Proses dan Perspektif bersama Eko Nugroho

28.10.15

Proses dan Perspektif bersama Eko Nugroho

Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan Eko Nugroho (E).

by Ken Jenie

 

H

Beberapa dari karya Anda cukup erat berhubungan dengan komik, apa komik favorit dari masa kecil?

E

Saya memiliki beberapa judul komik yang masih melekat dalam memori masa kecil saya. Ada komik Gareng Petruk karya Tatang S, komik karya Masashi Ueda, komik seri Petualangan Tintin. Setelah kuliah, saya membaca komik karya Mobius dan sebagian kecil edisi DC Comic, karena saya belum mampu beli waktu itu.

H

Bagaimana perkenalan Eko Nugroho dengan dunia seni?

E

Perkenalan secara resminya mungkin sejak saya bersekolah di sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta dan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Tapi menurut orang tua, sejak saya berusia 4 tahun, saya mulai suka menggambari dinding rumah dengan batu bata, dan menggambari hamparan halaman tanah dengan batu.

H

Anda merupakan salah satu seniman yang membawa arus seni kontemporer di Indonesia, bagaimana kondisi seni rupa Indonesia di awal-awal Anda mulai berkarya sebagai seniman?

E

Saat itu, senioritas seniman era 90’an sangat terasa. Hanya beberapa ruang alternatif yang ada, sedangkan galeri-galeri maupun kantong-kantong budaya didominasi oleh acara kesenian dari para seniman senior. Keadaan yang demikian membentuk kita sebagai penonton pasif. Minim sekali dialog terbuka dan workshop. Untungnya akhirnya banyak bermunculan gerakan-gerakan alternatif seperti Cemeti art House, Apotik Komik, Taring padi, RuangRupa dan Dagingtumbuh yang berusaha memberikan nafas berkesenian secara lebih segar.

H

Bagaimana bisa terus kritis dalam berkarya pada level seperti Eko Nugroho?

E

Bagi saya, seni yang baik adalah kehidupan itu sendiri. Ketika kita menjadi bagian sebuah kehidupan yang luas dengan segala hiruk pikuknya, maka kita akan menemukan kesenian yang abadi. Yang tidak akan pernah kehabisan ide dan kreatifitas. Menurut saya, cukup penting bagi seniman untuk tidak menghindari kenyataan, karena seniman tidak hanya hidup diruang fantasi, tetapi juga nyata dalam realitas. Jika karya seni merupakan bagian dari kepingan kehidupan, maka metode berkarya secara kritis akan terus membuka peluang untuk datangnya ide-ide baru. Ketika kita berpikir secara kritis terhadap sesuatu, maka sebenarnya kita juga kritis terhadap diri kita sendiri dan karya kita.

H

Anda telah banyak berpartisipasi di berbagai pameran seni rupa internasional, bagaimana Anda melihat kondisi scene senirupa Indonesia di level internasional?

E

Sebenarnya, seni rupa kita telah banyak mendapat perhatian luas dari Internasional. Dan perhatian mereka tersebut sangat kuat, terutama di Asia. Seni rupa kita mempunyai keunikan dan kekuatan tersendiri dalam wacana internasional. Ditambah “bumbu” kondisi dan situasi negara kita, maka bisa dibilang, seni rupa kita sudah sangat kritis dan maju.

H

Menurut Anda, apa kelemahan dan kelebihan seni rupa Indonesia?

E

Masalah klasiknya adalah mengenai ‘dukungan pemerintah’. Khalayak Internasional telah memberikan perhatian dan ruang yang lebih luas terhadap perkembangan seni rupa Indonesia di dunia Internasional. Tapi tanpa dukungan negara, maka tidak akan banyak karya-karya seniman kita yang bisa keluar dan diapresiasi publik Internasional. Hal ini secara nyata sudah dibuktikan dengan banyaknya nama seniman kita yang bisa tampil Internasional. Karena kenyataannya, justru dunia seni internasional itu sangat suportif dan terbuka ketimbang negara kita sendiri.

Idealnya mungkin seperti ini: Adanya dukungan dari pemerintah, dibuka pula kesempatan untuk berkarya pada event seni rupa internasional kepada seniman-seniman muda. Misalnya melalui acara biennale, simposium seni, event seni internasional dst.

Memang kita secara geografis jauh dari ‘barat’ yang selalu dikonotasikan sebagai pusat perkembangan wacana seni rupa dunia. Tetapi dengan membuka akses seluas-luasnya kepada seniman kita untuk berkarya dan memamerkan karyanya ke dunia internasional, dan begitu juga sebaliknya untuk membuka akses seluas-luasnya kepada seniman internasional agar bisa berkarya dan memamerkan karyanya di Indonesia, saya pikir metode ini adalah hal besar untuk membangun seni rupa kita ke arah yang lebih maju. Idealnya seperti itu, tapi kita lihat kenyataannya saja bagaimana.

H

Sekarang, masyarakat (termasuk anak muda) terbiasa dengan budaya yang instan, bagaimana Anda melihat fenomena ini, dan bagaimana pengaruhnya pada dunia senirupa?

E

Secara sadar, manusia berkembang dalam banyak hal dan secara sadar pula, jaman berubah. Maka jelas, perubahan-perubahan itu akan juga memiliki pola pemaknaan makna secara tersendiri pula. Pada dasarnya, semua tergantung kita masing-masing, apakah kita akan mengikuti mainstream atau menjadi underground dalam berkarya.

Ada tranformasi dari ‘flowers generation’, kini generasinya kita sebut sebagai ‘instant generation”. Anak muda adalah cerminan jaman, dan anak muda adalah informasi sekaligus representasi akurat mengenai kondisi negara. Anak muda akan selalu mengikuti budaya yang ada juga pada perkembangan secara global. Budaya instan telah menjadi kebudayaan yang penting bagi kita, karena kita sebenarnya berada di jaman yang serba instan pula. Yang kita perlukan di era yang demikian adalah kreatifitas yang tidak instan.

H

Masyarakat pada umumnya baru mengapresiasi sebuah karya seni bila orang luar negeri member apresiasi, hal ini menyebabkan banyak seniman menjadikan “go internasional” sebagai tujuan utama, bagaimana Anda melihat hal ini?

E

Kita harus memilah bahasan ini dari berbagai sudut pandang dan kacamata. Bagi masyarakat awam, kesenian yang patut dipresentasikan keluar adalah kesenian tradisi yang mencerminkan akar dan budaya kita. Dan kesenian tradisi jelas lebih menarik wisatawan luar untuk mengetahui lebih banyak mengenai akar budaya kita. Tentu kita tidak lupa dengan sebutan negara ketiga bagi bangsa kita kan? Nah secara logika, kita harus memahami mindset khalayak internasional yang prioritasnya adalah untuk mengetahui akar dan tradisi negara yang jarang “muncul” di internasional.

Dan sejauh ini, fokus pemerintah dalam hal seni memang masih disitu saja. Tetapi kita juga harus sadar, tidak semua orang dalam jajaran pemerintah itu memahami wacana senirupa Indonesia. Yang sebenarnya, jika di-manage dengan baik akan mendatangkan devisa dan kebanggaan tersendiri.

Sayangnya, posisi pemerintah dalam hal ini antara masih tidak tahu dan pura-pura nggak tahu. Bisa jadi, mereka berperilaku demikian karena mereka menghindari resiko untuk terlibat dalam persinggungan pada kancah dunia seni modern. Disana, persaingan dengan negara lain sangat ketat. Maka mereka lebih memilih untuk kembali ke basic, yakni untuk jualan akar budaya tradisi yang sering kita sebut eksotisme.

Sudah cukup sering para seniman kita protes dan berusaha mengajukan draft rancangan promo kebudayaan yang lebih luas dengan bentuk kesenian yang lebih modern yang sesuai dengan perkembangan seni di Indonesia terkini. Tetapi akhirnya, ya tetap hanya berlaku sebagai draft. Kita tentu masih ingat dengan konflik Venice Biennale yang masih diabaikan oleh pemerintah. Mereka belum sadar bahwa kesenian modern kita bisa dijadikan ‘kartu nama’ kuat untuk muncul di dunia Internasional.

H

Bagaimana komentar Anda mengenai atensi dari dunia internasional terhadap karya seni dari Indonesia yang seringnya jadi lebih ke eksotisme daripada ke karya seninya itu sendiri?

E

Saya pikir, kejadiannya sama di negara manapun. Seperti yang Anda bilang, band-band dan penyanyi ibukota akan lebih cepat populer dan laris-manis dibanding musisi dari daerah. Semua media informasi penting/nasional ada di ibukota. Dari sini, kita bicara mengenai bagaimana luasnya exsposure akan sangat membantu dalam menaklukkan cakuoan medan yang juga luas.

Ketika kita membicarakan seni rupa internasional, persepsi kita adalah cakupannya yang sangat luas, seluas dunia ini dengan segala seluk beluknya. Maka, adalah ‘alamiah’ bagi seniman untuk mempresentasikan dan mentargetkan karyanya bagi khalayak yang lebih luas, internasional.

Pasar yang lebih luas artinya disana juga terdapat tantangan-tantangan dan persaingan-persaingan yang lebih keras dan luas. Jagoan kampung musuhnya sekampung, jagoan kecamatan musuhnya sekecamatan, begitu seterusnya. Seniman yang baik adalah petarung yang tangguh. Seniman yang baik selalu memiliki keinginan untuk mengembangkan karya seninya ke level yang semakin tinggi.

Nah, lagi-lagi ada masalah pada masyarakat kita yang menginginkan semuanya serba instan, yang hanya menginginkan sensasinya saja. Kita cenderung tidak mau belajar banyak dan mempelajari sekitar kita. Bahkan untuk mencari tahu potensi-potensi yang ada di sekitar, kita pun enggan. Karena di kepala kita, barat memang lebih manis. Masih ingat ‘kan peribahasa ‘rumput tetangga selalu tampak lebih hijau dari rumput halaman rumah kita’? Kita selalu mengekor, kita selalu meniru dan bukan menciptakan. Karena konsumerisme itu candu, sifatnya membuai memanjakan. Kita suka itu.

H

Belakangan, pemerintah mulai membangun support system untuk dunia seni melalui konsep ekonomi kreatif, tapi di sisi lain, banyak yang kurang sepakat dengan konsep ini berdasar pertimbangan bahwa seni harusnya lebih tepat bila dimasukkan ke program kebudayaan, ada pula yang sama sekali tidak setuju terhadap hal ini karena menilai support system dari pemerintah sebagai interfensi di dalam independensi seniman untuk berkarya. Bagaimana pandangan Anda mengenai hal ini?

E

Konsep ekonomi kreatif masih sekedar wacana saja, baru diuji coba, belum terlaksana. Malahan, nggak ada kementriannya. Saya melihat negara tidak terlalu fokus untuk menjalankannya, maka saya tidak bisa berandai-andai untuk hal ini.

H

Hampir semua karya Anda merupakan respon terhadap fenomena sosial, menurut Anda, dimana posisi seni pada perubahan sosial itu sendiri?

E

Secara tidak langsung, sangat berpengaruh. Contoh kecilnya adalah fenomena pemilihan presiden 2014 kemarin. Mudahnya masyarakat mengakses teknologi informasi melalui internet menjadikannya sebagai medan untuk menyebar luaskan informasi dan gambar.

Kita melihat kemarin banyak poster-poster kampanye yang dengan mudahnya diciptakan baik melalui smartphone. Lantas begitu saja disebarluaskan secara terbuka melalui sosial media dan menjadi topik-topik diskusi pada pertarungan wacana yang kuat.

Saya bisa menceritakan pengaruh seni terhadap sosial masyarakat saat ini dengan segala sesuatu yang serba cepat. Kita bisa melihat efek reaksinya secara cepat pula. Mungkin ini akan berbeda dengan pengaruh kesenian terhadap masyarakat pada era sebelumnya dimana penyebaran informasi sifatnya masih konfensional (radio, siaran tv dan koran)

Berkaitan dengan karya saya justru sebaliknya, saya tidak sedang berusaha menyadarkan ataupun mengubah masyarakat. Tetapi karya saya adalah serapan dan cerminan kembali apa yang terjadi dalam masyarakat kita dan masyarakat internasional. Dan posisi karya saya berada dalam bagian jaman ini.

Demikian pula pendapat saya untuk posisi seni dalam perubahan sosial, mungkin tidak bisa dilihat langsung dengan kasat mata, tetapi memang bisa dirasakan. Kesenian mendampingi perubahan masyarakat itu dengan secara kritis, dinamis dan tentu indah.

H

Apa ide dasar dari proyek Dagingtumbuh?

E

Dagingtumbuh adalah kobinasi dari komposisi street art, komik underground dan pop art. Dimana semua orang adalah seniman, dan seniman berhak berkarya dimana saja dengan media apa saja, tidak bergantung pada apapun.

Ide dasarnya adalah semacam ruang luas yang diperuntukan berkarya. Karya apapun. Karena berkesenian itu menyenangkan, dan semua orang adalah seniman minimal bagi dirinya sendiri.

H

Bagaimana proses berkarya Eko Nugroho?

E

Proses berkarya saya sangat sederhana, seperti kebanyakan seniman lainnya. Tidak ada yang spesial. Ketika ada ide dan mood, maka saya beranjak untuk mewujudkannya. Tentu didasari dengan cinta di dalamnya.

H

Disebuah kesempatan, Anda sempat memaparkan konsep baterai dalam berkarya dan berkesenian, bisa dijelaskan?

E

Konsep baterai ini merujuk pada komik Dagingtumbuh. Di era 90’an dimana saya sedang agresif dalam upaya mencari jati diri dengan berkarya bersama teman-teman. Aktivitas utamanya adalah membentuk berbagai kelompok dan komunitas, merespon segala ruang dan waktu dengan kesenian. Tetapi dalam perjalanan waktu, kebanyakan kelompok atau komunitas itu pasti akan berbenturan dengan kepala/otak/ego anggota di dalamnya. Sehingga kadang, justru lambat laun menghambat proses berkesenian. Kita akan berkutat pada ‘fantasi menyempurnakan’ kelompok itu sendiri. Hingga tak jarang, kelompok/komunitas tersebut bangkrut dan bubar. Bahkan malah miskin karya.

Dari situlah saya merancang konsep ‘baterai’, yang artinya segala sesuatu yang memiliki baterai/energi akan tetap terus berjalan dan berkembang. Meskipun hanya dengan sebuah baterai saja. Berdasar pemikiran tersebut, maka saya meracik konsep komunitas Dagingtumbuh/DGTMB yang digerakkan oleh satu baterai/orang saja. Karena ini bisa meminimalisir konflik teknis didalamnya. Dalam aktivitasnya, kita cukup mengundang secara kolektif pada setiap projectnya. Dan ini sudah saya kerjakan bersama Dagingtumbuh/DGTMB selama 14 tahun ini.

Sangat efektif. Karena dimanpun saya berada dagingtumbuh bisa terbit, dan bisa mewadahi kreatifitas dari mana saja, dari siapa saja. Itulah esensi baterai. Memang didalam prosesnya kita bekerja secara team yang bisa silih berganti didalamnya, tetapi baterai itu akan tetap ada disana untuk membangkitkan energi didalamnya.

H

Apa proyek mendatang dari Eko Nugroho?

E

Saya memiliki beberapa project di tahun 2015 ini, diantaranya project public art PUBLIC 2015 di Perth di organise oleh komunitas FORM, project di Art Gallery of south Australia AGSA di Adelaide, pameran tunggal di SALIHARA Jakarta, pameran tunggal di ARARIO Gallery Shanghai, project bersama WAYANG BOCOR di Singapore.whiteboardjournal, logo