Dialektika Kesenian Bersama Farid Stevy

15.06.16

Dialektika Kesenian Bersama Farid Stevy

Soni Triantono (S) berbincang dengan Seniman Farid Stevy Asta (F)

by Muhammad Hilmi

 

S

Bagaimana pertama kali Anda berkenalan dengan seni rupa?

F

Satu-satunya jurusan yang saya inginkan waktu akan masuk kuliah adalah jurusan seni rupa di ISI Yogyakarta. Ambil jurusannya adalah Desain Komunikasi Visual. Jadi sebenarnya saya dididik untuk menjadi desainer. Tapi pas berjalannya kuliah, saya kebetulan banyak bermain dengan teman-teman di luar bidang desain visual. Dunia di luar desain visual yang pas buat saya adalah teman-teman dari seni rupa murni, ada seni grafis dan lukis. Kita mulai bikin karya street art di tahun 2005-2006. Dulu kebanyakan di Jogja masih graffiti ortodoks dengan nama-nama geng. Sudah bagus, tapi yang mencoba medium baru belum banyak.

Karena waktu itu internet mulai gampang diakses, kami mulai bikin karya-karya di jalan dengan medium yang berbeda: poster, sticker, stensil. Itu persentuhan pertama saya dengan seni rupa di luar desain. Itu berlanjut cukup lama, hingga Biennale Jogja X-2009: Jogja Jamming yang banyak mengundang street artist. Saya termasuk yang diundang untuk berpartisipasi. Mulailah karya saya masuk galeri. Dan pada saat yang sama, terjadi booming pasar seni rupa waktu itu. Ini membuat saya merasa bahwa tiba-tiba ada dunia baru yang sepertinya menyenangkan. Kerja berkarya sendiri sudah menyenangkan, lalu keadaan yang demikian menambah efek samping yang membuat saya merasa, “wah ini bisa jadi duit”. Saya pun mulai berpameran di galeri karena di sini juga banyak perupa muda yang aktif.

Booming pasar seni rupa itu tidak berlangsung lama. Namun, kerja seni rupa saya lantas pelan-pelan tumbuh menjadi dua partisi utama. Yang pertama kerja di desain, lalu yang kedua di luar desain seperti yang saya lakukan sekarang (pameran tunggal seni rupa – Red).

S

Bisa disebut apa kerja yang di luar desain visual tersebut?

F

Sebenarnya tidak gampang menyebutnya sebagai seni rupa kontemporer, tapi memang saya bermain mainannya di wilayah itu. Orang-orang juga biasanya menyebutnya seperti itu. Tapi “di luar desain” sebenarnya adalah bagaimana saya menyebut karya pameran di ruang galeri, street art, atau karya-karya yang berasal dari insiatif sendiri.

S

Bagaimana Anda pertama kali memutuskan menggunakan skema warna merah hitam putih sebagai ciri karya rupa seorang Farid Stevy?

F

Setelah pameran terakhir saya di tahun 2013, (pameran Kendra Gallery, Bali) saya merasa bahwa ada kebaruan yang ditawarkan di setiap pameran yang saya bikin. Baik dari sisi konten, konteks, visual dan segala macamnya. Nah, di pameran itu sebelumnya saya bermain di warna-warna yang sangat bebas, walau ada skema warna merah putih biru kuning dan segala macamnya. Dari setiap pameran saya menemukan kesimpulan tentang apa yang ingin saya lakukan di pameran selanjutnya.

Pasca 2013, tiba-tiba saya kepikiran untuk menyatukan banyak hal yang saya kerjakan. Ada FSTVLST, kerja seni rupa, dan desain visual. Lalu saya mengalami perenungan karena kerja untuk semua itu cukup berat. Bagaimana caranya untuk menjalankan ketiganya dengan pola kerja yang cukup praktis.

Nah, lalu terpikir bagaimana kalau ada satu tema besar yang dibawa di medium-medium itu. Tema besar dibuat, lalu dibesarkan lewat musik dan visual FSTVLST, dan dibicarakan lewat karya rupa di luar desain. Salah satu konsep yang muncul waktu itu adalah memperkenalkan warna merah hitam putih sebagai warna mandatori karya Farid Stevy.

S

Di awal terjun ke dunia musik, apakah Anda sudah melihat sebuah grup band ini nantinya bisa menampung juga ruang kreativitas untuk berkarya rupa? Atau memang awalnya murni ingin bermusik?

F

Saya mulai bermusik di tahun 2003—baru awal-awal kuliah. Waktu itu baru mulai berkenalan juga dengan street art. Jadi belum terpikir untuk melihat musik sebagai ruang berekspresi yang bisa men-support seni rupa. Saya masih menjalankannya secara terpisah. Band ketika itu saya posisikan sebagai tempat untuk bersenang-senang saja, walau ketika berjalan kemudian, seni dan musik akhirnya sibuk menginfiltrasi satu sama lain. Seni rupanya mendesak-desak seni musiknya untuk membicarakan apa yang dibicarakan di seni rupa saya, begitu juga sebaliknya.

S

Pernah merasakan ada etos yang bertentangan antara menjadi perupa dan musisi?

F

Ada beberapa ruang negosiasi yang berbeda antara musik dan seni rupa. Seni rupa yang saya maksud disini adalah karya yang bisa saya pajang di pameran tunggal, bukan di bidang desain. Kalau di desain hanya ada satu kredo yang dikejar, yakni memberikan solusi. Wilayah desain sangat kaku, hampir tidak ada ruang untuk memberikan identitas pemikiran atau visual, kecuali kalau ada klien yang membutuhkan sentuhan personal saya. Misalnya Kunto Aji minta dibuatkan kover album dengan karakter saya di situ. Klien yang seperti ini melihat bahwa salah satu cara menyelesaikan permasalahan mereka adalah dengan metode tersebut.

Kalau di seni rupa, tidak ada hal itu. Tidak perlu mencari solusi apapun. Ini seperti tempat dimana saya bisa menumpah-ruahkan pemikiran saya. Kalau di wilayah desain, saya cenderung tidak bisa berbicara banyak karena ada banyak batasan disana. Kalau di seni bisa dibilang, saya lebih bisa egois. Walau pun tetap habit saya sebagai desainer kemudian juga muncul, dimana saya kadang masih mencari masalah dan mencoba menerka-nerka untuk apakah saya bisa meresponsnya melalui karya dengan tepat. Tapi sekali lagi tidak sampai ke solusi. Uneg-uneg segala macam bisa tumpah di seni. Karena dalam hal seni, publik yang ada yang lebih spesifik, selektif sekali, di mana orang yang datang tidak bisa dibilang umum—walau sekarang seni rupa sudah sangat cair—tapi bisa dibilang seni yang diekspresikan di ruang galeri berfokus pada khalayak terpilih atau mereka yang memilih untuk datang ke galeri. Jadi saya lebih bisa semena-mena ngomong segala sesuatunya.

Nah, di musik hampir seperti keduanya. Kegelisahan bisa ditumpahkan, tetapi ada ruang-ruang negosiasi yang tidak bisa ditabrak. Ini publik yang lebih luas. Eksposnya juga lebih besar. Misalnya di pameran ini saya bisa bilang kontol. Tapi kalau di musik, band saya bisa di-banned dan jadi tidak bisa main kalau saya seenaknya bersikap di panggung.

Sebenarnya tidak bertentangan, tapi mediumnya digunakan sesuai dengan ekosistemnya. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Sederhanyanya, kalau di seni rupa Anda bisa berbicara apapun, hanya sedikit mungkin yang ditahan. Kalau di musik, kamu Anda berbicara apapun boleh, tapi harus banyak yang ditahan dan tidak dikeluarkan di panggung. Karena di musik, kita bekerja secara kolektif. Dengan kepala yang lebih banyak, lebih banyak juga pertimbangannya.

S

Jadi kalau misal saya bertanya Farid lebih kompromi di musik atau seni rupa, jawabannya seperti apa? Karena seni rupa pun terbagi menjadi dua.

F

Iya. Sebenarnya seni rupa lebih enak, karena di desain saya tidak bisa ngapain-ngapain. Jika mau saya bisa mendesak-desakan idealisme saat berkarya sebagai desainer, tapi itu hanya bisa terjadi di kesempatan-kesempatan khusus. Saya suka merah hitam putih, tapi kalau mendesain warung mi ayam saya tidak bisa — karena umumnya warung mi ayam berwarna biru. Ada kesepakatan. Umumnya seperti itu. Sementara kalau di seni rupa, saya jelas lebih bebas.

S

Dalam konteks musik, salah satu fungsi utama menggelar konser tunggal untuk sebuah band adalah sebagai lahan promosi album. Bagaimana dengan pameran tunggal di seni rupa? Seberapa penting bagi seorang seniman untuk menghelat pameran tunggal?

F

Saya pikir dua hal tadi sama urgensinya. Artinya, kalau pameran itu konser, maka karyanya itu saya. Menampilkan karya yang diproses dalam kurun waktu tertentu secara komprehensif itu bisa menunjukan apa gagasan yang ingin dibahas sang seniman. Di pameran tunggal, saya merasakan pressure yang besar. Karena ini salah satu peluru yang utama, mungkin eksposnya akan lebih banyak. Disini saya harus bercerita mengenai bagaimana perspektif saya sebagai perupa atau seniman? Lalu tentang bagaimana saya memberikan elemen fungsi ke karya saya.

Secara fungsi, pameran tunggal bagi seniman mirip seperti band yang harus menciptakan album terus untuk merekam presentasinya. Eksistensi band terukur dari situ. Kalau Anda tidak punya album, umur band Anda akan cenderung pendek. Kemudian Anda akan bosan, main musik tidak lagi enak rasanya, dan orang-orang tidak akan mengundang band Anda ke acara mereka lagi.

Kalau di seni rupa, sedikit berbeda. Tidak melulu ke wilayah pasar. Masalahnya bukan setelah pameran tunggal saya akan diundang ke pameran-pameran lain. Bagi saya pameran tunggal lebih berperan sebagai tempat dimana saya bisa mengutarakan statement tentang proses dari pameran terakhir hingga sekarang. Bahwa saya ingin membicarakan ini dan itu. Di antara pameran tunggal satu sama lain mungkin akan ada karya yang muncul dengan pendekatan konsep dan eksekusi yang mirip, tapi bagi saya penting untuk membuat statement yang solid dan kuat dengan pameran tunggal.

S

Tema pameran Anda menyuguhkan dialektika antara budaya populer dengan seni kontemporer. Bagaimana Anda melihat posisi seni kontemporer dalam keberlangsungan budaya populer?

F

Mungkin karena lumayan sibuk di dua bidang tadi, pandangan saya akan lebih personal. Yang saya ceritakan di sini adalah kecurigaan jangan-jangan ada pemahaman yang lucu tentang budaya populer dan seni kontemporer di mata orang. Melihat budaya populer sepertinya adalah tren yang harus diikuti. Kalau tidak diikuti, maka Anda tidak bisa dibilang sebagai pelaku budaya. Begitu pun tentang seni kontemporer yang dimaknai sebagai sesuatu yang harus berat dan konseptual.

Padahal mungkin kita tidak tahu juga kenapa ada budaya populer atau seni kontemporer? Mirip seperti pertanyaan yang muncul ketika saya tengah berkerja sebagai desainer: “Mas, aku minta dibikinkan desain dong. Minta yang pop art ya.” Maksudnya, mereka merujuk ke pop art ala Andy Warhol. Sementara menurut sejarahnya, pop art adalah sebuah era di mana kemudian ada variabel-variabel khusus yang bisa memunculkan pergerakan itu. Jadi pop art adalah pergerakan yang tidak bisa diulang.

Banyak hal yang lucu antara keduanya. Tapi apa yang coba saya bicarakan di sini lebih seperti otokritik. Seni kontemporer selalu saya jadikan sebuah guyonan di kehidupan sehari-hari. Meminjam istilah kontemporer untuk menjelaskan apapun yang tidak bisa dijelaskan secara logis. Untuk sesuatu yang membingungkan, “oh berarti ini kontemporer”. Sama juga menggunakan istilah pop culture untuk membahasakan sesuatu yang hype dan hits. Dua hal itu kemudian jadi seru ketika berkaitan dengan keseharian saya.

Di wilayah pop culture, saya punya band yang bisa dibilang menjadi bagian dari dialektika itu di Jogja. Di wilayah seni rupa saya berada di wilayah itu juga, tapi saya sendiri juga mempertanyakan apa sih yang sebenarnya ada di sini. Saya melihat ketika budaya populer dan seni kontemporer diletakan di konteks yang luas dalam hidup saya, keduanya seperti hal yang mewah. Itu bukan keseharian saya. Daily life saya kan di desain. Jadi ketika ingin main band dan bikin lagu, saya harus meluangkan waktu dan biaya yang biasa saya alokasikan untuk hal-hal yang utama. Persis seperti hobi atau kesenangan yang bahkan harus dijalankan dengan dibiayai. Jadi seni rupa dan budaya populer itu mewah sekali, harus sangat diusahakan. Nah, rasanya kebanyakan teman-teman di sini pun seperti itu. Saya curiganya apakah saya mewakili teman-teman yang bikin karya juga. Mereka kayaknya tidak hidup dari situ juga. Mereka melakukan persinggahan di kedua rumah itu. Bolak-balik.

S

Seberapa dominan Anda dalam departemen seni rupa di FSTVLST?

F

Sangat dominan. Unit yang saya kerjakan di FSTVLST itu adalah penulisan lirik dan brand yang di bawahnya ada visual dan desain. Jadi visual di bawah kendali saya. Ada beberapa yang tidak diurus secara komprehensif seperti performance panggung. Tapi untuk rilisan-rilisan utama dan resmi, kemunculan band ini secara visual selalu dengan pertimbangan saya. Dan personil yang lain memang menyerahkannya ke saya.

S

FSTVLST lebih mencuri perhatian publik dibanding Jenny. Apakah Anda melihat kesuksesan kerja branding di luar konten musik dari FSTVLST juga turut menentukan?

F

Itu juga termasuk eksperimen yang saya ceritakan tadi. Bagaimana melihat kerja di medium yang lain jadi terhubung satu sama lain. Sehingga pintu masuk untuk mereka yang mengakses karya saya jadi banyak. Contohnya, banyak teman-teman yang datang ke pameran saya adalah pendengar FSTVLST. Begitu pun sebaliknya, banyak teman-teman seniman yang akhirnya jadi tahu saya ngeband. Efeknya sangat terasa. Salah satunya ketika visualisasinya dikoneksikan satu sama lain.

S

FSTVLST mengusung konsep kesetaraan, kesederhanaan, dan kebersahajaan. Terlepas mungkin memang seperti itulah personalitas para personil FSTVLST sebenarnya, namun apakah kita tetap bisa menyebut nilai-nilai yang diusung itu sebagai brand?

F

Iya. Secara ideologi, Jenny dan FSTVLST sama. Apa yang ada di FSTVLST sebenarnya adalah mimpi-mimpi dan visi yang sempat kita rumuskan di Jenny, tapi belum terselenggara. Nah, FSTVLST seperti unit kerja untuk menyelenggarakan itu. Etos atau konsep kesederhanaan dan kesetaraan itu sudah ada sejak Jenny, tapi belum kita nyatakan sebagai brand. FSTVLST mulai menjual itu. Pada Jenny, orang akan tahu ketika mereka berusaha mencari tahu. Sementara FSTVLST melakukannya dengan sedikit mulai memakai cara pengumuman.

S

Apa momen paling sulit untuk menjaga konsep kesetaraan itu?

F

Konsep itu kan berita yang harus disiarkan terus. Kesulitannya adalah efektivitas penyampaian beritanya. Kita agak susah untuk mengukur efektivitas komunikasinya. Kita ingin membicarakan itu, lalu itu sudah sampai ke publik belum? Kalau menurut teori komunikasi kan harus diukur dengan cara yang empiris. Kami agak susah mengukur itu. Tapi secara pekerjaan tidak susah dilakukan, karena itu toh bukan hal yang kami lakukan secara mengada-ada. Kehidupan kami pada dasarnya memang seperti itu, sehingga tinggal dibicarakan saja.

S

Secara empiris, situasi apa yang paling berat untuk mempertahankannya?

F

Kami cukup rewel untuk hal detil tentang konsep itu. Misalnya, kami selalu mengingatkan teman-teman atau bahkan media yang menggunakan kata fans. Termasuk untuk admin media sosial kami yang menggunakan kata yang sepertinya membelakangi hal-hal kesetaraan itu. Contohnya, dulu ada yang menyebut fans, atau ada teman-teman yang menyebut mereka sendiri sebagai fans dan malah diamini, bukan diusahakan untuk memberi tahu bahwa sebaiknya bukan seperti itu. Permasalahannya di situ saja. Tidak ada yang berat dan krusial.

S

Seberapa jauh Anda melihat pendengar FSTVLST mengapresiasi atau terinspirasi oleh elemen seni rupa dari FSTVLST?

F

Seni rupa di FSTVLST belum jadi porsi utama. Kami masih mengedepankan karya band, seperti musik. Kalau persentuhan saya dengan teman-teman pendengar FSTVLST di seni rupa itu lewat karya-karya personal. Responsnya sebenarnya menarik juga. Yang mereka temui adalah ketertautan antara yang saya bicarakan di musik dan apa yang saya bicarakan di seni rupa. Biasanya memang gamblang, apa yang saya tulis di FSTVLST tiba-tiba tumpah di karya rupa. Lalu mereka menemukan relasinya. Apa yang saya kerjakan di seni rupa menjadi seperti alat bantu cerna untuk menikmati musiknya. Itu cara saya memperkenalkan dunia seni rupa kepada audiens musik di Jogja yang mayoritas masih sekolah atau mahasiswa baru yang kurang punya cara mengakses ruang-ruang seperti ini.

S

Anda pernah mengatakan tidak suka membaca buku. Lantas, darimana Anda mendapat kecakapan berbahasa di lirik?

F

Saya mengonsumsi teks apapun yang bukan dari buku. Saya punya banyak buku, tapi lebih senang memberikan buku pada teman untuk dibaca, lalu saya minta diceritakan isinya. Itu hal khusus yang saya lakukan. Jadi saya makan buku dari yang sudah dicerna orang. Selain saya tidak punya banyak waktu, menarik juga ketika buku yang merupakan pandangan orang dibaca ulang oleh orang yang kemudian menghasilkan pemahaman baru. Menurut saya jadinya lebih hidup. Selain itu, saya jatuh cinta dengan yang namanya teks. Apapun itu. Ketika di jalan, bawa kendaraan, saya menikmati teks dalam bentuk visual. Termasuk teks verbal ketika kita ngobrol. Dari sekian banyak makanan, bau-bauan, visual, sehari-harinya teks jadi salah satu lauk pauk yang paling favorit. Gampang bagi saya untuk tercuri perhatiannya oleh teks, daripada oleh gambar malahan.

S

Di lagu Jenny bertajuk “Manifesto Postmodernism,” Anda menuturkan bahwa yang tersisa sekarang hanyalah pengulangan dan pengulangan. Lantas, apa yang masih bisa diperjuangkan dari orisinalitas hari ini?

F

Saya masih sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh postmodernism bahwa tidak ada lagi kebaruan dan orisinalitas, yang ada hanya authenticity. Saya menyadari bahwa hampir tidak mungkin membuat suatu karya orisinal. Jadi ora nggaya (tidak bergaya). Kita bisa berkarya dengan kerendahan hati. Yang kemudian dicari adalah bagaimana asupan yang setiap hari kita dapat bisa kita telan menjadi nutrisi yang baik untuk menjadi sesuatu yang berguna.

Apapun yang kita lihat, dengar, dan rasakan itu sudah memiliki makna yang berbeda dari sejatinya apa yang terjadi. Kita melihat merah sudah bukan lagi pigmen, tapi sudah PDI Perjuangan, Telkomsel, berani, dan macam-macam. Di teks pun begitu. Yang bisa kita lakukan hanya mengunyahnya apa adanya lalu memuntahkannya kembali dengan kepekaan rasa masing-masing.

Kalau misal saya membuat sesuatu itu ada risiko besar bahwa itu pernah terjadi sebelumnya atau di saat yang sama di ruang lain. Banyaknya data dan banyaknya referensi sanggup membuat setiap orang menciptakan hal yang sama. Yang bisa membedakan adalah sentuhan personal. Dengan merah, si A bisa membicarakan satu hal dan si B bisa membicarakan hal lain. Ketika sudah ketemu dengan hal-hal personal, disitulah sebuah hal akan menemukan otentisitasnya.

S

Anda rencananya akan menggarap karya seni rupa dengan konteks tragedi 1965. Di sisi lain, Anda pernah berujar untuk sebisa mungkin tidak bicara politik di musik. Kenapa memilih melakukannya di seni rupa?

F

Nah, itu tadi. Saya memilih ruang-ruang yang tepat untuk membicarakan ini. Peristiwa 1965 ketika dipaparkan ke depan publik—bukan kemudian menakutkan, tapi— jadi sangat sensitif. Karena band itu kolektif, saya tidak bisa serta merta memaparkan kegelisahan ini semua. Ada kegelisahan yang harus disepakati secara band. Di seni rupa ada suasana yang berbeda. Ruang paparnya juga berbeda. Akan sangat lebih lega di seni rupa. Lagipula proyek ini juga personal.

S

Apakah saya yang terlewat, tapi proyek 65 itu memang belum digelar ya?

F

Belum. Masih dalam proses riset panjang. Saya tidak mau kemudian ini jadi another cerita PKI, komunis, dan 1965. Persentuhannya nanti akan personal, karena ini cerita tentang keluarga. Yang mau diceritakan bukan skema politik yang besar, tapi rasa kehilangan yang lebih personal. Misalnya seperti sampai sekarang saya nggak mengerti wajah kakek saya.

S

Dalam sebuah wawancara dengan Warning Magazine, Anda mengaku tidak ingin memilih di pemilu 2014. Namun, tak lama kemudian Anda menyiratkan dukungan pada salah satu calon lewat beberapa medium personal, termasuk media sosial. Apa yang sebenarnya terjadi di rentang waktu itu?

F

Kita sempat membicarakan ini di band. Apakah kita perlu untuk memberikan statement politik, mengagitasi teman-teman untuk memilih salah satu pasangan. Kita sepakat tidak melakukannya. Tapi kemudian ada kesepakatan baru bahwa kalau secara personal itu boleh. Walau kita menyadari risiko bahwa pernyataan personil juga akan mewakili band. Misalnya mereka yang melihat saya sebagai anggota FSTVLST juga akan susah membedakan mana pernyataan individu dan mana pernyataan band. Tapi waktu itu dengan sadar kita menyepakati kalau secara personal mengagitasi ya diperbolehkan. Sempat ada negosiasi untuk itu.

S

Pertanyaan klise. Kecewa atau tidak?

F

Walau saya tidak bisa terlalu jauh menelaah tentang negara dan bangsa ini seperti apa, tapi sejauh yang saya rasakan, kondisi yang harus dibenerin rusaknya keterlaluan. Jadi kalau misal pemimpin yang baru ini kok seperti tidak ada hasilnya, saya masih maklum. Kalau rusaknya banget-banget, benerinnya memang harus pelan-pelan. Mungkin juga bukan dia nantinya yang akan membereskan ini sampai beres. Mungkin dia sedang berusaha membereskan hal-hal yang krusial dan tidak tampak. Jadi misal membenarkan motor yang tidak bisa jalan, yang diperbaiki ya mesinnya dulu untuk paling tidak bisa menyala. Saya masih relatif merasa oke dengan apa yang ia kerjakan.

S

Kira-kira akan lebih panjang mana usia Anda berkarya? Di seni rupa atau seni musik?

F

Seni rupa. Beberapa hari yang lalu saya ditanyai untuk memilih satu hal yang hanya bisa dikerjakan antara seni rupa, desain dan musik. Saya sempat bernegosiasi bahwa desain dan seni rupa itu sama. Tapi ternyata tidak diperbolehkan dan tetap harus memilih salah satu. Jadi saya memutuskan sepertinya akan oke di seni rupa.whiteboardjournal, logo