Sebut Musisi “Sok Berhak”, Pencetus Spotify Perdebatkan Royalti Rendah Dimuka Umum

Music
07.07.21

Sebut Musisi “Sok Berhak”, Pencetus Spotify Perdebatkan Royalti Rendah Dimuka Umum

Mantan eksekutif Spotify, Jim Anderson, mengatakan bahwa semua musisi merasa sok berhak akan pendapatan royalti.

by Whiteboard Journal

 

Teks dan Cover: Shadia Kansha

Selama pandemi ini, banyak musisi yang harus berlapang dada karena sepi panggung. Banyak yang memutar otak agar tetap dapat makan dari hasil bermusik. Salah satu yang mereka andalkan adalah penghasilan dari digital streaming platform seperti Spotify, Apple Music, Joox, dsb. Namun itu pun juga sangat bergantung pada kinerja lagu. Semakin banyak diputar, semakin banyak juga royalti yang diterima oleh para musisi. 

Akhir-akhir ini, hal tersebut dibahas bersamaan dengan isu kecilnya royalti per putaran lagu (royalty per stream). Bayangkan, untuk setiap satu putaran lagu di Spotify, royalti yang diterima musisi kurang lebih sekitar USD$0,003 hingga USD$0,005 per putaran lagu. Itupun tergantung pada tier tiap musisi (diukur berdasarkan popularitas musisi) dan negara dimana musik diputar (dihargai sesuai dengan market rate tiap negara). Bagi lagu-lagu yang banjir stream mungkin tetap dapat meraup untung. Namun bagi musisi-musisi yang harus berjuang keras untuk memasarkan lagunya, mereka kerap terpaksa memupuk kerugian.

Isu tersebut pernah diperdebatkan di muka umum. Salah satu pencipta dan mantan eksekutif Spotify, Jim Anderson, hadir di SyncSummit New York sebagai bintang wawancara utama. Ashley Jana, seorang musisi yang hadir dalam acara tersebut menanyakan apakah Spotify akan mempertimbangkan untuk merubah pendapatan royalti mereka dari USD$0,003 menjadi USD$0,01 per putaran lagu. Namun, alih-alih mendapatkan jawaban, Ashley malah dibilang sok merasa berhak (entitled).

Jim mempertegas bahwa Spotify tidak pernah dibuat dengan maksud memberikan musisi uang. Spotify dibuat untuk memberantas pembajakan. Memang benar, akibat kehadiran Napster pada tahun 2003, budaya pembajakan merajai dunia dan sempat meruntuhkan industri musik untuk beberapa saat. Keberadaan streaming platform seakan menantang para pendengar: Mengapa harus lakukan sesuatu yang ilegal jika bisa mendengarkan musik legal dengan murah? Itulah mengapa Spotify dan digital streaming platform lainnya mampu menekan angka pembajakan secara signifikan. Jim merasa bahwa tujuannya telah tercapai dengan baik. Pendapatan musisi bukan urusannya.

Ashley Jana, yang tidak terima dengan pernyataan Jim yang mengatakan musisi seperti dirinya merasa sok berhak (entitled), mendebat Jim dengan mengatakan bahwa norma nya dari dulu adalah musisi dapat mendapatkan uang dari lagu yang mereka hasilkan dengan kerja keras. Sekarang, kesannya seakan-akan musisi memberikan lagunya secara cuma-cuma. Jadi, jika Jim mengatakan bahwa musisi mereka sok berhak karena meminta lebih, Ashley mendebat dengan mengatakan bahwa selama ini musisi mendapatkan jauh lebih sedikit daripada pendapatan musisi jaman dulu. Jadi mereka bukan meminta lebih, mereka hanya meminta agar hak mereka dikembalikan sebagaimana norma yang ada.

Isu ini tentunya pelik untuk dibahas. Musisi memerlukan Spotify guna mendistribusikan hasil karya mereka. Spotify juga membutuhkan musisi untuk mengisi koleksi lagu dalam platform mereka. Sehingga, sebetulnya mereka saling membutuhkan. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah mungkin Spotify dan musisi menemukan solusi agar kedua belah pihak nyaman? whiteboardjournal, logo