Seputar Fashion bersama Karin Wijaya

05.08.15

Seputar Fashion bersama Karin Wijaya

Mariati Galatio (M) berbincang dengan fashion stylist Karin Wijaya (K).

by Ken Jenie

 

M

Bagaimana awal ketertarikan Karin kepada dunia fashion?

K

Dulu sewaktu saya kuliah di Universitas Indonesia, saya mempelajari dunia advertising. Waktu masuk masa liburan selama 3 bulan, saya tiba-tiba merasa skeptis terhadap dunia advertising di Indonesia – kreatifitasnya ternyata berbeda dengan apa yang saya bayangkan. Kemudian, mantan pacar saya mengajak saya magang di majalah Seventeen, dan saya berpikir ini kesempatan yang cukup lucu bagi saya, karena ternyata saya males untuk kerja di advertising agency.

Pas saya mau masuk Seventeen, tiba-tiba ada teman yang menyarankan untuk magang di Majalah A+ saja. Saya lalu setuju karena saya lebih tertarik dengan visual-visualnya A+. Waktu itu saya belum tahu apa-apa mengenai dunia fashion. Tak lama kemudian, saya mulai magang di A+ dan setelah 3 bulan magang, bos saya, Mas Feli, menyuruh saya kerja full-time. Sebenarnya, momen saya masuk ke dunia fashion itu semacam kecelakaan.

M

Apakah ada yang ilmu dari mata kuliah advertising yang bisa diaplikasikan ke dalam fashion?

K

Pelajaran komunikasi, cara marketing, cara berhadapaan sama client, cara men-deliver pekerjaan – kurang lebih adalah hal-hal yang saya aplikasikan ke pekerjaan sekarang. Akan tetapi sebenarnya sewaktu di kampus, saya memang kurang memperhatikan pelajaran di kelas-kelasnya. Kebanyakan isi kelas-kelasnya cuma presentasi Powerpoint yang dibaca oleh dosen, jadi saya nggak pernah perhatiin.

M

Sewaktu di A+, apakah Karin langsung menjadi fashion stylist?

K

Saya mulai dari bawah, jadi saya ketika saya masuk, saya menjadi asistennya Regina Kencana Sudrajat. Saya belajar dari dasar, dari angkat barang, steam baju, packing sepatu, sampai pinjam barang. Semua hal tersebut membantu saya untuk memahami fashion pages itu seperti apa. Saya suka proses behind the scene-nya, proses mencari konsep, dan proses itu yang membuat saya terikat dengan pekerjaan ini – how to create good visuals.

M

Bagaimana ceritanya sampai Karin bisa menjadi fashion editor majalah Dewi?

K

Dibajak (tertawa). Saat itu, saya diajak oleh Editor in Chief-nya untuk pindah ke Dewi, dan di waktu yang sama saya terlalu nyaman dengan lingkungan di A+ – saya berada di comfort zone dimana teman-teman kerja saya adalah teman-teman main. Di kantor sudah terasa tidak challenging lagi, dan saya ingin belajar hal-hal yang berbeda.

Dan ternyata saat saya pindah ke Dewi, saya merasakan semacam culture shock.

M

Ceritanya seperti apa di Majalah Dewi?

K

Ada senioritas, kantornya old-fashioned dan banyak aturan, saya punya dua senior yang memberi saya banyak sekali kerjaan. Tapi disitu saya belajar banyak hal, dan saya senang sekali. Saya tidak menyerah. Waktu itu saya sudah mau nangis, capek banget, sering sakit – tapi inilah yang saya cari, yaitu kerja mulai dari nol.

M

Apakah disana juga ada perbedaan dalam hal arahan fashion?

K

Waktu itu target mereka sosialita dan kehidupan glamor. Menurut saya waktu itu, arahan mereka tersebut kosong dan tidak memiliki substansi, jadi saya pelan-pelan ubah arahannya supaya masih ada esensi glamor, tetapi lebih membumi.

Waktu itu kerjaan saya banyak yang ditolak karena terlalu beda dengan gaya mereka biasanya. Akan tetapi saya tidak peduli, dan saya berusaha sambil berusaha mencari jembatan yang bisa menghubungkan ide saya dengan arahan mereka. Meskipun banyak yang ditolak, pada akhirnya sampai sekarang mereka memakai cara saya.

M

Berapa lama prosesnya sampai mereka bisa menerima gaya yang ingin Karin angkat?

K

Saya tidak yakin, tapi mungkin sekitar dua tahun. Selama dua tahun saya ke kantor dengan rasa sedih dan stress, dengan pikiran apa yang akan terjadi hari ini? Apakah kerjaan saya akan ditolak lagi? Setelah dua tahun berlalu, kerjaanya jadi enak banget.

M

Berdasarkan pengalaman bekerja sebagai editor majalah Dewi, seperti apa industri fashion Indonesia menurut Karin? Apa yang cenderung popular dan apa yang biasanya dicari?

K

Saya rasa yang dicari adalah hype-nya. Disini, orang-orang dari dunia fashion suka membentuk komunitas dan berkumpul di acara-acara seperti fashion show, tentang look di permukaan. Ini berdasarkan pengalaman saya di Dewi.

M

Jadi, mereka banyak yang hanya mengikuti arus trend?

K

Iya. Sayangnya mereka melakukannya dengan tanpa memiliki karakter sehingga banyak muncul fashion victim. Tingkat konsumerismenya juga sangat tinggi dan mereka kebanyakan melakukannya dengan tanpa banyak perhitungan.

M

Kalau secara general, seperti apa taste fashion Indonesia?

K

Menurut saya agak flat. Yang lagi trend cepat diadaptasi, hal-hal baru cepat sekali diambil. Banyak yang merasa paling ber-gaya meski sebenarnya sangat generic. Banyak yang terlihat superficial dan belum memiliki karakter. Sekali lagi, ini berdasarkan observasi saya saat bekerja di Dewi.

M

Memang cukup cepat untuk orang di Indonesia untuk meresapi suatu trend.

K

Iya, cepat banget menurut saya. Tetapi, bukan cuman di fashion saja, semua bergerak cepat disini.

M

Menurut Karin, apakah Indonesia memiliki ciri khas di dunia fashion internasional? Posisi Indonesia di dunia fashion dimana di saat ini?

K

Kemarin ini sedang banyak yang berusaha untuk menonjolkan budaya Indonesia seperti membawa kain lokal ke luar negeri. Yang patut dipertanyakan adalah apakah mereka mengerti sejarah Indonesia – tidak bisa asal memakai kain Indonesia dan menyatakan bahwa mereka mencintai produk Indonesia.

Karya-karya juga seringkali terlalu literal. Banyak yang memakai kain batik dan tenun seadanya saja, jarang yang kontemporer, avant garde, atau simple saja – tidak harus terlalu menonjolkan pride-nya. Beberapa desainer memiliki kepahaman yang dalam mengenai tekstil Indonesia, dan saya belajar banyak dari mereka, tetapi banyak desainer baru yang menonjolkan budaya Indonesia dengan cara yang terlalu superficial.

M

Desainer-desainer seperti siapa yang menurut Karin sudah memiliki pemahaman yang cukup mendalam mengenai kain-kain Indonesia?

K

Desainer seperti Edward Hutabarat, Obin, dan Oscar Lawalata. Mereka benar-benar terjun ke pedalaman dan mempelajari tentang kehidupan dan karya pengrajin kain Indonesia. Mereka bukan cuma mempelajari fashion, mereka juga kaya akan pengetahuan mengenai sisi budaya, selain tentunya dari sudut pandang fashion dan art.

M

Apakah fashion Indonesia memiliki ciri khas? Mungkin suatu gaya yang menonjol untuk orang-orang yang melihat dari luar?

K

Produk lokal yang dihargai di dunia adalah batik dan tenun. Tenun sendiri sedang banyak diolah oleh desainer-desainer lokal. Saya sering memikirkan identitas Indonesia itu sebenarnya apa. Kita bisa mendeskripsikan gaya New York, Paris dan Jepang, sedangkan di Indonesia wilayah kita luas banget dan kehidupan orang-orang masih tidak setara, ada kesenjangan di tingkat edukasi dan ekonomi, jadi susah juga untuk merangkum ciri khas Indonesia itu seperti apa. Sejujurnya saya sendiri masih cukup susah untuk menjawab apa sebenarnya ciri khas fashion Indonesia.

Tapi kalau membahas yang terkenal, yang telah dianggap menjadi signature fashion Indonesia, adalah kain batik dan tenun. Sehingga Pekalongan dinamakan pusat batik oleh UNICEF. Batik dan tenun itu termasuk heritage, bukan item fashion yang bisa dibilang masa kini, dimana ada spring/summer collection. Batik dan tenun lebih dilihat dalam konteks mereka sebagai produk heritage dan seni.

M

Seusai bekerja di majalah Dewi, Karin memutuskan untuk menjadi fashion stylist. Apakah ada perubahan dalam pendekatan proses bekerja?

K

Saya beruntung bisa bekerja 5 tahun di majalah Dewi. Di Dewi saya belajar cara bekerja dengan benar – mengatur waktu, menahan ego, hingga memikirkan target market. Dengan yang saya pelajari disitu, saya bisa bekerja sebagai seorang freelance fashion stylist dengan pendekatan yang profesional. Dari pekerjaan saya di Dewi, saya juga mendapat banyak koneksi dengan orang-orang fashion agency, photographer, client, desainer. Saya merasa cukup beruntung sampai sekarang saya masih mendapatkan tawaran pekerjaan – padahal saya sejujurnya tidak tahu bagaimana caranya mempromosikan diri sendiri.

M

Bagaimana cara Karin menyeleksi client?

K

Sampai sekarang ini, saya mengambil semua kerjaan yang datang kepada saya. Memang ada beberapa kerjaan yang saya menyesal telah mengambilnya, dan lain kali saya tidak akan ambil. Tapi saya selalu suka dengan pekerjaan yang menantang – seperti apakah saya mampu melakukannya dengan baik. Tapi sampai sekarang, saya mengambil pekerjaan dari pre-wed, iklan, lookbook, campaign, spread. Ada satu pekerjaan yang tidak mungkin saya ambil, yakni menjadi stylist pribadi selebritis, saya pernah menolak kerjaan itu.

M

Bagaimana proses kerja Karin dalam menghadapi beragamnya tipe kerjaan?

K

Kalau klien pre-wed, pendekatannya dengan cara yang sangat personal. Ini pekerjaan yang saya sangat suka, meskipun kadang-kadang saya tidak merasa confident untuk melakukannya. Yang penting adalah membuat mereka senang, dan bisa mengakomodasi keinginan mereka.

Kalau pekerjaan komersil, kadang saya bertugas sebagai wardrobe, dimana baju-baju sudah ditentukan. Ada pula klien yang minta saya menjadi agency-nya, dimana saya harus membuat konsep untuk campaign mereka selama setahun, misalnya. Hal seperti ini merupakan favorit saya, karena mereka memberi kepercayaan bagi saya untuk menciptakan konsep fashion untuk mereka.

M

Pendekatan Karin ketika mengerjakan spread untuk Eddy Betty sangat menarik. Apakah bisa menjelaskan ceritanya?

K

EDBE adalah salah satu klien favorit, mereka percaya kepada saya dan kepercayaanya itu membuat proses bekerjanya enak. Saya bisa lebih bersemangat dan percaya diri. Saya juga suka sekali dengan pendekatan mereka terhadap kain Indonesia. Mereka memakai kain tradisional tetapi diolah dengan cara yang berbeda.

M

Bagaimana dengan pemilihan sosok-sosok yang ditampilkan di seri tersebut?

K

Dari awal mereka sudah memilih Didi Petet, dan setelah beliau yang dipilih adalah Jajang C. Noer. Waktu itu, saya memang juga ingin sekali mendandani beliau. Mereka berani memilih aktor-aktor yang sudah berumur, tidak harus memakai aktris muda. Selain mereka, juga ada Laura Basuki dan Hege Wollan. Ada pula model-model profesional yang terpilih selain Didi Petet dan Jajang C. Noer.

M

Karin juga sering traveling. Apakah ada pengalaman dari traveling yang menjadi inspirasi ke dalam karya Karin?

K

Kayaknya mungkin secara subconsiously ada yang masuk dalam karya. Tapi saya tidak pernah liburan dengan tujuan untuk mencari inspirasi. Saya tidak pernah memaksa diri seperti demikian, tetapi secara bawah sadar informasi yang saya lihat mungkin termanifestasikan saat saya bekerja dengan klien.

Saya mengambil momen liburan untuk merilis ketegangan dan stress yang saya alami di keseharian saya. Saat liburan, saya juga tidak merencanakan aktifitasnya, saya senang saat liburan bisa take my day for granted – bahwa saya tidak harus memiliki tujuan tertentu.

M

Kalau melihat karya-karya yang sudah Karin kerjakaan, apakah ada yang Karin merasa cukup bisa terlihat pengaruh travelingnya?

K

Saat saya jalan-jalan ke Peru, ibu-ibu dan bapak-bapak disana memiliki baju khas. Untuk ibu-ibunya memakai kaos kaki warna-warni setinggi betis, rok yang berlipit dan ber-volume, rambut dikepang, baju yang berlapis-lapis, dan bertopi tinggi – saya pikir ini gaya yang sangat cocok untuk fashion editorial. Baju kesehariannya pun tidak minimalis dengan gaya-gayanya yang sangat playful dan berbagai tabrakan warna. Mungkin, secara subconsiously saya dapat banyak inspirasi dari mereka.

Waktu saya ke Flores, ada ibu-ibu yang memakai tas keranjang rajutan yang talinya seperti sling bag. Mereka menaruh tas-nya tidak di pundak, tetapi di kepala dengan keranjangnya di belakang mereka, dan saya ingat pernah melakukan hal serupa untuk photoshoot.

M

Apa dan siapa yang menjadi inspirasi bagi Karin?

K

Yang pertama adalah Indonesia. Banyak yang saya tidak ketahui mengenai negara saya sendiri. Saya tidak pernah mendeklarasikan kebanggan terhadap budaya Indonesia, tapi kadang saat travelling ke luar, kadang saya nyinyir sambil berpikir “di Indonesia juga bisa buat seperti ini dan lebih bagus.” Hanya di Indonesia sendiri budayanya kurang di apresiasi, dan apa yang kita punya masih sangat mentah, kurang digali lebih dalam. Masih kurang accessible. Menurut saya, secara skill dan estetika, budaya Indonesia itu sangat bagus sekali.

Sewaktu saya di Peru, saya melihat kain tenun mereka, dan saya berpikir bahwa tenun dari Flores dan Sumba masih jauh lebih bagus. Mungkin secara nggak sadar, saya sebenarnya adorer-nya Indonesia. Tapi di sisi lain, saya juga masih banyak komplain mengenai masalah seperti kondisi yang kurang terurus dan pemerintah yang kurang meng-support budaya sendiri. Di angkatan saya, banyak yang cenderung western-minded, mereka berpikir bahwa Indonesia adalah negara terbelakang, third world country. Mungkin itu benar, tapi jika mereka mau melihat lebih jauh, sebenarnya, Indonesia sangat kaya.

M

Kalau figur-figur yang menginspirasi Karin?

K

Kalau dari Indonesia saya sangat suka Obin, desainer batik Indonesia. Saya pernah ikut ketika reporter majalah Dewi mewawancarai beliau, dan saat mendengar cerita hidup, cara berfikir, cara beliau mengolah batik, serta bagaimana beliau mampu merepresentasikan Indonesia, saya merasa sangat terinspirasi- saya bersyukur ada orang seperti beliau di Indonesia. Saya juga terinspirasi dari Ay Tjoe Christine, seorang pelukis, saya senang dengan cara beliau berpikir, juga tentang segala pengalaman hidupnya. Saya senang sekali bisa bertemu dengan orang-orang seperti mereka di Indonesia.

Sejak bertemu mereka, saya agak menyesal tidak mengambil kuliah fine arts.

M

Kenapa tidak balik ke sekolah dan mengambil masters?

K

Nanti deh, harus ngumpulin duit dulu.

M

Seperti apa pekerjaan impian Karin?

K

Sekarang ini saya cukup senang dengan pekerjaan saya sebagai freelance. Sekarang saya sudah tau cara bekerja, bisa mengatur waktu, dan punya banyak link. Saya bisa mengatur waktu dan menyisihkan waktu untuk diri sendiri, kerjaan saya sekarang juga banyak mencakupi traveling. Mungkin pendapatannya tidak bisa sampai membiayai saya untuk membeli rumah, tetapi untuk hidup dengan standar saya, ini sudah sangat cukup.

Mungkin dream job saya adalah menulis. Menurut saya, kalau orang bisa menulis essay, puisi, cerita novel – itu adalah pekerjaan idaman.

M

Apa rencana Karin di masa depan?

K

Mungkin sekolah lagi. Saya ada keinginan untuk merasakan mengambil kelas pada generasi baru ini. Generation Z sekarang ini pola pemikirannya maju sekali dan cepat menangkap suatu hal karena semua serba instan sekarang. Saya ingin bisa sync dengan frekuensi mereka tersebut, tapi dengan nilai old school yang generasi saya miliki.

Selain sekolah, punya keluarga lucu juga ya (tertawa). Tapi saya ingin nikmatin hidup saja. Saya takut dengan rencana. Saya takut tidak bisa mencapai apa yang telah saya rencanakan. Kalau ada saat yang pas saya akan mengambil suatu kesempatan. Saya juga ingin belajar menabung.whiteboardjournal, logo