Kebebasan Pers bersama Leila S. Chudori

Art
26.10.16

Kebebasan Pers bersama Leila S. Chudori

Febrina Anindita (F) berbincang dengan Leila S. Chudori (L).

by Febrina Anindita

 

F

Hidup di keluarga jurnalis, bagaimana cerita Anda ketika memutuskan untuk mendalami jurnalisme di kemudian hari?

L

Kalau jurnalisme pada dasarnya seperti “given” karena ayah saya wartawan. Lalu, dari kecil saya sudah melihat ayah saya bersama kawan-kawannya, yang di kemudian hari saya sadari bahwa mereka adalah wartawan yang dikenal. Pak Goenawan Mohamad pernah datang ke rumah, Fikri Jufri yang setelah saya dewasa jadi bos saya, lalu ada August Parengkuan dari Kompas, Sabam Siagian dan seterusnya. Yang paling rutin datang waktu itu Sabam dan Fikri karena mereka teman dekat ayah saya.

Jadi, sedari kecil saya dan kakak-kakak saya selalu mendengarkan mereka bicara politik. Dan saat itu generasi kami – yang tumbuh di masa Orde Baru – mengalami masa ketika pers tidak bisa menulis sebebas sekarang. Jadi, menurut saya sekarang luar biasa kebebasannya, bahkan menghina orang pun tidak masalah. Dulu keadaannya seperti berdiri di seutas tali. Jadi, dari kecil saya melihat profesi wartawan seru (tertawa). Keinginan menjadi wartawan sebenarnya ketertarikan yang alamiah.

Tapi, karena saya lahir di generasi 60-an, di masa itu kalau anak kecil ditanya mau jadi apa, pasti jawaban yang diharapkan orang adalah dokter atau insinyur. Dan sebenarnya ada periode dimana saya ingin jadi dokter karena saya masuk jurusan IPA. Dulu pembagian saat SMA, masih periode dimana jurusan IPA ada prestige, sedangkan IPS kurang dianggap. Karena saya menulis cerita pendek sejak kecil, saat itu saya berpikir hobi menulis saya jadikan sampingan saja. Tapi saya ingin jadi dokter, partly karena saya memang dulu di IPA dan saya tidak mau mendalami teknik. Selain itu, saya merasa dokter bisa menolong orang dan efeknya langsung terlihat. Jadi, ada orang sakit, kita mencoba untuk menyembuhkannya. Jadi dulu saya melihatnya…

F

Heroik?

L

Bukan heroik saja. Ada orang sakit, dan kita menolong mereka. Saya cenderung tidak peduli mengenai pandangan orang terhadap saya. Tapi saya ingin menolong orang, dan melalui profesi dokter hasilnya langsung kelihatan. Kalau jadi wartawan, sifat bantuan yang kita berikan sifatnya lebih intrinsik, tidak terlihat. Meskipun saat jadi wartawan, kita sebenarnya juga mencoba memberitakan fakta dan informasi. Tapi tetap saja, dokter lebih jelas dampak bantuan yang diberikan. Jadi dulu saya sempat ingin jadi dokter, tapi pada akhirnya saya belok lagi untuk menjadi wartawan.

F

Bagaimana situasi media cetak saat Anda menjadi jurnalis? Apakah berita yang diedarkan lebih efektif sebelum ada kanal online seperti sekarang?

L

Justru lebih efektif sekarang, karena melalui internet, arusnya lebih cepat. Perbedaannya adalah dulu berita bertumpu pada print, tetapi hal tersebut membuat berita hanya menjadi milik elit. Jadi yang membaca berita hanya orang-orang teredukasi dan orang yang merasa perlu mengetahui berita terbaru, baik di kota maupun di desa. Sedangkan orang Indonesia sifatnya lebih cenderung sebagai bukan pembaca yang baik dan malas membaca. Sekarang sudah lebih baik karena ada berita online, tapi pada dasarnya orang indonesia kurang suka membaca dibandingkan dengan bangsa lain. Bahkan ada studi dari suatu universitas bahwa minat baca Indonesia adalah nomor 60 dari 61. Ini merupakan bukti betapa buruknya minat baca kita. Padahal saya sempat menyangka, minat membaca Indonesia sudah membaik karena kita suka gadget. Tapi nyatanya minat kita tetap buruk.

Jadi, menurut saya orang Indonesia zaman dulu memiliki keinginan untuk mengetahui berita. Mereka akan membaca dan mendapat pengetahuan lebih dalam lewat berita di media cetak seperti majalah dan koran. Bedanya dengan sekarang adalah kebanyakan orang tidak bisa membedakan media resmi dengan media yang sembarangan. Sekarang banyak media online yang asal, ada media sosial, gosip-gosip bahkan ada grup WhatsApp.

F

Pesannya jadi parsial?

L

Bukan parsial saja, bahkan bisa jadi berita yang mereka sampaikan itu bohong ‘kan? Nah, kebetulan masyarakat kita gampang percaya dengan broadcast message dan media online yang bermunculan. Jadi kan ada media resmi seperti Kompas, Tempo dan Detik yang didirikan berdasarkan PT dan melakukan metode jurnalistik dengan riset, cek dan recheck. Sedangkan ada media lain yang sembarangan juga. Nah, sayangnya masyarakat kita mudah percaya dengan media seperti itu.

Dulu memang medan media lebih kecil, tapi terkontrol karena isinya benar-benar media dengan jurnalis yang mencari berita melalui riset mendalam sebelum mengedarkannya kepada masyarakat. Tapi sekarang beberapa media seperti tidak punya tanggung jawab dengan menyebarkan berita asal dan kalau misalnya mereka salah, mereka tidak dapat hukuman. Palingan hanya hukuman berupa pengucilan dari masyarakat – ketidakpercayaan. Jadi masyarakat saat ini harus punya kemampuan untuk menyisir dan memilah media yang benar.

F

Selain menulis berita di media ternama Indonesia, Anda juga menulis fiksi – sebuah hal yang bahkan telah Anda lakukan sedari kecil. Apa latar belakang yang membuat Anda ingin menulis novel fiksi – “Pulang”?

L

Jadi, saya selesai sekolah pada tahun 1988, saya dan beberapa kawan saya orang Amerika dan Kanada mampir ke Paris, Perancis untuk menyantap makanan Indonesia. Restoran ini di novel “Pulang” saya jadikan setting, yaitu Restoran Tanah Air. Saat saya makan di sana, saya bertemu dengan 4 political exile, yaitu Pak Sobron Aidit, Oemar Said, J.J. Kusni – saya tidak bertemu Pak Sudharsono, tapi bertemu dengan 3 orang tersebut.

Tokoh-tokoh tadi melihat dan mengetahui saya orang Indonesia, dan ternyata setelah mengobrol, Pak Sobron Aidit mengenal ayah saya. Saat itu saya menyadari bahwa di belahan dunia lain ada political exile yang jumlahnya ribuan dan tidak bisa pulang karena mereka sedang di luar negeri lalu saat peristiwa 1965 terjadi, mereka diduga sebagai komplotan atau simpatisan komunis. Itu kali pertama saya mengetahui bahwa ada orang seperti itu. Lalu saya mendengarkan cerita mereka dan ketika pulang saya bergabung dengan Tempo dan menemukan absurditas yang lain.

Amarzan Loebis yang duduk di meja seberang saya, beliau tahanan politik dari Pulau Buru dan tiap kali ia menulis berita di Tempo, namanya tidak bisa keluar. Kemudian ada beberapa orang yang seumuran saya juga kalau menulis, namanya tidak bisa keluar di media. Ternyata setelah saya tanya Pak Goenawan, ada persoalan regulasi Bersih Lingkungan dan Bersih Diri.

Departemen Dalam Negeri saat itu mengeluarkan kebijakan Bersih Lingkungan dan Bersih Diri – artinya kalau Anda komunis atau pernah dipenjara karena tuduhan G30S atau kalau Anda keluarga dari komunis, Anda tidak bisa bekerja di profesi-profesi yang berhubungan dengan publik, misalnya wartawan, guru, dosen, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan tentara. Pada dasarnya tidak bisa kerja jadi apapun, kecuali pengusaha. Itupun kalau jadi pengusaha, sebetulnya agak dipersulit. Tapi Tempo dan Kompas serta media lain tetap merekrut mereka, meski nama mereka tidak akan keluar – karena mereka kan juga harus tetap cari nafkah. Saat itu – ketika saya masih jadi reporter – kami beberapa kali diteror karena mereka sebenarnya tahu kalau di kantor kami dan Kompas ada orang-orang PKI.

Jadi saya merasa negara kita pada masa itu aneh dan mengerikan buat saya. Semua hal tersebut menumpuk, jadi tidak serta merta saya ingin menulis “Pulang.” Ada prosesnya, di tahun 1988 saya bertemu political exile, lalu saya masuk Tempo dan bertemu tahanan politik lainnya, kemudian setelah reformasi, saya memutuskan untuk menulisnya.

F

Ada isu terkait humaniora dalam “Pulang” yakni konsep kebebasan yang erat hubungannya dengan eksistensialisme.

L

Erat dengan identitas, sebenarnya. karena mereka secara taktis identitasnya dicabut karena paspor mereka dicabut, jadi mereka tidak bisa ke mana-mana. So, they are stateless people. Dari situ kemudian problema eksistensialisme muncul. Mereka tidak tahu dirinya warga negara mana. Jadi kenyataannya, mereka (political exile di novel “Pulang”) keliling 7-10 negara untuk mencari suaka – kalau di novel saya kan cuma saya tulis ke 3-4 negara. Sampai pada akhirnya mereka menetap di Cina selama 20 tahun, tapi di novel cuma saya tulis 3 tahun lalu mereka ke Paris.

Ada ribuan political exile lainnya yang pergi ke Jerman, Ceko hingga Kuba. Tapi kebanyakan mereka suaka ke Cina dulu sebelum akhirnya mereka berpindah tempat.

F

Terkait isu identitas dan eksistensialisme di “Pulang.” Hal apa yang membuat Anda ingin mengungkapkan isu-isu humaniora kepada publik lewat fiksi?

L

Saat itu saya sudah jadi wartawan Tempo dan sejak tahun 2005, kami secara rutin tiap September membuat edisi khusus peristiwa 1965 dengan sudut pandang berbeda. Pertama kami membuat edisi berisi keluarga para korban G30S – yang ayahnya dieksekusi, ditahan atau sudah meninggal tapi tidak diketahui di mana makamnya. Jadi kami mewawancara mereka dan di situ saya merasa kalau bahwa hal ini merupakan sebuah kasus yang seharusnya bisa diselesaikan pemerintah, meskipun peristiwanya sudah berlalu, tapi ada ribuan keluarga korban yang tidak mengetahui makam anggota keluarganya. Belum lagi massacre yang terjadi pada tahun 65-66.

Jadi hal tersebut harus diselesaikan di negara demokrasi manapun. Kita tidak bisa begitu saja melupakannya karena peristiwa tersebut merupakan tindakan kriminal yang dilakukan oleh negara. Kamboja saja sudah menyelesaikan masalahnya, padahal peristiwa mereka lebih baru daripada Indonesia. Saat itu, saya tidak berpikir jauh untuk segera membeberkan fakta tersebut ke publik, tapi saya hanya merasa kalau banyak sekali cerita sedih yang tidak bisa diungkap kala masa Soeharto memimpin selama 32 tahun.

Jadi ketika Tempo mengadakan edisi khusus itu dan saya terlibat sebagai editor, saya merasa, “Wah, ini gila ceritanya.” Di situ saya merasa, I have a story to tell, and I have to tell their stories. Meskipun saya bertemu political exile pada tahun 1988, saya tidak tiba-tiba ingin menulis fiksi, tapi cerita tersebut membekas di kepala saya.

Begitu saya kerja di Tempo dan tiap tahun kami membuat edisi khusus bulan September, saya mulai merasa ada urgensi yang muncul. Kalau menceritakan hal tersebut lewat jurnalistik kan ceritanya agak cold, you’re just telling facts. Tapi ada cerita-cerita yang menyentuh dan sedih. Jadi, saya harus menuliskan cerita mereka lewat fiksi.

F

Bagaimana proses kreatif Anda ketika meramu cerita tersebut?

L

Perbedaan penulisan saya untuk “Pulang” maupun “9 dari Nadira” dengan “Malam Terakhir” – buku ontologi cerpen pertama saya adalah riset. Untuk “Pulang,” saya melakukan riset panjang dan dalam karena saya sudah di Tempo serta ide ceritanya menyangkut sejarah dan bertolak dari real events and real people.

Selain itu karena saya juga kerja di Tempo, jadi prosesnya lama 6 tahun. Jadi saya ke Paris untuk wawancara para political exile, kemudian saya pergi ke berbagai tempat juga karena saya sudah punya plot line, bahwa cerita harus mengangkat cerita dari political exile dan anaknya. Jadi, cerita dari 2 generasi, dimulai dari tahun 1965 dan berakhir di 1998 dengan latar belakang kebangkitan dan kejatuhan kekuasaan Soeharto.

F

Pada novel “Pulang”, Anda menawarkan konsep kebebasan yang dihadirkan dengan kekangan lingkungan di masa Orde Baru, sehingga membuatnya jadi sebuah kemewahan. Jika kita bertolak ke masa kini, apakah jurnalisme sudah cukup bebas dalam membeberkan kebenaran?

L

Pada masa Orde Baru, Indonesia punya Departemen Penerangan; sekarang Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang membawahi semua media, mulai dari media cetak, TV hingga radio. Media harus mendapatkan izin dari mereka untuk memulai usaha dan saat itu butuh waktu bertahun-tahun. Mereka sangat mempersulit proses perizinan. Tidak seperti sekarang, semua orang bisa buat media online dengan mudah karena Departemen Penerangan sudah dibubarkan ketika Gus Dur menjadi presiden.

Departemen Penerangan tersebut sangat mengekang media dan film, karena mereka ada Direktur Jendral RTF (Radio, Televisi dan Film). Sekarang semua orang bisa dengan mudah buat film pendek. Kalau dulu, kalau mau buat film, kita harus mengajukan proposal dan skenario ke mereka, lalu mereka menilai judulnya. Kalau menurut mereka judulnya kurang Indonesia atau kontennya tidak sejalan, tidak akan mendapat izin.

Begitupun dengan judul film. Dulu ada film yang mengadaptasi novel Yudhistira Massardi “Arjuna Mencari Cinta”, itupun mereka revisi judulnya tanpa “Arjuna” karena ditakutkan publik wayang akan tersinggung, padahal pada kenyataannya tidak ada yang tersinggung. Ini bukti bahwa memang pada dasarnya mereka tidak mengerti seni dan ketakutan mereka hanya berdasar pada perihal kekuasaan saja.

Belum lagi kalau orang mau jadi sutradara film, kita perlu rekomendasi dari 5 sutradara lain. Gila kan itu? Kalau sekarang, kasarnya ada orang awam ingin buat film sih bisa saja. Jelek atau bagus filmnya kan kita saja yang menilai. Dulu, ketika Eros Djarot ingin buat “Tjut Nja’ Dhien”, beliau harus repot mencari rekomendasi sutradara ke mana-mana.

Kalau mau membandingkan kondisi sekarang, segalanya jauh lebih mudah dan bebas. Sekarang yang jadi masalah adalah kalau kita buat film atau berita yang dianggap menyinggung kelompok tertentu, kelompok yang dituju atau merasa bisa langsung merespon. Jadi lebih relasinya direct. Kalau dulu pemerintah yang mengatur.

Memang sekarang repot dengan adanya kemungkinan penuntutan dari orang atau kelompok yang merasa disinggung, tapi memang saya akui lebih baik dan ada proses yang ditilik dari Undang-Undang Pers. itu bukti nyata kalau sekarang kita lebih bebas. Walau sekarang dengan adanya media sosial, orang tidak bisa membedakan mana yang berita resmi atau tidak (tertawa). Sebenarnya dulu pun ada berbagai fitnah dan ada juga orang yang percaya. Tapi penyebarannya berbeda, karena belum ada media sosial. Ini adalah bagian dari untung rugi dari eksistensi media sosial.

F

Dulu pada masa Orde Baru kebebasan adalah kemewahan. Tapi setelah ada media sosial, kebebasan disalahgunakan, sehingga banyak yang lalai ketika menggunakan hak atau suaranya. Apakah keadaan sekarang justru lebih chaos dari masa lalu?

L

Saya tidak akan akan pernah mengatakan kalau masa lalu lebih enak dari hari ini, karena saya mengalami masa Orde Baru. Saya tidak mau kembali ke masa itu. Pers dulu benar-benar berdiri di atas seutas tali, kami selalu bertanya-tanya ketika menulis berita, apakah akan ditegur atau tidak. Kami tidak bisa menulis dugaan korupsi dari keluarga pejabat. Kami tidak berani menulis dan berita tersebut sudah dianggap tabu duluan oleh pers. Jadi kalau kami ingin membahasnya, kami harus berhati-hati. Misalnya ketika kita akan membahas lisensi yang dimiliki Tutut Soeharto (Siti Hardiyanti Rukmana) untuk membuat jalan tol dan channel TV atau saat Tomi Soeharto mendapat lisensi mobil nasional (Timor). Kalau sekarang, hal-hal seperti itu pasti akan langsung dicecar oleh pers, tanpa harus khawatir seperti dulu.

Saya tidak tahu anak zaman sekarang paham atau tidak bahwa kebebasan yang ada hari ini adalah hal yang sangat mewah. Anak saya yang lahir tahun 1994 saja sering meremehkan kebebasan yang ia didapati sekarang ini. Tapi saya selalu bilang, sekarang memang aman, tapi bisa saja suatu hari akan ada inisiatif pemerintah untuk kembali membangkitkan larangan ala Orde Baru. Sekarang pun sudah mulai kelihatan arahnya ke sana, dimana pemerintah melihat pers terlalu berani – kadang-kadang ada ucapan seperti itu. Tapi kami akan selau keras, kalau tidak suka, kami siap dituntut.

Yang penting sebenarnya dari keadaan yang seperti sekarang ini adalah bahwa kita harus bisa merawat sanity kita untuk bisa memilah mana yang media resmi dan mana yang bukan. Waktu cuma 24 jam dan hidup ini pendek, buat apa buang waktu untuk mempercayai hal yang tidak benar? (tertawa).

F

Apakah ada kemungkinan kembali munculnya periode ala Orde Baru ini karena banyak orang yang menyalahgunakan kebebasan?

L

Semoga tidak (tertawa). Sebenarnya sesuatu yang patut kita waspadai adalah konservatisme, dari berbagai agama. Kalau kita terlalu konservatif, jadinya mengekang. Menurut saya, kekangan yang mulai terasa justru bukan dari pemerintah, malah justru dari masyarakat. Ada orang salah mengutip saja, langsung heboh kan?

Menurut saya itu harus dijaga. Dan saya tidak mau mengatakan bahwa yang konservatif hanya dari agama tertentu yang terlihat dominan. Pada dasarnya konservatisme pada agama apapun, kalau terlalu militan itu tidak baik. Agama apapun kalau terlalu ekstrem itu tidak baik karena kecenderungan orang-orang militan akhirnya melakukan bentrok fisik. Ekstremitas ini merupakan dasar dari ketidakpercayaan pada toleransi dan perbedaan. Nah, negara ini kan didirikan atas dasar perbedaan, dan saat proklamasi Soekarno-Hatta mengundang semua elemen agama dan ras.

Kita harusnya menghargai dan mempertahankan apa yang sudah mereka usahakan. Makanya banyak media kembali menekankan bahwa Indonesia itu plural.

F

Jika menilik sastra yang bersinggungan dengan jurnalisme, karena banyak wartawan yang memilih menulis fiksi ketika ingin menceritakan hal/konflik sosial. Sekarang justru banyak yang membahas konflik personal. Apa perubahan yang terjadi dalam Sastra Indonesia, jika dibandingkan dengan kala Orde Baru?

L

Sebenarnya variasi penulisan sudah ada sejak dulu. Dulu Iwan Simatupang yang karyanya seperti Franz Kafka, begitu pun dengan Putu Wijaya yang penamaan ceritanya hanya dengan satu kata dan agak seperti Kafka. Cerpen saya yang ada di “Malam Terakhir” juga dibuat pada masa saya menyukai Kafka dan Virgina Woolf – konflik internal dan lain sebagainya. Jadi, banyak penulis yang melewati fase seperti itu. Ada yang hanya fase, ada pula yang terus seperti itu. Jadi sebenarnya penulis dari dulu sudah bervariasi. Rendra dikenal dengan puisi balada, tapi ia juga menulis puisi yang ia sebut sebagai pamflet dimana ia membahas hal sosial. Begitupun dengan Goenawan Mohamad yang menulis puisi suasana, tapi ia juga menulis puisi berbau sosial.

Jadi, menurut saya tidak clear cut hitam-putih ada penulis yang membahas hal sosial dan individual, karena mereka juga menggunakan simbol-simbol politik yang sebetulnya juga memperlihatkan keadaan sosial di Indonesia, cuma gayanya berbeda. Saya tidak mau mengotak-kotakkan penulis, karena kalau kita benar-benar baca, semua elemen tentang Indonesia ada di dalam buku-buku karya penulis lokal.

F

Melihat adanya writers festival seperti Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) yang menawarkan konten global membuat Indonesia terpapar langsung dengan perkembangan sastra dan lintas disiplin dalam dunia kreatif. Apakah festival seperti ini dapat meningkatkan posisi Sastra Indonesia di dunia?

L

Tentu ada 2 macam event dalam konteks ini, antara lain book fair – Frankfurt Book Fair, Beijing Book Fair, Indonesia Book Fair dan writers festival, seperti Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), serta festival serupa di Jakarta, Yogyakarta dan Makassar. UWRF kan dibuat dengan latar belakang untuk kembali meningkatkan turisme. Jadi pada awalnya lebih banyak penulis internasional yang hadir sebagai pengisi acara, sehingga dulu banyak yang mengkritik karena sedikitnya jumlah penulis Indonesia yang diundang. Tapi kemudian UWRF membaik dan terorganisir dengan baik sehingga mereka berhasil masuk dalam daftar festival versi majalah Time.

Festival seperti UWRF ini mirip dengan Winternachten Festival dan Perth Writers Festival yang mengajak penulis tamu untuk bergabung dalam panel dan mendiskusikan topik yang sudah ditentukan. Jadi festival ini ibarat ajang pertemuan antar penulis dan pembaca. Jadi pengaruhnya terhadap Sastra Indonesia, sebenarnya lebih pada paparan penulis lokal kepada dunia internasional; media asing maupun turis yang berkunjung ke acara, karena festival ini fokus pada penulis, bukan karyanya.

F

Apa proyek yang sedang Anda kerjakan?

L

Sebenarnya saya sedang mengerjakan 2 novel, tapi saya sering juggle proses penulisannya, tergantung mood (tertawa). Yang 1 merupakan prekuel dan sekuel “Pulang” yang berjudul “Namaku Alam.” Selain itu saya juga sedang menulis novel tentang penculikan aktivis tahun 1998. Tapi yang lebih diprioritaskan adalah “Namaku Alam” karena bahan penulisannya sebagian besar sudah ada. Tapi akhir-akhir ini penerbit saya sudah menekan agar segera menyelesaikan salah satunya (tertawa). So, we’ll see.whiteboardjournal, logo