Gitar Jazz bersama Agam Hamzah

22.07.15

Gitar Jazz bersama Agam Hamzah

Ken Jenie (K) berbincang dengan musisi gitar Agam Hamzah (A).

by Ken Jenie

 

K

Mas Agam mulai bermain musik kenapa?

A

Karena senang saja. Dari kecil saya senang musik – dari sekitar kelas 5 atau 6 SD. Ketertarikan saya boleh dibilang dari rumah dan teman. Lucu ceritanya – dulu saya punya teman, orang Batak, dan rekreasinya bermain gitar. Kita bersama belajar bela diri Karate. Dia bisa bermain gitar, dan saya bisa berenang. Dia mengajar saya bermain gitar, dan saya mengajar dia berenang – dan sekarang dia menjadi sarjana olah raga, dan saya menjadi musisi (ketawa).

K

Apakah mas Agam bisa bercerita tentang saat mas Agam mau menjadi musisi profesional?

A

Saya berpikir mulai SMA. Saya belajar dengan Donny Suhendra, dia mentor saya untuk gitar modern. Setelah saya selesai belajar dengan dia, saya berpikir untuk menjadi musisi. Waktu itu Donny belajar seni rupa di ITB. Waktu itu, banyak sekali musisi yang belajar di seni rupa ITB – Fariz RM, almarhum Gito Rollies, Riza Arshad.

K

Di wawancara Music Central, mas Agam bercerita tentang belajar musik dari musisi lokal. Boleh cerita mas Agam belajar dengan siapa dan apa yang dipelajari?

A

Guru saya yang pertama itu waktu SD teman saya yang bisa berenang, nama panggilannya Ucok. Waktu SMP saya belajar dari multi-instrumentalist jazz bernama Bambang Sumarsongko, dia seangkatan dengan Eddy Karamoy. Dari dia saya belajar gitar dan bass, pak Bambang bisa segala macam instrumen. Waktu SMA saya belajar gitar modern dari Donny Suhendra, waktu saya dengan pak Bambang saya belajar yang lebih mainstream.

K

Waktu belajar dengan mentor-mentor mas Agam, pelajarannya seperti apa?

A

Seperti les dan kursus saja ya, belajar di suasana semi-formal. Setelah itu saya juga belajar dari orang-orang yang lebih cenderung ke akademis di suasana semi-formal juga.

K

Mas Agam pernah mendapat edukasi musik secara formal?

A

Tidak pernah, tapi saya pernah menjadi dosen – aneh kan (ketawa). Waktu itu UNPAS (Universitas Pasundan) membuka fakultas musik, yang menjadi ketua fakultas juga mentor saya, Harry Roesli. Saya sempat belajar dengan almarhum Harry Roesli, dia mengajar saya teori musik – pertama kali saya belajar musik di luar bermain instrumen.

K

Mas Agam juga seorang edukator. Menurut mas Agam sepenting apa edukasi formal untuk belajar musik?

A

Edukasi formal membantu perkembangan kreatifitas dan melebarkan apresiasi di masyarakat. Lewat edukasi kita bisa mengsosialisasikan seni-seni yang di luar industri. Kreatifitas, apresiasi, dan imajinasi bisa lebih berkembang di tempat pendidikan. Saya sendiri merasa edukasi formal di perguruan tinggi, dan yang saya observasi adalah sikap kita terhadap musik yang lebih kuat dan total. Memang itu tempatnya untuk memperkembang kreatifitas.

K

Menurut mas Agam, apresiasi seni dan musik seperti apa di Indonesia sekarang ini?

A

Setelah 15 tahun mengajar, saya rasa perkembangannya cukup bagus. 5 tahun setelah saya mengajar ada jazz festival Java Jazz, dan efek setelahnya adalah permunculan banyak festival jazz di Indonesia – ada di gunung, di pantai, di hutan – dan acara-acara ini cukup bisa menggantikan tempat-tempat konser musik jazz di luar club jazz, yang tidak pernah berhasil di Indonesia.

K

Club jazz selalu tutup ya?

A

Selalu tutup, selalu rugi karena basic culture-nya sangat tidak cocok dengan budaya kita.

K

Di Indonesia bukan budaya minum.

A

Basic-nya club jazz memang alkohol, susah sekali disini. Rata-rata club jazz hidup dari penjualan alkohol, sementara di Indonesia, alkohol banyakan untuk dugem. Kalau buat jazz – sudah musiknya rumit, minum juga, jadi semakin susah di terima (ketawa).

Cukup kreatif juga teman-teman kita membuat jalan keluar untuk kepentingan pementasan, seperti saya lihat di BSD beberapa teman membuat acara Jajan Jazz. Dia bikin acaranya di mal setiap minggu, dan sudah berjalan sepuluh tahun sekarang. Acaranya tidak berkompromi kualitas musiknya supaya bisa laku. Jazz-kan sifat musiknya eksploratif, dan di Jajan Jazz pembuat acaranya menuntut musiknya seperti itu. Jika acara ini bisa menjadi sebagai acuan untuk alternatifnya club jazz yang susah hidup, model acara seperti ini bisa menjadi contoh yang baik untuk perkembangan pementasan karena ini sesuai dengan budaya kita.

Saya rasa response acara ini lumayan positif. Ada beberapa orang yang berkata “aduh, kok musisi sehebat Oele Pattiselano main di mal sih?” Tapi kenapa tidak? Di lingkungan mal orang-orang bisa membawa anak-anak, bisa bersantai. Tempat seperti mal lebih cocok dengan orang-orang kita.

K

Di beberapa artikel mas Agam juga berkata bahwa jazz adalah jenis musik yang Mas Agam tertarik sejak kecil. Bisa bercerita kenapa?

A

Ada dua musik yang berhubungan dengan gitar menurut saya menarik: klasik dan jazz. Saya tertarik dengan jazz karena pemain jazz bisa mengiringi orang bernyanyi, dan memang keluarga saya senang mendengar musik jazz jika sedang bersantai-santai. Akordnya juga menarik sekali di jazz. Jazz sangat terkenal dengan harmoni- harmoninya, elemen ini yang membuat lagu apa saja bisa di menjadi ‘jazz.’ Itu sesungguhnya yang membuat saya tertarik dengan musik ini.

K

Awal-awal mendengar musik jazz, apa saja yang mas Agam dengarkan?

A

Awal-awal saya mendengar jazz Indonesia. Saya mendengar Jack Lesmana, Bubi Chen, dan lain-lain. Menurut saya, perkembangan jazz lokal itu sangat diperlukan karena di luar Jakarta, figur lokal itu penting sekali. Figur lokal lebih mudah untuk dikenal dan diapresiasi, ketimbang pemain-pemain luar yang sangat hebat. Yang menjadi seorang ‘icon’ adalah orang Indonesia sendiri, dan penting sekali ada gerakan kreatif di Indonesia. Meskipun mungkin kita belum sehebat orang Amerika, tapi yang paling utama adalah untuk orang kita sendiri.

K

Apakah pernah ada ‘Golden Era’ di jazz Indonesia?

A

Kalau di bilang ‘Golden’ mungkin tidak ada. Kalau di lihat istilah ‘Golden Era’-kan acuannya jaman Duke Ellington dimana dia menjadi superstar dan bisa kayaraya dari musik jazz.

K

Mungkin Golden Era dimana ada figur-figur di Indonesia yang ikonis muncul di saat yang sama?

A

Saya lihat seperti sekarang siapa? Yang murni jazz itu tidak ada. Musisi-musisi harus berkompromi supaya bisa populer. Sedahsyat permainan Indra Lesmana, dia tetap membuat arrangement pop untuk mengiringi artis, Dewa Budjana bersama Gigi – semuanya bekerja dengan cara ini di jaman saya. Om Jack Lesmana bermain jazz murni, tetapi saya rasa dia tidak mengalami Golden Era – dia masih dalam pergerakan survival untuk bisa hidup dari musik jazz.

K

Menurut mas Agam mengapa musisi-musisi tidak bisa hidup dari musik jazz?

A

Saya tidak tahu apakah di Eropa saja pernah melewati era dimana musisi jazz bisa hidup layaknya seorang bintang pop – saya tidak tahu. Yang saya tahu hanya di Amerika, dimana saat Duke Ellington musik jazz diakui setara dengan musik klasik. Di saat itu banyak muncul komposer-komposer jazz.

K

Itu era dimana musik jazz masuk ke ranah mainstream Amerika ya?

A

Iya. Di Eropa waktu itu ada Django Reindhart, dan dia baru dikenal setelah di angkat oleh Duke Ellington.

K

Sekarang ini, di Amerika jazz sudah mulai balik ke musik mainstream melewati musisi seperti Kendrick Lamar, yang musiknya di bantu susun oleh musisi-musisi jazz. Apakah mas Agam bisa melihat ini terjadi di musik Indonesia?

A

Bisa aja sih. Kang Harry Roesli pernah berkata, idealnya musisi bisa hidup satu kaki di industri dan satu kaki di musik idealis, dan satu-satunya yang melakukan ini adalah Dewa Budjana menurut saya. Sejalan dengan pendidikan musik di Indonesia, banyak teman-teman lulusan sekolah yang menyebur ke industri seperti Aksan Sjuman, Dwiki Dharmawan, Indra Lesmana. Kalau di Indonesia segala macam memungkinkan (ketawa), tetapi tidak menjadi fenomena yang ramai seperti di Amerika. Contohnya musisi-musisi yang membantu Eric Clapton adalah musisi jazz akhir-akhir ini.

K

Sepertinya memang banyak musisi jazz yang mengiringi musisi pop ya?

A

Betul. Miles Davis pernah berbicara bahwa harmoni jazz akan mempengaruhi industri dengan pekat, dan ini telah terjadi.

K

Apakah di Indonesia musik jazz bisa masuk ke dunia industri sebagai fenomena pop culture?

A

Kalau sampai gejala fenomena yang besar, saya rasa mungkin tidak. Lebih memungkinkan akan terjadi trend di segmen-segmen tertentu.

K

Mas Agam di anggap oleh berbagai orang dan publikasi sebagai “Master Guitar Player.” Bagaimana mas Agam bisa mengembang skillnya sampai mendapat julukan ini?

A

Tidak terlepas jasa dari orang-orang yang mengajar saya. Saya dan Dewa Budjana setuju bahwa orang pertama yang bermain musik jazz dengan konsep modern adalah Donny Suhendra, yang belajar sendiri untuk mencapai hasil konsepnya, dan saya beruntung sekali dasar permainan saya dibentuk oleh dia dengan perspektif modern. Bisa dibilang bahwa Donny itu sangat berjasa mengajar teman-teman musisi jazz.

Saya selalu mencari lingkungan yang mendukung perkembangan keinginan musik saya. Saya selalu mencari orang yang paling nggak bisa di ajak membuat musik bareng. Saya bertemu dengan musisi yang baru belajar dari luar negeri, Eet Sjahrani. Dia membawa banyak kejutan – oleh-oleh dari luar negerinya boleh juga tu (ketawa). Dia sangat aplikatif, cara dia bermain rock modern sangat diminati di industri Indonesia saat itu. Bang Fariz RM memakai dia, God Bless, Yockie Saputra, dan lain lain. Nggak lama, orang Malaysia juga memakai dia. Lagu-lagu rock jaman dulu, “hard rock melayu,” mengambil sound gitarnya dari Eet. Meskipun tidak ada ulasan secara resmi, saya merasakan sekali pengaruhnya.

Intinya harus selalu tertarik dan peduli kepada hal-hal yang progresif, hanya dengan cara itu saya pikir bisa mengembangkan skill.

K

Dan latihan yang banyak.

A

Yah, latihan itu pasti. Tapi latihan teknik itu harus efektif. Artinya dalam latihan teknik, mau di kembangkan di musik apa? Kalau kita latihan terus tapi tanpa arah buat apa?

K

Mas Agam memulai dengan bermain musik jazz, tetapi juga mengapresiasi musik Rock. Bagaimana mas Agam bisa mulai mendalami musik rock?

A

Itu lucu ceritanya. Saya memang dulu tidak suka musik rock. Saya berpikir “ini orang main musik atau apa?” saat mendengar Jimmy Hendrix dan lain lain (ketawa). Begitu saya mulai bergaul dengan musisi-musisi dan saya mencari nafkah, otomatis saya harus juga punya repertoire rock untuk dibawa manggung. Saya rasa musiknya gampang, tetapi pas saya mencoba bermain rock ternyata tidak segampang yang saya pikir. Ada teman saya, Hari Mukti, yang sekarang menjadi ustad, dia mengajar saya mengenai jiwa musik rock. Dia berkata bahwa permainan rock saya terlalu sopan (ketawa). Setelah itu saya banyak bergaul dengan teman-teman rock, dan yang paling membuat otak saya berputar adalah Eet Sjahrani. Dia membuat saya tambah senang dengan rock dengan cara permainan dia.

Ternyata visualisasi itu penting sekali untuk kita bisa mengerti suatu visi seni. Mungkin kalau saya lahir di Amerika dan melihat Jimmy Hendrix langsung saya juga akan tergila-gila dengan musik rock.

Kebetulan juga di jaman saya aliran jazz-rock sudah mapan. Waktu saya SMA sudah ada John Mglaughlin, Allan Holdsworth, dan lain-lain, yang menjembatani kegemaran saya terhadap musik jazz dan musik rock.

K

Sebagai pengajar, menurut observasi mas Agam sikap pelajar terhadap musik seperti apa?

A

Macam-macam. Saya bisa dibilang akan melayani apa saja keperluan murid-murid, saya tidak tega menolak murid. Pernah ada murid yang datang, dia kerja sebagai mandor pekerja bangunan dan ingin belajar musik. Dia tidak punya gitar, saya bilang ke dia harus punya gitar dulu, dan dia berkata dia akan beli gitar – gampang lah. Saya berkata ke dia bahwa disini belajar musik jazz, dan dia berkata “musik jazz itu seperti apa ya?” Dia hanya tahu musik seperti Wali dan Ungu. Pencet gitar tidak bisa, tapi saya tidak bisa tolak. Saya mengajarnya ‘fingering’ dan masih berantakan. Untungnya ada Youtube, kita memasang Youtube dan belajar dari situ, dan kita berdua senang.

Selama 15 tahun mengajar, murid saya ada yang sudah menjadi selebritis seperti Iman dan Sonny dari JRocks, ada yang menjadi pemain profesional seperti pengiring Tompi, ada menjadi guru, dan ada yang seperti pekerja bangunan yang saya ceritakan tadi. Saya tidak mungkin menolak, saya terharu dengan apresiasi dan keinginan untuk belajar bermusik. Mudah-mudahan dengan belajar, orang akan apresiasi musik yang bagus.

Saya menyadari bahwa kehadiran sebuah jenis musik itu perlu. Saya waktu kecil senang sekali dengan Koes Plus, meskipun teman-teman yang bermain progresif rock dan jazz suka meledek musik-musik itu. Tetapi, sebelum kita semua mendengar musik seperti jazz dan progresif, pasti kita belajar dengan mendengar musik yang lebih ringan. Apalagi dengan gitar, yang secara tradisional adalah alat pengiring.

K

Karakter jazz Indonesia itu apa, mas Agam?

A

Saya kalau membandingi perkembangan disini dan di Asia Tenggara, secara kuantitas dan kualitas Indonesia bisa dibilang cukup unggul di musik jazz – berapa kali saya manggung di tempat-tempat itu musik kita di hargai dengan bagus.

Kalau secara warna, saya rasa sekarang sudah cukup beragam dan mempunyai karakter. Dan juga militansinya luar biasa. Tidak ada produser jazz di Indonesia, dan musisi-musisi memproduce karya sendiri. Gila-gilaan dan sangat indie pergerakannya di sini. Ada juga DeMajors yang cukup membantu untuk pendistribusian.

K

Apakah ada karakter di musik jazz yang bisa dibilang Indonesia sekali?

A

Ada, tetapi susah diceritain, harus di dengar. Saya pernah bikin musik dengan orang Aceh bernama Rafly WaSaja, dia seorang vokalis yang hebat dan karismatik sekali. Tetapi kalau ngomongin Indonesia, dia tidak masuk ke dalam musik Indonesia yang lebih dikenal, yaitu musik gamelan. Ini sesuatu yang harus dimengerti, bahwa gamelan itu hanya ada di Jawa, Sunda, dan Bali, dan di tempat-tempat lain tidak ada gamelan.

Banyakan orang kalau membahas musik Indonesia akan berusaha menonjolkan unsur-unsur etnik gamelan. Saya mendapatkan yang lain dari Rafly, dengan spirit yang sama dengan pemain jazz dan rock – spontanitas. Kita sempat sering mengolah musik bareng, sekarang ini dia sibuk menjadi anggota legislatif.

Saya sendiri sedang tertarik dengan musik-musik etnik, terutama Sunda, Jawa, dan Bali. Musik gamelan memang luar biasa’dalam’ sekali, yang sudah di tanam oleh nenek moyang kita. Kalau dalam bahasa musik universal, kita memiliki musik dengan transposisi terbatas. Not-nya cuma lima, tetapi daya eksplorasinya luas dan dalam sekali. Itu yang saya dapat dari gamelan. Sekarang ini banyak komposer-komposer modern yang mendalami prinsip-prinsip transposisi terbatas ini.

Memang yang paling menonjol sekarang ini adalah teman-teman yang ada di Jakarta dan Bali, dan musiknya berbau pentatonic – Jawa, Sunda, dan Bali. Ada beberapa orang yang lumayan di kenal di luar. Ivan Nestorman dari Flores tidak memakai unsur-unsur yang saya ceritakan, dan sangat mewakili warna musik jazz Indonesia. Saya sendiri lebih senang memanggilnya ‘World Music’ karena filosofinya sama dengan jazz, yaitu jiwa kebebasanya, tidak seperti musik klasik yang formal dan sangat presisi. Selain Ivan Nestorman, juga Rafly WaSAja dari Aceh.

Dari Kalimantan ada Muhammad Saat, dia pemain suling yang luar biasa. Dia sehari-harinya pemain dangdut. Dangdut itu musik yang gila, attitudenya seperti musik klasik, yaitu musik yang presisi dan harus dihafal. Dialog musiknya beda di setiap lagu, dan biasanya musisi dangdut terkurung dengan ratusan lagu yang mereka hafal – jarang sekali musisi yang bisa keluar dari kurungan itu karena tenaga mereka habis dengan menghafal musiknya. Ini sering terjadi, kecuali untuk beliau Muhammad Saat ini. Dia dengan mudah bisa keluar dari kurungan itu dan bermain lagu Ornette Coleman dan Wayne Shorter.

Saya pernah bawa Muhammad Saat ke workshop oleh dosen gitar dari Amerika. Supaya orang-orang di workshop ini terkejut saya bawa Saat, dan mengajak dia main lagu “Footprints” oleh Wayne Shorter – semua bengong melihat dia, termasuk dosen dari Amerika (ketawa). Sulingnya Saat dia buat sendiri dari paralon, dan membuatnya memperlukan presisi. Seperti Thelonius Monk berkata, “musicians are the unconscious mathematicians.” Muhammad Saat bukan seorang komposer, tapi dia pemain yang luar biasa.

K

Untuk pertanyaan terakhir, apa proyek-proyek mas Agam yang akan datang?

A

Untuk bikin album, proyek saya masih denga Ligro. Kami akan merilis album ketiga – bersama MoonJune Records di Amerika dan DeMajors di Indonesia.

Ligro’s official websitewhiteboardjournal, logo