Merekam Zaman bersama The Jadugar

23.12.15

Merekam Zaman bersama The Jadugar

Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan The Jadugar (J).

by Ken Jenie

 

H

Kenapa videoklip?

J

Kami hidup ketika MTV sedang di era terbaiknya. Sehari-hari kami menikmati bermacam-macam videoklip musik dari band-band favorit kami. Jadi ketika kami memutuskan untuk berkarya dalam bentuk video musik, sifatnya natural saja. Tahun 1995 adalah tahun pertama MTV masuk Indonesia, itu menjadi saat dimana kita seharian nongkrong di depan TV.

Di 2002 MTV Indonesia mulai siaran 24 jam, dan untuk kebutuhan airplay mereka sangat memburu konten. Saat itu kami baru selesai kuliah, lagi memiliki kebutuhan untuk mencari kesibukan. Kami sendiri juga bermain musik dan dikelilingi oleh teman-teman yang juga bermain musik. Jadi untuk membuat video musik adalah hal yang sangat masuk akal.

H

Video klip kalian selalu menggunakan pendekatan yang cukup berbeda dengan video klip kebanyakan di era itu, terutama video musik dari Indonesia yang kebanyakan hanya pamer musisi sedang bermain instrumen dengan pencahayaan yang seragam. Apakah video yang kalian bikin adalah semacam statement terhadap tren waktu itu?

J

Karena kami belajar seni rupa, kami melihat video itu hanya medium, jadi kami masih memaknai video sebagai kanvas yang kami bisa kami corat coret. Analogi kami dalam berkarya seperti itu. Pendekatan kami ketika melihat tools di kamera video terasa seperti melihat kuas dan kanvas. Jatuhnya seperti mengerjakan still image, karena kembali lagi berdasar latar belakang seni rupa kami. Waktu itu kami sama sekali tak memedulikan pengetahuan tentang teknik produksi video, kami hanya menerapkan pengetahuan seni rupa kami. Jadinya mungkin hasil videoklip kami kelihatannya agak unorthodox.

Sebenarnya tidak ada keinginan dari kami sendiri untuk menciptakan sebuah gaya baru atau apapun itu. Kami hanya membuat apa yang kami inginkan saja. Kami selalu memiliki bayangan visual ketika mendengarkan sebuah lagu, dan sebagai The Jadugar, kami berusaha untuk mewujudkan gambaran tersebut sesuai kemungkinan-kemungkinan yang ingin kami jelajahi. Toh sebenarnya tidak ada aturan yang secara spesifik menyebutkan bahwa sebuah video musik harus menampilkan personil dan semacamnya, jadi bebas saja.

Di era awal The Jadugar, kami sangat liar untuk menjelajahi berbagai gaya dan pendekatan, untungnya ketika itu, kami banyak bekerja dengan teman-teman kami, jadi mereka sangat mendukung untuk penjelajahan tersebut. Kami bisa lebih bebas, kami sama-sama open.

H

Apakah kalian menghadapi resistensi dari pihak TV dengan pendekatan yang berbeda dalam video-video karya kalian ketika itu?

J

Channel tempat kami menyiarkan karya kami adalah MTV yang asalnya bukan dari sini, channel tersebut juga merupakan tempat dimana kami mendapatkan inspirasi, jadi kami tidak menghadapi masalah ketika kami mencoba mengangkat gaya yang berbeda. Video kami tidak terlalu aneh jika dibandingkan dengan video-video musik dari luar.

Meskipun ternyata di pasar Indonesia sendiri, videoklip musik karya kami agak cukup berbeda dengan video kebanyakan.
Sedikit masalah mulai muncul ketika kami berurusan dengan musisi dari label yang besar. Dimana mereka biasanya sudah memiliki preference tersendiri untuk lagu yang akan dibuat videonya.

H

Selain berkarya dengan medium musik band sidestream, kalian juga mengerjakan videoklip untuk band mainstream, termasuk diantaranya Peterpan dan Slank, apakah ada pendekatan yang berbeda disana?

J

Sebenarnya ketika datang tawaran untuk mengerjakan video klip untuk band-band besar, itu jadi kejutan bagi kami sendiri. Meskipun sebenarnya kami sendiri sedikit berbeda persepsi dengan band dan label ketika mengerjakan video untuk band sebesar Slank. Mereka datang ke kami dengan bayangan bahwa mereka tidak harus tampil di videonya, sedangkan kami sebenarnya sangat berkeinginan untuk menampilkan sosok Kaka Slank di video kami. Kapan lagi kita bisa atur-atur Kaka Slank gitu? Jadinya ya kami ngerjainnya seperti yang biasa kami lakukan.

H

Salah satu karakter yang cukup menonjol dari karya kalian adalah kemampuan kalian yang mampu menterjemahkan gaya dan musik dari tiap band yang kalian kerjakan dalam bentuk visual yang sangat akurat, bagaimana proses kalian dalam menggali karakter tersebut?

J

Ide-ide itu biasanya muncul dari “bank ide” yang kami miliki. Banyak ide sering muncul dari obrolan yang kami lakukan. Banyak diantara ide yang muncul tersebut konsepnya agak ajaib, tapi kami simpan semua dan itu menjadi semacam stok ide/bank ide yang bisa kami pakai ketika kami sedang ada project. Bahkan sebenarnya banyak ide di bank ide tersebut yang belum kami pakai sampai sekarang. Mungkin itu karena kami dulu masih muda dan video masih merupakan bidang yang agak ajaib, maka kami sangat liar untuk membayangkan segala kemungkinan yang bisa dilakukan. Darisitu mungkin kami bisa memvisualisasikan musik sesuai dengan karakter bandnya.

Misalnya ketika kami mengerjakan video klip The Brandals – Lingkar Labirin, kami melihat karakter band tersebut sangat sesuai dengan pendekatan stop motion dan unsur artwork raw dan ketidakteraturan yang chaos, itu kami kira sesuai dengan karakter band tersebut.

Tapi sebenarnya mungkin kunci dari bagaimana visual kami bisa sangat matching dengan musik dari band yang kami kerjakan adalah karena kami memang mendengarkan dan mengikuti band tersebut. Kami sangat dengerin Lain, White Shoes, The Brandals, jadinya ketika ngerjain langsung muncul bayangan masing-masing. Lain kasusnya ketika kami mengerjakan Peterpan, kami tidak terlalu mendengarkan mereka, maka jadinya ya gitu, sedikit berbeda. Jadi sebenarnya kami punya banyak video yang kami sendiri sembunyikan karena kami malu dan nggak puas dengan kualitasnya (tertawa). Bahkan sampai sekarang ketika kami melihat lagi videoklip The Brandals dan Boys Are Toys, kami masih merasa bahwa memang begitu harusnya. Kalau untuk band yang kami tidak dengerin, boro-boro ngerasa pas, malah jadinya pengen sembunyiin aja. (tertawa)

H

Jadi sebenarnya treatment kalian sama saja sebenarnya untuk band mainstream dan sidestream?

J

Ada sih sebenarnya. Ya setidaknya dari budget saja berbeda. Kalau dari major ada budget besar, pasti ada demand besar juga disitu. Tapi kami selalu berusaha untuk tidak terlalu terjebak untuk mengikuti keinginan mereka. Tapi untungnya, bahkan pihak major ketika itu ketika mengajak kami untuk mengerjakan video klip mereka telah paham dengan karakter kami sebagai video maker. Karena kalau mereka menginginkan video dengan gaya lain, mereka punya pilihan itu di sutradara lain. Meskipun tetap saja, mereka kadang agak kaget dengan ide kami, walaupun sebenarnya ide kami tersebut udah paling aman (tertawa). Ya pasti ada lah perbedaan kerja untuk Hanin (pemilik Aksara) dengan kerja untuk Bu Acin (tokoh Sony Music Indonesia), itu beda banget kan? (tertawa)

H

Apakah menghadapi kesulitan untuk mengambil celah antara komersil dan idealisme dalam bekerja sebagai The Jadugar?

J

Pengalaman mengerjakan videoklip untuk band besar seperti Peterpan membuat kami belajar juga mengenai apa yang sebelumnya belum pernah kami jelajahi. Disitu kami jadi bisa mengeksplorasi penggunaan kamera film 16mm yang sebelumnya kami tidak memiliki akses untuk kesana. Kami juga jadi bisa belajar dengan kru senior. Secara garis besar, kami belajar banyak untuk menjadi profesional disana. Kami sangat senang ketika itu, mendapat kesempatan untuk menjelajahi dunia yang belum pernah kami tapaki sebelumnya.

Tapi momen mengerjakan videoklip dari label besar mulai terasa melelahkan pada tahun kedua kami bekerja sebagai The Jadugar. Kami telah melakukan banyak percobaan di tahun kedua, tapi ternyata hasil percobaan kami di tahun kedua ini tak kemana-mana. Mulai kangen untuk shooting videoklip seperti yang kami lakukan di awal, dimana kami bisa seliar mungkin. Tapi, agak susah untuk mengatur waktu karena kami jadi cukup sibuk ketika itu. Lama-lama kami merasa jengah.

Karena sejak awal berdirinya, kami hanya ingin bersenang-senang saja. Tidak ada kepikiran sama sekali untuk mengubah kondisi video musik lokal. Kami melakukannya nothing to lose, modalnya nekat dan ide saya. Bahkan kalau kami lihat lagi beberapa video, kami sering ketawa-ketawa ngelihatnya, kok bisa kayak gitu ya dulu? Foya-foya banget sih ketika itu.

Istilahnya, kami sangat menikmati momen dimana kami bisa “orgasme” dalam menjelajahi kreativitas.

H

Untuk Anggun, seusai The Jadugar kemudian lanjut membuat video musik sendiri. Apakah ada perbedaan proses pengerjaan?

J

Bedanya mungkin kalo The Jadugar ketika itu output videonya semata-mata untuk ditaruh di MTV, ketika sendiri saya tak hanya membatasi karya saya untuk satu output channel saja, jadinya saya bisa sedikit lebih bebas untuk bekerja sama dengan siapapun yang saya inginkan. Jadinya saya lalu mengerjakan video klip bukan atas permintaan, tapi karena saya tertarik dan ingin untuk mengerjakan visualnya. Jadinya video saya pribadi bentuknya lebih ke support pada musisi. Sifatnya lebih independent dari apa yang terjadi di industri.

H

Anggun juga mulai banyak mengerjakan video art, apakah ada pemisahan identitas dari karya video musik Anggun dengan karya yang murni seni? Karena semakin kesini semakin kabur batasannya di karya video yang sudah dikerjakan?

J

Agak susah memisahkannya. Intinya mungkin kalo video musik itu berangkat dari musik yang divisualisasikan. Tapi video yang saya buat adalah hasil visualisasi dari musik dan lirik, jadi kenapa videoklip Efek Rumah Kaca – Kenakalan Remaja di Era Informatika jadinya seperti itu? Ya itu karena begitulah apa yang saya dapat dari lirik Cholil. Kenapa Teenage Death Star seperti itu? Ya begitu memang attitude mereka. Untuk video art, musik bukan titik utama pengembangan idenya.

H

Sekarang teknologi video sudah semakin umum, semua bisa membuat video dengan alat rekam yang makin jamak, tapi di sisi lain, belum ada lagi gebrakan dari sisi kreatif dalam mengerjakan karya video, kenapa demikian?

J

Jadinya, sekarang mungkin video jadi udah terlalu jamak. Terlalu umum. Bahkan melalui handphone semua juga bisa bikin video. Konten video juga sekarang lebih banyak daripada 10 tahun yang lalu. Rasanya jadi efek kejut disana berkurang. Agak bingung juga mungkin orang-orang untuk mencari apalagi efek kejut yang bisa dimunculkan dari situ. Dulu masih agak mewah video jadi mungkin sedikit lebih mudah untuk memunculkan efek wownya. Tantangannya jadi bagaimana untuk mencari bentuk yang bisa mengejutkan.

H

Jadi sepakat bahwa harusnya anak-anak sekarang mulai untuk melangkah lebih jauh dari teknologi megapixel di kamera video untuk menciptakan karya yang berkualitas?

J

Harusnya memang sudah lebih dari gimana kita hanya melihat kamera dari megapixelnya, itu bukan kuncinya. Pekerjaan rumah generasi sekarang lebih besar, yakni untuk menciptakan kejutan baru diantara konten video yang bisa dibuat oleh siapapun. Tapi ada kok yang sudah memiliki pemahaman seperti ini.

Tipsnya mungkin untuk menggunakan teknologi seperlunya saja. Tidak lantas memakai semua gadget terkini untuk membuat video yang bagus. Kualitas tidak ditentukan oleh semaju apa teknologi yang dipakai.

H

Bagaimana melihat esensi video musik di era sekarang?

J

Masih menarik sebenarnya. Masih enak melihatnya kalo nemu yang bagus. Cuma mungkin caranya yang harus digali lagi. Tapi bisa jadi memang perhatian orang sudah tidak terlalu kesitu. Sekarang sudah lebih banyak channel yang bisa menampung videoklip musik dengan segala macam gayanya. Ada video lirik, seri web dan semacamnya, bisa di posting di youtube, facebook, juga instagra. Ada berbagai kemungkinan baru harusnya disitu. Dulu di TV bahkan beberapa acara memutarkan videoklip musik hanya separuh bahkan seperempat durasinya saja. Secara garis besar, sebenarnya menyenangkan untuk melihat banyak orang yang masih percaya bahwa video klip musik masih sangat menarik.

H

Apakah kalian sepakat dengan videoklip sebagai penanda zaman? Kalau iya, bagaimana kalian melihat apa di masa sekarang ini?

J

Sadar tidak sadar sebenarnya memang seperti itu. Videoklip adalah salah satu penanda zaman. Kita bisa sebenarnya melihat apa yang terjadi di perspektif kota melalui apa yang ada di video musik. Ada pengalaman yang sama-sama dirasakan oleh warga kota digambarkan di video musik. Untuk penanda zaman sekarang, sepertinya masih agak susah untuk didefiniskan. Tapi mungkin, bisa jadi zaman sekarang gairahnya lebih ke arah cuek dalam menyampaikan gagasan melalui video musik. Jangan-jangan generasi sekarang begitu karena mereka tidak memiliki beban mengenai apa yang harus disampaikan, jadi bentuk videonya lebih cuek. Tapi ini masih jalan terus pengembangannya. Jadi belum bisa disimpulkan jadi satu ide.whiteboardjournal, logo