Bunyi dan Bebunyi bersama Senyawa

04.01.17

Bunyi dan Bebunyi bersama Senyawa

Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan Rully Shabara dan Wukir Suryadi dari Senyawa (S)

by Febrina Anindita

 

H

Sebelum tergabung di Senyawa, Mas Rully dan Mas Wukir telah bermain musik masing-masing melalui Zoo dan proyek solo. Apakah sebelum tergabung sudah saling mendengarkan proyek masing-masing?

S

Rully: Saya diberitahu Wok soal Wukir. Sebelumnya jujur saja saya tidak tahu. Wok memberi tahu bahwa saya harus bertemu dengan Wukir yang saat itu baru datang dari Malang. Kebetulan saat itu gairah saya untuk mencari tentang musik tradisi atau daerah yang bisa dieksplor itu sedang tinggi-tingginya. Saya sedang mempelajari bentuk vokal dari berbagai negara, maka saat Wok memperkenalkan saya pada Wukir, momentumnya pas sekali.

Wukir: Saya mendengarkan Zoo setelah kenal Rully. Jadi sama seperti Rully momentum perkenalannya (tertawa). Saat berkenalan, saya jadi penasaran ingin tahu.

H

Senyawa adalah band yang kaya dengan pencapaian di level internasional, tapi di lokal justru berbanding terbalik, Senyawa hanya dikenal oleh kalangan tertentu. Bagaimana melihat keadaan yang demikian?

S

Wukir: Salah satu alasan kami membuat konser tunggal Tanah Air bersama G Production adalah untuk memperkenalkan diri kami, sekaligus untuk membagi musik yang telah kami kembangkan sejauh ini. Jadi kami menyadari posisi kami di ranah lokal, dan konser ini adalah medium kami untuk berkenalan. Selain itu, kami juga memiliki keinginan untuk menyapa dan bersilaturahmi dengan teman-teman yang ada di sini. Ditambah fakta bahwa kami sangat jarang main di Indonesia, dan kebetulan kami pas ada waktu dan tabungan kami sudah cukup untuk bikin konser.

Rully: Konser ini juga merupakan saat untuk berbagi oleh-oleh dari perjalanan kami cari uang di negeri orang. Dan memang benar, banyak yang belum tahu mengenai Senyawa. Atau bahkan yang lebih parah, banyak juga yang karena tak tahu, lantas menganggap bahwa musik kami etnis yang aneh. Konser ini adalah cara bagi kami untuk memberi tahu bagaimana musik kami bagi mereka yang belum tahu. Bagi yang sudah pernah melihat kami, konser ini adalah cara kami untuk menunjukkan progresi yang telah kami jalani. Bagi saya perkenalan seperti ini penting, jadi kami tidak masalah bila banyak yang tidak tahu, itu berarti evaluasi bagi kami sendiri, bahwa kami memang masih kurang giat dalam mempromosikan musik kami.

H

Kalian telah bermain di berbagai venue bergengsi, juga berbagi panggung dengan musisi terbaik dunia. Bagaimana melihat panggung di kampung halaman yang jelas lebih “sederhana” dibanding panggung yang telah Senyawa jalani sejauh ini?

S

Wukir: Justru sangat berbeda, di sini persiapannya jauh lebih berat (tertawa).

Rully: Secara persiapan, di sini kami mempersiapkan segala hal sendiri. Sewaktu konser tunggal di Rumania, kami tinggal datang dan main saja. Di luar, kami sama sekali tak tahu seberapa berat persiapan yang harus dijalani untuk mewujudkan sebuah konser.
Secara mental, konser di tanah air sendiri juga memberi beban lebih bagi kami. Saat bermain di luar, posisi kami adalah seorang tamu yang memberi hal baru pada pengunjung, dengan begitu, kami bisa tampil tanpa beban. Layaknya kita yang selalu lebih mudah terhibur saat menonton musisi luar konser di sini. Begitu di sini, kami jadi memiliki kekhawatiran seperti, “bagaimana kalau nanti orang tidak suka”, padahal kan kami tampil di depan saudara sendiri. Ada ketakutan-ketakutan seperti ini.

H

Mengenai tampil sebagai tamu, apalagi di Eropa dan Amerika pada khususnya, bagaimana kalian memposisikan diri di antara “eksotisme” yang biasa melekat pada budaya timur yang berekspansi ke dunia barat?

S

Wukir: Saya pribadi tidak pernah memikirkan mengenai eksotisme. Yang ada di kepala saya adalah untuk membuat musik yang saya sukai. Saya hanya berusaha untuk bisa berekspresi secara maksimal. Di panggung, fokus saya adalah untuk memberikan jiwa raga saya untuk panggung saat itu. Itu pandangan saya pribadi, mungkin akan berbeda kalau dari pendapat Rully.

Rully: Eksotisme adalah satu hal yang selalu saya ingin coba hindari. Meskipun ketika musik telah kita tampilkan kepada publik, kita sudah tak lagi berhak untuk melarang bila orang melihat bahwa musik kami adalah bentuk eksotisme. Tapi saya rasa, sebenarnya label eksotis ini bisa dihindari dengan tidak menganggap diri kami sebagai musisi tradisional dan tidak menggaung-gaungkan patrotisme kami. Bahwa kami adalah orang Indonesia itu benar. Tapi jangan lantas jadikan itu sebagai highlight-nya. Saat saya bernyanyi dengan lirik Bahasa Indonesia, itu bukan karena kami ingin terdengar eksotis, tapi lebih karena Bahasa Indonesia adalah bahasa ibu kami, dan kami bisa lebih jujur dengan bahasa tersebut. Kalau dikulik pun sebenarnya tak ada elemen eksotis di musik kami. Tapi sekali lagi kami jelas tidak bisa membatasi bila orang melihat bahwa musik kami berkaitan dengan eksotisme.

H

Kalau tentang anggapan bahwa musik Senyawa itu musik etnik?

S

Rully: Kalau di luar tak banyak yang bilang begitu. Mereka biasanya menyebut Senyawa lebih ke musik grindcore atau metal dengan unsur Indonesia. Justru di Indonesia banyak yang menyebut musik kami sebagai musik tradisional. Nah, di Indonesia ini unik. Bagi anak-anak underground atau indie, musik Senyawa itu musik tradisi. Tapi bagi anak musik tradisi, musik kami adalah musik underground.

Perbedaan persepsi ini ada hubungannya dengan sejarah. Di Indonesia rasanya jarak antara musik tradisi dengan musik kontemporer itu jauh sekali. Di Eropa mereka memiliki sejarah panjang tentang apresiasi musik, mereka bahkan punya era-era tersendiri pada setiap sejarah musiknya. Mulai dari klasik, gothic, victorian dan seterusnya yang mendidik mereka untuk pelan-pelan mengapresiasi perkembangan musik yang ada.

Di Indonesia, yang terjadi adalah setelah musik tradisional langsung beranjak ke rock ‘n’ roll. Ini ada sekian era yang putus, sehingga saat munculnya musik rock ‘n’ roll, anak-anak desa yang dulunya main gamelan lalu meninggalkan gamelan karena melihat musik yang dulu mereka mainkan sebagai musik yang ‘ndeso. Sedangkan mereka yang bertahan di musik tradisi jadi lebih puritan, bahwa musik tradisional harus murni tanpa pengaruh musik dari luar. Dengan keadaan yang demikian, akhirnya pemahaman kita tentang musik jadi sangat bersekat antara tradisi dan modern. Sangat dikotomis. Tapi sebenarnya kita pun tidak bisa menyalahkan audience karena keadaan yang demikian.

H

Sebagai band yang nyaris instrumental, dimana vokal Mas Rully alih-alih berperan sebagai vokal konvensional lebih terasa sebagai instrumen kedua dari permainan Mas Wukir, bagaimana memberikan makna pada setiap lagu Senyawa?

S

Rully: Setiap lagu Senyawa, baik yang berlirik atau tidak, memiliki tema yang spesifik. Di antaranya ada satu garis besar, yakni mengenai hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Kami menekankan pada hubungan di sini, jadi justru bukan mengenai manusia atau alamnya. Kami melihat bahwa hubungan antara manusia dengan alamnya ini sangat rentan, bisa jadi sangat indah atau jadi sangat produktif. Ini sangat menarik untuk dieksplor.

Cara kami menyampaikan tema tersebut adalah melalui lirik. Meski lirik di musik kami tak selalu gamblang dan jelas. Saya melihat bahwa kalau lirik terlalu jelas, jadi akan membatasi eksplorasi bunyi. Fokus saya adalah menempatkan vokal sebagai instrumen, sebagai sumber bunyi, bukan sebagai medium kalimat. Jadi jika saya ingin menyatakan sebuah kata, tapi saya membutuhkan bunyi yang berbeda, maka yang keluar dari mulut saya adalah hal yang berbeda. Kalau ada yang benar-benar ingin tahu makna lagu kami, silahkan meminta, kami akan memberi liriknya.

Wukir: Sebenarnya dari setiap lagu, fokus kami lebih pada nuansa dan energi. Meski kadang sesekali saya meminta secara khusus pada Rully untuk memberi lirik yang lebih direct pada beberapa lagu. Dan kembali lagi, setiap lagu ada tema-tema tersendiri yang bisa dipelajari dari setiap lagunya.

Rully: Pada umumnya hampir semua lagu Senyawa lahir dari proses jamming. Jadi lirik hampir selalu datang belakangan. Meski saat membuat musik biasanya kami sudah memiliki bayangan tentang apa tema yang ingin kami nyanyikan. Jika melalui bunyi saja tema lagu sudah bisa tersampaikan, maka jadilah lagu tersebut apa adanya. Jika masih perlu lirik, maka kami akan menambahkan di sana.

H

Apakah ini ada hubungannya dengan Senyawa yang kini bisa bersuara dengan bahasa yang lebih universal? Jadi di manapun Senyawa bermain, penerimaan maknanya sama…

S

Rully: Harusnya begitu. Karena kami menyampaikannya bukan dengan bahasa tertentu, tapi lebih melalui energi. Kita kadang juga bisa menyukai musik yang dinyanyikan dengan bahasa yang tidak kita pahami, itu berarti ada energi yang kita terima dari musik yang kita dengarkan. Dengan kita mendapatkan energi, maka kita akan mendapatkan pesan dari lagu tersebut. Sejauh ini kami puas dengan cara ini.
Tentang konsep go internasional. Di sini banyak sekali yang menjadikan itu sebagai fokus utama. Dari pengalaman Senyawa, bagaimana seharusnya kita memposisikan diri sebagai musisi Indonesia di panggung dunia?

Rully: Kami sama sekali tidak memikirkan tentang go internasional. Bagi saya, musisi yang telah memamerkan karyanya di platform online dan telah didengar dan di share oleh banyak orang itu sudah go internasional. Jadi tak harus main di panggung internasional, baru kemudian dianggap sebagai musisi internasional. Indonesia itu bagian dari dunia internasional, jadi tak perlu sebenarnya kita harus mengejar bermain di luar Indonesia demi mendapatkan label tersebut. Di sini istilah go internasional jadi dipahami dengan sudut pandang yang salah. Justru harusnya kita bisa berpikir kalau ada band yang belum pernah bermain di Indonesia itu berarti band tersebut belum go internasional (tertawa). Kami sendiri tak pernah menjadikan go internasional sebagai tujuan. Memang kalau musik kita bisa didengar oleh lebih banyak orang akan lebih baik.

Wukir: Saya melihat kami bisa bermain di banyak panggung luar itu sebagai akibat saja. Ini adalah akibat dari musik yang kami bikin. Kami sendiri tidak mengira bahwa musik kami akan ditangkap sedemikiannya.

Rully: Wong kami niat awalnya hanya sebatas untuk nge-jam saja kok. Boro-boro bisa mikir sampai internasional. Tidak ada sama sekali pikiran untuk ke sana. Ternyata musik kami bisa menemukan penikmatnya, saya rasa itu juga ada kebetulannya.

H

Dari cerita yang saya dengar, Senyawa sekarang banyak menolak kesempatan bermain di panggung luar negeri jika statusnya “hanya” sebagai pembuka, padahal di sini banyak sekali musisi yang mengimpikan kesempatan seperti itu…

S

Rully: Misalnya kami adalah band yang belum pernah bermain di luar negeri, mungkin kami akan juga bermain sebagai pembuka. Kami sendiri sebenarnya tidak pernah merasakan pengalaman yang demikian, karena saya rasa Senyawa ini adalah kasus berbeda. Tapi sekarang di level ini saya merasa, kami tidak perlu sih. Kalau menurut Wukir gimana?

Wukir: Kami beruntung dengan memiliki Mbak Christy (manajer Senyawa) yang bisa menjaga kami, beliau ini bisa memilah-milah mana kira-kira panggung yang cocok untuk kami, dan mana yang tidak. Mbak Christy tidak ingin Senyawa hanya jadi pelengkap, atau apalagi diundang bermain hanya karena alasan eksotisme.

Rully: Yang jelas kami sangat menghindari undangan bermain yang mengharuskan kami membayar ongkos sendiri. Kalau begitu, mending Senyawa bermain di Sumatra, atau bahkan Papua, karena daripada biaya tersebut dipakai untuk bermain di festival yang tidak jelas lebih baik uang tersebut kami gunakan untuk mewujudkan konser di Indonesia. Itu saya rasa lebih worthed. Misalnya kita harus membayar ongkos untuk bermain di festival besar, tapi kami hanya bermain di area barbeque, itu buat apa? Bukan itu tujuan kami bermusik. Kami ingin kami bermain di publik yang tepat. Ibaratnya kalau kamu mendapat undangan untuk bermain di festival terbesar di Indonesia, tapi pembukanya Wali, apakah kamu mau? Itu bukan yang kami cari. Bukan tentang bayaran yang besar, dan penonton yang banyak, tapi lebih tentang apakah kami tepat bila bermain disana. Kami lebih mendambakan bermain di daerah-daerah Indonesia, tapi seperti yang kita sama-sama tahu kadang keinginan seperti ini agak sulit diwujudkan. Mbak Christy ini saya rasa memainkan posisi yang tepat di Senyawa, ia tak hanya memfilter mana panggung yang kami harus main, tapi ia juga memetakan strategi yang pas bagi kami.

H

Jadi meski kita ini kasarnya adalah penduduk negara dunia ketiga, tapi kita pun sebenarnya punya nilai tawar ya?

S

Wukir: Oh iya.

Rully: Iya. Bahkan lebih besar seharusnya. Kami sering bermain di festival internasional lalu melihat penampilan band-band yang tampil, di saat seperti itu kami sering terpikir bahwa di Indonesia banyak band yang lebih bagus daripada di luar sana. Pengalaman yang demikian semakin memperkukuh keyakinan kami bahwa tak seharusnya band seperti ini diabaikan di Indonesia. Banyak band Indonesia yang bagus bermain tak dibayar, itu tidak seharusnya begitu. Harusnya kita bangga, meski banyak yang bobrok di Indonesia, dalam hal musik kita sangat kaya. Indonesia itu negara paling nge-band sedunia, di sini semua orang suka musik. Jadi janganlah kita minder.

H

Apa band lokal yang menurut Mas Rully dan Mas Wukir bisa sukses di level yang sama dengan Senyawa?

S

Rully: Banyak sekali. Bagi saya hal yang penting untuk dimiliki bagi musisi selain skill adalah visi dan filosofi bermusik. Beberapa band yang saya lihat memiliki itu adalah Seek Sick Six, saya selalu kagum dengan bagaimana mereka menjadi pionir musik Jogja yang suka bereksperimentasi. Saya dan Wukir juga suka dengan DOM 65, mereka akurat secara attitude dan konsisten dalam perjuangannya di sisi marjinal.

Wukir: Kalau hip-hop saya suka DPMB, dan masih banyak lagi sebenarnya.

Rully: Saya rasa banyak band lokal yang layak untuk tampil di luar.

H

Tentang eksplorasi, apa yang mendorong Mas Wukir untuk terus mengembangkan instrumen. Dari dulu yang hanya bambu, hingga kini bereksperimen dengan alat dapur. Sebenarnya apa yang dicari?

S

Wukir: Dasarnya adalah pengembangan diri. Untuk mengeksplor kemampuan diri. Saya rasa ini adalah sebuah kebutuhan bagi saya untuk terus berkembang. Misal analoginya adalah saat kita merasa lapar, kita akan makan, kalau lapar batin, maka saya akan menebusnya dengan pengembangan diri itu tadi. Selain untuk berekspresi, ini juga merupakan bentuk introspeksi. Saya rasa semua orang memiliki kemampuan masing-masing, dan dengan terus diasah, maka kemampuan kita akan semakin tajam. Itulah yang saya coba lakukan.

H

Secara bentuk, apakah eksplorasi instrumen ini merupakan bentuk ketidakpuasan Mas Wukir pada instrumen tradisional?

S

Wukir: Sebenarnya bukan masalah puas atau tidak puas, saya hanya merasa lebih nyaman dengan apa yang saya kerjakan sendiri. Instrumen saya adalah bentuk penggalian saya dalam berekspresi dan mengolah diri. Saya pun masih bermain gitar, terakhir saya sedang ingin beli gitar malahan. Ya itu tadi, untuk mengasah skill dan mengolah daya cipta.

H

Bagi Mas Rully, bagaimana cara dalam melakukan eksplorasi. Apakah bahasa dan aksara yang diciptakan di Zoo merupakan bentuk pengembangan ini?

S

Rully: Bahasa dan aksara itu khusus Zoo, dan sebenarnya dibuat karena ada kebutuhan kesana di album tersebut. Fokus saya di Senyawa ada pada pengembangan bunyi yang bisa saya hasilkan. Di Senyawa saya memiliki kebebasan yang tak terbatas untuk bereksplorasi, beda ketika saya bermain di band yang memiliki struktur yang lebih pakem. Jadi mungkin di sini landasan berkarya saya sama dengan Wukir, bahwa di Senyawa saya belajar dan ia menjadi tempat bagi saya untuk mempertajam skill dan memperdalam sisi personal. Vokal adalah hal yang sangat personal, ia adalah instrumen yang tak terlihat, sifatnya inward. Jadi dengan saya memahami vokal saya, saya akan bisa memahami diri dan mengendalikan vokal sebagai instrumen dengan lebih baik lagi.

Secara personal, saya terus belajar sejak dahulu. Tapi semenjak di Senyawa, pembelajaran saya meningkat pesat. Karena di Senyawa ruang belajar saya luas, kesempatan latihan – termasuk saat manggung – yang cukup intens, ditambah lagi pemacunya adalah instrumennya Wukir yang mencakup frekuensi yang sangat lebar. Ini sangat menantang, tentang bagaimana vokal saya bisa mengimbangi instrumen yang sedemikian. Awalnya saya merasa ini mustahil, bagaimana caranya saya bisa bersanding dengan frekuensi bambuwukir yang sangat lebar, instrumen ini bisa menghasilkan berbagai macam suara. Bahkan di sejarah Senyawa, di album EP awal, saya sempat bermain drum untuk mengimbangi suara bambuwukir. Di beberapa konser di awal, saya sempat minta instrumen Timpani untuk manggung. Ini sebelum saya sadar bahwa satu-satunya suara yang tak bisa dibuat oleh instrumen Wukir adalah suara dan tubuh manusia. Ini adalah alasan kenapa saya sangat memanfaatkan tubuh saya di panggung Senyawa, supaya kami bisa saling melengkapi satu sama lain.

H

Tentang instrumen, Indonesia sebenarnya kaya dengan berbagai macam bentuk instrumen, bagaimana Mas Wukir melihat eksistensi budaya yang demikian?

S

Wukir: Belakangan saya melihat bahwa banyak individu tergerak untuk mengeksplorasi hal tersebut. Ini kesadaran yang menarik. Adalah bagus bahwa kita tak lagi menunggu kebijakan pemerintah untuk turun dan tanggap mengenai kekayaan budaya yang kita miliki. Pergerakan yang begini bisa menjalar pada pemuda setempat untuk ikut dalam usaha pelestarian seperti ini. Kalau kita memiliki gagasan, langkah selanjutnya adalah merealisasikannya. Dari situlah akan lahir karya baru.

H

Untuk Mas Rully, bagaimana melihat tentang pengembangan olah vokal di Indonesia?

S

Rully: Saya sebenarnya tidak terlalu mendalami tradisi vokal kontemporer di sini. Kebetulan kemarin di Jogja Biennale diajak untuk berpartisipasi dengan proyek “Raung Jagat” karena tim kurator melihat program saya sesuai dengan konsep mereka yang inklusif dan bisa diakses siapa saja. Jadi misinya sebenarnya lebih ke untuk bersenang-senang dan mengajak orang untuk improvisasi.

H

Apa yang ada di depan bagi Senyawa? Apakah mungkin ada instrumen baru? Atau album baru mungkin?

S

Wukir: Untuk instrumen saya memang sedang mempersiapkan satu instrumen baru. Ini sedang dalam proses pengendapan gagasan.

Rully: Saya memiliki banyak ide, “Raung Jagat” kini sudah berkembang sendiri jadi saya sudah bisa melepasnya, sekarang saya sedang mempersiapkan proyek baru yang berjudul “Gaung Jagat”, sistemnya kurang lebih sama dengan “Raung Jagat” tapi lebih ke instrumen, yang ini sudah mulai jalan juga. Saya juga sedang penasaran untuk memasangkan vokal saya dengan berbagai instrumen yang berbeda, seperti misalnya dengan perkusi, atau ensemble string. Selain itu Zoo juga akan mempersiapkan hal baru yang edan untuk ke depannya.whiteboardjournal, logo