
Kinder Bloomen: “Duh, kenapa jadi DJ set mulu, tapi nge-band jarang?”
Kali ini, Kinder Bloomen mengajak kami untuk membahas tentang eksplorasi lore mereka, psychedelic sebagai pemahaman hidup, sampai pendekatan musikal yang tak konvensional.
Words by Whiteboard Journal
Words: Aira Rahajeng & Rajan Nausa
Photo: Agung Hartamurti/Whiteboard Journal
Unit rock/neo-psych asal Jakarta Selatan, Kinder Bloomen, telah membuahi banyak bibir dan menyuntik banyak perhatian di lanskap musik lokal belakangan ini dengan warna suara mereka yang mengawang, bunyi-bunyi yang eksploratif, dan lirik yang kontemplatif.
Dalam perjalanan kali ini, kami menyelami isi kepala para personel Kinder Bloomen—membahas tentang eksplorasi lore, psychedelic sebagai pemahaman hidup, sampai pendekatan musikal yang tak konvensional.
Halo. Salam kenal. Boleh dong kenalan dulu. Satu-satu namanya siapa dan perannya apa di Kinder Bloomen.
Ridzky: Nama gua Rizky. Gua megang gitar sama vokal.
Raka: Gua Raka. Gua main trompet.
Ragil: Gua Ragil. Gua main synthesizer, sama vokal.
Ikhsan: Saya Iksan. Main bass.
Defa: Halo. Gua Defa. Gua megang gitar dan vokal.
Ok. Pertanyaan pertama: Dengan aransemen instrumental yang cukup diverse ini, pernah nggak sih Kinder Bloomen mengalami clash dikarenakan perbedaan antara inspirasi musik? Dan kalau iya, apa yang menjadi middle ground-nya?
Defa: Kalau clash karena inspirasi menurut gua nggak sih. Karena inspirasi kami dari awal udah beda-beda banget. Pun sekarang—ada yang lebih ke pop, ada yang lebih ke mana. Jadi nggak sih. Cuma seinget gua kalau misalnya pun ada clash dalam inspirasi mana yang mau difokuskan, middle ground-nya ya satu pihak yang ngasih—misalnya gua ngasih referensinya gitu, tapi di lagu ini mau menguatkan referensi dari Ikhsan—ya mengalah.
Karena [masih] banyak lagu lain untuk ngasih referensi. Pas kemarin bahas setlist album misalnya, lihat tracklistnya—lagu ini main konconya Kipeng (Ridzky), jadi Kipeng yang nge-lead lagu ini, what he says goes in a way lah. Jadi kalau misalnya clash dari inspirasi nggak sih ya kayaknya—kami cukup fusion, kalau kata Raka.
Ridzky: Kalau gua liatnya lebih ke—dari kami berenam tuh ada roots-roots yang masuk. Misalnya gua sama Defa masuk di hard-rock 60s. Gua sama Raka nyambung di jazz, Ragil juga. Luki sama gua pop-punk. Jadi perbedaan-perbedaan itu ujung-ujungnya ada benang merahnya [juga.]
Defa: Untuk mengatasinya sebenarnya kata-katanya cuma satu sih: kompromi.
Raka: Tapi prinsip kami juga emang rada eksperimental dan eksploratif juga—jadi dari awal udah ada kesadaran itu.
Lagu-lagu dalam maxi single Was It The Wandering Chestnut Prince / Constellation of Misty Contraband (The Tunnel of Zazar) kalian mengalir mulus satu sama lain—kisah atau perjalanan emosional apa yang ingin kalian ciptakan melalui transisi tersebut?
Defa: Dari yang kami sepakati, pas nulis maxi single itu, ada approach baru dalam nulis, in a way—karena kami selalu nulis lagu panjang kan. Jadi tuh lagunya udah panjang, tapi simpler.
Lagu pertama udah kuat, tapi kami masih pengen ada lagu yang lebih instrumental—lebih jamming, lebih panjang dari biasanya.
Cuma, kalau smooth-nya sih sebenarnya kami rekam itu sebagai satu lagu. Decision untuk memisahkannya itu datang setelah porsi kedua lagu kelihatan jelas pemisahannya.
Jadi lagu pertama biar attention span orang yang pendek sekarang bisa lebih dengerin. Terus kalau mereka ternyata haus akan lebih eksplorasi kami, ya lanjutin dengerin.
Raka: Jadi emang waktu itu sebenarnya kami punya rencana rilis maxi single, terus kami udah nemu lagu yang side A-nya itu. Terus kayak: “Wah kami berhasil bikin lagu yang punchy, nih!” Terus “Anjing, bentar lagi, nih! Gimana nih ya? Bikin satu lagu lagi atau dilanjutin aja ya?”
Kayaknya form-nya ketemunya waktu itu saat kami lagi studio session deh, kalau nggak salah.
Emosi yang ingin disampaikan kalau secara syair mungkin dari Defa bisa lebih menambahkan. Tapi, kalau dari gua, sebenarnya itu another“fable”-nya si Kinder Bloomen. Dan di side B-nya itu, kemarin yang gua initiate adalah gotong-royong dalam hal solo.
Jadi kalau diperhatiin dari vokal yang“Za za za,” liriknya Kipeng masuk, abis itu trompet, berlanjut ke Defa, ke Kipeng lagi, terus ke Ragil. Gua pengen bikin kami kayak estafet gitu—ada sendinya.
Defa: Banyak lagu yang kami suka soalnya kayak gitu sih.
Jadi kasih space untuk semua punya peran dalam satu lagu atau gimana?
Defa: Specificially untuk lagu kedua sih. Apalagi Ragil jatuhnya pertama kali solo di situ. Kami kepikirannya: “Kayaknya Ragil tempatnya di sini nih.” Kami taruh di belakang biar orang-orang inget Ragil gitu.
Ragil: Makasih ya.
Raka: Mungkin kalau dari instrumentalnya, kami pengen bikin sensasi yang intense, kayak melodi-melodi—terus di bagian synth-nya Ragil tuh kayak typhoon. “Byurr!” Blown away.
Ridzky: Bener, bener. Sama kami juga kolaborasi sama Techa (Pelteras/Amerta). Jadinya lebih unik aja sih.
Defa: Jadi working title “Wandering Chestnut Prince” tuh tadinya:“Relax.”Karena emang ada lirik:“Relax it and conjure it.”
Every part yang gua nyanyikan itu intinya mau ngasih tau orang untuk santai aja.
Untuk lebih spesifik, di lirik hook yang:“Slightly wounded feeling…” Jujur, bagian lirik itu gua ngomongin tentang [REDACTED].
Ya, specifically mungkin [beberapa orang] dealing untuk relax-nya lewat situ. Makanya yang:“Crucify your mind with slowly melting bones.” As in, you know, badan lu yang udah melentur dan segala macam. Intinya begitu.
Ragil: [REDACTED] yang kami tonton dari YouTube. Kami ngebayang-bayangin aja.
Defa: Nah, betul. Soalnya kami di sini belum pernah. Gua nonton orang ngomongin tentang [REDACTED] di YouTube.
Ragil: “My first [REDACTED] trip.”
Ridzky: Balik lagi, kalau di “Constellation of Misty Contraband” inspirasinya secara emosional kalau tadi ditanya, menurut pandangan gua, apa yang ada di dunia itu—teman, pacar, partner, atau lu namainnya apa terserah—nggak akan selamanya ada.
Keluarga mungkin ada terus kali ya. Tapi ya itu—bisa aja tiba-tiba orang hilang.
Dalam artian: Tuhan menjauhi mereka dari hidup kami untuk kebaikan kami sendiri. In general, yang gua tangkep dan yang gua selalu pikirin adalah: Rejection is protection.
Jadi mungkin sosok orang yang udah nggak ada di hidup lu lagi, ditarik sama Tuhan—ya untuk kebaikan lu. Kalau gua melihatnya dari situ, secara emosional.
Raka: Emang lumayan kontemplatif sih.
Ngomongin soal kisah, lagu-lagu Kinder Bloomen juga memadukan vokal bernyanyi dengan spoken words. Apa yang membuat kalian tertarik untuk memasukkan spoken words ke dalam lirik, dan bagaimana kalian melihat hal itu membentuk suasana atau penceritaan dalam lagu kalian?
Defa: Eksplorasi pertamanya kalau secara teknis itu karena Danang sih—vokalis kami yang lama. Di “Do You Barbarians Speak?” dia semi-rapping, in a way. Karena satu, dia penggemar hip-hop. Dan mungkin kedua, dia lebih pd.
Cuma di situ, Danang berhasil banget memadukan vokal dia yang rada spoken words—despite ada nadanya. Emosinya keluar banget tuh Danang di situ.
Setelah lagu itu, [kami] jadi lebih terbuka aja sih sama [konsep] spoken words—ini di luar ngomongin referensi-referensi spoken words lainnya ya. Karena kalau itu banyak lagi.
Ridzky: Kalau gua sih ngeliatnya—misalnya musik metal atau kayak screamo, itu kan mereka scream tapi ada liriknya. Gua ngeliatnya dari situ. Ada kata-kata yang pengen dikeluarkan, tapi bukan “dinyanyikan.”
Ragil: Jadi bukan kami malas nyari nada ya.
Defa: Cara ekspresi berbeda kan.
Raka: Di luar itu kalau dari segi suara, cocok aja sih—somehow percussive juga. Terus jadi lebih [masuk] ke lore [kami].
Defa: Iya benar. Karena gua sih ngerasa kami kuat di situ. At least, gua sama Raka sering banget ngomong ini—The Lord of the Rings itu referensi gede banget buat gua kalau buat nulis di Kinder Bloomen. Terus kan kalau lore gitu biasanya ada satu karakter yang orasi, entah wizard-nya atau siapa.
Raka: Terus bisa relevan dengan topik apa pun. So far, metode yang paling agile juga sih.


Photo by Agung Hartamurti/Whiteboard Journal

Masih dengan pentang topik storytelling. Storytelling dalam psychedelic rock sering terasa non-linear, hampir seperti kolase. Bagaimana kalian menyeimbangkan kebebasan pendengar untuk menafsirkan makna mereka sendiri dengan tetap menyisipkan kisah yang ingin kalian sampaikan?
Ridzky: Gua sih ngeliatnya biasanya kayak analogi sih. Kami sering nulis lirik-lirik yang beranalogi. Mungkin contoh inspirasinya gua dari Beatles yang sering menganalogikan sesuatu—terserah orang menafsirkannya apa. Tapi jadi ujung-ujungnya kesimpulannya mungkin analogi kali ya dari pertanyaan itu.
Juga menyisipkan kisah yang ingin kalian sampaikan—itu kebebasan masing-masing aja sih.
Defa: Karena kalau psychedelic itself, kalau kami pernah bahas ya, menurut gua dan Raka, sebenarnya psychedelic itu…
Raka: Malas. Maksudnya itu free-form banget kan—Tapi, bukan hanya karena malasnya, emang karena referensi kami beragam juga.
Kalau perihal lirik dan lain-lain, penafsiran audiens itu sangat-sangat di luar kendali kami, tapi at least secara internal kami [tetap] be on something—apa yang mau disampaikan. Makanya penempatan dan musiknya itu menjadi hal yang utama.
Even lirik-lirik dan syair-syair kami itu bisa dibilang sifatnya lebih kayak instrumen dibanding vokal yang kayak: “Ayo nyanyi sama-sama!” Jadi emang “psychedelic” banget.
Defa: Gua selalu memahami psychedelic itu beyond psychedelic rock atau psychedelic music—itu pemahaman hidup menurut gua. Jadi non-linear nya ini, harapan gua setangkep lu aja gimana.
Semua musisi mungkin gitu kali ya. Cuma lirik kami tuh emang lumayan metaphorical. Jadi di luar aransemen—yang juga nggak pernah ada [struktur] verse, chorus, or whatever secara lirik—emang legit open for interpretation.
Kadang-kadang gua nulis lirik yang mengartikan Raka—dengan arti yang lebih bagus dibanding yang gua bayangkan di awal.
Jadi gitu sih, we’re 100% sure we’re not worried about what the song means for everyone else.
Ragil: Ya, bonusnya orang bisa relate juga aja dengan apa yang mereka pahami.
Raka: Kayak “Taxi to The Massala Guy” aja apa artinya, tuh? Tukang rempah?
Defa: Asli. Lagu itu sendiri pun yang nulis ada gua, Raka, Kipeng, Danang. Tapi somehow bisa fit this idea. Di dalam band pun bebas interpretasi.
Tapi dengan adanya label psychedelic ini di kami, enak juga sih—kami bisa ngasal.
Jadi nggak ada burden juga ya?
Ragil: Betul.
Defa: Nggak ada burden, tapi nggak ada yang sing along.
Raka: Belum aja. Tapi emang yang mau kami bawa kebanyakan sensation sih. Kayak: “Aku adalah the wizard…” (“I am the wizard/You are barbarians”) Itu sensasi [penggunaan dua bahasa dalam lirik.]
Mengingat long-time collaboration kalian dengan Nugie Rian dalam dunia visual Kinder Bloomen. Apakah kalian melihat visual ini sebagai cara untuk membimbing imajinasi pendengar, atau lebih sebagai cerminan dari emosi yang sudah ada dalam musik?
Defa: Bimbingan, karena itu yang pertama dilihat. Simple-nya gitu lah ya. Misalnya Dazed (2023) and Confuzed (2023) kan cover-nya udah hitam putih—mestinya orang kalau ngeliat ini akan mikir: “Oh! Ini mungkin lebih dark.”
Visual aids, sih ya. Dengan keabstrakan musik kami ini—walau nggak seabstrak itu mungkin untuk orang-orang yang lebih keren ya. Tapi, dengan visual aids itu kami menambah sensasi sebenarnya, menambah konteks.
Raka: Dengan tema yang kami temukan di tongkrongan kami berenam ini, di-strengthen lagi sama Nugie. Tapi yang menarik sebenarnya adalah Nugie itu dari awal udah fotoin kami. Dari yang kami pilih karena homies, mureh, dan estetikanya cocok, [sekarang] makin lama kalau diperhatiin, setelah Progression II (2022), fotonya menjadi lebih spesifik dalam memberikan satu pesan atau sensasi itu lagi—terutama gua merasakannya di Dazed (2023) and Confuzed (2023).
Defa: Kayak di Progression I (2022) menurut gua lagu-lagunya tuh cukup gersang. Apalagi ada yang “Middle East,” “Serpent’s Voyage,” tema-tema yang dune gitu kan. Cover-nya pun menggambarkan matahari.
Progression II (2022,) kami lebih explore psychedelic yang lebih nge-roots sedikit, lebih fresh—cover-nya juga menunjukkan, “Ini orang-orangnya!” Terus kami pakai kostum. Menurut gua niatnya sih emang biar orang tahu cara menikmati dunia Kinder Bloomen ini.
Raka: Soal Nugie, di luar dari dia dengerin lagu kami, dia juga paham personality kami—itu ke-translate ke visual.
Kinder Bloomen: Thank you, Nugie.

Photo by Nugie Rian
Defa: Oh ya, Nugie itu yang ada baju sama Whiteboard foto Kinder itu, ya?
Ridzky: Ya. Yang hobi padel itu kan, ya? Oh, bukan ya?
Defa: Yes. For the record, dia hobi padel.
Gua tuh awal tahu Kinder Bloomen dari video band competition-nya Vans 2021, dan gua inget banget Denzel Curry sangat enthusiastic saat itu.
Raka: Yoi. Untung dari dia ya keluarnya. Kalau dari YUNGBLUD agak…
Kinder Bloomen: Asli. Denzel Curry supportive banget.
Dia sempat bilang kalau kalian cocok untuk bikin soundtrack film. Jadi, kalau Kinder Bloomen punya kesempatan untuk menggarap soundtrack sebuah film. Menurut kalian genre apa dan kenapa?
Ikhsan: Fantasi cocok deh kayaknya. Kayak Back to the Future (1985) gitu.
Defa: Gua pengennya kayak The Mandalorian (2019) gitu, karena space cowboy cukup sesuai dengan lore kami dan kami suka jamming yang lama. Kami bisa ngisi suara-suara tekstur nya mereka saat di pasir. Kayaknya akan asik banget.
Ragil: Gua jarang nonton film lagi…
Raka: Video TikTok, Gil?
Ragil: Hmm.
Tapi ya, film-film kosmik aja, luar angkasa gitu. Se-simple karena kami suka suara-suara aneh—sesuatu yang nggak pernah kami dengar dan mungkin ada di luar angkasa gitu.
Defa: Lebih pengen game sih—kalau game kan lagunya diulang-ulang mulu, jadi beneran ngebangun ambience-nya gitu. Red Dead Redemption tuh lumayan mimpi kalau [kami] bisa ngisi.
Ragil: Atau The Sims.
Raka: Kalau gua tuh pengen banget video-video skate.
Defa: Oh iya bener. Itu sih. Done deal.
Raka: Gua penasaran banget itu sama sutradaranya—-ditaruh di part mana dan segala macam. Lumayan bersebrangan, tapi nggak juga. Ya, itu keren sih.
Ikhsan: Tony Hawk?
Raka: Tony Hawk boleh, tapi mau yang lebih street lagi lah.
Ragil: Tony Sruntul.
Defa: Si Allah-Las tuh pernah bikin soundtrack buat surf documentary. Semua cutscenes surf pake lagu mereka. Tapi ya sih, kami pernah bahas sama Nugie bahkan—soal ide untuk video skate—cuma belum kepikiran lagi.
Ridzky: Gua tuh suka sports movies yang ngebawa culture di tahun 70-80an, kayak Everybody Wants Some!! (2016).
Defa: Film Joko Anwar boleh juga. Soalnya dia [Ikhsan] mungkin masuk.
Ragil: Luki juga suka banget Joko Anwar—Oh, iya! Belum kenalin drummer kami yang berhalangan hadir karena panggilan dinas, namanya Luki—Dia suka banget film-filmnya Joko Anwar.
Defa: Tapi Luki cocoknya film apa ya? Karena Luki kan cukup soft. Softie dia.
Raka: La La Land (2016.)
Defa: Kurang jago kitanya, Rak.
Di awal perjalanan, kalian sempat mencoba menulis lagu dengan format konvensional—verse–chorus–bridge—namun akhirnya lebih memilih jamming yang mengalir bebas. Apa yang membuat kalian sadar bahwa improvisasi dan jamming lebih mampu menangkap esensi Kinder Bloomen dibanding mengejar struktur pop tradisional?
Ridzky: Karena kami mulai bikin lagu mostly dari jamming sih. Awal-awal tuh selalu asal aja—misalnya Ikhsan mulai dengan bass line mulai, kami ikutin. Atau kalau buat prospek album kayak kemarin banget—ada bass line yang gua suka, Defa langsung colok gitar, nyambungin aja deh.
Defa: Dulu kami sempat nyoba nulis di kertas [struktur verse–chorus–bridge]. Lagunya jadi, dan at retrospect it’s pretty good song. Kami masih suka mainin kadang-kadang. Cuma tetap lebih seru jamming.
Ridzky: Lebih eksploratif aja.
Defa: Apalagi [sekarang] kami ada trompet, ada synth juga. Kalau masing-masing instrumen ini cuma dipakai saat dibutuhkan—di satu bagian lagu yang udah diatur dari awal—kayaknya rada redundant. Sayang-sayang aja resources yang kami punya.
Tapi, despite [our love for] jamming, kadang kami tetap balik ke format bikin [lagu] yang rada jelas. Jadi nggak 100% melepas cara konvensional, lebih ke approach-nya aja yang kami puter kali ya. Kami suka bikin puzzle, biar nggak terlalu restricting.
Ridzky: Iya. Kayak, dulu gua punya chord gitar yang udah gua mainin dari SMA, terus pas pertama kali latihan sama Kinder di UI, gua main-main aja iseng—jadi deh si “Spackle Boy.”
Raka: Cocok-cocokan banget sih sebenernya kalau metode. Karena di luar instrumen yang dipegang, genre, dan background—middle ground-nya [adalah] musik dan bunyi-bunyian, pada akhirnya.
Bukan gaya kami juga untuk saling pitching. Kami berdebat lewat bunyi-bunyian aja langsung.
Tapi, gua nggak deny, bikin musik dengan form konvensional buat kami susah emang. Bahkan, seiring berjalannya waktu, kami baru sadar kayak: “Oh… gini caranya.”
Defa: Tapi “What’s with That?” cukup structured. Jadi [kami] udah mulai-mulai.
Raka: Yang menarik, rilisan yang akan kami rilis dalam jangka waktu dekat akan lebih advance—dalam hal membentuk form yang common, gitu. Emang phases aja sih dan [saat ini] map-nya belum ke-unlock, but someday we’ll get there.
Would you say it’s also like part of the trial and error gitu?
Raka: Parah.
Defa: Dan error-nya pasti lebih banyak.
Mengenai remix compilation kalian, bagaimana perasaan kalian ketika mendengarkan musik kalian dibentuk ulang melalui lensa kreatif orang lain? Apakah rasanya seperti mendengar kembali sebuah memori yang familiar, atau justru menjadi sesuatu yang sepenuhnya baru?
Raka: Kalau dari gua aneh sih, karena dari 9 tracks itu kan beda-beda juga tuh genrenya dari yang kami pakemin. Unik banget—soalnya kayak apa ya, kami juga nggak banyak berkesempatan untuk tau audiens [kami] punya persepsi apa terhadap tracks kami selama ini. Remix ini jadi semacam simulasi dari [sudut pandang] mereka.
Lucu-lucu banget juga—yang NAR tiba-tiba jadi lagu synth-pop gitu, terus Namoy [Budaya] jadi kayak lagu reggae anthem.
Defa: Untuk beberapa waktu, itu [remix Namoy Budaya] jadi lagu nomor satu kami.
Raka: Ada beberapa yang kami expect juga akan seperti apa [remix-nya] tapi most of it lumayan bikin “Wow!” sih.
Terus lucunya lagi, setelah itu, jadi banyak Kinder Bloomen DJ set yang sempat buat kami: “Anjing kenapa DJ set mulu, tapi nge-band jarang.” Cuma ya tetap fun sih. Fun parah.
Defa: Kalau menyambung ke remix lagi, si “What’s with That? ( Love as Punishment Version)” juga habis rilis kan—walau jatuhnya itu rendition, cuma in spirit sama aja dengan remix menurut gua—itu juga keren banget.
Orang bisa reimagine lagu kami tuh sabi banget aja sih. Pun abis ini kami mau bikin remix-an lagi.
Raka: Iya dan dari kemarin tuh range kolaboratornya diverse banget—ada Aditya Permana yang kenamaan banget, Saturn, sampai Vt-00.
Ragil: Itu lumayan nyambung sama pertanyaan yang di awal berarti ya—soal lirik dan interpretasi. Bedanya tadi lebih ke cara audiens mendengar, [kalau ini] yang mendengar juga, tapi dikaryakan lagi—dan itu menyenangkan.
Apakah kalian percaya bahwa ide dan imajinasi lebih kuat daripada instrumen dan teknologi, atau justru sebaliknya—mediumlah yang membentuk arah kreativitas kalian?
Defa: Keduanya valid menurut gua. Gua personally punya limitasi skill. Kalau bermusik sama anak-anak Kinder kan jamming, baru [datang] ide instrumen. Tapi, ada satu titik di mana confidence gua sebagai musisi di Kinder tumbuh—jadi ide yang sekarang bergantung terhadap instrumen. Tapi, sebenarnya dua-duanya sih.
Raka: Ya mungkin dari perasaan juga. Dan kayak, Defa [yang] kebetulan pegang DAW, jadi teknologi dan lain-lain sangat amat berpengaruh [oleh Defa]. Ridzky dengan efeknya. Ragil yang definisi teknologi parah. Ikhsan juga baru-baru ini megang efek. Gua trompet, [tapi] gua nggak punya trompet samsek. Jadi ya, ruang bergerak gua [hanya] ketika udah masuk ke post-audio.
Defa: Intinya kami harus saling percaya.
Raka: Ya, akhirnya balik ke si eksplorasi itu lagi. Mungkin karena kita nggak analog juga ya, jadi lebih bebas.
Defa: Tapi, kalau menjawab pertanyaannya—teknologi yang membantu kami, instead of itu [teknologi] yang nge-trigger [ide]. Eh, tapi sekarang kami selalu nulis lagu full pake AI.
Ragil: Tai. Tai. Tai. Boongan itu.
Defa: Full. Gemini, GPT, WhatsApp.
Alright, let’s jump to the last question: Bagaimana kalian melihat peran komunitas kreatif dalam memperluas ruang dialog, sehingga karya seni tidak hanya menjadi hiburan tetapi juga sarana refleksi dan perubahan sosial?
Defa: Sangat berpengaruh sih, karena sudah terbukti juga oleh sejarah. Dulu, orang yang nggak punya privilege dan akses, cuma punya seni.
Kalau boleh kasih case-study pendek, ada satu lukisan yang gua suka dari Filipina. Jadi, lukisan itu menang saat dibawa ke Spanyol—karena masih under Spanish colonization—untuk annual art competition gitu di tahun 1800-an. Lukisan itu menggambarkan gladiator, yang basically juga form of entertainment [gladiator]—walau orang-orang yang dibunuh nih.
Dia [sang pelukis] bikin lukisan ini untuk menunjukkan kalau orang Filipina ini ditindas sama orang-orang Spanyol.
Kenapa analogi gladiator? Karena orang-orang Filipina [bagi orang-orang Spanyol] cuma entertainment. Lukisan itu menang dan [terjadi] revolusi lah tahun-tahun ke depannya itu—tercetus oleh seni.
Karena sang pelukis ekspresinya hanya bisa lewat lukisan. Jadi penting dan sangat interconnected sih [seni dan perubahan.]
Pun, kita udah banyak banget di Indonesia yang berawal dari underground, bergerak [menjadi sesuatu yang] lebih besar.
Ridzky: Musik, olahraga, agama. Menurut gua, itu yang bisa menyatukan semua manusia. Contoh [lainnya] di Liverpool, kan banyak fans bola dari berbagai club.
Tapi, ketika mereka suka, let’s say, Beatles—mereka semua datang ke stadion untuk nonton bareng. Mereka bergabung untuk menonton sebuah seni.
Defa: Tapi mungkin, kami di psychedelic sekarang masih mencari gimana—meskipun psychedelic music started as counter culture kan. Kayak dulu, para hippies melawan masters of war, whatever. Iya [intinya] bahkan musik yang kami mainin [sekarang] pun adalah bentuk dari perlawanan dulunya.
Gimana San? Lu kan di band punk.
Pokoknya gua nggak mau interview-nya kelar sebelum dia jawab.
Ikhsan: Apa sih pertanyaannya?
Kinder Bloomen: Wah.
—
Merchandise Kinder Bloomen x Nugie Rian bisa dibeli di Tokopedia kami.



