Memanusiakan Perempuan bersama Ika Vantiani

12.04.17

Memanusiakan Perempuan bersama Ika Vantiani

Febrina Anindita (F) berbincang dengan Ika Vantiani (I).

by Febrina Anindita

 

F

Lama bekerja di industri iklan, apa yang membuat Ika berpaling dan memilih untuk berkecimpung di dunia kesenian?

I

Faktanya adalah saya pernah lama sekali di industri periklanan, selama kurang lebih 15 tahun. Itu lama sekali kan? (tertawa) Tiga belas tahun saya bekerja kantoran di agency dan sisanya sebagai freelancer. Menurut saya pribadi, setelah menghabiskan waktu selama itu, saya menemukan bahwa cara berpikir di industri itu tidak terlalu signifikan dalam mengembangkan kemampuan diri. Terutama dalam hal kreativitas.

Kalau ditanya, “Apa posisi lo di agency? – Creative” ya kan (tertawa)? Itu menarik sekali sekarang, setelah saya tahu bedanya antara saat kita dibayar untuk jadi kreatif dan menjadi kreatif tanpa dibayar (tertawa). Karena dulu waktu saya jadi Copywriter harus bisa kreatif kapanpun, bisa menelurkan ide-ide brilian yang award-winning dan terlihat menyukainya (tertawa).

Tahun 2004 adalah pertama kali saya memutuskan keluar dari agency setelah berkantor di 5 agency berbeda. Saya terakhir bekerja di Ogilvy dan ketika ditanya kenapa mau keluar, jawabannya adalah karena bosan (tertawa). Setelah keluar dari industri periklanan, saya sempat jadi manager EGRV (Electronic Groove). Tapi saat itu sebenarnya alasannya adalah purely exhaustion dan burned out.

Di saat yang sama, saya sadar bahwa dengan latar belakang kuliah di London School of Public Relation, saya terbiasa dengan bahasan public relation, komunikasi dan periklanan, lalu saya pun kerja di industri periklanan. Kesannya memang saya menyiapkan diri untuk berkecimpung di dunia itu (tertawa). Jadi saya sadar kenapa saya sangat tertarik dengan komunikasi, periklanan, dan marketing karena saya dibesarkan di industri itu. Saya keluar dari dunia itu karena kecapekan, tapi saya masih tetap mengerjakan freelance karena hal-hal tersebut adalah sesuatu yang paling familiar bagi saya, dan juga ada kebutuhan untuk membayar bills dan sebagainya.

Tapi ternyata saya adalah orang yang selalu terbuka atas segala tawaran yang datang tiap harinya. Salah satunya adalah tawaran untuk menjadi Kepala Sekolah di sekolah fotografi gratis milik Anton Ismael. Jadi mungkin saya tidak ada rencana tertentu setelah saya keluar dari agency mau jadi apa. Bahkan tawaran untuk jadi manager unit musik Ade Habibie juga tidak disangka. Kasarnya saya berkenalan dengan orang, lalu ditawari sesuatu dan jika saya rasa itu menarik, saya akan mengambilnya. Dan ternyata hal-hal yang saya lakukan setelah itu selalu datang dengan cara serupa.

Dulu waktu saya mengambil tawaran untuk jadi Kepala Sekolah Kelaspagi Jakarta dan membantu Anton Ismael mengatur kantornya, saya tidak paham fotografi itu apa, industrinya seperti apa, walaupun saya suka dengan cabang kesenian itu. Tapi saya ambil tawaran itu karena saya memiliki ketertarikan pada edukasi, belum lagi ini adalah sekolah gratis, serta rasanya saya nyambung dengan Anton.

Yang menarik juga tarik ulur antara saya dan periklanan, waktu saya jadi freelance Creative Director di One Comm Indonesia, kami melakukan banyak proyek menarik dan saya suka pekerjaan serta portofolio kami. Menurut saya latar belakang periklanan selama 15 tahun itu yang saya bawa dalam bagaimana saya melihat berbagai hal. Misalnya, seni di Indonesia – karena saya orang komunikasi, menurut saya ada kendala di bagian komunikasinya.

Sekarang saya sadar sekali, jika saya tidak berkecimpung selama 15 tahun di industri periklanan, saya tidak akan berada di posisi ini. Latar belakang tersebut membuat saya memiliki cara pandang tertentu dalam melihat pekerjaan saya sebagai seniman, kurator atau pekerja kreatif – karena sekarang saya mengerti bagaimana saya dibentuk oleh industri tersebut. Saya kini melihat segala hal dengan sudut pandang berbeda, mulai dari deadline, custom orders, hingga klien karena latar belakang saya industri periklanan (tertawa). Saya tidak pernah ikut sekolah seni atau punya latar belakang seni. Jadi ya self-taught saja.

Misalnya main di ruangrupa lalu bertemu dengan teman-teman sampai tinggal dengan teman-teman yang tiap harinya menggambar. Jadi menggambar jadi kegiatan yang familiar buat saya, bukan karena teman-teman saya seniman, bahkan saya tidak pernah melihat mereka sebagai seniman. Tapi karena saya dikelilingi oleh mereka jadi segala aktivitas seni menjadi familiar bagi saya dan ide bahwa untuk mempelajari sesuatu dari nol ya tidak apa – pelajari saja karena nanti juga akan mengerti.

Jadi saya bekerja dengan Anton selama 2,5 tahun, lalu saya sempat di Koalisi Seni Indonesia selama 1 tahun dan beberapa proyek yang saya pegang memang dekat dengan seni dan budaya. Tapi saya juga mulai sadar bahwa passion dan excitement saya terhadap seni, budaya, edukasi dan kreativitas selalu ada. Mungkin pada waktu saya di agency bentuk seni dan kreativitas adalah seperti itu, tapi setelah saya keluar dari agency saya menemukan perspektif baru dalam melihat hal tersebut. Jadi, ya dulu saya memang orang creative di agency, tapi saya sekarang juga masih orang kreatif (tertawa). Keduanya kreatif tapi memiliki perspektif yang berbeda total (tertawa). Itu sih yang menarik.

F

Berdasarkan pengalaman Ika di dunia iklan, bagaimana Ika menentukan medium yang tepat untuk berkomunikasi dalam menjelaskan proyek yang Ika kerjakan kepada publik?

I

Nah, itu juga karena saya memiliki latar belakang periklanan, cara berpikir saya langsung berupa creative brief agency (tertawa).

F

Oh ya? Langsung seperti itu?

I

Iya (tertawa)! Itu otomatis langsung saya aplikasikan karena ada di kepala saya. Mulai dari apa produknya, unique selling point-nya apa (tertawa). Karena itu nanti menentukan kalau saya mau mempresentasikan atau menceritakan suatu pameran atau acara ke orang lain.

F

Tapi tidak sampai bikin deck (presentasi) kan?

I

Saya pernah buat deck lho dulu (tertawa). Tapi karena perspektif yang saya pakai dalam berkomunikasi merupakan komunikasi ala agency, jadi mungkin bukan mengenai bagaimana cara menjualnya, tapi apa unique selling point, siapa target audience dan bagaimana engage dengan mereka karena itulah cara yang yang dipakai untuk segala hal yang saya buat atau urus. Jadi itu yang otomatis ada di kepala saya kalau saya ditawari sebuah proyek.

F

Tapi pernah eksperimen mengerjakan sesuatu tanpa menggunakan metode komunikasi ala agency tidak?

I

Nah, yang menarik juga, waktu saya kerja di agency adalah saya punya pengalaman menjalani collective house bersama teman-teman. Waktu itu kegiatan-kegiatan yang kami buat memiliki pesan sangat politikal, tapi di saat yang sama saya memilki kesempatan; bersama mereka, untuk mencoba berbagai metode komunikasi DIY. Seperti, ya sudah pergi saja dulu, gelar lapak di taman dan menyediakan makan siang gratis, lalu lihat akan seperti apa komunikasinya.

Jadi saya benar-benar tidak membawa atribut kantor saya karena saya masih bekerja di agency saat itu, karena itu merupakan hal yang sangat berbeda dengan pekerjaan saya. Di sana kami berhadapan dengan hal yang tidak bisa diprediksi, karena kami berinteraksi dengan orang umum – benar-benar general – yang ditemui di jalan. Pada akhirnya kita tidak bisa menentukan apa medium komunikasinya dan bagaimana cara mengkomunikasikan pesannya. Jadi kami saat itu benar-benar bergantung pada medium komunikasi mendasar seperti brosur, poster dan banner.

Kadang sekarang; kebanyakan, klien hadir dengan budget terbatas. Saya juga sempat mengobrol dengan teman yang saya bantu untuk merilis zine mereka dan mendapat ide untuk melakukan segala komunikasinya melalui media sosial saja. Semuanya tidak perlu dicetak, tidak perlu ada offline presence karena hal tersebut akan menghabiskan banyak uang. Jadi saya sekarang mendapat kesempatan untuk mengulik cara komunikasi yang sifatnya memiliki banyak keterbatasan. Tapi tetap harus dikomunikasikan dengan cara yang seru karena proyeknya sangat menarik.

Hal yang paling menantang adalah bagaimana caranya mengkomunikasikan sesuatu ke orang-orang di luar lingkaran teman. Berarti kita harus keluar dari lingkaran yang biasa kan? Senang-senang saja sih kalau yang datang teman-teman, tapi kan ada banyak sekali orang di Jakarta yang mungkin juga perlu tahu. Kita sadar dengan betapa pentingnya pesan dibalik sebuah proyek untuk dilihat atau didengar oleh orang lain. Tapi memang saya yang juga senang untuk mengulik beragam cara (tertawa). Saya sangat suka brainstorming, itu bisa berjam-jam sampai berhari-hari (tertawa).

F

Sebagai seniman, Ika dikenal dengan karya kolasenya. Apa yang membuat Ika memilih teknik kolase dalam berkarya?

I

Ini menarik. Jadi sejarahnya saya sempat pameran di Catalyst Gallery bersama Monica Hapsari dan Emte. Waktu itu kami mencoba merunut proses berkarya kami dari nol. Dulu waktu saya membuat zine kan memang pakai kolase, karena saya tidak bisa computer design sama sekali. Dari awal saya rilis zine saya dari tahun 2000 sampai 2006, saya mengadaptasi teknik kolase untuk proses pembuatannya. Saya mendalami teknik kolase karena saya zinester, karena tanpa kolase saya tidak tahu bagaimana caranya lagi untuk membuat zine. Sesederhana itu.

Lalu 2008/2009 saya mulai buat felt corsage karena ada tren craft, lalu saya coba membuat sendiri. Saat blog-hopping, sekitar tahun 2008 saya menemukan seniman mixed-media lalu sadar bahwa saya juga pernah membuat kolase juga. Jadi saya seperti mengobrol dengan diri sendiri, lalu terpikir kenapa saya tidak pernah menggunakan teknik kolase untuk membuat sesuatu selain zine.

Kemudian, ketika saya pikirkan kembali, ternyata semua proses berkarya saya selalu ada gunting, lem, kertas dan DIY. Mungkin yang mulai saya pelajari ketika saya aktif di skena hardcore punk DIY kan adalah kita bisa membuat sesuatu dengan apa yang kita punya. Bukan tentang saya tidak punya komputer atau tidak bisa melakukan ini dan itu. Tapi, you will make it work with what you have. Karena jika kita benar-benar mau membuat sesuatu, kita pasti akan mengupayakannya dengan apapun yang kita punya. Itu kan semangatnya. Jadi itu yang selalu saya bawa.

Walaupun saya sudah pernah pameran kolase bareng teman saya pada tahun 2009, dan saya kemudian disebut sebagai seniman kolase, sebenarnya pengetahuan saya tentang kolase sebenarnya juga tidak terlalu banyak. Tapi kalau dibilang saya passionate tentang teknik kolase – itu iya. Dan mungkin yang paling menarik dari apa yang saya temukan di balik kolase adalah betapa empowering tekniknya. Karena mudah sekali alatnya, cuma gunting, lem dan kertas yang sebagian besar dimiliki semua orang di rumah. Lalu kolase tidak seintimidatif lukisan atau patung. Ini kan cuma gunting dan tempel, sesederhana itu.

Saya membuat proyek “Kata untuk Perempuan” dengan metode kolase adalah karena teknik ini yang paling masuk akal. Yang menarik adalah ternyata orang banyak yang belum familiar dengan teknik kolase sebagai medium berkarya. Hal itu saya rasakan sejak tahun 2008/2009, zaman saya sering ikut bazaar dan semacamnya. Bahkan dulu waktu saya diajak pameran, klien saya nanya, “Mana gambar lo?” Lalu saya jelaskan kalau saya membuat kolase. “Oh jadi gambar itu bukan gambar lo?” Bukan itu gambar orang yang ada, saya gunting lalu saya buat jadi kolase. Itu kan terlihat jelas betapa kecilnya pengetahuan banyak orang tentang kolase.

F

Jadi, orang kebanyakan masih menganggap kolase bukan sebagai sebuah karya?

I

Bukan. Jadi begini, sebagai sebuah teknik berkarya, kolase tidak diketahui banyak orang. Berbeda dengan seni lukis, ilustrasi atau patung. Orang tahu itu, karena familiar dengan aktivitasnya. Saya merasakan sekali ketika saya dulu sering buka lapak, banyak orang yang menanyakan ini apa metode yang saya terapkan dalam praktek kolase, jadi saya benar-benar menjelaskan kolase dari nol kepada mereka.

Sampai pada akhirnya saya menyadari, bahwa memang seminim itu pengetahuan mengenai teknik ini di publik. Terlepas saya mau klaim atau tidak bahwa saya adalah seniman kolase, tapi jika saya sangat suka seni di Indonesia, saya punya tanggung jawab untuk mengedukasi publik tentang apa yang saya lakukan. Karena capek juga lho (tertawa) tiap kali saya membuka lapak, saya harus menjelaskan 10 langkah ke belakang – ini apa, kenapa – lalu publik baru paham.

Toh, saya bukan buka lapak untuk jualan kan? Itu jadi bentuk edukasi karena segala aktivitas seni bukan sesuatu yang familiar dalam keseharian. Begitupun dengan craft, karena di sini kita tidak sering melihat orang-orang merajut seperti di luar negeri, walau sekarang sudah mulai banyak yang mulai terbiasa dengan aktivitasnya di kota-kota besar. Tapi di Indonesia kan banyak sekali hal yang tidak biasa temui, jadi mereka tidak familiar dengan tekniknnya walaupun kita bisa bilang “Ini gampang lho, cuma gunting dan tempel – Hah, gimana caranya?”

Jadi kemudian, semakin ke sini kalau ditanya apakah saya seniman kolase, pasti saya akan menjawab bukan, karena memang saya tidak pernah memposisikan diri saya sebagai seniman kolase. Tapi ketertarikan saya terhadap kolase sebagai sebuah medium untuk membuat komunikasi dengan publik itu besar sekali. Terutama pada proyek “Kata untuk Perempuan” yang menggunakan kolase sebagai teknik utama, karena di sana saya ingin memberi tahu orang-orang tentang teknik kolase. Ternyata buat orang-orang, kolase itu menyenangkan dan cara membuat karya dengan teknik ini gampang. Ini menarik, jadi kita mengajak orang mengobrol mengenai sebuah topik, tapi cara mengobrolnya juga memberikan sebuah skill baru, walau sangat mendasar.

Jadi, sekarang yang menarik adalah saya masih menggunakan kolase namun dengan konsep yang berbeda. Seperti pameran “Broken Heart Gallery” kemarin itu tetap ada kolase tapi berbentuk instalasi. Saya merasa sudah berkembang cara menggunakan teknik kolase dengan hasil yang bermacam-macam.

F

Kini Ika juga sering menggunakan beragam media untuk mepaparkan ketertarikan Ika. Mengapa Ika memilih metode dan medium yang lebih alternatif untuk hal ini?

I

Sebenarnya tidak sekarang, justru selalu seperti itu (tertawa). Jadi sejak tahun 2000 itu saya cukup aktif di skena hardcore punk DIY di Jakarta. Sebenarnya awalnya dari situ. Karena dulu saya merasa sangat tidak DIY, sampai akhirnya saya dikenalkan dengan sekelompok orang yang memiliki semangat dan idealisme seperti itu, serta bagaimana mereka mengimplementasikan semangat itu dalam kehidupan sehari-hari. Saya lalu mulai paham dan menjalankan hal serupa karena saya bertemu langsung dengan mereka. Yang menarik adalah waktu saya aktif di skena itu, saya juga belajar bahwa setiap orang bukan hanya konsumen, tapi juga bisa menjadi produsen. Zine adalah jawaban kita sebagai konsumen media untuk juga mengambil peran menjadi produsen media.

Itulah kenapa saya selalu bilang “Lo bisa bikin sendiri, lagi!” Karena menurut saya, kita terus-menerus dibilang “Sudah, lo konsumsi saja.” Tapi menurut saya semua orang harus bisa memerankan dua peran tersebut, karena memang tidak semua hal yang kita konsumsi cocok dengan kita. Kadang kita sering bilang kok tidak ada ya yang seperti ini? Kadang kita punya keinginan untuk mengkonsumsi majalah seperti ini dan itu atau mau baju seperti ini dan itu. Lalu kalau memang belum ada, kenapa tidak kita buat saja sendiri? Karena pada akhirnya tidak mungkin ada satu barang yang bisa merepresentasikan semua umat di dunia ini (tertawa).

Yang menurut saya selalu menarik adalah penyadaran bahwa kita di sini tidak hanya untuk mengkonsumsi selama 24 jam sehari, tapi kita juga bisa pula menjadi produsen. Dan konsep bahwa kita juga bisa membuat sesuatu, menurut saya memang harus lebih sering diberitahukan ke orang. Kalau sekarang pemahamannya adalah kalau kita punya uang, kita bisa beli. Tidak, bukan begitu (tertawa). Kalau kita punya uang, kita juga bisa membuat sesuatu.

Ada pilihan yang penting, Bahwa kalau punya uang, kita bisa juga menciptakan sesuatu. Biasanya nanti akan timbul kata-kata, “Tapi aku tidak kreatif. Aku tidak paham seni,” intinya bukan itu. Sederhananya begini, dulu waktu pertama kali saya membuat zine, kenapa begitu empowering rasanya ketika saya memegang zine saya sendiri? Karena selama ini saya dibesarkan dengan pengertian bahwa kalau kamu bukan jurnalis, kamu tidak bisa menulis di media. Kalau kamu bukan wartawan, tulisan kamu tidak akan bisa masuk ke media dan kalau kamu bukan siapapun, tidak akan mungkin kamu bisa membuat sebuah majalah.

Untuk pertama kalinya, ketika saya membuat zine, saya disadarkan bahwa hal tersebut tidak valid. Saya sudah mengalaminya sendiri, saya membuat zine/media sendiri dan berhasil. Zine saya berbicara kepada pembacanya dan mereka bahkan datang ke saya untuk membahasnya. Itu kan secara tidak langsung saya diberi tahu bahwa semua orang memiliki kapasitas untuk membuat sesuatu sendiri, memutarbalikkan fakta bahwa selama ini kita cuma bisa menerima.

Jadi kalau sekarang lihat kenapa saya sangat sangat into DIY karena saya tercerahkan dengan itu. Dan karena secara personal saya merasakan betapa empowering dan indahnya hal itu, saya mau orang lain ikut merasakannya. Selain itu, juga karena kita dibesarkan dalam batasan yang tercipta membuat kita bahkan tidak tahu apa yang kita bisa, padahal kita belum mencobanya, termasuk saat berpikir, “Gue mau sih cabut dari kantor, lalu buat sesuatu yang gue suka.” Banyak hal yang kemudian ternyata pada praktek sehari-harinya adalah hal-hal yang sebenarnya bisa kita lakukan. Seperti self-digging akan potensi personal dan sebagainya.

F

Jadi secara tidak langsung, metode dan medium alternatif ini membuat orang bisa lebih paham akan gagasan maupun pesan yang dimaksud karena mereka hands on langsung?

I

Betul. Dan jangan lupa, diskusinya jadi lebih menarik, mengobrolnya jadi seru banget (tertawa) karena lawan bicara kita punya pengalaman tersendiri. Mereka tidak hanya disuapi. Pertanyaannya adalah apakah mereka pernah mencoba untuk membuatnya sendiri? (tertawa) Karena basic skill memang semuanya sama, tapi pengalaman kamu dalam membuat zine berbeda dengan pengalaman saya, dan kita bisa membicarakannya. Kadang kita cuma mau punya obrolan menarik tentang hal yang sama-sama kita lakukan, kan?

Ini akan lebih sulit bila lawan bicara kita lebih ke konsumen semata. Akan jadi susah juga mengobrolnya, karena saya membuat sendiri (tertawa). Saya mau orang juga tahu kalau mereka juga sebenarnya bisa jadi produsen.

F

Sepanjang tahun 2016, Ika membuat proyek pendokumentasian kosa kata yang mendeskripsikan perempuan dalam kehidupan sehari-hari melalui media kolase. Apa latar belakang di balik proyek ini?

I

Itu adalah proyek “Kata untuk Perempuan”. Jadi waktu Oktober 2015, saya diundang oleh sebuah network yang kalau dibahasa Indonesiakan, namanya jadi “WANITA” (Women’s Art Network Indonesia to Australia), yakni sebuah pertukaran antara seniman perempuan Indonesia dan Melbourne yang digagas oleh Sooji Kim dari band Empat Lima. Nah, network itu membuat proyek bernama WANITA: Female Artivism – Jakarta. Jadi waktu itu Sooji ingin mengundang beberapa seniman, crafter dan kurator dari Jakarta untuk mempresentasikan karya, workshop dan forum diskusi di Melbourne.

Saat itu yang berangkat ada 3 orang, yakni saya, Marishka Soekarna dan Ayu Dila, tapi kami memamerkan 15 karya seniman perempuan Jakarta di Footscray Community Arts Centre Melbourne. Jadi kami menceritakan cara kerja seniman perempuan di Jakarta, hingga bagaimana jadi kurator perempuan atau manager pameran di Jakarta, kurang lebih seperti itu. Lalu Sooji menawari saya untuk membuat workshop, tapi buat apa ya? Nah, yang menarik waktu saya cerita ke orang-orang tentang WANITA tadi, kebanyakan orang-orang bertanya, “Kok wanita? Kenapa bukan perempuan?” Lalu saya pikir menarik, karena pasti ada sejarah di balik kata perempuan dan wanita tadi. Tapi terlepas dari hal, nyatanya ada juga perempuan-perempuan yang merasa kalau dirinya bukan wanita ataupun perempuan, melainkan cewek. Hal seperti ini menarik, kan? (tertawa).

Kalau kita bicara Bahasa Indonesia saja kan ada banyak sekali kosakata yang sebenarnya artinya perempuan, tapi kenapa harus sebanyak itu? Lalu bagaimana masing-masing perspektif dari kosakata itu merepresentasikan perempuan. Nah, dari situ ide workshop yang dibuat dalam rangka WANITA: Female Artivism – Jakarta di Melbourne. Waktu workshop pertama, yang ikut ada 20 orang, semuanya perempuan. Tapi yang menarik adalah variasi partisipannya, mulai dari seniman wanita senior umur 65 tahun, wanita Indonesia yang ikut suaminya tinggal di Melbourne, sampai transgender, queer, LGBT dan lain-lain. Jadi memang kaya banget, sampai hasil workshop pertama itu luar biasa melebihi ekspektasi saya.

Saya lalu sadar, bahkan di negara lain, bahasa itu memang luar biasa dalam merepresentasikan perempuan. Tapi kemudian dalam praktek sehari-hari, kita punya cara lain dalam menggunakan kata-kata itu. Mungkin sebuah kata bersifat netral yang menyampaikan pesannya, tapi kalau kita melontarkannya ke orang dengan intonasi dan intensi tertentu, artinya akan berbeda lagi. Itu semakin menarik. Bagaimana sebuah kata yang menurut kita artinya biasa saja karena tidak memberikan emosi tertentu, tapi bisa jadi terjemahannya berbeda karena kita tidak pernah tahu apa pengalaman orang terhadap kata tersebut.

Dari situlah saya melihat betapa menariknya bahasa dalam merepresentasikan perempuan. Saya bertekad untuk meneruskan workshop ini menjadi sebuah proyek 1 tahun ketika pulang ke Jakarta. Jadi mulai Desember 2015 sampai Desember 2016 untuk mengumpulkan kata-kata dari publik. Workshop pertama di POST Santa, lalu di IKJ kemudian berjalan tiap bulan dengan minimum peserta 10 orang. Workshop ini gratis dan saya menyediakan semuanya, bekerja sama dengan tempat-tempat yang mau menjadi host acara dan mencetak posternya.

Sebenarnya kalau mau, saya bisa langsung bertanya tentang kata tentang perempuan kepada publik, tapi hal yang membuatnya berbeda adalah di karya tesebut jawaban dilakukan melalui kolase. Jadi setelah membuat kolase, peserta harus menceritakan alasan kenapa mereka memilih kata itu. Yang menarik adalah saat peserta mempresentasikan kata yang mereka pilih, segala cerita, trauma atau bahkan latar belakang dari tiap orang maupun komunal itu keluar. Personal insight inilah yang membuat segalanya menarik karena ada banyak hal yang berhubungan dengan bahasa terjadi di keseharian kita. Belum lagi dengan verbal abuse yang terjadi secara sadar atau tidak sadar – itu sudah jadi satu hal lain lagi. Ada juga penemuan bagaimana KBBI mendeskripsikan kata perempuan.

Inginnya semua penemuan di karya tersebut dibukukan, tapi tentunya harus dikurasi lagi. Begitu pun dengan arahan bukunya masih saya eksplorasi pendekatannya. Karena ada banyak sekali yang bisa dipelajari dari buku itu, bukan hanya sekadar sebuah buku kolase. Jadi di buku itu nantinya kita bisa mempelajari berbagai hal, mulai dari bahasa, masyarakat, dan tentunya tentang perempuan.

Yang saya juga temui dari proyek ini adalah kalau kita ingin memulai obrolan tentang topik yang belum tentu membuat lawan bicara kita nyaman ketika mengobrol secara langsung, sesi membuat karya seperti ini sebenarnya membuat obrolan menjadi lebih efektif. Karena mereka tidak merasa diposisikan untuk memberikan jawaban baik atau salah. Dan memang di “Kata untuk Perempuan” pun tidak ada salah atau benar. Semua jawaban menurut saya valid karena semuanya dari publik dan publik menjelaskannya kepada saya.

F

Selain berkreasi dalam dunia kreatif, Ika juga memiliki ketertarikan terhadap topik tentang perempuan. Hal apa yang membuat Ika tertarik akan topik tersebut?

I

Ketika saya membuat zine, sebenarnya saya menceritakan diri saya sendiri. Saat itu judulnya adalah, “Puncak Muak.” Saya menulis tentang lelaki, punk, dan orang tua dengan perspektif saya sebagai perempuan. Tapi kemudian saya mencoba merunut label yang sering diberi orang-orang terhadap saya. “Lo feminis kan? Lo feminis anarkis kan?” Banyak sekali labelnya (tertawa).

Terlepas dari itu, saya baru sadar bahwa saya dikategorikan sebagai perempuan feminis sejak awal saya membuat zine. Di masa kuliah, dosen saya merupakan feminis terkenal di Indonesia waktu itu. Saya tidak tahu ideologi politik beliau, menurut saya beliau sosok yang keren, tapi saya tidak merasa related walau kami dekat sekali.

Menjadi feminis pun bukan suatu hal yang appealing bagi saya waktu itu. Perjalanannya kemudian adalah ketika saya membuat puisi berjudul “I’m Not a Feminist”, karena saya selalu dicap sebagai feminis sejak menulis zine. Lama-lama saya gerah lalu saya penasaran apa sih feminis ini. Pengertian saya waktu itu kalau perempuan peduli dengan sesamanya adalah feminis. Kalau mereka peduli dengan anak-anak atau lansia, mereka bukan feminis. Kasarnya begitu. Saya tidak pernah mencoba menempatkan diri ke dalam konteks feminis, karena semua hal yang saya angkat atau bahas kepada orang lain terjadi secara organik. Label ini tak jarang membuat saya merasa jengah (tertawa), karena ini adalah kata yang selalu ditempelkan oleh orang-orang kepada saya.

Saya lalu sadar bahwa saya merupakan editor zine perempuan kedua di Indonesia, meski zine saya anonim. Jadi ketika orang kenal saya, banyak yang tidak menyangka kalau saya perempuan dan ternyata saya perempuan. Oh ternyata hal seperti itu penting ya. Lalu saya merasa heran, kenapa seperti ini ya? “Lo keren banget bisa melakukan banyak hal karena lo adalah perempuan.” Menurut saya harusnya semua perempuan bisa melakukan banyak hal. Itu bukan sesuatu yang luar biasa. Lalu saya bingung (tertawa) karena hal tersebut memang sesuatu yang wajar – memang sudah semestinya. Perempuan di sini selalu diletakkan dalam 2 posisi: diinjak atau dielukan.

F

Kesannya orang datang ke Ika dengan standar bahwa perempuan adalah sosok inferior, tapi ketika mengetahui pencapaian Ika, mereka langsung menganggap Ika perempuan luar biasa ya?

I

(Tertawa) Terus zine kedua saya bernama “Setara Mata” di mana saya menjadi editor. Di sana saya membahas tentang perempuan, LGBT, advertising dan seni. Saat itu saya juga memiliki pertanyaan besar tentang LGBT, jadi saat mengobrol dan bertanya dengan teman-teman saya di skena tentang hal tersebut, kemudian saya familiar dengan label seperti kalau perempuan menulis tentang perempuan, berarti saya adalah lesbian.

Mungkin hal-hal yang saya lakukan sekarang perempuan sekali ya. Tapi saya selalu menjawab bahwa akivitas saya banyak bersinggungan dengan isu perempuan karena perempuan di sini direpresi, saya cuma bersikap jujur kepada diri saya sendiri. Inilah hal yang saya harap bisa didengar oleh orang-orang. Saya ingat sekali banyak orang yang merasa kalau ada pesan besar atau ideologi yang ingin saya sampaikan lewat zine saya, padahal saya hanya menyampaikan hal yang saya rasa dan ketahui. This is what I would like you to hear from me. This is what I need you to listen.

Kalau sekarang saya bilang saya feminis, definisi saya tentang feminis pasti berbeda dengan definisi orang lain. Tapi pada akhirnya bukan tentang itu kan? Lebih kepada bagaimana kita menjalankan hidup. Bagaimana kita melihat segala hal dalam hidup. Bagaimana kita melihat orang lain, baik itu perempuan, lelaki dan lain-lain. Dan saya sekarang sadar banyak yang merasa kalau ada orang ingin membahas perempuan, “Oh, ke Ika saja” (tertawa). Ya sebenarnya saya tidak selalu membahas topik atau hal terkait perempuan saja (tertawa). Tapi saya jadi punya kepekaan seperti itu (tertawa) karena selalu diletakkan di posisi itu.

Banyak yang menyadarkan saya kalau saya selalu menjadi satu-satunya perempuan di dalam sebuah kolektif selama 6 tahun. Bagaimana saya selalu menjadi satu-satunya perempuan yang melakukan banyak hal dikelilingi oleh lelaki dan itu baik-baik saja. Padahal hal tersebut kan tidak penting, bukan karena saya perempuan atau teman-teman saya lelaki semua, karena pada akhirnya adalah tentang bagaimana saya menjalankan sebuah kolektif. Saya sering sekali diingatkan kalau saya adalah perempuan (tertawa). Sementara bagi saya sendiri, bukan berarti saya berbeda kalau saya perempuan kan? Segala hal saya lakukan ya saya lakukan karena saya manusia – pada akhirnya kita semua adalah manusia.

Misalnya ada acara tentang desain grafis dan perempuan, tantangannya adalah bagaimana mengkomunikasikan ke publik bahwa acara ini bukan tentang perempuan saja. Pada akhirnya yang penting adalah kesadaran bahwa semua orang patut menerima kesetaraan, bukan tentang seluruh dunia menjadi feminis.

F

Agak menekan juga ya label yang diberi oleh publik?

I

Tidak juga sih. Mungkin karena saya sudah diperlakukan seperti itu sejak tahun 2007 (tertawa). Cuma pada akhirnya kenapa harus seperti itu? Pada akhirnya kan yang penting adalah relasi yang dibangun antara 2 orang manusia.

F

Ika punya latar belakang komunikasi yang kental, mulai dari kuliah sampai pengalaman kerja. Kalau kita menempatkan perempuan dengan kacamata komunikasi, di Indonesia sendiri, menurut Ika, bagaimana publik melihat perempuan?

I

“Kamu itu mau minta apalagi sih Ika? Kan sudah dapat semua yang diminta,” biasanya pertanyaan tersebut me-refer pada pemikiran saya. Padahal kan tidak semua perempuan sama seperti saya. Kita tidak bisa mengaplikasikan fakta bahwa kita dikelilingi oleh perempuan yang menurut kita sudah setara, berarti seluruh dunia sudah mencapai kesetaraan. Itu kan tidak adil juga. Tapi hal itu sering terjadi kan? Pada kenyataannya, kita tahu banget bagaimana pada akhirnya perempuan selalu diperlakukan sebagai objek, maupun dia CEO atau sebagainya.

Ada salah satu pernyataan dari buruh pakaian bekas di Bangladesh yang ada di pameran Fast Fashion/Slow Fashion yang mengatakan bahwa perempuan Kaukasia sangat beruntung karena hidup mereka tidak diatur oleh orang lain – kami tidak memiliki kemewahan seperti itu. Itu kan jadi kesadaran bahwa bagaimana orang bisa memilki privilege dalam menjalankan hidup.

Itulah hal yang sekarang menjadi masalah di sini, banyak orang yang melihat hak istimewa seperti kesempatan untuk tinggal di kota besar dan mampu berkarya itu menjadi pembeda. Padahal hal tersebut tidak berlaku di perempuan. Yang lebih penting kan adalah menghormati hak antarsesama. Tapi kan banyak hal yang membatasi perempuan, mulai dari kultur, agama dan sebagainya dengan lapisan yang luar biasa. Jadi saya semakin kesal kalau ada orang yang bilang “Lo mau apalagi sih?” Dari situ sudah terlihat bahwa kemewahan seperti tinggal di Jakarta bukan berarti keadaannya sudah ideal kan?

F

Ika juga tergabung dalam sebuah kolektif bernama Kolektif Betina. Apa aim yang ingin diraih oleh kolektif ini?

I

Kolektif ini besar sekali (tertawa). Awalnya kami adalah sekelompok perempuan yang berasal dari skena hardcore punk DIY di Indonesia. Seiring waktu kami semakin sibuk dengan kegiatan dan kehidupan masing-masing, jadi kami membuat grup WhatsApp untuk mengobrol di tahun 2014. Setahun kemudian, timbul keinginan untuk mengundang lebih banyak perempuan yang datang dari luar skena, makan dibuatlah grup baru bernama Kolektif Betina.

Ternyata dari ide bahwa sebagai perempuan, kami ingin bisa mengobrol dengan teman-teman perempuan yang menurut kami tidak hanya mengerti, tapi juga mendukung kami, sehari-hari. Sekarang ada 42 orang anggota dari 9 kota di Indonesia. Tapi esensi kolektif ini adalah kami mengobrol tentang segala hal tiap hari. Hal-hal yang menurut kami tidak bisa dibicarakan di luar kolektif karena persepsi yang bermacam-macam. Pelan-pelan kolektif ini menjadi sebuah ruang di mana mereka bisa menjadi diri sendiri.

Kami mencoba untuk bisa menjadi ruang akomodatif dan berusaha untuk tidak menjadi judgemental, karena kita tidak selalu memiliki ruang nyaman di rumah atau dengan teman baik. Jadi kolektif ini memberikan ruang positif dalam membahas beragam topik. Yang menarik adalah kolektif ini adalah geng perempuan yang suka mengobrol atau senang-senang sendiri karena kami nyambung dan nyaman dengan satu sama lain.

Tapi ada hal-hal di luar kami yang kami rasa perlu kami bicarakan. Misalnya kami membuat kampanye tentang pemerkosaan dengan hashtag #TidakMemperkosa karena menurut kami topik itu perlu dibicarakan sehari-hari. Perkosaan adalah hal yang bisa muncul tiap hari. Kalau kita tidak membahas hal tersebut sebagai topi sehari-hari, bagaimana kita bisa berharap akan ada solusi tentang hal tersebut kalau kita sudah berjarak dengan topiknya?

Ada banyak hal yang terkait tentang perempuan jadi berjarak karena perlu validasi dari publik untuk membicarakannya. Kita kan sebenarnya bisa membicarakan hal tersebut dengan konteks sehari-hari, tapi apakah lingkungan kita memberikannya? Misalnya kita bicara tentang pap smear dan perlakuan yang didapat dari dokter dan susternya.

Kami sadar bahwa sebagai perempuan, banyak sekali hal-hal yang tidak bisa didapat dan kolektif ini mencoba untuk memfasilitasi hal tersebut. Kami merasa obrolan yang muncul datang dari anggotanya, jadi kami merasa dekat dengan topiknya. Karena kolektif ini terjadi secara organik, jadi kami sebenarnya tidak ada agenda spesifik.

F

Menurut Ika, lingkungan seperti apa yang memiliki pandangan ideal terhadap perempuan?

I

Lingkungan yang melihat perempuan seperti manusia biasa. Kami manusia biasa kan? Kami ada buruknya, ada brengseknya, ada luar biasanya, ada kelemahannya. Pada akhirnya selama perempuan tidak dilihat sebagai manusia biasa dengan segala kelemahan dan kekuatannya, perempuan tidak bisa dilihat sebagai manusia yang setara. Kenapa begitu? Kenapa sangat susah untuk kalian untuk melihat kami sebagai manusia yang setara?

Selalu antara perempuan di bawah atau di atas. Kami enggak pernah lho meminta untuk diperlakukan dengan dielu-elukan seperti itu. Kami manusia biasa di sini. Yang kami inginkan sederhana untuk diperlakukan seperti bagaimana mereka memperlakukan diri mereka sebagai manusia.

Tapi kemudian orang-orang juga selalu kembali membawa-bawa keperempuanan. Itu poin saya, karena realization-nya tidak ada dan selalu dikembalikan ke hal tersebut. Itu terus yang diungkit-ungkit. Kami kan juga jadi bingung, karena di satu sisi kami ingin diperlakukan setara sebagai layaknya manusia, tetapi di sisi lain masyarakat juga selalu kembali ke keperempuanan kami sebagai alasannya.

Masalahnya lingkungannya itu tidak kondusif, tidak positif, dan tidak suportif untuk memulai upaya-upaya yang bahkan sederhana tentang hal yang ingin kita sampaikan, bahwa perempuan juga adalah manusia biasa yang punya kesalahan sama seperti semua orang. Tidak usah mengubah sudut pandang, bertukar sudut pandang saja dulu. Tapi jika lingkungannya tidak pernah memberikan ruang untuk melakukannya, bagaimana kemudian bisa terjadi diskusi yang sehat?

Itu masalahnya, kesadaran bahwa kita butuh lingkungan yang positif dan suportif untuk menginisiasi diskusi yang sehat saja tidak ada. Jadi saya pun tidak tahu bagaimana untuk benar-benar berharap ada perubahan yang besar. Misalnya saja ketika mau membicarakan pentingnya reproduksi seksual untuk perempuan sebagaimana untuk laki-laki saja tidak bisa.

Padahal itu bisa dilakukan dalam percakapan sehari-hari. Sesederhana dengan menyadari bahwa pembicaraan itu merupakan hal yang penting dan sensitif. Lalu kemudian merespon pembicaraan itu jika memang hal tersebut menarik dan berkenaan dengan kalian. Hal itu yang kemudian membuat isu-isunya berjalan.

Jadi kita kembali lagi ke zine, ke media sebenarnya. Ini yang kemudian membuatnya menjadi semakin penting karena melalui zine kami bisa memulai pembicaraan itu. Dan saya mengerti kenapa dulu teman-teman memilih untuk menjadi anonim dalam zine-nya karena yang lebih penting adalah melemparkan idenya ke luar sana ketimbang diri penulisnya.

Kalau sekarang kan semua mau kelihatan, semua mencari panggung. Itu sebenarnya tidak masalah, hanya saja ketika kamu mencari panggung, apakah kemudian kamu juga terbuka untuk berdiskusi secara sehat mengenai hal yang kamu bicarakan?

Maka itu saya senang dengan presentasi “Kata untuk Perempuan” semacam bisa membuka percakapan seperti itu. Bahkan untuk lelaki yang kadang merasa perempuan itu adalah orgasme buat dia, dan dia bisa membicarakan hal itu di sana. Atau tentang mengapa lelaki melihat perempuan dari sisi sensualitasnya. Tapi kita memperlakukan percakapan ini bukan sebagai ajang gontok-gontokan, melainkan sebagai percakapan sehari-hari yang santai. Apalagi orang-orang dalam forum ini juga orang asing yang tidak akan kita temui lagi, sehingga orang bisa lebih terbuka. Pada akhirnya semuanya kembali ke ruang.

F

Lalu, apa proyek yang sedang Ika kerjakan?

I

Terakhir saya mengkurasi acara yang digagas oleh Goethe. IKAT/eCut ini membahas sejarah tekstil sampai hari ini khususnya di wilayah Asia Tenggara di tiga Negara yaitu Filipina, Indonesia, dan Australia. Selain itu, pameran besar yang kemarin berlangsung mengupas fakta-fakta yang ada di balik pakaian kita sehari-hari. Yang menarik dari proyek ini sebenarnya adalah kami memperkenalkan dan memahami terminologi baru di Indonesia yaitu fast fashion dan slow fashion itu sendiri, siapa praktisinya dan bagaimana prakteknya.

Saya juga membuat enam fringe events selama satu bulan di sela-sela pameran itu yaitu dari 15 Maret-8 April 2017. Pada dasarnya yang saya lakukan ketika mengkurasi enam acara ini adalah untuk membuka dialog mengenai fast fashion. Khususnya untuk masyarakat Jakarta hari ini, yang menurut saya kalau kita bicara fast fashion. Misalnya di pameran For Keepsake Keep Me!, pemahamannya fast fashion itu orang gampang sekali membuang pakaian. Gampang sekali membeli pakaian baru. Nah menurut saya yang menarik adalah kecenderungan kita untuk menyimpan pakaian karena ceritanya.

Menurut saya menarik ketika kita menyimpan pakaian karena kisahnya. Itu bukan lagi fast fashion. Nilai dari pakaian itu sudah berubah. Mungkin kita membelinya karena modelnya atau karena brand-nya. Tetapi ketika ada suatu kejadian, dia berubah nilainya, berubah ceritanya, berubah cara kita memaknai baju itu.

Kemudian ada Repair Fair yang sebenarnya merupakan suatu usaha untuk mengajak masyarakat memperbaiki pakaiannya sendiri. Namun proses repairing di sini bukan hanya sekadar untuk memperbaiki, tetapi juga bagaimana repairing juga bisa menambah nilai atau sesuatu yang baru ke pakaian kita. Saya mengajak masyarakat untuk membawa pakaian mereka yang butuh di reparasi, butuh dimodifikasi mereka bisa lakukan itu di sana bersama lima desainer asal Jerman dan satu desainer Indonesia dan pulang dengan baju baru.

Selain itu juga ada Behind the Screen yang saya buat untuk mengetahui secara utuh mengenai fenomena fashion blogger, content creator, dan sebagainya. Itu kan dulu tidak ada. Tetapi sekarang semua orang berlomba-lomba terbawa euforia ini. Pertanyaan saya kemudian ketika orang-orang begitu tertarik dengan fashion – entah itu untuk menjadi fashion blogger, fashion designer, fashion stylist, dan sebagainya – ketika melihat visual-visual ini di layar gadget mereka, apakah mereka tahu seluruh proses di baliknya? Karena banyak menurut saya beberapa posisi; seperti fashion blogger, yang penting itu bukan soal fashion-nya tetapi lebih soal gengsinya. Pada akhirnya itu tidak ada kaitannya dengan fashion sama sekali.

Lalu ada diskusi Is Sustainable Doable? Berisi 7 pembicara (5 dari Jerman, 2 dari Indonesia) Diskusi ini bicara mengenai sustainable fashion di Jerman dan di Indonesia. Termasuk artist talk juga karena dua pembicara yang dari Indonesia juga ikut dalam pameran slow fashion-nya.

Lalu ada juga Handmade Fabric Day. Live demo prakter slow fashion di Indonesia sekarang. Ada 2 dari Bandung dan 2 dari Jakarta. Ada handstamping on satin, weaving, ecoprinting, serta natural dye. Jadi orang datang sekalian mencoba sekalian mengobrol dengan harapan menumbuhkan kesadaran bahwa slow fashion bisa dilakukan sendiri.

Lalu yang terakhir ada Swap with Me Baby di Dia.Lo.Gue. Ini ajang bertukar pakaian yang memungkinkan orang-orang untuk mendapat pakaian baru tanpa harus keluar uang. Kemudian juga kalau memang kita sangat tertarik dengan secondhand fashion kita tidak punya pasar secondhand lokal. Semua pakaian kita dari luar kan. Selain itu juga fakta bahwa ketika kita ke secondhand market kita hanya menerima bajunya, tetapi tidak bertemu dengan pemilik sebelumnya. Itu juga yang menjadi tujuan saya yaitu untuk mempertemukan pembeli dengan pemilik sebelumnya dari suatu pakaian dan mengetahui pula cerita di baliknya.whiteboardjournal, logo