kuliah. Namanya terus-menerus disebut gara-gara Gerakan Seni Rupa Bandung (GSRB). Selain itu, dia sampai hari ini masih sangat aktif—ada terus gitu. Aku terpapar banyak tulisan dan karyanya, jadi secara nggak langsung mungkin termanifestasikan di karya—meskipun kecil.
Jadi nggak langsung tiba-tiba terpikir Jim Supangkat dan ingin menulis tentang beliau?
Jeje: Nggak. Bukan sengaja datang dengan gitar—“Kita buat lagu tentang Jim Supangkat, yuk!” Organik aja. Terjadi di tengah-tengah obrolan.
Delpi: Tapi gara-gara keluar nama Jim Supangkat—di tengah-tengah, di bagian Arno nyanyi— aku nambahin lirik: “Pasar seni diciptakan seni. Dihancurkan seni di kepala sendiri.” Itu ngambil dari tulisan dia di kuratorial Pasar Raya Dunia Fantasi. Dia wawancarai dirinya sendiri, terus aku ambil aja beberapa tulisannya buat jadi penggalan lirik.
Arno: Anjing, dari kemarin nggak dibilangin itu.
Delpi: Biar special buat Whiteboard, bro.
Mas Je (Jason Ranti) sempat menyebut kolaborasi ini sebagai “kecelakaan artistik”—yang mana seringkali menghasilkan sesuatu yang jujur dan tak terduga. Dari yang awalnya kebetulan, kapan kalian merasa bahwa proyek ini pantas dirawat dan diteruskan?
Jeje: Dari jawaban Delpi dan Arno ketika ke rumah saya. Saya nanya:
“Delpi kamu itu siapa?”
“Saya Delpi, saya main gitar dan nyanyi di Dongker. Saya dari Bandung tapi asli Blitar.”
“Ya, tapi siapakah kamu tanpa keDongkeranmu, keBandunganmu dan keBlitaranmu?”
“Saya begini-begini,” Arno juga begitu.
Terus saya tanya,
“Kamu mau nggak saya bebaskan dari tirani musik punk?”
“Mau.”
“Oke, lanjut.”
Terus dapet berkat istri. Orang rumah saya suka sama Dongker. Saya bingung sama netizen, “Kok netizen gitu, sih? Padahal mereka baik-baik lho ke rumah saya.” Semuanya normal, semua wajar.
Berarti tadinya Mas Je tiada tahu-menahu tentang Dongker?
Jeje: Saya tau kelakuannya. Kelakuannya dulu baru karya hahaha.
Kolaborasi ini selain melintasi genre, juga melintasi generasi. Apa tantangan terbesar dari hal ini?
Delpi: Kalau tantangan yang signifikan hanya jarak karena selain lintas generasi dan genre, ada lintas provinsi. Mas Jeje dari Jakarta, kami di Bandung. Kesempatan bertemunya itu cukup jarang, jadi disempat-sempatkan. Itu tantangan yang paling kelihatan
Jeje: Jarak geografis. Terus saya juga nggak punya HP kan. Jadi mereka tektokannya sama istri, kalau nggak sama Mas Broto.
Untungnya istri Mas Je juga suka Dongker.
Delpi: Tapi sukanya bukan dalam artian kekaryaan ya? Cuma suka apa ya, Mas? Personality mungkin ya?
Jeje: Ya mereka wajar aja.
Terus, istri Mas Je biasa mendengarkan apa?
Jeje: Wah, istri saya K-pop.
Kalau Mas Je juga suka K-pop?
Jeje: Nggak. Saya nggak tau itu beruntung atau sial. Hahaha.
Dongker terkenal gemar bermain-main dengan absurditas dalam karya. Seperti menggabungkan suara-suara kambing sampai gorila dalam lagu kalian. Bagaimana kalian membedakan kapan sesuatu dianggap gimmick, dan kapan ia justru menjadi bagian dari kejujuran artistik kalian?
Delpi: Kayaknya gimmick kami muncul karena jujur aja.
Arno: Euforia pas membuat materinya, Mas. Jadi di lirik mah nggak ada, cuma pas direkam baru imajinasi datang dan dimainkan. Kadang kalau karyanya masih medium rare ya, mungkin matangnya pas di-take. Bahkan pas udah jadi juga masih bisa diubah gitu.

Image via Agung Hartamurti/Whiteboard Journal

Image via Agung Hartamurti/Whiteboard Journal
Tapi kadang setengah matang juga lebih enak ya?
Arno: Bisa dibilang begitu. Sekarang saya belajar tidak ada setengah matang atau tidak ada matang, yang terjadi di hari itu terjadilah—kalau kata orang-orang ya.
Jeje: Itu kalau menurut saya bukan gimmick. Itu keputusan artistik yang diambil secara impulsif kadang ya, real time. Spontanitas. Namun, ada beberapa hal yang memang kita pikirkan. Kadang-kadang di satu titik kita mesti bisa mempertanggungjawabkan karya kita.
Ngomong-ngomong soal karya, di era ketika ekspresi sering kali dibatasi atau dipelintir, bagaimana kalian melihat peran seniman—baik musisi maupun perupa—dalam menjaga ruang kebebasan berpikir dan berekspresi?
Arno: Ya, itu sudah konsekuensinya. Di suatu tatanan, lembaga, atau negara, pasti ada seniman—pasti ada yang menolak. Pasti ada yang punya caranya sendiri dalam berekspresi. Pasti selalu ada. Nggak harus dijaga itu dan kalau misalnya memang tidak salah nggak perlu takut, ekspresikan saja cinta-cinta itu.
Jeje: Ini saya nggak tahu saya nyambung atau nggak ya. Saya teringat ada penulis namanya Pak Seno Gumiro Ajidarma, dia nulis Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara (1997). Itu mungkin jadi salah satu inspirasi saya. Tapi kalau dia kan bergerak di bidang sastra, kalau kita bidang distorsi.
Satir sering muncul dalam karya kalian—entah sebagai sindiran halus atau humor yang getir. Apa yang ingin kalian dekati atau justru jauhi lewat pendekatan semacam ini?
Jeje: Itu bawaan lahir kami.
Delpi: Bawaan lahirnya tapi kadang bisa dalam bentuk kemarahan atau kemuakan. Tapi, seiring berjalannya sama Mas Jeje, ini aku ulang terus nggak apa-apa Mas, si kemarahan yang diteruskan tanpa adanya bekal—bisa referensi, bisa membaca buku, bisa menikmati karya—jadinya brutal banget dan hari ini mungkin lirik-lirik Dongker kenapa bisa ditangkap humor atau satir karena kami bungkus dengan bacaan-bacaan yang cenderung lembut.
Soalnya kami bukan tipe yang pantas kalau benci sama orang langsung bilang “Aku benci kamu,” atau “Ayo hancurkan Mulyono.” Kayaknya bukan tipe yang seperti itu, jadi dibalut dengan berbagai hal yang menurut kami nyaman untuk kami nyanyikan.
Tapi dalam proses pembalutan itu, Bagaimana kalian menjaga agar pesan-pesan itu tetap terasa puitis dan tidak berubah menjadi ceramah?
Delpi: Nggak ada pertimbangan sejauh itu, tapi nggak tau ya? Yang penting waktu dinyanyikan tuh nggak bikin kami geli sendiri, gitu.
Kembali ke lintas generasi tadi, beberapa waktu lalu, Dongker baru saja mengadakan gigs di Roblox. Menurut kalian, apakah ruang virtual bisa menggantikan pengalaman spiritual dari pertunjukkan langsung, atau justru membuka kemungkinan baru agar seni bisa menjadi lebih liar dan tak terduga?
Delpi: Pengalaman spiritual orang-orang kan beda-beda, ada di beberapa generasi atau beberapa kelompok. Spiritual tuh jadi hal yang penting buat mereka, misalnya kayak di Jepang tuh ada Hikikomori yang dia mengurung diri di kamar sampai bertahun-tahun. Masyarakat Jepang kan ada yang sampai 10 tahun mereka cuma hidup di dunia virtual dan mengurung diri. Aku rasa sampai bisa sedalem itu pasti mereka merasakan spiritualitas mereka sendiri di dunia mereka.
Jeje: Atau ditolak society.
Delpi: Bisa, karena itu juga akhirnya mereka merasa pendekatan yang spiritual malah ada di dunia virtual. Pasti si spiritualitas ini ada di manapun—termasuk Roblox. Kan dari umur 50 tahun ada yang main Roblox, ada yang masih bocil banget. Pasti mereka merasakan spiritualitas mereka sendiri. Tapi kalau pengalaman teknisnya pasti akan sangat berbeda sih dan itu udah masuk ke preferensi menurutku.
View this post on Instagram
Kalau dari kalian sendiri sebagai penampil?
Delpi: Kalau buat aku sendiri sebatas seru dan akhirnya jadi media baru aja. Soalnya aku, Arno, dan Dzikrie nggak main Roblox sebelumnya. Main Roblox cuma di hari itu aja.
Sekarang pun demonstrasi sampai Aksi Kamisan juga ada di Roblox kan. Mas Je familiar dengan Roblox?
Jeje: Anak saya main.
Mungkin next juga tampil di Roblox?
Jeje: Mau juga, mau juga,
Delpi: Nanti yang anaknya Mas Je.
Arno: Tapi ya, itu udah jadi pengembangan pola pikir manusia. Kan kalau di keilmuan ada seni, sains dan teknologi. Karena ada naluri spiritual tinggi. Manusia kan gitu ya. Spiritualnya tinggi banget, rasa penasaran, rasa takutnya tinggi. Pasti ada yang begini mah nggak bisa ditolak sih, harus disambut dan dikembangkan. Tapi konsekuensinya dunia makin rusak, jika terlalu ngejar-ngejar semua rasa itu.
Lagu “Aku Bosan” terdengar seperti ungkapan jujur dari hati yang lelah. Buat kalian, apakah rasa bosan justru bisa menjadi bagian dari metode dalam berkarya? Seberapa penting kebosanan dalam proses kreatif?
Arno: Bosan tuh selalu ada ketika ada pengulangan, tapi nanti muncul rasa baru. Bosan memang fase—di hubungan pun begitu, di rumah tangga, atau kamu sebagai kamu.
Jeje: Bosan itu mungkin tandanya kita berhenti, merenung, memikirkan apa langkah ke depan yang kita akan ambil. Makanya ada bosan. Kalau nggak jadi repetitif ya mungkin. Penting sekali.
Delpi: Betul. Malas itu juga penting. Kayaknya orang-orang perlu waktu untuk bermalas-malasan juga.
Arno: Tapi kadang orang bertahan atas bosan dan malas karena cinta.
Jeje: Kan malas konotasinya negatif ya. Kalau saya bilang saya mau recharge baterai saya, lebih positif. Tapi artinya sama kan. Healing, me time, sebenarnya semua sama aja. Itu masalah kata.
Terakhir, kalau semua alat musik, cat, dan teknologi diambil dari kalian, apakah kalian masih bisa berkarya? Atau justru akan menemukan bentuk baru yang lebih bebas dan tidak terikat medium?
Jeje: Kami akan menggunakan tubuh kami.
Delpi: Atau memukul-mukul apapun yang ada disekitar sini, kayak Zuzo Zuzo Mas Ruli sabar Primal Kembali ke Primal Mungkin
Satu lagi deh, apa yang bisa kita semua expect dari album kolaborasi kalian? Atau justru jangan di-expect?
Jeje: Jangan, kami bukan pemerintah yang bisa diharapkan.
Delpi: Pemerintah aja nggak bisa diharapkan.
Arno: Agak susah. Yang dilihat semangatnya aja lah, diapresiasi semangatnya.
Delpi: Cara membuat karyanya aja. Karena kalo ngomongin harapan, kadang kami malah kaget sama yang diterima orang.



