Distribusi Film Online Dengan Amir Pohan

27.04.16

Distribusi Film Online Dengan Amir Pohan

Febrina Anindita (F) berbincang dengan Amir Pohan (A) dari Buttonijo.

by Ken Jenie

 


F

Bagaimana ketertarikan Amir terhadap dunia film bermula?

A

Pengaruh pertama pasti datang dari orang tua karena kebetulan semua anggota keluarga dekat dulu bekerja sebagai fotografer, mulai dari ayah, ibu dan kakak. Jadi dari kecil saya sudah mengenal kamera, lensa, kamar gelap dan melihat sendiri bagaimana mereka itu bekerja, mengambil angle, mencuci dan mencetak film sendiri. Ditambah lagi dengan koleksi buku-buku fotografi seperti Henri Cartier Bresson, Harry Gruyaert, William Eggleston, Saul Leiter dan lain – lain.

Dari buku-buku itu saya bisa melihat bagaimana mereka mengatur komposisi dan menggunakan warna untuk menyampaikan suatu tema. Film itu ‘kan sebenarnya kumpulan 24 still foto, jadi fotografi itu sangat dekat dengan film. Ada ungkapan “A picture is worth a thousand words”, jadi sebuah foto yang diambil oleh fotografer yang memahami komposisi dan penggunaan warna bisa punya banyak cerita.

F

Kenapa memutuskan untuk mendalami film alternatif?

A

Terus terang bagi saya tidak ada istilah ‘film alternative.’ Saya membuat film yang sesuai dengan selera saya saja. Jika itu dibilang film ‘alternatif’ menurut saya itu hanya label yang diberikan orang, tapi saya tidak secara sengaja bilang “ah gue mau bikin film alternatif mulai sekarang” (tertawa).

F

Bagaimana perjalanan menjadi sutradara film independen?

A

Kalau menjadi ‘sutradara film independen’ sebenarnya tidak susah, yang diperlukan hanya kamera, shoot pakai modal sendiri, minimal 10 juta saja sudah bisa buat film pendek. Yang lebih susah adalah proses membuatnya, karena selama ini saya menjalaninya 100% independen, mulai dari pre-pro, produksi, post-pro lalu distribusi. Kalau sudah terbiasa, biasanya saya juga ambil peran lain untuk menghemat biaya (tertawa). Dari situ saya jadi bisa menjadi Director of Photography (DOP), color gradist, produser serta distributor karena secara tidak langsung belajar secara otodidak.

Kalau untuk editing memang saya dulu sekolah khusus editing di Columbia College Chicago tahun 2003. Tapi bisa juga kata ‘independen’ itu diartikan sebagai sutradara yang mempunyai ‘singular vision’ untuk karyanya, sesuai dengan ‘auteur theory.’ Sebenarnya istilah ‘independen’ itu berlaku untuk film-film di Amerika dimana film-film yang dibuat di luar studio besar disebut seperti itu. Di Indonesia agak kurang cocok bila diartikan sama seperti di Amerika karena rata-rata budget film di sini berkisaran hampir sama.

F

Selain sutradara, Amir juga merupakan seorang DoP dan penata suara. Jika melihat sebuah audiovisual atau film, di antara ketiga peran tersebut, manakah yang lebih dominan dalam memberi nafas cerita dalam film?

A

Menurut saya sound sebenarnya memegang peranan yang sama penting seperti gambar. Jika ada film yang gambarnya sangat bagus menggunakan film 70mm tapi sound-nya mendem, bisa buat filmnya tidak jelas. Tapi jika gambar film biasa saja katakanlah diambil dengan smartphone dengan banyak noise, tapi sound yang dihasilkan jernih, pasti lebih enak ditonton.

Ini mungkin selera pribadi, tapi saya suka dengan sound design yang unconventional, field recordings yang bisa diolah lagi jadi sound. Terus terang selama ini saya lihat penggunaan sound di rata-rata film Indonesia kurang optimal, kebanyakan isinya wall-to-wall music yang merupakan ciri khas Hollywood dengan film-film epic mereka. Contonya di film saya “Flutter Echoes and Notes Concerning Nature” jika ada scene orang sedang jalan di hutan yang saya ingin tonjolkan adalah suara hutan, jangkrik, daun yang kena angin, rumput yang diinjak dan sebagainya, karena saya tidak terlalu suka dengar scoring dengan nada yang jelas terdengar, saya lebih suka menggunakan ambient sound yang diolah.

F

Sudah beberapa tahun ini Amir mengembangkan proyek untuk perfilman alternatif lewat Buttonijo. Bisa jelaskan apa visi dan latar belakang dibuatnya Buttonijo?

A

Awalnya Buttonijo itu dibuat karena saya merasa dalam membuat film dokumenter, proses distribusi dan penjualannya lebih susah daripada ‘film alternatif.’ Lalu saya pikir kenapa tidak saya distribusikan sendiri saja? Dari situlah Buttonijo terbentuk.

F

Buttonijo mengangkat sebuah alternatif baru dalam belanja film, yakni dengan USB Cinema, bagaimana respon publik sejauh ini?

A

USB Sinema itu dibuat khusus untuk membantu para pelaku film independen merilis filmnya secara luas di seluruh Indonesia, khususnya di komunitas-komunitas film. Selama ini penjualannya cukup bagus tapi karena masih relatif baru mungkin belum banyak yang tahu.

F

Buttonijo juga memiliki program funding film, apa yang dicari dari program ini? Dan bagaimana melihat karya yang disubmisi sejauh ini?

A

Selama ini untuk program penggalangan dana masih pakai pendekatan secara personal, artinya bila ada filmmaker yang dikenal, punya karya bagus yang ingin didanai bisa langsung kontak saya. Untuk ke depannya mungkin masih seperti ini, tapi volumenya tidak sebanyak dulu.

Beberapa film yang sebagian didanai oleh Buttonijo adalah “Rocket Rain” karya Anggun Priambodo dan “Another Trip To The Moon” karya Ismail Basbeth untuk film panjang dan ada “Langit Masih Gemuruh” karya Jason Iskandar dan “Ambyar” karya Jeihan Angga untuk film pendek. Terus terang yang saya cari dari program funding adalah konten untuk distribusi Buttonijo hahahaha, tapi selain itu juga saya rasa perlu adanya badan yang bisa memberikan funding untuk film-film yang mempunyai tema yang lebih personal dan tidak mengikuti tren perfilman Indonesia pada umumnya.

Saat ini Buttonijo sedang funding film dokumenter panjang karya Bani Nasution dan akan mulai satu film pendek serta satu film panjang karya Eugene Panji. Untuk ke depannya, bila situs streaming Video on Demand (VOD) kami sudah beroperasi, saya ingin memberikan funding 10 juta untuk satu film pendek tiap bulan selama satu tahun penuh.

F

Sebagai distributor film online, bagaimana Amir melihat potensi channel online dalam produktivitas dan apresiasi akan perfilman lokal?

A

Distribusi film online di atas kertas seharusnya sangat menjanjikan di Indonesia bila kita melihat jumlah pengguna internet di sini sudah di atas 100 juta orang. Tapi saya ingin Buttonijo lebih banyak menampilkan film original karya anak Indonesia sendiri daripada film luar negeri ataupun Hollywood.

Buttonijo sudah mulai membuat VOD sejak tahun 2011 dan kami adalah perusahaan yang pertama kali membawa VOD ke Indonesia. Sayangnya karena ini semua modalnya bersifat pribadi dan belum terlalu besar, tetapi kami lebih mementingkan pendekatan personal ke filmmaker dan komunitas film Indonesia dimana kita bisa saling membantu satu sama lain.

F

Belakangan, ada exposure yang cukup masif terhadap perfilman Indonesia, apa sebenarnya yang mengawali tren ini, dan bagaimana Amir melihat dampak dari perhatian internasional terhadap perkembangan film lokal?

A

Selera sebagian besar penonton film Indonesia itu didikte oleh produser-produser besar. Mungkin dalam setahun mereka itu bisa mengeluarkan 5 sampai 8 film dengan genre yang menurut mereka, dan data-data yang mereka punya berdasarkan film-film yang lalu, bisa laku di pasaran. Akibatnya bioskop kita dibanjiri oleh film-film kurang variatif, seperti film religi, film biografi, film horror, dll. Biasanya dari 8 film tersebut mereka punya ‘jagoannya’ yaitu 2 sampai 3 film yang harus bisa menghasilkan untung yang besar sehingga bisa membalikkan jumlah investasi 8 film lain. Mungkin ada sebagian filmmaker dan pecinta film yang sudah mulai bosan dengan film-film yang ada di bioskop pada umumnya saat ini, maka mereka mencoba membuat sesuatu yang ‘beda.’

Sebenarnya exposure yang diterima perfilman Indonesia tidak semasif yang dibayangkan, tapi mungkin ada 1 atau 2 film panjang per tahun yang tampil di festival film luar, film pendek mungkin lebih banyak, tapi ini agak tidak proporsional jika diliat dari jumlah penduduk dan jumlah filmmaker yang ada di indonesia. Kenapa kita bisa kalah dengan kualitas film yang dibuat oleh filmmaker Thailand, Filipina atau Vietnam? Padahal budaya mereka dengan kita cukup dekat, pun soal alat produksi dimana kita punya kualitas terbaik, tapi kenapa film kita kualitasnya masih dibawah? Singapura saja sudah pernah menangkan filmnya di Cannes. Untuk menjawab itu masih rancu formulanya, tapi saya pikir kita punya jumlah filmmaker yang jauh lebih banyak yang otomatis juga berarti kita punya filmmaker yang lebih bagus dari mereka kualitasnya, tetapi kurangnya bantuan dari pemerintah Indonesia, ditambah tidak adanya publikasi kritik film yang akademis, itu menghambat kemajuan perfilman. Semoga dengan dicabutnya sektor perfilman dari daftar negatif investasi bisa agak membantu menaikkan kualitas dan bertambahnya variasi genre dan cara penuturan cerita film-film yang bisa diputar di bioskop. Ini bisa cukup menarik perhatian investor asing untuk berinvestasi di perfilman kita karena pasarnya yang lumayan besar.

Menurut saya yang kita butuhkan adalah film-film dengan tema-tema yang lebih etnik, dekat dengan budaya dan masalah-masalah sosial yang terjadi di Indonesia, seperti “Siti,” “A Copy of My Mind,” “Sunya” karya Harry Dagoe, “Negeri di Bawah Kabut” milik Shalahuddin Siregar. Di Indonesia ‘kan cerita rakyat saja udah banyak sekali, belum lagi bermacam-macam suku, budaya, beribu-ribu pulau tapi sayangnya hanya sedikit aja film-film Indonesia yang menawarkan rasa lokal.

F

Apakah cerita yang diangkat dalam film alternatif belakangan ini sudah cukup merepresentasikan Indonesia di festival film internasional?

A

Sekali lagi istilah film ‘alternatif’ bagi saya pribadi itu tidak ada dan saya rasa bagi filmmaker yang membuatnya ini berhasil tampil di festival-festival film luar negeri juga tidak ada istilah ini, karena mereka membuat film dengan dasar subjektif, mereka membuat hal yang mereka suka lalu masyarakat memberi label ‘alternatif’ karena sarat akan perbedaan jika dibandingkan dengan film yang beredar di Indonesia pada umumnya. Apakah jumlah film; yang menurut saya masih sedikit, sudah cukup merepresentasikan Indonesia? Menurut saya masih jauh sekali dari cukup.

F

Amir cukup aktif dalam mengadakan tur film, bagaimana melihat karakter penonton Indonesia, dan bagaimana perkembangan film di luar kota besar?

A

Sebenarnya saya tidak terlalu aktif dalam tur film, tapi itu adalah program USB Sinema dimana film-film yang didistribusikan oleh Buttonijo diputar di banyak komunitas film di seluruh Indonesia. Jadi Buttonijo menjual film-film yang dibuat oleh filmmaker lokal ke komunitas film dalam bentuk USB3 yang di proteksi copyright-nya. Kami memang sengaja membuat program ini untuk komunitas-komunitas film yang tersebar di Indonesia karena mereka adalah tulang belakang industri film independen indonesia.

Selama ini mungkin agak ribet prosesnya jika ingin memutar film yang harus diminta langsung ke filmmaker atau produsernya karena ada banyak persyaratan, seperti jumlah penontonnya minimal berapa, screening fee yang harus dibayar atau penghasilan dari penjualan tiket yang harus dibagi dengan venue dan filmmaker atau produser, ruangan screening di mana dan seperti apa, apa alat pemutar filmnya, dan lain sebagainya. Dengan program USB Sinema hal itu tak perlu diambil pusing karena kami jual seharga IDR 250,000 dan tidak meminta hasil penjualan karcis atau keuntungan apapun yang didapati oleh pihak yang mengadakan acara pemutaran, sedangkan dari hasil penjualan USB itu langsung kami bagi 60% untuk para filmmaker, jadi semua untung dan tidak ribet.

Jadi tur film itu sendiri, sebenarnya adalah program USB Sinema yang sedang berjalan. Jika dilihat dari antusiasme penonton yang datang ke pemutaran-pemutaran itu biasanya selalu penuh, jadi mereka sebenarnya memang ingin menonton berbagai film yang agak berbeda dari yang ada di bioskop. Perkembangannya ada tapi masih lambat karena yang kita perlukan adalah lebih banyak komunitas film yang bisa berdiri sendiri dengan menggunakan skema USB Sinema kami dimana mereka bisa dapat untung 2 hingga 3 kali lipat.

Sempat juga saya punya pemikiran untuk membantu komunitas-komunitas yang sudah agak mapan secara bisnis dengan memberikan proyektor yang agak bagus, tapi ini belum sempat terealisasikan, mungkin tahun depan.

F

Apa proyek mendatang atau yang sedang digarap Amir?

A

Saat ini film saya “Flutter Echoes and Notes Concerning Nature” yang dibintangi Ladya Cheryl, Tara Basro, Ismail Basbeth dan Putri Ayudya sedang diputar di film festival Visions du Réel 2016 di Nyon, Swiss. Setelah itu akan diputar di CPH:PIX di Copenhagen, Denmark. Filmnya adalah hybrid documentary, setengah dokumenter, setengah fiksi. Selain itu, saat ini saya sedang mengedit dokumenter buatan saya tentang kejawen, “Ti Hyang Jawi”, yang udah di-shoot selama hampir 4 tahun. Lalu saya baru selesai bikin film pendek istri saya, Myrna Pohan berjudul “Lisa, Asleep” yang dibintangi Sandra Dewi dan Tumpal Tampubolon.

Tahun lalu juga ikut membantu peralatan shooting untuk film pendek Ladya Cheryl berjudul “Run to Your Mama” yang dibintangi Anggun Priambodo, lalu sempat mendanai film pendek Jason Iskandar, “Langit Masih Gemuruh”, dua film pendek Jeihan Angga berjudul “Riding The Lights” dan “Ambyar,” dokumenter panjang, “Video Pengantin” karya Bani Nasution, film pendek Eugene Panji yang akan shooting Mei dan juga film panjang baru Eugene Panji yang akan shooting tahun depan. Saya sendiri ingin buat film panjang fiksi akhir tahun ini, jika memungkinkan lalu bantu film panjang pertama Myrna yang semoga bisa shooting akhir tahun depan.whiteboardjournal, logo