Tulisan dan Sastra bersama Eka Kurniawan

07.10.15

Tulisan dan Sastra bersama Eka Kurniawan

Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan sastrawan Eka Kurniawan (E).

by Ken Jenie

 

H

Bagaimana awal mula ketertarikan Eka Kurniawan terhadap dunia literatur?

E

Saya suka menulis mungkin mulai saat saya masuk usia 11-12 tahun, meski ketika itu sifatnya masih iseng-iseng saja. Saya hidup di kota kecil Pangandaran, Jawa Barat, tidak banyak yang bisa dilakukan disana ketika itu. Aktivitasnya mungkin cuma main bola, atau berenang, tapi saya tidak terlalu menikmatinya, saya lebih suka baca. Tapi disana tidak terlalu banyak toko buku atau taman bacaan, saya hanya membaca buku yang ada saja. Meskipun pilihan tema atau judulnya tidak terlalu banyak juga. Tapi dari situ, justru muncul keinginan saya untuk menulis cerita saya sendiri. Sejak itu saya mulai nulis-nulis, awalnya sederhana, menulis puisi, atau di buku tulis. Beberapa karya saya sempat masuk majalah anak-anak. Kebiasaan ini berlanjut hingga SMP dan SMA, meskipun sudah tidak terlalu sering, sejauh itu, sifatnya masih hobi saja, masih seneng-seneng. Belum sama sekali terpikir untuk menjadi penulis.

Saya lulus dari Universitas Gajah Mada jurusan filsafat pada tahun ’99. Mulai menulis serius ketika akhir-akhir kuliah, sekitar tahun 97-98. Pada masa akhir kuliah saya mulai memantapkan diri untuk menjadi penulis, karena memang tidak terpikirkan untuk menjadi pegawai kantoran. Menjelang lulus, karya saya sempat dimuat pada sebuah media lokal di Jogja, di harian Bernas. Ketika itu, saya memulainya dengan menulis cerita pendek, karena memang masih belajar. Keberanian untuk mengirim karya ke media besar juga belum ada. Begitu cerpen tersebut dimuat oleh Bernas, saya lalu mulai berani untuk mengirim ke media nasional. Setelah itu, saya mulai rajin mengirim naskah saya ke media-media. Beberapa tahun kemudian, cerpen-cerpen saya dikumpulkan untuk menjadi sebuah buku. Baru setelah itu saya memberanikan diri untuk menulis novel.

H

Jadi ketika mulai serius, memang fokus nulisnya dalam bentuk cerita, bukan untuk nulis puisi?

E

Waktu remaja saya sebenarnya suka menulis puisi, dan justru karya pertama yang masuk majalah itu puisi saya pada usia 11 tahun. Hingga kuliah saya masih suka baca-tulis puisi, meski memang saya tidak pernah mengirimkan puisi saya tersebut ke media. Mmungkin ini akan terdengar seperti alasan yang konyol, saya memiliki pemikiran yang sedikit berbeda mengenai puisi. Ketika kita sekolah, biasanya setiap kali kita menulis atau mempelajari puisi, kita kemudian diminta untuk mendeklamasikannya di depan kelas. Saya tidak terlalu nyaman harus berada pada posisi seperti itu. Sejak itu, saya membayangkan bahwa untuk menjadi penyair kita harus selalu mendeklamasikannya di depan orang-orang. Ini membuat saya enggan untuk menjadi penyair.

Alasan kedua saya tidak tertarik untuk menjadi penyair adalah, setelah membaca banyak membaca karya puisi, seperti karya Chairil Anwar, saya merasa bahwa saya tidak akan mampu untuk menulis lebih bagus dari beliau. Saya nyerah duluan. Memang, ada beberapa tulisan puisi saya yang diterbitkan oleh teman-teman, tapi saya tidak terlalu melihatnya sebagai karya yang serius.

H

Mengenai gaya menulis, apakah dari awal sudah seperti sekarang? Bagaimana perkembangannya?

E

Saya rasa, ada perkembangan pada gaya menulis saya dari waktu ke waktu. Dari cerita pendek ke novel ke buku selanjutnya, selalu ada perubahan, walau kadang perubahannya tak terlalu banyak. Kalau menurut peniliaian saya pribadi secara subjektif, saya merasa ada perbaikan pada tulisan saya dari masa ke masa.

Tapi saya juga merasa, ada karakter yang tidak berubah. Seperti kebiasaan saya untuk menulis dalam kata-kata yang sederhana, bahasanya cenderung direct, dan menghindari penggunaan ornamen berlebihan, saya lebih mengejar aspek fungsi. Kalau dianalogikan dalam konteks arsitektur, mungkin tulisan saya adalah gedung yang minim dekorasi, kotak-kotak saja.

Memang, saya menggunakan banyak kalimat panjang dalam tulisan saya, tapi sebenarnya struktur kata dan kalimatnya masih relatif sederhana.

H

Jadi itu bisa dibilang sebagai alasan bagi diksi yang cukup blatant dalam tulisan Anda? Karena karakter ini cukup terasa pada buku-buku Eka Kurniawan. Misalnya, Anda memilih untuk menggunakan kata “pejuh” dibanding untuk menggunakan kata “sperma”. Ataukah ini adalah usaha Mas Eka untuk mendekatkan kisah di buku dengan kehidupan nyata?

E

Saya menggunakan bahasa yang sederhana, bahasa yang digunakan sehari-hari. Tapi itu pun juga tergantung konteks. Kalau kalimatnya keluar dari sisi narator, kata yang digunakan pasti adalah sperma, bukan “pejuh”. Jika konteks kalimatnya muncul dari mulut tokoh yang karakternya sebagai bagian dari kelas bawah, mungkin diksinya berbeda lagi. Kata-kata vulgar cukup sering tercetak di buku saya, tapi kalau diperhatikan lebih jauh, kata-kata tersebut pasti muncul dari percakapan tokohnya, bukan dari narator. Karena narator posisinya lebih objektif, di tengah-tengah, tidak terlalu di atas tapi tidak terlalu di bawah juga.

Mungkin, ini bisa dipahami sebagai upaya saya untuk mendekatkan cerita fiksi ke kehidupan nyata. Meskipun koteksnya sebenarnya tidak ke sana. Bagi saya, pertimbangan dalam pemilihan kata pada akhirnya saya putuskan untuk bagaimana menciptakan karya yang menyenangkan, lebih enak untuk dibaca. Karena saya merasa ada banyak hal yang serius pada tulisan saya, hal yang berat, saya ingin karya saya terbantu dengan penyampaian atau bentuk yang lebih ringan untuk dinikmati.

H

Di dalam karya Anda, selalu ada tokoh yang sering bertingkah di luar nalar umum, di buku “Cantik itu Luka”, ada tokoh yang bangkit dari kubur, dan di dua buku lainnya, hal semacam itu juga terus muncul, apa yang ingin Anda sampaikan melalui gaya penokohan yang demikian?

E

Sebenarnya tidak ada alasan spesifik. Karya saya adalah karya fiksi, jadi hal-hal tersebut sangat mungkin untuk masuk dalam alur cerita. Abdullah Harahap pun melakukannya pada karya-karyanya, jadi kenapa saya tidak melakukan hal yang sama?

Kalau dilihat bahwa tokoh-tokoh di karya saya melakukan hal aneh, sebenarnya di kehidupan sehari-hari banyak hal yang lebih aneh terjadi. Dalam artian, kehidupan modern ini memungkinkan orang untuk bertingkah di luar nalar, dengan tekanan ekonomi, dan segala macamnya. Sebenarnya, banyak kisah yang saya kembangkan dari apa yang saya lihat dan dengar dari apa yang terjadi di sekitar saya, yang kemudian saya mixed-up lagi. Tapi saya rasa di masa-masa seperti sekarang ini, kita bakal lebih sering membaca hal-hal aneh di surat kabar ketimbang dari novel.

H

Mengenai Abdullah Harahap, Anda disebut-sebut sebagai penerus dari Pramoedya Ananta Toer, hingga Salman Rushdie, penulis besar dunia, namun, Anda menyatakan bahwa Anda mengidolai Abdullah Harahap yang terkenal sebagai penulis horor mesum disini, sebenarnya seperti apa visi Mas Eka dalam menulis cerita?

E

Yang saya ingin sampaikan melalui karya saya sebenarnya adalah gagasan-gagasan yang sangat serius, tapi saya ingin melakukannya dalam tulisan yang ringan. Saya rasa, obsesi saya dalam menulis adalah supaya karya saya bisa dinikmati dalam dua level berbeda. Jika pembeli buku saya tidak ingin terlalu serius, maka dia bisa menikmati buku saya sebagai hiburan. Sebagai cerita horor, misalnya. Tapi bisa juga orang menikmati buku saya pada level yang lebih dalam, dimana mereka bisa membaca mengenai sejarah Indonesia, masalah gender, dan segala macam hal yang ada di lembar-lembarnya. Bagi saya, ngapain menulis kalau kita tidak memiliki gagasan untuk disampaikan. Tapi di sisi lain, saya ingin buku saya menghibur. Karena sedari kecil, motivasi saya membaca adalah untuk mencari hiburan. Dan saya melihat bahwa hal yang serius dan menghibur tidak harus dipisahkan, karena itu bisa dilakukan. Banyak penulis melakukannya, dan sangat berhasil.

H

Jadi Mas Eka tidak masalah ketika novel terakhir Mas Eka, “Seperti Dendam, Rindu Harus Dituntaskan” dilihat sebagai buku mesum yang bersembunyi dalam balutan sastra?

E

Saya sama sekali tidak melihat itu sebagai masalah. Saya anggap itu sebagai komplimen, karena itu berarti saya berhasil dalam membuat orang terhibur. Orang bisa membaca buku tersebut seperti mereka membaca novel hiburan 90’an, itu hal yang bagus, karena dengan demikian, mereka bisa menikmati buku saya sembari mengetahui mengenai hal yang ingin saya sampaikan.

H

Ada kepingan sejarah yang cukup dominan pada karya-karya Mas Eka, bagaimana proses yang Anda lakukan dalam pendalaman tema?

E

Bisa dibilang, saya hampir tidak pernah melakukan riset untuk tulisan saya. Karena novel saya tidak pernah secara spesifik berisi tema tertentu. Ketika nulis, saya mengandalkan dari pengetahuan dan pengalaman saya. Misalkan pada novel pertama, itu merupakan manifestasi dari apa yang telah saya ketahui, dari apa yang saya lihat dan saya baca sebelumnya. Jikapun ada riset, mungkin hanya dalam level re-check, memastikan kebenaran tentang apa yang saya tulis. Saya bukan tipe penulis yang mengawali proses penulisan dari riset. Karena saya takut bahwa saya akan didikte oleh data yang saya temukan untuk cerita yang saya tulis. Mungkin kalau nanti saya menulis non-fiksi, saya baru akan melakukan riset. Saya belum tahu mau menulis apa ke depannya, tapi ketika masa luang, saya banyak membaca buku, termasuk buku-buku sejarah, juga buku biografi yang merupakan kegemaran saya. Biografi jenderal yang buruknya minta ampun saya masih baca, tapi bahkan pada buku biografi paling jelek pun ada cerita yang bisa diambil. Dan saya yakin ini akan membantu saya sebagai pengetahuan dalam menulis di masa depan.

H

Dari pengamatan saya, buku-buku lokal yang mendapat review bagus di khalayak internasional adalah buku yang memiliki irisan dengan beberapa peristiwa sejarah di Indonesia. Seperti tragedi ’65 maupun ’98. Buku Mas Eka salah satunya. Mengapa menurut Anda hal ini terjadi?

E

Saya rasa hal ini tak terelakkan. Mengingat posisi Indonesia yang tidak terlalu dikenal oleh khalayak internasional, tidak ada alasan bagi masyarakat di luar sana untuk memahami Indonesia secara mendalam. Tapi ada hal-hal tertentu, yang ketika mereka mengetahuinya, mereka bisa sangat concern terhadapnya. Misalnya kasus ’65, ada konteks kemanusiaan yang cukup bisa membuat orang untuk melihat lagi kepada kita. Film The Act of Killing yang sukses di pasar internasional juga membuat khalayak luar untuk semakin tertarik terhadap sejarah Bangsa Indonesia. Ini seperti pintu masuk bagi orang luar untuk melihat lagi kepada kita.

Saya rasa, ini juga terjadi di luar Indonesia. Misalnya ketika perekonomian China naik, lalu timbul ketertarikan dari masyarakat internasional kepada mereka. Selalu ada hal-hal di luar konteks sastra yang mempengaruhi bagaimana sebuah buku diterima oleh publik.

Tapi jelas, sebagai penulis kita tidak bisa selalu menggantungkan diri pada sebuah topik atau tren tertentu untuk pengembangan karya kita. Jika nantinya perhatian publik terhadap kasus atau tertentu hilang, maka karya yang hanya bertumpu pada topik ini akan usang. Ini menjadi tantangan bagi penulis, yakni bagaimana karya kita bisa terus menarik perhatian pembaca meski arah tren sudah berbeda.

H

Ada statement menarik dari Bapak Ahmad Tohari, yang bukunya cukup sukses dalam memasuki pasar Eropa, beliau menyatakan bahwa salah satu kunci untuk sukses di pasar internasional adalah untuk menguatkan aspek, serta mengeksplor lokalitas dalam karya sastra. Apakah Mas Eka setuju dengan pendapat ini?

E

Setuju nggak setuju sih sebenarnya dengan statement ini. Di satu sisi, lokalitas itu harus ada di karya sastra. Saya rasa, sebuah cerita harus tertanam pada lokasi tertentu untuk bisa membuat karya tersebut bisa dipercayai oleh pembacanya. Tapi seperti apa konsep lokalitas itu juga masih sangat bisa diperdebatkan. Misalnya bisa saja Ahmad Tohari memaknai lokalitas ini sebagai dimensi pedesaan, dst. Kalau demikian, saya sepertinya akan tidak setuju dengan esensi lokalitas yang semacam ini. Karena saya merasa bahwa ketika saya menulis mengenai kehidupan urban, lokalitas pedesaan jelas tidak sesuai.

Apalagi jika yang dianggap lokalitas disini adalah tradisi keindonesiaan, saya akan sangat tidak setuju. Karena pemikiran demikian akan menjerumuskan penulis ke jebakan eksotisme. Dan saya tidak mau tulisan saya seperti kartu pos. Yang jelas saya tidak bisa menulis mengenai Borobudur yang bagus, atau semacamnya. Saya tidak tertarik untuk hal itu. Mungkin penulis lain bisa berhasil untuk melakukan hal demikian, tapi itu bukan jalan yang akan saya ambil.

H

Dalam sebuah esai, disebutkan bahwa salah satu alasan dari gagalnya Pramoedya Ananta Toer untuk mendapatkan nobel untuk karyanya adalah karena kualitas penerjemahan karyanya yang jelek, bagaimana Anda membaca karya Anda yang diterjemahkan?

E

Untuk edisi Bahasa Inggris, saya puas sekali. Sebenarnya, sudah ada ide untuk menerjemahkan karya saya sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi banyak yang akhirnya gagal di jalan, ada yang kualiats terjemahannya tidak meyakinkan, ada pula yang bagus, tapi penerjemah tersebut tidak memiliki energi untuk menyelesaikan seluruh naskah. Akhirnya pada tahun 2012, saya bertemu dengan penerjemah saya Annie Tucker, Ben Anderson yang memeriksa dan beberapa yang membantu, dari situ lalu karya ini bisa terbit dalam Bahasa Inggris. Saya tidak mengalami masalah dalam alih bahasa karena dari awal sudah ditentukan siapa yang akan mengerjakannya.

H

Dalam konteks musik, dan budaya pop lainnya, biasanya sebuah karya yang dulunya tidak terlalu mendapat perhatian, akan tiba-tiba menjadi bahan pembicaraan bila telah mendapat afirmasi dari khalayak internasional, apakah hal yang sama juga terjadi di karya Anda yang meraih berbagai pujian di media internasional?

E

Bisa dibilang begitu, menurut penerbit saya, tahun ini buku saya penjualannya naik beberapa kali lipat dari sebelumnya. Mari kita anggap ini sebagai hal yang positif. Meskipun sebenarnya hal ini tidak terlalu bagus juga. Karena sejatinya, buku saya usianya sudah hampir belasan tahun. Jadi, kemana saja pembaca kita selama ini? (tertawa).

H

Jadi seperti apa Mas Eka melihat posisi pasar internasional dibandingkan dengan pasar nasional?

E

Buku-buku saya, jelas ditulis untuk pasar lokal. Ditulis dalam Bahasa Indonesia, untuk pembaca Bahasa Indonesia. Ketika diterjemahkan, pasti ada dimensi yang berbeda di dalamnya. Tapi, kita sendiri tahu bahwa sastra bukan merupakan field yang populer di Indonesia. Penikmatnya masih sangat niche, sangat kecil. Mencapai angka 3000 eksemplar saja disini sudah merupakan prestasi, padahal jelas ini angka yang sangat kecil presentasenya dibanding jumlah penduduk.

Sejak awal menulis, saya paham bahwa buku di Indonesia ditargetkan untuk pasar yang sangat spesifik. Meski memahami kondisi yang demikian, saya tetap mendedikasikan karya saya bagi kaum yang spesifik ini.

Di luar negeri, sebenarnya juga tidak jauh berbeda keadaannya. Di Amerika contohnya, sastra juga niche marketnya. Tapi ada dimensi yang berbeda di pasar tersebut. Terutama mengenai support dari media mainstream yang sangat peduli dengan dunia sastra. Media seperti New York Times dan New Yorker sangat peduli dengan dunia sastra, mereka bahkan mau untuk menulis mengenai karya sastra dari negeri antah berantah seperti Indonesia. Ada pula kultur bookclub dan semacamnya yang cukup mendorong pertumbuhan sastra di sana. Karena mereka merasa bahwa sastra itu penting. Perpustakaan di sana selalu membeli buku-buku sastra, perpustakaan di sana memiliki jurnal/majalah khusus yang terbit bulanan berisi review atau rekomendasi buku-buku pilihan. Meski pendek ulasannya, majalah/jurnal tersebut menjadi rujukan bagi perpustakaan dan toko buku yang tersebar di penjuru Amerika.

Mungkin ini akan terdengar seperti menggerutu, tapi saya sedikit cemburu dengan bagaimana kondisi di luar lebih siap sedia untuk membangun sistem untuk pengenalan buku kepada publik. Biasanya di sana, sebelum buku terbit, ada buku versi Advanced Reading Copy yang dibagi ke pemilik toko buku disana. Dari situ kemudian para pemilik toko buku kemudian mengajukan untuk membawa dan mendiskusikan buku tersebut ke toko mereka. Tentang toko buku, di sana mereka juga memiliki pemahaman yang mendalam mengenai hampir semua buku yang mereka jual. Mulai dari pemilik hingga penjaganya, bisa menjelaskan sekaligus memberi rekomendasi buku yang tepat pada pengunjungnya. Saya tidak melihat pemahaman yang sama pada toko buku lokal. Itu mungkin perbedaannya.

H

Dalam diskusi mengenai karya sastra lokal di pasar internasional yang kami sempat buat beberapa waktu lalu, salah satu poin utama yang muncul sebagai kunci untuk penetrasi sastra kita ke pasar yang lebih luas adalah keberadaan agent sastra, sebagai penulis yang telah bisa memasuki pasar internasional, bagaimana Mas Eka melihat esensi agent ini?

E

Saya tidak melihat peran agent disini sedemikian esensial. Mereka penting, tapi bukan hal utamanya. Pemikiran saya mungkin akan sedikit berbeda disini. Jika diumpamakan penulis sebagai petani mangga, maka akan selalu ada keluhan dari petani mengenai bagaimana mangga mereka bagus, tapi mereka tidak memiliki penjual yang bagus. Dalam kata lain, petani tersebut membutuhkan agent, broker. Kalau demikian, sebenarnya bisa saja karya yang jelek, bila ditangani oleh agent yang bagus akan sukses terjual. Tapi apakah itu yang kita mau? Saya rasa tidak seperti itu. Saya sendiri lebih memilih untuk kritis terhadap diri kita sendiri. Jika saya petani mangga, maka saya akan memastikan bahwa mangga yang saya tanam benar-benar bagus, tanpa peduli apakah mangga tersebut nantinya akan terjual atau tidak. Saya mungkin agak naif dan amatir di sini.

Dalam konteks yang lebih luas, kita juga harus melihat, apakah penulis handal seperti Leo Tolstoy dan Fyodor Dostoyevsky memiliki agent? Tapi tetap saja, sampai sekarang karya mereka terus dibaca orang. Saya tidak bilang bahwa agent itu tidak penting, tapi yang utama bagi perkembangan karya sastra adalah kualitas penulisnya. Jika kita ingin maju, kita harus melahirkan Tolstoy dan Dostoyevsky baru dari negeri ini. Pertanyaannya sekarang, apakah sudah ada yang seperti itu? Saya rasa belum ada sampai sekarang. Dan hal ini yang kadang kita belum berani untuk menerima dan mengakuinya. Bahwa memang belum ada yang benar-benar berkualitas disini.

H

Jadi bagaimana Mas Eka melihat perkembangan karya sastra Indonesia?

E

Saya rasa, harusnya perkembangan ke depan akan semakin baik. Tapi sejujurnya, saya juga melihat bahwa di level tertentu, kualitas sastra Indonesia semakin menurun. Orang bisa tidak sepakat dengan ini. Tapi saya pikir, karya terbaik dari sastra Indonesia justru lahir di era ’45. Era pertama sastra Indonesia setelah kemerdekaan. Dulu kita punya Chairil Anwar, Pramoedya, ada Abdullah Idrus, sampai Mochtar Lubis. Mereka adalah raksasa-raksasa di sastra Indonesia bahkan hingga sekarang. Setelah era ’65, bahkan hingga ’98, banyak nama yang muncul, tapi tidak ada yang bisa menandingi generasi pertama sastra Indonesia itu.

Sisi baiknya dari era itu, adalah banyak area baru yang dijelajahi melalui karya Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, hingga Budi Darma. Pasca ’98, segala potensi yang kita miliki keluar dengan kebebasan kita untuk melakukan apa yang sebelumnya dibatasi. Terutama akses terhadap sastra luar yang lebih luas, kita semakin kaya. Tapi memang, generasi post ’98, termasuk saya masih terlalu muda untuk dibandingkan. Masih belum membuktikan apa-apa. Dengan segala keadaan, harusnya kita bisa lebih baik. Kita, terutamanya generasi saya, harus membuktikan diri.

H

Apa proyek Eka Kurniawan ke depan?

E

Terus menulis novel. Saya juga ingin menulis buku non-fiksi, tapi masih lama sepertinya. Dalam karya non-fiksi ini, saya ingin mengomentari tulisan Aristoteles yang ‘Poetics’. whiteboardjournal, logo