
Milledenials: “Ketika ada masalah, lebih banyak liriknya. Kalau nggak ada masalah, bingung buat liriknya.”
Beberapa waktu sebelum menjalankan tur Eropa dan debutnya di Primavera Pro, kami menyempatkan ngobrol dengan Milledenials tentang peran musik sebagai medium untuk menampung keresahan diri, perubahan skena musik Bali, sampai copet.
Words by Whiteboard Journal
Words: Rajan Nausa
Photos: Agung Hartamurti/Whiteboard Journal
Milenial dan denial. Emo dan shoegaze. Band asal pulau Dewata yang gemar menggabungkan nuansa nostalgia tahun 2000-an dengan keresahan generasi digital ini tak henti-hentinya menarik perhatian. Dengan lirik yang mentah dan penuh refleksi, mereka berhasil menciptakan ruang terapi bersama untuk para pendengarnya. Dari gigs kecil hingga panggung besar, Milledenials seakan mengajak kita untuk merenung sembari melompat.
Di tengah kesibukannya setelah merilis EP dan persiapan tur Eropa mendatang mereka, kami berkesempatan berbincang dengan para personel, Nadya Narita (Vo.), Bagus “Elel” Aditya (Ba.), Made Krisna (Gt./Vo.), dan Billy Sukmono (Gt.) tentang peran musik sebagai medium untuk menampung keresahan dalam diri di tengah kondisi dunia yang semakin absurd, perubahan skena musik Bali, sampai copet.
It’s Terrifying and It’s a Shame—sebuah frasa yang terdengar seperti pengakuan sekaligus pembelaan diri. Apakah judul ini lebih dekat ke fase kolektif band, atau justru refleksi personal masing-masing member terhadap kehidupan belakangan ini?
Made: Sebenarnya lebih ke personal sih. Baru-baru ini buat lagu itu lebih ke keresahan personal, kayak yang nggak bisa diungkapkan. Mediumnya adalah buat lagu dan menulis lirik. Ada banyak hal yang sebenarnya disesali, dan itu lumayan nge-trigger secara personal—itu jadi yang lebih menakutkan. Jadi yang caranya lebih baik adalah dengan membuat lagu.
Elel: Judul EP juga kita rembukin berempat, bolak-balik, abis itu mikir-mikir, ada bait lirik yang nggak kepake, terus “kayaknya ini cocok deh, ini terrifying sih.” Kayak, itu sesuatu yang memalukan dan nggak mau terulang lagi gitu. Jadi itu udah nge-capture empat lagu itu, dan kita sepakat pakai itu.
Berarti banyak momen di mana musik justru menjadi ruang aman buat mengurai hal-hal yang kalian sendiri sulit bicarakan?
Made: Iya, karena di medium apalagi? Ketika ada masalah, lebih banyak liriknya. Kalau nggak ada masalah, bingung buat liriknya.
Elel: Makanya dicari-cari ya masalah… (kalau nggak ada).
Made: Nggak juga dong… Tapi hidup memang selalu ada masalah sih. Iya kan?
Elel: Iya, selalu ada masalah sih. Tapi, nggak usah kita doakan ada masalah ya. Jangan. Buat jadi inspirasi aja.
Jadi, lebih banyak masalah, musik akan lebih bagus hasilnya?
Made: Menurut aku personal ya. Musik lebih oke. Kenapa? Karena di sana kamu lebih real emosinya. Mentah, gitu.
Elel: Sebenarnya di saat hal yang kita bikin itu lebih relate dengan kita, kita menyanyikan itu lebih all out. Jadi kita berharap audiens bener-bener ngerasain juga apa yang kita rasain. Walaupun nggak tau mereka relate apa enggak ya.
Made: Contoh mungkin lagu kita sebelumnya, “Permanent Fling”. Itu kan liriknya dibuat sama Darin, ex-drummer kita. Itu awalnya dari sesi curhat di tempat makan. Aku curhat sama dia, dia meng-capture itu. Akhirnya itu jadi medium juga untuk mengutarakan apa yang kamu ingin keluarkan. Ketika itu diam di tubuhmu, jelek juga rasanya. Kayak mau kencing, kan nggak enak banget ganjel.

Credits: Agung Hartamurti/Whiteboard Journal

Credits: Agung Hartamurti/Whiteboard Journal

Credits: Agung Hartamurti/Whiteboard Journal

Credits: Agung Hartamurti/Whiteboard Journal
Emogaze sering diasosiasikan dengan melankolia, noise, dan kabut distorsi. Apa sisi paling ‘emosional’ atau ‘mentah’ dari proses pembuatan album ini?
Made: Ingetin masalah, berimajinasi, mengingat hal yang ingin dibicarakan. Itu menurut aku yang paling emosional sih. Kemudian menulisnya. Biasanya kita liriknya dulu, baru ada musik gitu. Jadi paling mentah adalah ya menulisnya. Dan rasakan hal itu.
Elel: Tapi sebenarnya di It’s Terrifying and It’s a Shame, awalnya kita tuh sedang menelaah masalah-masalah yang lalu. Kita mencari apa yang mungkin bisa kita capture disini. Pelan-pelan akhirnya ada sesuatu yang terjadi di momentum saat kita bikin musiknya, gitu. Jadi lebih emosional akhirnya. Padahal, awalnya emosinya kan belum terlalu dapat tuh, tapi di saat di perjalanan kita bikin EP, ada momen yang relate lagi tuh dengan masalah itu. Jadi lebih lebih punchy rasanya.
Salah satu yang menarik dari lagu-lagu kalian, walaupun datangnya dari masalah personal, ada rasa keterhubungan dengan emosi kolektif anak-anak muda saat ini. Kalian pernah ngerasa nggak kalau Milledenials tuh bukan cuma band, tapi juga ruang terapi bersama?
Made: Kita nggak pernah expect itu. Cuma kalau itu hal yang baik, kita bersyukur banget. Bisa membantu juga buat orang-orang.
Bill: Mungkin hal yang paling real bisa kita lihat ketika perform. Kita bisa melihat ekspresi dari penonton itu genuine gitu, loh. Mungkin bagi beberapa orang itu bentuk terapi mereka sih, untuk release the emotions.
Made: I think masalah itu pasti ada. Dan setiap masalah itu menurut aku nggak baru. Selalu ada dan selalu kita rasakan—kayak sakit hati. Siapa sih yang nggak ngerasain sakit hati?
Elel: Nah, balik lagi kalau tadi kamu bilangnya ruang terapi bersama, kayak yang dibilang sama Made, masalah kita mirip-mirip semua sih sebenarnya. Itu mungkin yang buat beberapa orang kecantol.
Ngomong-ngomong soal masalah, banyak sekarang yang bicara soal burnout sampai productivity fetish. Di tengah promosi mini album dan jadwal yang padat ini, pernahkah kalian ngerasa harus terus ‘produktif’, dan gimana kalian melawan dorongan untuk terus tampil ‘baik di depan layar’?
Made: Bagi tugas dan istirahat, kalau emang udah capek. Karena kalau kita paksakan terus menerus, kita bakal stuck.
Bill: Tapi kita sempat overthinking juga. Sering banget sih. Mungkin dari beberapa lagu kita tuh justru dapat hasilnya bukan dari proses yang terlalu panjang. Jadi kita-
Made: Lucunya, setiap kali kita overthink, misal dalam buat lagu deh, ”aduh bingung buat lagu, nggak cocok”. Tapi ketika kita udah dapat [ide], 5 menit doang jadi. [Kalau nggak ada] kadang-kadang cuma ngumpul, main PS.
Bill: Justru yang mikir panjang tuh malah nggak jadi ya. Jadi kadang-kadang emang perlu take a break.
Nadya: Jadi kadang cara kita tuh sekadar ngumpul di rumah Made doang sih. Tanpa tujuan atau sekadar jamming-jamming aja. Karena kalau sesuatu itu sudah ditargetin, malah nggak jadi apa-apa. Karena ada tekanan, kan.
Made: Tetap harus ada target, untuk sebuah produk gitu kan. Tapi tetap, kita jangan lupa untuk beristirahat juga. Dan mungkin mengambil hal lain juga. Sesuatu yang baru. Misalnya kayak Nadya ada crochet. Banyak hal lain selain kerjaan.
Saat ini juga lagi banyak banget musisi yang berani speak up. Entah itu tentang masalah lingkungan, politik, sampai kepincangan dalam industri. Apakah ada hal di luar musik yang sedang kalian amati atau pikirkan akhir-akhir ini dan mulai masuk ke dalam karyamu?
Made: Untuk saat ini sih belum ya. Tapi, sempat kepikiran dan lumayan resah juga—kayak kondisi Bali sekarang, gimana manusianya. Kadang susah juga untuk kita sebutin. Ada banyak hal dari luar diri kita yang kita resahkan juga. Mungkin itu bisa jadi lagu juga, tapi we’ll see.
Bill: Kita mostly lebih mengulik dari psikologi, kayak EP pertama kita dari teori 5 stages of grief. Itu kami olah ke musik. Mungkin banyaknya dari hal-hal personal.
Elel: Kalau di luar itu kita belum berani untuk bertanggung jawab dengan hal-hal lain seperti itu ya. Untuk kapasitas itu belum bisa sih. Jadi kita cuma berusaha merefleksikan dari perasaan.
Made: Tentang manusia lah. Dan mungkin men-judge orang…

Credits: Agung Hartamurti/Whiteboard Journal

Credits: Agung Hartamurti/Whiteboard Journal

Credits: Agung Hartamurti/Whiteboard Journal

Credits: Agung Hartamurti/Whiteboard Journal
Sebagai band asal Bali, kalian tumbuh di ruang yang kental akan simbol dan spiritualitas, tapi juga dekat dengan arus wisata global dan komodifikasi budaya. Bagaimana kalian menavigasi identitas ini dalam bermusik?
Elel: Kalau hal itu sih kayaknya kita nggak terlalu melekatkan dalam band, tapi kita melekatkan itu secara personal aja sih.
Bill: Itu kayak hal-hal yang berbeda gitu. Apalagi Bali juga sempat jadi titik temu dari budaya-budaya yang lain kan.
Bali juga tadinya kan khas dengan rockabilly dan melodic punk ya. Dari sudut pandang kalian sendiri, bagaimana perkembangan skena musik Bali saat ini?
Bill: Kalau dari 2000-an tuh, kami masih SD—mungkin aku pribadi tuh sangat ter-influence dari band-band seperti Superman Is Dead dan band-band underground di Bali yang banyak banget. Mungkin di Bali, pasca 2010-an tuh, progresifnya lumayan tidak melulu tentang punk rock atau rockabilly sih.
Nadya: Lebih berwarna lah.
Bill: Dan sebenarnya era COVID ini cukup melahirkan gelombang-gelombang kejut untuk band-band baru ya. Karena emang era COVID itu, kita berhenti semua, nggak ada kegiatan apa pun. Jadi kita memikirkan kegiatan yang lain, termasuk untuk Milledenials.
Kalau Milledenials sendiri dalam memposisikan band kalian dalam narasi musik Bali saat ini itu gimana?
Bill: Kita bisa dibilang salah satu first-wave-after-COVID-era, walau mungkin ada beberapa band-band serupa juga.
Nadya: Sebenarnya aku liat di Bali pun penggiat musik yang baru itu ada cukup banyak sih band-band baru. Dari segi musikalitas tuh sebenarnya bagus banget. Cuma aku rasa ada beberapa hal yang mereka itu belum paham—kayak pentingnya kita harus ngirim press release. Kepekaan itu kita dapatin dulu dari Darin. Dia cukup paham tuh hal-hal itu. Makanya mungkin kita at least terdengar juga di luar dan media pun cukup banyak yang melihat kita.
Milledenials akan tampil di Primavera a la Ciutat pada 6 Juni 2025. Gimana reaksi kalian pertama kali saat dapat kabar besar ini? Apakah ini masuk ke momen terrifying?
Made: Satu-satunya kali ya? Shick shack shock. Pastinya seneng banget karena kita bisa nge-band [di festival yang sama] dengan band favorit kita. Terrifying-nya apa? Copet. Waktu aku bilang ke orang tuaku kalau aku bakal manggung di luar, mereka of course bilang selamat. Tapi mereka langsung kirim aku Reels betapa bahayanya pencopetan di sana. Terus cuaca juga ya, kan berbeda banget. Bahkan dari Bali ke Jakarta pun berbeda. Fisik harus prima juga. Harus prima untuk Primavera.
Elel: Nice tagline.
Tur Eropa kalian mencakup venue-venue alternatif sampai festival besar. Apa tantangan dan rencana kalian dalam menyusun setlist atau penampilan agar bisa tetap autentik namun relevan dengan selera penonton global?
Bill: Mungkin nggak ada terlalu mengubah. Tetap dengan hal yang kita biasa lakuin, biar kita mainnya juga seneng aja.
Nadya: Yang penting kita nyaman sih.
Made: Kalo nyaman kan keliatan. Masa manggung liat ke atas gitu.
Bill: Roofgaze dong.
Tour bisa menjadi sangat intens secara emosional dan fisik. Apa rencana atau peran masing-masing personel dalam menjaga dinamika band tetap sehat?
Nadya: Saling ngelengkapin sih kita ya. Jadi tempat menampung curhatan satu sama lain, biar secara emosional kita sehat. Misalnya Made berantem sama pacarnya, curhat sama Elel. Aku juga ada masalah, curhat sama mereka. Terus sekedar Made nanya “Nad, udah nge-gym belum?” atau “dikit-dikit ngepodsnya.”
Elel: Jaga diri dan saling jaga.
Made: Masa ada copet ditonton doang…
Setelah tur ini selesai, apa yang kalian ingin lakukan—both personally and as a band?
Bill: Aku langsung cari makanan Indonesia.
Nadya: Masas!
Bill: Main sama anjing!
Made: Pasti nggak ngobrol sama mereka sih. Off dulu sementara. Biasa sih seperti itu.
Bill: Bales dendam apa yang nggak bisa dilakuin saat tur.