Perjalanan Marlina Mencari Keadilan

Film
16.11.17

Perjalanan Marlina Mencari Keadilan

Film “Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak” menjadi sebuah suguhan tidak biasa dalam perfilman Indonesia di tahun 2017. Menceritakan kekerasan yang terjadi di daerah terpencil dan jauh dari akses hukum, Mouly Surya selaku sutradara menunjukkan kepiawaiannya dalam bercerita melalui visual menggugah.

by Febrina Anindita

 

Teks: Ibrahim Soetomo
Foto: Medium.com

Di daratan Sumba yang luas dan terik, Marlina tinggal seorang diri. Di suatu siang, ia didatangi oleh bos perampok Markus yang berniat menjarah ternaknya dan memerkosanya. Saat sisa perampok datang di malam harinya, empat mati diracuni dan Markus mati dipenggal. Keesokan harinya, Marlina berniat untuk melaporkan tragedinya, sembari membawa kepala Markus yang pucat kehabisan darah, di sinilah perjalanannya dimulai.

Film “Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak” menjadi sebuah suguhan tidak biasa dalam perfilman Indonesia di tahun 2017. Menceritakan kekerasan yang terjadi di daerah terpencil dan jauh dari akses hukum, Mouly Surya selaku sutradara menunjukkan kepiawaiannya dalam bercerita melalui visual menggugah. Tragedi menjadi jalan cerita yang menggiring Marlina untuk berkelana jauh seorang diri, dan tentunya ditemukan dengan kenyataan bahwa ketidakadilan menjadi solusi dari perkaranya. Jika bisa disimpulkan dalam satu kata, cerita film ini miris.

Isu perempuan jelas menonjol. Tokoh-tokoh perempuan digambarkan sebagai korban kekerasan yang mau tak mau harus menuntut haknya sendiri, karena para lelakinya entah menjadi pelaku kekerasan, atau cenderung acuh terhadap kasus yang menimpa mereka. Sehingga, ketidakadilan adalah hal yang justru mendorong para perempuan untuk bergerak secara independen. Inilah yang menjadi kekuatan dari film ini.

Kekuatan lain terletak pada music scoring oleh Zeke Khaseli dan Yudhi Arfani yang memiliki nuansa western, identik dengan dataran terpencil yang luas dan panas. Dipadukan dengan kelokalan Sumba, scoring film ini menambah presentasi yang menarik. Jika musik western erat dengan renungan-renungan pelantunnya, hal ini sangat cocok jika dikaitkan dengan Marlina yang cenderung memendam perasaannya, terutama di babak kedua film saat Marlina berkelana sendirian dan dihantui oleh sosok Markus yang tanpa kepala.

Tak bisa dipungkiri, ada nuansa eksotisme di sini. Bukan berarti untuk menonjolkan keindahan Sumba semata, tapi juga mengajak kita untuk melihat sisi lain di Indonesia, sehingga mau tidak mau porsi eksotismenya harus muncul. Hal yang menarik adalah Mouly tidak lantas terjebak oleh eksotisme ini, ia justru memanfaatkannya untuk memperkaya segi estetis film.

Perlu dicatat bagaimana isu-isu vital dalam film ini dibalut dengan cerita yang segar. Isu keperempuanan dan ketidakadilan dipoles secara halus melalui humor gelap untuk disampaikan melalui film berformat bioskop. Hal yang berbeda akan terjadi jika film diarahkan dengan pendekatan arthouse yang terbatas pada penayangan-penayangan independen. Masih ada potensi yang bisa digali lebih dari film ini, tapi yang jelas “Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak” merupakan pilihan yang tepat bagi mereka yang mencari film alternatif di bioskop.whiteboardjournal, logo

Tags