Satir Sarkas bersama Reza Mustar

18.01.17

Satir Sarkas bersama Reza Mustar

Febrina Anindita (F) berbincang dengan Reza Mustar aka Azer (A).

by Febrina Anindita

 

F

Apa yang membuat Azer mulai menggambar?

A

Awalnya karena memang saya suka melihat ayah saya menggambar. Ayah saya pegawai negeri, tapi dulu beliau sempat ingin berkuliah di ASRI (ISI Yogyakarta). Jadi beliau tetap menggambar walau kerja kantoran. Sejak saya umur 3 tahun, saya sudah melihatnya menggambar. Pertama kali saya menggambar tempatnya di tembok kamar kakek saya.

Saat itu, layaknya anak kecil pada umumnya, saya meng-copy gambar-gambar dari bacaan dan komik yang diberi ayah saya, seperti Donal Bebek dan Majalah Bobo atau dari film-film kartun zaman dulu.

F

Beberapa tahun belakangan, Reza dikenal dengan moniker Komikazer. Dari mana ide Reza untuk merilis komik lewat media sosial?

A

Sebenarnya sudah lama, dari zaman DeviantArt dan MySpace saya sudah mulai post gambar, tapi bukan komik. Akhirnya sempat juga posting komik di DeviantArt dan Blogspot. Cuma mungkin karena dulu belum mobile, jadi belum exposed seperti sekarang. Lalu saya pernah post komik di Kaskus lalu dipamerkan di Galeri Nasional. Bagi saya, Kaskus sendiri fenomenal pada masanya dengan istilah “Pertamax Gan” dan sebagainya. Menurut saya itu adalah era yang memungkinkan komunikasi 2 pihak antara kreator dan audience dapat terjadi.

Awalnya saya post komik di akun Instagram pribadi saya, tapi pada tahun akhir 2013 saya pikir kenapa tidak buat akun khusus komik-komik saya. Jadi saya buat akun dengan nama Komikazer supaya terpisah kehidupan personal dan karya saya.

F

Bagaimana keputusan untuk menjadikan sosial media sebagai galeri datang? Apakah ini merupakan penanda bahwa seniman Jakarta kekurangan ruang untuk memajang karyanya?

A

Tidak sih sebenarnya. Peran galeri konvensional masih tetap penting dan tidak akan bisa digantikan dengan galeri digital atau online seperti sekarang. Tapi mungkin kelebihan galeri online ini adalah lebih cepat dan relevan dalam merespon peristiwa. Seperti Agan Harahap juga waktu itu mengangkat tema yang happening pada saatnya, entah itu dari politik, sosial, budaya dan sebagainya. Itulah kelebihan galeri online, makanya sekarang karya bisa jadi lebih viral dan massive. Banyak sekali seniman yang menggunakan ruang online untuk memamerkan karya – walau masih ada offline-nya juga.

F

Apakah urgensi untuk berkarya lebih tinggi ketika menggunakan galeri online dibanding galeri konvensional karena bisa mengejar isu yang hangat?

A

Iya, lebih responsif. Kalau pameran di galeri konvensional persiapannya panjang sekali. Kalau online bisa sesuka hati. Walaupun di luar negeri kecenderungannya banyak seniman yang tidak diketahui publik jadi lebih dikenal berkat optimalisasi wadah online, seperti Jean Jullien sampai Matt Blease. Saya pun juga tidak akan tahu mereka sampai ada media sosial. Begitupun perkembangan penggunaan media sosial di sini (tertawa).

F

Kalau pakai galeri online berarti eksklusivitas sudah jadi nomor dua ya?

A

Saya punya opini pribadi tentang ini, dan kebetulan Indra Ameng juga pernah menyampaikan hal yang kurang lebih sama bahwa seni yang baik adalah seni yang bisa dinikmati semua orang. Jadi kita harus punya kesadaran juga, kalau mau menaruh karya di galeri online – karya kita akan jadi milik publik. Jadi, kalau suatu hari ada orang yang mengakui, bootleg, rip off karya, kita harus punya kesadaran akan hal itu. Karena siapa saja bisa ganti watermark dan inisial kita ketika sebuah karya seni menjadi milik publik.

Ya, perannya seniman harus pintar dan mempunyai karakter. Kita melihat karya Agan Harahap atau Popo – kita pasti tahu itu punya dia walau namanya diganti. Saya tidak peduli tentang eksklusivitas karya seni. Justru saya agak bertentangan dengan seni yang harus eksklusif dan harus datang ke galeri – di mana kita harus niat menempuh jarak dan macet untuk menikmati pameran. Ya, balik lagi karena seni yang baik itu bisa dinikmati semua orang – tidak eksklusif dan mudah diakses.

Mungkin karena dasarnya saya komikus underground, saya sangat tidak masalah dengan eksklusivitas dan segala macam (tertawa). Begitupun dengan street artist kan (tertawa)?

F

Genre satir dalam literatur selalu memiliki daya tarik. Apa alasan Reza dalam memilih sudut pandang satir dalam membuat komik?

A

Mungkin karena referensi dan pada dasarnya saya memang sinis dan sarkas saja kali ya (tertawa). Karena referensi saya banyak dari Harvey Pekar – salah satu pelopor komik underground di Amerika Serikat pada tahun 60-an. Lalu saya juga sangat mengidolakan Matt Groening yang selalu satir dan lain sebagainya.

Beberapa kali saya menyadari kalau kata-kata satir lebih sering ditolak untuk pembaca daripada kartun yang dilengkapi dengan gambar untuk menjelaskan suatu isu – karena sifat pesannya yang jadi tidak terlalu berat. Saya pernah mencoba eksperimen di akun Twitter saya terkait hal tersebut, dan memang banyak yang kontra ketika saya post kata-kata saja. Tapi ketika saya post gambar dengan pesan yang sama satirnya, justru jadi viral karena mereka pikir gambar yang saya post untuk lucu-lucuan saja. Padahal saya sedang menyindir mereka.

Jadi memang saya sinis saja sih (tertawa), saya mencari metode yang aman dan bisa diterima oleh orang saja.

F

Tetap masih mau diterima orang lain ya?

A

Iya, harus. Karena percuma kalau kalau mau sinis, sarkas atau satir dengan tulisan saja. Pada akhirnya seperti yang kita lihat Facebook – orang marah-marah saja tanpa bobot. Otomatis Anda akan menolak.

F

Isu yang Reza angkat selalu dekat dengan situasi terkini dan mayoritas pernah dirasakan oleh publik. Bagaimana Reza menentukan isu yang diangkat dalam komik?

A

Kalau memilih isu, ada beberapa tipe ya. Pertama kalau memang sedang happening, seperti Hari HAM atau Hari Anti Korupsi, saya memang menyiapkan dan berniat untuk membuat karya yang terkait hari tersebut. Ada juga yang sifatnya responsif, seperti bom di Sarinah – yang saya rasa perlu untuk dijadikan karya.

Lalu tentang isu agama kemarin dan apapun yang saya rasa penting, akan saya buat. Begitupun beberapa hal yang sudah ingin saya buat komiknya tapi belum menemukan metode tepat dalam memvisualisasikannya. Spontan saja sih. Intinya momentum.

F

Apakah sekarang jadi ada kepentingan untuk memproduksi komik?

A

Tidak harus ada momentum juga sih. Kalau dapat mood atau ide ya biasanya saya buat komik.

F

Gejolak sosial apa yang paling membekas bagi Reza dan pernah diangkat dalam komik?

A

Kalau karya yang paling membekas ada yaitu karya tentang Kamisan – Maria Sumarsih. Saya sangat tersanjung karena karya saya sempat dijadikan profile picture olehnya dan di-retweet di Twitter. Beliau sendiri juga sempat berterima kasih kepada saya secara personal. Hal itu sangat membekas bagi saya, karena saya jadi tahu kalau karya saya membantu atau setidaknya menghibur orang lain. Dari situ juga Ibu Maria Sumarsih jadi tahu bahwa masih banyak orang yang mendukungnya.

Kalau isu yang saya perhatikan sekarang antara lain adalah tentang keberagaman dan pluralisme yang sekarang semakin mengkhawatirkan. Semakin banyak generasi muda yang jadi bibit-bibit bigot dan fasis. Rasisme juga kembali terangkat; saya tidak paham apa hubungannya dengan Donald Trump, hingga pengungsian yang terjadi di Eropa. Tapi hal tersebut semakin menghkhawatirkan, sehingga sekarang saya jadi lebih memperhatikan isu tersebut – keberagaman dan sekularisme.

F

Menggunakan media sosial, format komik yang Reza buat memiliki penyebaran lebih besar daripada format umum. Apakah Reza memang menyiapkan strategi agar komik Reza dibaca lebih banyak orang?

A

Karena dasar pendidikan saya adalah Desain Komunikasi Visual (DKV), saya mencoba untuk menyederhanakan konten saya ke dalam visual yang mudah dipahami banyak orang. Selain itu saya mencoba untuk tidak menggurui melalui karya, sebab komik saya banyak yang menyindir isu sosial. Karena saat kita digurui oleh seseorang, kita akan cenderung menolaknya secara otomatis. Jadi saya mencoba menghindari hal itu, karena kalau saya melakukan itu rasanya semacam jadi polisi moral. Saya cuma mencoba untuk menyampaikan hal yang ada di kepala saya dan menurut saya benar. Kebenaran itu tidak ada yang absolut – jadi semua orang bebas.

F

Kalau melihat komik satir di New Yorker dan komikus satir lainnya, mereka cenderung membuat komik dengan minim simbol yang membuat pembaca dapat memiliki interpretasi berbeda. Apakah Reza akan mengembangkan gaya komik menjadi minimalis?

A

Ya, kaya dengan semiotik. Sebenarnya itu adalah pencapaian akhir saya untuk buat karya tanpa banyak visual tapi semua orang langsung paham. Sama dengan lirik juga di musik. Kalau terlalu verbal, orang jadi terlalu jelas apa isi kepala sang kreator (tertawa).

F

Pada prakteknya, apakah publik seringkali terlupa dengan narasi yang Reza sampaikan lewat pengamatan komentar yang ada di post Instagram Reza?

A

Ya banyak sih (tertawa). Saya adalah orang yang banyak waktu senggang pasti mengamati komentar orang-orang di post Instagram saya (tertawa). Tapi tidak apa-apa juga kalau saya sedang membahas suatu isu, saya menambahkan simbol band dalam kaos karakter yang saya gambar, hal-hal seperti ini kadang bisa membuat pembaca gagal fokus dengan narasi yang saya ceritakan. Tapi tidak semua orang seperti itu juga. Selalu ada orang yang paham dengan narasi yang saya sampaikan.

Saya berusaha besar agar konten yang saya buat tidak bias – walau tidak apa juga kalau jadinya multitafsir (tertawa). Banyak juga yang confront komik saya (tertawa). Apalagi sekarang saya tidak bisa mengontrol followers di Instagram – seperti anak-anak di bawah umur 15 tahun. Karena isu yang saya angkat sensitif, apalagi kalau bahas agama, banyak yang kontra. Tapi justru harus begitu kan, karena memang harus kontra – kalau pro justru saya takut (tertawa).

F

Melihat Reza menyortir followers di Instagram, bukankah konten atau sindiran yang Reza sampaikan akan lebih efektif kalau anak-anak tersebut; yang diasumsikan cerdas, terpapar dengan realita dan menyadari isu yang terjadi di sekitarnya?

A

Menurut saya belum saatnya. Karena anak muda sekarang sangat tidak acuh dan berani untuk mengatai suatu isu sembarangan bahkan mengutarakan kata-kata berbau rasisme. Saya juga seorang ayah, jadi ada pertanggun jawaban untuk memfilter konten yang saya buat kepada anak-anak di bawah umur.

Kalau ada yang kontra dari anak-anak SMA, saya senang saja. Kalau saya ada waktu senggang, biasanya saya jalin dialog, karena itulah kelebihan media sosial ‘kan?

F

Melihat ketidakpedulian yang menjangkit di Indonesia, apakah satir yang Reza sampaikan mampu mengubah situasi sosial atau justru semakin menjadi ironi?

A

Kalau bisa atau tidak sih saya tidak bisa jamin. Saya orangnya nihilis. Tapi tidak semua orang yang tidak peduli adalah bigot karena mereka menerima sindiran yang saya gambar lewat komik (tertawa). Kalau orang-orang yang tidak acuh ini kan penuh kebencian dan bersikeras kalau dirinya benar. Nyatanya ada beberapa orang yang mau membaca link dan penjelasan hingga referensi film ketika saya post konten berbau 1965. Namun kalau membahas orang-orang yang penuh kebencian, mereka itu sudah tidak bisa dibantu (tertawa). Karena pada dasarnya mereka sudah penuh kebencian, walau seringnya mereka tidak tahu apa yang mereka benci (tertawa). Di sini banyak terjadi kebencian tanpa alasan (tertawa). Ini membuat ironi yang ada di Indonesia semakin parah (tertawa).

F

Apakah ironi yang tercipta dalam kotak komentar dalam akun Instagram Reza memperkaya perspektif Reza dalam merespon suatu isu?

A

Semakin tertantang sih yang pasti (tertawa). Saat Pilpres kemarin, saya mengobrol dengan Irwan Ahmett dan saya tanya siapa yang dia pilih. Lalu ia tanya balik dan saya balas kalau saya pilih nomor 2 agar tidak akan ada militerisme dan dictatorship yang penuh dengan tindakan represif. Lalu ketika saya tanya lagi pilihannya, ia jawab bahwa dirinya pilih nomor 1 supaya kita sebagai seniman ada tantangannya (tertawa). Wah, keren juga nih orang – dan dia memang selalu keren (tertawa).

F

Pada dasarnya, satir menghadirkan argumen logis dengan harapan pembaca/penerima kontra terhadap ide narasi yang digambarkan. Melihat respons yang ada, apakah secara tidak langsung menyatakan bahwa publik kini sudah tidak logis?

A

Iya (tertawa). Publik kita sudah semakin brutal (tertawa), lihat saja di Facebook. Tapi brutalnya dari 2 pihak. Kita ambil contohnya Pilkada DKI kali ini. Mereka yang pro maupun kontra Ahok juga semakin mengkhawatirkan karena tidak mau saling mendengarkan (tertawa).

Apalagi yang kemarin aksi damai dengan alasan penistaaan agama pun sudah parah. Saya khawatir sekali karena ini bukan masalah kelas sosial lagi. Teman-teman saya yang mendapat pendidikan tinggi dan dari keluarga well-educated pun ikut aksi tersebut. Di mana celahnya? Saya percaya harusnya nalar dia sudah melebihi itu. Mungkin karena ada barisan sakit hati dan sebagainya ya.

Ada efek Pilpres kemarin yang memecahkan publik jadi 2 atau semakin ke sini orang mudah termakan berita yang dirilis media. Sekarang media pun semakin liar dan brutal sehingga membahayakan sekali, karena orang yang menganyom pendidikan tinggi pun bisa terpengaruh.

Semua hal di dunia ini abu-abu (tertawa).

F

Bahan tertawaan dalam sebuah satir sesungguhnya punya kekuatan kritik yang mampu menyampaikan pesan kepada pembaca secara subconscious. Apakah publik mulai paham dengan satir?

A

Kalau orang yang masih tertawa ketika diberikan konten satir berarti bagus dong (tertawa). Strateginya kan sama dengan Matt Groening yang menyiarkan The Simpsons di Fox – channel TV milik partai Republik yang berisi Donald Trump dan white supremacists. Saya melihat hal tersebut cerdas sekali karena konten yang ia bawa tepat sasaran ke orang yang ia serang. Kalau ia siarkan di channel TV Demokrat, yang melihat kontennya hanya orang-orang liberal.

Kalau di sini belum banyak yang mengemas satir dengan cara benar-benar cerdas, walau sudah ada beberapa. Kalau format komik sendiri sudah banyak, tapi nampaknya publik belum paham dengan konsep satir. Biasanya satir kurang banyak peminatnya kecuali pembaca atau penikmatnya benar-benar paham (tertawa).

F

Apa proyek yang sedang Reza siapkan?

A

Sama seperti proyek tahun lalu, yaitu pameran tunggal dan membukukan kumpulan komik yang seharusnya dilakukan tahun lalu (tertawa).whiteboardjournal, logo