Jurnalisme Sastrawi bersama Andreas Harsono

24.05.17

Jurnalisme Sastrawi bersama Andreas Harsono

Muhammad Faisal (F) berbincang dengan Andreas Harsono (A).

by Febrina Anindita

 

F

Karir Mas Andreas Harsono justru dimulai media “Nation” yang berbasis di Bangkok dan “Star” yang berbasis di Kuala Lumpur. Mengapa memulai karir di luar negeri? Apakah faktor represi dari pemerintahan Orde Baru juga berpengaruh dalam pengambilan keputusan Mas Andreas saat itu?

A

Indonesia pada waktu itu memang mengalami masa tersulit sepanjang sejarahnya di mana kebebasan berpendapat, berekspresi, dan mengkritik menjadi barang mahal sekaligus langka. Arus berita tidak berjalan lancar. Sekali ada yang mengkritik, pemerintah bertindak tegas. Media banyak yang dibredel, jurnalis banyak yang dibui. Mengerikan. Lalu dari situ muncul semacam kekhawatiran bagi saya. Terlebih lagi saya memiliki warna dalam tubuh saya, maka saya memutuskan untuk pindah ke luar negeri. Ada semacam ketakutan. Dan akhirnya bekerja di Nation dan Star. Jadi faktor represi kebebasan bisa dibilang menjadi faktor juga.

F

Di tahun 1999, Mas Andreas mendapatkan Nieman Fellowship on Journalism dari Universitas Harvard. Apa yang dipelajari di sana?

A

Pada waktu itu, saya mendapatkan informasi tentang hal ini dari Goenawan Mohamad. Ketika itu saya didorong untuk ikut andil di dalamnya. Kemudian saya ambil bagian dan terpilih untuk berpartisipasi dalam Nieman Fellowship ini. Apa saja yang saya pelajari selama di sana yang jelas tidak jauh dari jurnalisme.

Saya bertemu dengan Bill Kovach, penulis “The Element of Journalism: What Newspeople Should Know and The Public Should Expect.” Mengambil ilmu darinya. Bahwa menurut Bill, jurnalisme memuat sembilan elemen yang antara satu dan lainnya tidak bisa dipisahkan. Membentuk satu kesatuan utuh di mana masing-masing berperan signifikan dalam menopang jurnalisme itu. Bahwa sejatinya jurnalisme harus berkewajiban pada kebenaran, menjunjung tinggi loyalitas terhadap warga, menekankan verifikasi, menegakan independensi, menyediakan forum untuk kritik, pemantau kekuasaan, membuat hal menarik tapi relevan, menjaga berita agar komprehensif dan proporsional, lalu mengikuti hati nurani.

Namun seiring berjalannya waktu, muncul elemen baru yang lahir sesuai berkembangnya zaman melalui internet. Dengan adanya internet menuntun kepada masyarakat untuk mempunyai tanggung jawab dan hak atas berita yang mereka dapatkan. Dari sini muncul pula gelombang semacam community journalism, citizen journalism, sampai media online yang tidak dapat dielakkan kehadirannya.

F

Bagaimana posisi jurnalisme Indonesia di kawasan Asia Tenggara dibanding negara yang lain? Mengingat Indonesia bisa disebut sebagai negara demokrasi terbesar saat ini?

A

Perlu diketahui bahwa negara-negara di Asia Tenggara memiliki karakter yang serupa. Entah dari segi ekonomi, sosial, politik, dan sejarahnya. Kesebelas negara di Asia Tenggara lahir dan terbentuk atas semangat perjuangan melawan penindasan, yang dimulai dari masa penjajahan di era lampau dan kesewenangan pemerintah pasca kemerdekaan. Dalam hal ini rezim tertentu. Di Thailand, sering kita dengar perlawanan warganya melawan junta militer. Di Myanmar, kasus Muslim Rohingya masih menemui jalan terjal dalam penyelesaiannya. Di Malaysia, mereka menentang perilaku koruptif besar-besaran yang dilakukan oleh Perdana Menteri Najib Razak.

Lalu di Indonesia, kita paham bahwa negara ini lahir melewati berbagai rintangan dan problematika bangsa yang sangat kompleks. Kasus HAM, ketidakadilan, sampai penindasan terhadap rakyat kecil. Banyak sekali kasus serupa yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Ini artinya apa? Bahwa sebenarnya posisi jurnalisme Indonesia dengan negara lain tidak jauh beda; jurnalisme tumbuh seiring banyaknya permasalahan kompleks di masing-masing negara.

F

Lalu, berbicara perihal jurnalisme sastrawi, sebenarnya apa yang ingin disampaikan melalui medium ini? Mengingat Mas Andreas merupakan salah satu pelopor dalam penulisan jurnalisme sastrawi.

A

Pada hakikatnya, jurnalisme sastrawi hanyalah sebuah gaya atau bentuk penulisan dalam jurnalisme. Mengungkap fakta dan kebenaran dengan reportase namun menggunakan bahasa sastra. Bentuk sebuah tulisan seperti yang diketahui, ada bermacam-macam. Kita mengenal format penulisan pada umumnya dengan pola 5W+1H yang mulai populer di tahun 1850. Lalu ada tulisan focus di mana lebih terdapat penekanan dari unsur 5W+1H yang populer di tahun 1920 dengan total 5.000-7.000 kata. Kemudian ada pula jenis feature dengan permainan pola yang bervariasi. Di samping itu, masih dengan gaya penulisan, bahwa penggunaan jurnalisme sastrawi ini membuat penulis lebih bisa mengulik secara dalam materi yang akan disampaikan. Ia seolah bercerita dengan tulisannya sekaligus membeberkan fakta berdasarkan reportase dan data-data penunjang.

F

Sekitar awal tahun 2000, Mas Andreas mendirikan Majalah Pantau. Sebuah majalah yang dikenal dengan pemakaian gaya jurnalisme sastrawi. Bagaimana perjalanan Majalah Pantau saat itu? Dan apa yang belum tercapai dengan Majalah Pantau?

A

Saya tidak pernah menyesal dengan apa yang saya lakukan bersama Majalah Pantau. Karena adanya faktor permasalahan yang cukup kompleks, mulai dari kesulitan finansial, tekanan dari dapur redaksi yang memicu perbedaan pendapat, serta mungkin juga kejenuhan dalam mengolah berita, akhirnya Pantau tidak bisa melanjutkan petualangannya.

Namun saya tetap bahagia dengan apa yang sudah kami jalankan lewat majalah ini. Apabila ditanya apa yang belum tercapai dengan Pantau, saya pikir tidak ada. Justru terkadang perasaan rindu terhadap suasana kantor cukup sering menghantui. Bagaimana awak redaksi melempar lelucon, mengerjakan deadline, tidur di kantor, dan masih banyak lagi momen-momen kecil tapi bermakna yang saya dan teman-teman redaksi dapatkan. Itu yang mungkin menyebabkan perasaan rindu muncul.

F

Dewasa ini, pergerakan jurnalisme cenderung ke arah serba cepat dan instan. Faktor kualitas produk tak lagi jadi prioritas karena terpenting adalah soal hype yang bombastis agar menarik minat pembaca. Bagaimana Mas Andreas memandang fenomena ini?

A

Ini tidak bisa dihindari ketika internet sudah melakukan penetrasi ke tiap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Kehidupan global terus berputar dan selama itu pula kita dihadapkan pada permasalahan yang pelik untuk menyesuaikan diri. Sama halnya dengan jurnalisme. Tidak dapat dipungkiri fenomena semacam ini cukup menganggu pikiran. Pada hakikatnya, kualitas jurnalisme harus tetap dijaga apapun bentuknya. Dalam bukunya yang berjudul “Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload,” Bill Kovach dan Tom Rosenstiel mengatakan bahwa ada beberapa tahapan di mana dari tahapan tersebut adalah langkah yang mampu menjaga marwah kualitas jurnalisme di setiap wadah. Ini tidak bisa ditepikan begitu saja. Menyusun sebuah berita harus berlandaskan pada hal-hal semacam koreksi data, informasi pelengkap, kelengkapan sumber, sampai rekaman wawancara yang kelak dapat menguatkan sisi dan kontrol kualitas dari berita itu.

Akan tetapi kebanyakan dari media Indonesia tidak memperlakukan hal itu. Terlebih media online yang hanya mengutamakan kehebohan semata. Judul bombastis tapi tidak disertai bobot berita yang memadai. Hal tersebut diperparah juga dengan korporasi media yang kian menjamur. MNC yang dimiliki Hary Tanoe, Metro dengan Surya Paloh, CNN & Detik dengan Chairul Tanjung, atau Viva News – TvOne yang dipunyai Bakrie. Kepentingan yang dibawa sudah berbeda. Padahal jika dibiarkan kondisi semacam ini lama-lama akan berbahaya. Perubahan besar-besaran dalam arah komunikasi tidak dicermati dengan baik yang berujung kepada ketidakpercayaan masyarakat. Bisa runtuh reputasi media nantinya.

Hal tersebut bisa menjalar ke sesuatu yang lebih masif. Seyogyanya mereka melakukan investasi berharga terhadap jurnalisme dengan menyuntikan dosis yang tepat agar kualitas tetap terjaga. Logikanya sederhana. Jurnalisme sudah menjadi pilar penting dalam demokrasi. Apabila kepercayaan masyarakat runtuh terhadap jurnalisme dengan adanya penurunan kualitas yang cukup banyak, maka demokrasi akan mengalami hal serupa. Sebaliknya, jika jurnalisme tetap berjalan seperti semula di mana penerapan aspek-aspek penunjang diperhatikan betul, maka kondisi masyarakat juga ikut membaik.

Ambil contoh saja New York Times. Dalam proses pengolahan beritanya, mereka tidak memberikan perlakuan berbeda antara media cetak dan media online. Satu perusahaan, satu atap, standarisasi sama, kode etik sama, namun divisi berbeda. Ini seperti apa yang dikatakan Bill bahwa satu redaksi tidak perlu membedakan dengan standar berbeda. Ketika regulasi etik sudah ditentukan, maupun standar peliputan dan penulisan sudah ditetapkan, maka itu yang musti ditaati semua elemen di keseluruhan bagian tanpa terkecuali.

Hasilnya apa? New York Times memetik buah konsistensinya menjaga kualitas dengan berhasil menghimpun konsumen hingga 3 juta orang. Memang perlu waktu tidak sebentar serta teguh menjaga prinsip. Namun sekali lagi ketika media berhasil menjaga kualitas pemberitaannya dan tidak asal-asalan dalam menyusun naskah, maka keberhasilan baik untuk media itu sendiri dan untuk masyarakat banyak dapat dipenuhi. Namun bukan berarti ini menyoal dari sisi jumlah konsumen atau pembaca yang berhasil dihimpun saja. Ada manfaat yang lebih besar ketika media mampu menegaskan dan menjunjung tinggi etika serta kualitasnya.

F

Kondisi itu yang sepertinya dialami oleh dua media besar negara ini, Kompas dan Tempo. Meski berada di satu atap, ada semacam perbedaan kualitas yang dihasilkan antara versi cetak dengan online.

A

Benar, itu juga yang pernah saya kritik kepada Kompas dan Tempo. Jangan dibuat perbedaan antara versi cetak dan online. Kualitas tetap harus dipertahankan. Terkadang mereka hanya memikirkan perputaran ekonomi belaka tapi tidak dengan standar ataupun mutu jurnalisme. Ketika kita melihat Kompas atau Tempo versi cetak, kita akan melihat bagaimana mereka mengedepankan kedalaman materi yang disusun melalui proses panjang. Namun ketika kita melihat mereka di media online, seolah hal tersebut hilang. Yang ada hanya kecepatan saja. Karena dalam penetapan standar jurnalisme itu sebenarnya tidak mengenal perbedaan, terlepas di mana medium itu berada. Unsur penting dalam penegakan kualitas adalah verifikasi. Ini sangat penting dibawa. Meski media online, verifikasi mutlak dilakukan. Karena ini juga berkaitan dengan nama baik media itu sendiri.

Walaupun demikian, di tengah pusaran permasalahan kualitas jurnalisme yang dirasa menurun, masih muncul media yang tetap menjaga mutu jurnalismenya. Lihat saja bagaimana Tirto ID dan IndoProgress yang menyajikan berita maupun produk jurnalisme dengan verifikasi data mendalam ditambah gaya penulisan yang menyegarkan. Ini patut dicontoh oleh media lain. Lalu, apa yang bisa disimpulkan? Semua harus kembali pada identitas jurnalisme. Itu yang penting. Tak usah memperhatikan hal-hal lain. Tingkatkan disiplin verifikasi yang dapat dilihat dari pengumpulan fakta dan metode yang digunakan dalam mencari berita itu. Menjaga kualitas jurnalisme itu sangat berharga karena bukan untuk kepentingan media sendiri melainkan juga untuk kebutuhan orang banyak. Masyarakat, terutama, perlu mendapatkan informasi yang berbobot dengan kontrol kualitas yang baik. Dan media wajib menyediakan hal itu.

F

Sekarang gelombang citizen journalism tumbuh dengan masif. Semua orang bebas berpendapat dan berhak menjadi jurnalis sesuai kapasitasnya masing-masing. Bagaimana Mas Andreas memandang hal ini?

A

Seperti yang sudah saya jelaskan di atas bahwa fenomena ini tidak bisa dihindari. Internet merubah secara perlahan atau jika tidak mau disebut besar-besaran pola pikir serta cara pandang masyarakat dalam kehidupan tatanan global. Dengan akses internet yang memadai, semua dengan bebasnya bisa menelusuri bermacam berita dari seluruh dunia. Perubahan seperti ini bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, ini sangat bermanfaat karena akses terhadap berita tidak tertutup seperti zaman Orde Baru. Namun, kebebasan yang berputar di konsep citizen journalism akan mengakibatkan munculnya efek negatif, salah satunya adalah hoax. Maka dari itu posisi media dengan kualitas jurnalisme yang baik akan jadi pembatasnya.

F

Beberapa waktu lalu, muncul perdebatan serius yang melibatkan pihak pendukung pembuatan pabrik semen di Rembang dan kubu yang menolak pembuatan pabrik semen. Lantas, sebagai jurnalis, bagaimana sikap yang mesti diambil? Apakah faktor independensi masih bisa dijunjung?

A

Tentu masih bisa. Seperti yang dijelaskan Bill Kovach, bahwa jurnalis harus mengutamakan independensi. Dalam kasus pabrik semen di sini, entah mereka yang mendukung ataupun menolak pembangunan pabrik semen, setidaknya mereka harus memegang teguh prinsip independensi. Independen di sini dalam artian mereka dapat menjaga kredibilitas dari intervensi pihak luar. Bahwa apa yang mereka lakukan dalam hal ini adalah berdasarkan verifikasi, kepentingan masyarakat, dan tentunya tanggung jawab untuk memberikan informasi benar bagi khalayak ramai. Independen bukan berarti netral. Demi mewujudkan independensi itu memang harus ada semacam jarak personal agar jurnalis mampu melihat apa yang terjadi di depannya dengan jelas.

F

Pada akhirnya, hati nurani akan berperan menentukan bagi jurnalis nantinya?

A

Benar, pada akhirnya hati nurani akan menentukan dan itu sangat penting.

F

Jurnalisme dan penegakan HAM tidak bisa dibedakan. Jurnalisme dapat menjadi alat yang ampuh untuk membantu menyelesaikan perkara HAM. Namun, sampai sekarang banyak kasus HAM yang belum terselesaikan meski jurnalisme bergerak aktif. Apa yang menyebabkan demikian?

A

Negara kita lahir dengan riwayat sejarah yang panjang. Dari zaman kerajaan, penjajahan, lalu memasuki masa kemerdekaan. Di setiap fase itu pasti memiliki penanda zaman masing-masing. Ketika memasuki era pasca Orde Lama, negara ini mengalami pertempuran dengan sebuah tembok bernama Orde Baru. Lalu muncul momentum di mana seiring bergulirnya banyak pelanggaran dan ketidakadilan yang dilakukan pemerintah, jurnalisme muncul sebagai suar perlawanan.

Memang, dalam mengungkapkan kasus HAM memerlukan upaya ekstra dan juga harus adanya sinergi dari berbagai pihak. Entah pemerintah, LSM, maupun jurnalisme itu sendiri. Sayangnya, hal itu sulit terjadi karena pihak yang kita harapkan untuk lebih terbuka mengakui masa lalu yakni pemerintah, tidak melakukan hal demikian. Ini yang menjadi masalah klasik. Pelanggaran HAM mulai dari 1965, Malari, Petrus, Semanggi, Papua, Ahmadiyah, sampai Syiah, tidak bisa dilepaskan dari campur tangan pemerintah. Akan tetapi pemerintah nampak sulit untuk membuka pengakuan. Padahal itu yang penting.

Kita bisa lihat bagaimana Jerman dan Jepang berani mengakui dan meminta maaf atas apa yang mereka lakukan di masa lampau. Jerman dengan pembantaian ras dan etnisnya, Jepang dengan perbudakan seksnya. Itu kesalahan yang berat tapi mereka berani. Kemudian lihat apa yang terjadi sekarang? Kedua negara tersebut berubah menjadi negara maju dari banyak segi, terlebih di sisi ekonomi yang begitu kuat. Memaafkan dan mengakui masa lalu adalah langkah penting untuk masa depan sebuah negara.

F

Apakah jurnalisme dapat dipandang sebagai sebuah ideologi?

A

Tidak. Jurnalisme hanya sebuah disiplin yang dapat dipelajari semua orang. Hanya sebatas itu.

F

Proyek apa yang sedang Mas Andreas kerjakan?

A

Saya kebetulan sedang menyelesaikan sebuah buku yang membahas mengenai kekerasan agama pasca pemerintahan Soeharto berjudul “A Nation in Name: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto.”whiteboardjournal, logo