Menegakkan Perempuan bersama Dolorosa Sinaga

26.04.17

Menegakkan Perempuan bersama Dolorosa Sinaga

Amelia Vindy (V) berbincang dengan Dolorosa Sinaga (D).

by Febrina Anindita

 

V

Isu tentang perempuan kuat terasa pada karya dan bahkan proses berkarya Bu Dolo, di mana Bu Dolo menyebut bidang patung sebenarnya sangat maskulin. Bagaimana Bu Dolo melihat posisi perempuan di bidang seni, khususnya patung?

D

Yang pertama saya tidak melihat bahwa bidang patung bersifat maskulin. Mungkin yang saya maksud adalah bahwa saya ingin mematahkan bahwa bidang patung hanya didominasi seniman lelaki, makannya saya mendalami bidang ini. Sampai hari ini memang tidak banyak jumlah pematung perempuan. Tapi ini bukan merupakan tanda bahwa lelaki lebih superior daripada perempuan. Tapi mungkin karena minat para perempuan terhadap bidang patung ini belum terlalu besar.

Saya pikir ini adalah soal minat dan selera. Mereka tahu bahwa semua hal tersebut berkaitan dengan nilai ekspresi, jadi kita tidak bisa mengatakan bahwa ada sisi yang melemah atau menguat di balik alasan pemilihan ini. Saya sendiri tertarik dengan bidang patung karena seni ini dianggap dunia lelaki, tapi ketika saya mendalaminya, saya bisa melakukan segala hal yang dilakukan lelaki. Saya mengelas, memahat, mengecor bahkan menuang logam. Nah, kesadaran ini kan belum ada di semua perempuan. Tapi saya sudah memberikan pengaruh ke pematung perempuan walau jumlahnya baru sedikit sekarang.

V

Apa yang bisa dilakukan oleh seniman perempuan dalam karyanya supaya tercipta kondisi yang setara bagi perempuan di sana?

D

Nah, ini juga suatu kesesatan berpikir lho (tertawa). Saya hanya bisa mendorong agar kesetaraan dapat diwujudkan melalui kesadaran yang tumbuh di pemangku negara. Karya saya mendorong dan membuka hati, serta memberi pencerahan kepada orang-orang yang tidak berlaku adil terhadap perempuan. Karya saya tidak bisa membuat kesetaraan gender, tapi bisa mendorong kesetaraan itu bisa terwujud.

Karya saya bisa mendorong siapapun atau memberikan pencerahan dan empati kepada siapapun yang melihat, sehingga mereka dapat bersikap adil kepada perempuan dan peduli terhadap segala hal yang terjadi di sekeliling mereka. Jadi karya saya merupakan media saya untuk menyatakan hal-hal yang menjadi kepedulian saya.

V

Ada karakter yang sangat kuat pada patung buatan Bu Dolo, di mana karya yang dibuat alih-alih mengejar kesempurnaan justru bermain di antara kesederhanaan bentuk yang jujur, bagaimana menemukan karakter yang demikian?

D

Kalau menurut saya, dalam proses berkarya secara umum sama tahapannya. Ada ide yang mendorong seniman untuk mewujudkan karya, lalu seniman harus memilih medium dan teknik berkaryanya dan sebagainya. Ada metode penciptaan karya yang sudah harus diketahui oleh seniman, dan itulah yang dipelajari di sekolah seni. Tapi tidak semua orang melalukan proses berkarya yang memperlihatkan keunikan karyanya atau karakter karya yang berkaitan dengan konten. Karena dari situ akan terlihat keberpihakannya dan cara bekerja.

Saya tertarik dengan isu-isu perempuan. Buat saya, perempuan itu dianggap ringkih, makanya patung saya pipih semua. Tapi perempuan itu tegar dan kuat. Bisa dilihat di patung “Solidaritas” saya. Walau mereka ringkih, tapi sangat kuat secara ekspresi. Itulah yang membuat proses berkarya seniman berbeda. Mulai dari kepeduliannya, keberpihakannya, hingga pilihan sikap hidupnya sebagai seniman.

Tentu orang sudah melihat sepanjang saya berkarya, saya konsisten membela perempuan. Karena menurut saya perempuan harus dibela. Perempuan mendapat stigma bahwa mereka boleh ditindas dan diperlakukan sebagai objek secara kultural. Dari situ saya ingin karya saya dapat memberikan pencerahan sedikit kepada publik untuk memberikan hormat kepada perempuan dan tidak melihat mereka sebagai objek.

Harusnya kita sama-sama mengerti bahwa ada perubahan yang memberikan keadilan berbeda dibandingkan dahulu kala. Sekarang perempuan sudah diberikan kepercayaan oleh ayahnya untuk pergi ke mana saja, karena ayahnya yakin bahwa anaknya bisa menjaga diri. Itu perkembangan, ya kan (tertawa)?

Jadi dari perjalanan saya berkarya ini, pilihan ekspresi, konten dan keberpihakan hingga kepedulian saya sudah jelas. Lebih luas dari tentang perempuan, karya saya memperlihatkan keberpihakan saya pada kaum yang tertindas haknya, salah satu contohnya adalah mereka yang tertindas dikarenakan Lumpur Lapindo Brantas.

V

Sebagai seniman yang telah mengalami berbagai era, bagaimana Bu Dolo melihat posisi seniman di era sekarang, di mana publik memiliki opini yang kuat untuk menyensor karya tertentu, seperti pada kasus “Makan Mayit” Tontey misalnya…

D

Ya, ini persoalan yang usang karena tidak pernah bisa diselesaikan oleh negara. Ini kan soal kekuasaan menindas siapa saja yang dianggap tidak sesuai dengan nilai yang dipegang. Tapi perbedaan ini kan bagaimana bisa terbangun. Kalau kita lihat apapun yang dilakukan oleh seorang seniman, bisa melahirkan asosiasi tertentu. Contohnya ketika seorang lelaki membuat perempuan telanjang, di mana segala bagian tubuhnya telihat jelas. Dari situ akan timbul asosiasi di kepala sang lelaki, seperti ingin menidurinya. Katakanlah begitu.

Nah, mungkin di sisi itu saya masih konvensional. Tapi di luar negeri, orang-orang sudah tidak peduli. Mereka sudah tahu konsekuensi yang akan didapat ketika berbuat sesuatu yang buruk karena hukumannya sudah jelas. Kalau di Indonesia kan law enforcement-nya belum kuat. Kita di sini cenderung menggunakan teror yang membuat semua orang takut, ketimbang takut polisi, yaitu agama (tertawa). Nanti kamu masuk neraka.

Walaupun kalau buat saya – saya tidak mengerti alasan tersebut, karena saya tidak pernah tahu ada surga atau neraka. Jadi, kalau kita melihat bahwa seni sebagai produk ekspresi dan pengetahuan, ketegangan yang dilahirkan di ruang sosial itu sangat biasa. Artinya seni susceptible untuk melahirkan konflik. Sebagai subjek, seni di ruang sosial pasti melahirkan ketegangan, karena di sanalah semua kebenaran memiliki perbedaan.

Persoalannya adalah bagaimana mengatasinya. Apakah seniman ini harus dicemooh, apakah harus dipenjara atau karyanya harus dimusnahkan. Itulah persoalannya. Itu yang tidak pernah kita lihat negara hadir untuk menyelesaikannya. Kalau bukan hukum, pasti agama yang akan menyelesaikannya (tertawa).

Jadi kita punya persoalan dalam mengatasi persoalan mengenai perbedaan di ruang publik. Bagaimana tindakan yang harus diambil? Apakah betul, tindakan yang diambil oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak? Perlu diperiksa keabsahannya mengatakan bahwa Tontey harus ditindak. Umpamanya saya datang dengan premis bahwa hanya seni yang bisa mengadili seni, ia tidak punya keabsahan karena beliau bukan dari bidang seni. Saya bisa mengadili Tontey karena saya berada di bidang seni. Nah, negara harus hadir untuk mengurus atau mengatasi ketegangan yang ada di ruang sosial.

V

Belakangan Bu Dolo juga mengembangkan pendekatan yang mengajak seniman mendasarkan karyanya pada riset, tak lagi hanya berdasar kegalauan pribadi. Kenapa demikian?

D

Kemarin saya menjadi kurator pameran di Cemara 6 Galeri, dengan judul Kitab Visual Ianfu. Salah satu seniman di pameran itu adalah mantan murid saya di IKJ – AP Bestari yang membahas Ianfu untuk skripsinya. Ia melakukan riset kecil-kecilan untuk membuat karya dan mengetahui sejarah Ianfu.

Untuk pameran ini saya mengajak 12 orang seniman dan kawan saya di Komite Internasional Ianfu, Eka Hindra. Eka ini pula yang banyak meneliti tentang Ianfu di Indonesia dan menemukan bahwa korban budak seksual militer Jepang pada zaman kependudukan Jepang yang terbanyak adalah Indonesia di antara beberapa negara di Asia Pasifik.

Bulan Agustus lalu diresmikan menjadi bulan peringatan Ianfu oleh World Cultural Heritage karena mereka dianggap sebagai korban kebudayaan. Karena Jepang kan sama sekali tidak punya budaya terhadap perlindungan perempuan, makanya mereka punya geisha kan? Dan itu mentradisi terhadap kultur mereka dan menjadi gambawan kultur mereka.

Jadi perempuan di mata tentara Jepang adalah budak seks mereka. Supaya tentara tersebut tidak “jajan” dan terkena penyakit kelamin, Jepang melakukan pendekatan untuk memuaskan nafsu seks para tentaranya dengan membuat sebuah asrama perempuan secara sistematis dan sesuai penempatan mereka agar bisa “melayani” mereka. Dan di asrama tersebut juga dilengkapi dokter yang akan memeriksa para perempuan secara rutin. Apapun yang perempuan ini lakukan, mereka dipaksa sebagai budak seks dan inilah yang dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan.

Kami berkumpul setelah riset kecil-kecilan, jadilah pameran kitab Visual Ianfu ini, dan ternyata mendapat gaung besar. Riset buat saya adalah studi karena akan mematangkan pendapat dan pilihan teknik hingga medium yang dianggap paling tepat untuk mengekspresikan ide menjadi sebuah karya.

V

Apa yang belakangan mengganggu benak Bu Dolo sebagai seorang seniman?

D

Yang sampai sekarang menjadi kegeraman saya adalah pemerintah tidak melihat kesenian sebagai bagian dari pendidikan budaya. Pemerintah tidak melihat pendidikan budaya adalah salah satu pilar paling penting dalam pembangunan karakter bangsa. Ini bisa dibuktikan dengan tidak adanya sekolah seni di tiap provinsi. Hal ini tidak jadi prioritas pemerintah. Kalau mereka paham bahwa kesenian adalah pendidikan budaya, kita akan punya sekolah seni di tiap provinsi. Mereka bebal terhadap betapa pentingnya pendidikan budaya dan seni sampai sekarang. Hitung saja ada berapa sekolah seni di Indonesia.

Pemerintah juga tidak pernah bisa memahami poin di atas. Dari situ kita bisa melihat fakta bahwa pemerintah tidak melihat ada institusi lain yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan untuk masyarakat mendapatkan pengetahuan, yaitu museum dan galeri.

V

Selain berkarya, Bu Dolo juga menciptakan karya bagi Piala Citra, Abang None, hingga Patung 66. Bagaimana Bu Dolo memposisikan idealisme personal dalam karya yang demikian?

D

Saya tidak mempertantangkannya. Saya selalu bekerja dalam 2 polarisasi yang menurut saya baik untuk dihidupi. Saya membuat Piala Abang None dengan sepenuh hati, sama seperti saya membuat patung Solidaritas. Sama seperti saya membuat Piala Suardi Tasrif yang membela wartawan yang mati.

Saya mengerti persis bahwa di dalam idealisme ada ketegangan. Saya orang yang terbuka tapi saya memiliki konsistensi dalam pilihan sikap.

V

Apakah saat membuat karya, Bu Dolo mendapat arahan?

D

Oh tidak, saya tidak pernah bekerja dengan arahan. Saya yang mendidik orang agar mereka mengerti dengan apa yang saya buat (tertawa).

V

Apa proyek mendatang?

D

Saya sedang membuat Monumen Multatuli yang akan berdiri sebagai bagian dari Museum Multatuli di kota Rangkasbitung, Banten. Ekspresi karya tersebut bersumber dari novel fiksi yang berjudul “Max Havelaar” karya Douwes Dekker. Novel tersebut bercerita tentang dua sejoli Saijah dan Adinda sebagai cermin manusia yang didera oleh penghisapan Belanda dan terutama oleh ketamakan raja-raja feodal Jawa. Douwes Dekker kemudian memakai nama pena Multatuli, yang diingat orang Indonesia karena buku ini. Ia menggunakan nama Multatuli; berasal dari Bahasa Latin, sebagai nama samarannya yang berarti banyak kepedihan yang ia lihat dan alami.
Sebagai intelektual, sikap humanisnya banyak diingat oleh sejarawan Indonesia.

Saya akan membuat monumen interaktif, jadi patung ini akan ditempatkan di suatu halaman atau taman layaknya kamar belajarnya tanpa dinding, tapi ada rak buku dan ia duduk membaca buku besar. Buku itu adalah sumber pengetahuan, kenapa di patung ini bukunya berukuran besar? Karena buku memiliki arti besar dalam kehidupan manusia, dalam membentuk kebudayaan. Dari buku pula kita melihat bagaimana anak-anak muda melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Jepang dan Belanda.whiteboardjournal, logo