Rupa Jakarta bersama Ade Darmawan

16.08.17

Rupa Jakarta bersama Ade Darmawan

Amelia Vindy (V) berbincang dengan Ade Darmawan (A).

by Febrina Anindita

 

V

Bagaimana perkenalan Ade dengan dunia seni kontemporer?

A

Saya kuliah di ISI Yogyakarta 5 tahun dari 1992-1997, perkenalannya bermula dari sana. Saat saya masih menjadi mahasiswa seni grafis, ada satu galeri yang memperkenalkan seni rupa kontemporer di Yogyakarta namanya Cemeti Art Gallery yang sekarang namanya lebih dikenal dengan Cemeti Art House. Bentuknya seperti rumah, namun difungsikan sebagai galeri. Sekitar tahun 1992, di sanalah saya melihat karya-karya seni kontemporer. Sejauh yang saya ingat, berawal dari situ saya jadi paham bahwa seni rupa kontemporer sebagai sebuah karya, bukan hanya visual saja namun juga merupakan sebuah konsep. Kalau melihat seni hanya sebagai visual, sebelumnya pun kita sudah melihatnya di mana-mana, tetapi pada saat itu seni kontemporer muncul sebagai bentuk yang lebih lengkap lagi, dan sebagai mahasiswa, saya mempelajari itu.

Saat itu saya sudah sering ikut pameran bersama teman-teman di beberapa acara pameran, kemudian pada saat itu, pemilik Cemeti yakni Nindityo Adipurnomo dan Mela Jaarsma, melihat karya saya dan menawarkan saya untuk melaksanakan pameran tunggal di galeri mereka, Cemeti. Setelah pameran tunggal saya, Nindityo menawarkan saya formulir Rijksakademie, di Belanda, Amsterdam. Untuk bisa masuk ke sana sangat sulit, ribuan orang dari seluruh dunia pun turut mengajukan lamaran karena isinya berbagai macam studio. Kemudian saya ikut serta, masuk ke tahap seleksi dan ternyata diterima. Tahun 1998 – 2000 saya tinggal di Amsterdam.

V

Sebenarnya, apa yang menjadi esensi dari seni kontemporer? Apakah kerumitannya, kesederhanaannya, atau sejarahnya?

A

Kalau di sejarah seni rupa, yang disebut seni kontemporer sebenarnya adalah di saat berakhirnya penggunaan “isme”. Dulu ada yang namanya realisme, impresionisme, surealisme dan sebagainya. “Isme” ini berakhir setelah perang dunia ke-2. Setelah perang dunia ke-2 usai, tahun 50-an, 60-an dan makin ke sini, muncul lah karya-karya tanpa “isme” yang mediumnya sangat beragam. Seni kontemporer itu diartikan bukan isme. Kenapa disebut kontemporer? Karena dilihat dari bagaimana karyanya bisa berhubungan dengan kenyataan sekarang atau waktu, bukan dengan “isme”, jadi tidak ada hubungannya dengan style tertentu. Kontemporer itu sebenarnya adalah sekarang, kalau bahasa anak gaul mungkin apa yang disebut mereka dengan kekinian.

Apakah ada seni lukis kontemporer? Ada, karena yang lebih dilihat adalah konten atau isinya, bukan teknik atau style. Jadi lebih ke apakah konten atau isinya berhubungan dengan keadaan sekarang. Keadaan sekarang ini bisa diterjemahkan berbagai macam, seperti sosial, politik dan budaya. Setelah itu ada juga yang berhubungan dengan kota dan realitas global saat ini, seperti keberadaan internet, perang, isu imigran, bencana hingga global warming dan sebagainya. Jadi yang menentukan kontemporer atau tidak sebenarnya bukan bentuknya atau seperti yang tadi Anda sebutkan, melainkan apakah kontenya berhubungan dengan yang terjadi sekarang. Misalnya seperti saat saya bicara detik ini, setelah 10 tahun kemudian pasti kontemporernya akan beda lagi.

Ada banyak karya-karya lama yang hingga sekarang masih bisa diperbincangkan. Sebenarnya jika diperhatikan, banyak pameran seni rupa sekarang (karena sekarang bisa disebut sebagai pameran seni kontemporer) yang memasukan atau memamerkan karya-karya lama karena ternyata karya tersebut masih bisa dibicarakan sampai sekarang, jadi hubungannya adalah dengan konteks kekinian. Dan kebanyakan, seni kontemporer cenderung berhubungan dengan konteks sosial, politik dan budaya sekarang. Kalau misalnya lukisan bunga, kontemporer tidak? Tidak, kalau muralnya The Popo, kontemporer tidak? Tentu, karena karyanya adalah sebuah reaksi terhadap isu yang sedang terjadi, contohnya seperti kasus pohon-pohon yang akan ditebang karena mau dibuatkan jalan. Reaksinya inilah yang membuat karya The Popo adalah karya seni kontemporer. Kurang lebih begitu cara mengukurnya.

V

Di tahun 1998-2000, Ade memperoleh kesempatan untuk mengikuti residensi di Rijksakademie van Beeldende Kunsten, Belanda. Apa saja yang dipelajari di sana?

A

Tempat ini sangat menarik, karena mereka tidak menyebutnya sebagai sekolah. Jadi, tempat ini sudah berumur ratusan tahun lebih, dulunya memang berbentuk sekolah dalam artian memiliki kelas untuk belajar menggambar bentuk, benda dan gestur seperti menggunakan cara klasik dalam mengajarkan seni rupa. Sekitar tahun 90-an tempat ini berubah menjadi seperti tempat residensi. Residensi tersebut memiliki 60 studio, yang tiap tahunnya hanya menerima 30 murid dari ribuan orang di seluruh dunia yang mendaftar, setelah itu akan ada wawancara dan yang terseleksi akan masuk. Seniman-seniman yang terpilih, bukanlah yang datang untuk belajar seni tetapi yang sudah post-graduate, karena yang sediakan pun bukan sebuah kelas lagi, melainkan sebuah studio. Setiap seniman dapat studionya masing-masing, kalau ada karya yang besar seperti patung atau instalasi bisa dapat ukuran studio sebesar 10×10 kali ya, dan saat itu saya pun mendapatkan ukuran studio yang juga cukup besar.

Mereka menyediakan studio dan workshop yang sangat bagus. Mulai dari studio printing, kaca dan cat, kayu, metal hingga keramik. Selain itu, telah disiapkan juga penasihat tekniknya, jadi seandainya kita mau bekerja nantinya akan diberikan masukan oleh penasihat yang tentunya merupakan orang-orang yang ahli di bidangnya. Fasilitasnya pun sangat lengkap, studio foto dan film pun ada, untuk anak fotografi di studionya pun bisa menyetak hasil fotonya sendiri. Selain penasihat teknik, ada juga penasihat biasa dan jumlahnya ada puluhan, di mana isinya pun adalah seniman-seniman internasional. Lebih serunya lagi, ada beberapa nama dari penasihat tersebut yang awalnya hanya bisa saya lihat di buku, ternyata bisa saya jumpai di sana. Selain itu ada juga sederetan daftar nama-nama penasihat seniman senior yang bisa kita booking, jadi di daftar tersebut terdapat jadwal kunjungan mereka, ada yang datang 2 kali setahun, 3 bulan sekali, pokoknya sangat beragam. Jadi seandainya kita mau bertemu dengan mereka, kita harus mencantumkan ingin mem-booking di hari apa, jam berapa dan tidak lupa nama studio kita, lalu penasihat tersebut nantinya akan datang dan mengetuk pintu studio kita.

Hubungan antara seniman dan penasihat inipun tidak seperti guru dan murid, karena itulah di sebut penasihat. Kita sudah dianggap seperti seniman yang sudah “jadi” lalu mereka akan memberikan masukan, bahkan ada yang setelahnya menawarkan pameran bersama dan sebagainya. Menurut saya itu adalah salah satu pelajaran atau apa yang saya dapat saat residensi, bisa berhadapan dengan orang-orang yang jauh lebih berpengalaman dan juga bisa mendapatkan masukan dari mereka. Hal-hal tersebut merupakan sistem yang sangat seru dan tidak dimiliki Indonesia bahkan di dunia pun hanya sedikit yang punya sistem seperti itu, mungkin tidak sampai 5 jumlahnya. Selain itu, saya juga jadi bisa melihat banyak hal selama di Belanda, melihat museum, art space, art scene, juga jalan-jalan di Eropa, sehingga saya jadi banyak referensi dan jaringan. Menurut saya benih-benih obrolan untuk membuat ruangrupa sebenarnya sudah terjadi di pertengahan tahun 90-an, sekitar tahun 1995 saya sudah bertemu dengan para founder ruangrupa lainnya pada saat saya masih mahasiswa. Sudah banyak ngobrol tentang ruang dan sebagainya, dan ketika saya residensi di sana rasanya seperti disiram istilahnya. Jadi sudah punya benih, sampai sana disiram, dan lalu jadilah setelah itu.

Pengalaman yang terakhir adalah ketika kita sudah memiliki satu tempat yang kita sebut sebagai “home”, katakanlah saya di Indonesia atau Jakarta dan saat keluar lalu berjarak dengan rumah, pasti akan melihat tempat asal kita itu beda. Ada positif dan negatif, misalnya ada ide-ide seperti, “Wah ternyata bisa bangun ini dan itu ya” tentunya dengan melihat potensi yang mana sebenarnya di Eropa itu tidak bisa contohnya.

V

Selepas residensi dari Belanda, Ade mendirikan ruangrupa bersama lima rekan lainnya. Apa yang mendasari pendirian ruangrupa saat itu?

A

Waktu mahasiswa saya senang jalan-jalan, menghampiri kampus-kampus untuk bertemu dengan mahasiswa atau dosennya, kalau sekarang mungkin istilahnya buat membangun jaringan. Latar belakangnya, saya hanya ingin berkenalan, misalnya di Bandung mahasiswa seni grafisnya seperti apa, di IKJ seperti apa. Karena saya juga anak Jakarta, pertengahan tahun 90-an setiap beberapa bulan sekali, ketika uang saku habis saya akan pulang ke Jakarta untuk bertemu orang tua dan sebagainya, juga tidak lupa untuk berkontak-kotakan dengan teman-teman saya di IKJ. Saya mengenal Indra Ameng, Hafiz Rancajale, Reza Afisina Asung dan beberapa founder ruangrupa lainnya, sudah dari tahun 94-an, mungkin. Sudah lama sekali. Jadi intinya saya berteman dengan teman-teman yang sekarang berada di ruru itu ya sudah lebih dari 20 tahun. Orang biasanya melihat ruangrupa setelah kita berdiri pada tahun 2000-an, tapi sebenarnya saya bertemu dengan teman-teman yang akhirnya mendirikan dan bahkan bekerja sama sampai sekarang, sudah dari tahun segitu. Saya jadi ingat ketika membuat konser di Yogyakarta mengundang rumahsakit yang pada saat itu managernya masih Ameng, Fable, dan Naif yang dulunya belum seterkenal sekarang. Lalu juga pernah membuat pameran bersama, namanya pameran 2 kota yang saat itu melibatkan anak-anak IKJ Jakarta dan ISI Yogyakarta.

Sebenarnya yang pertama kami lihat waktu itu, adanya kebutuhan-kebutuhan akan ruang, terutama untuk seniman muda. Meskipun sudah ada beberapa, contohnya seperti Taman Ismail Marzuki (TIM), sayangnya kami melihat TIM seperti diperuntukan kepada orang-orang tua, karya-karnya pun begitu, sedangkan karya kami berbeda. Jadi kami berpikir kalau harus ada sebuah alternatif yang bisa memberikan ruang untuk bisa memamerkan karya-karya dari para seniman muda dan mempresentasikannya dengan baik, dan juga bisa jadi tempat untuk berkumpul, mengobrol dan bertemu seperti forum. Yang kedua, saat itu kami juga melihat seni rupa jadi seperti lebih “about making a product” padahal prosesnya tidak hanya itu, ada yang berbasis riset, proyek, kolaborasi, komunitas dan sebagainya, berdasarkan latar belakang tersebut keinginan kami adalah untuk bisa ke arah sana, bukan ke modifikasi atau objectifying seni tapi lebih melihat prosesnya.

Dulu awal-awal kami buat pameran, biasanya prosesnya juga dipamerkan agar orang-orang yang datang tidak hanya melihat karya yang sudah jadi, tapi juga bisa melihat perjalanannya. Bahkan kalau ada karya yang gagal, bisa juga dilihat kegagalannya bagaimana, jadi bukan hanya melihat tetapi bisa juga mempelajari, riset atau membaca. Buat kami keindahannya bukan berada di visual, tapi di proses atau relasi antar seniman dan publiknya, itulah yang ingin kami tawarkan. Namanya saja ruangrupa, padahal dulunya tidak punya ruang (tertawa).

V

Dan akhirnya ruangrupa mampu bertahan hingga sekarang. Tak banyak kolektif yang berbasis kemandirian mampu tumbuh begitu lama. Merawat kiranya adalah kata dan upaya yang memerlukan tanggung jawab. Apa yang menjadi kunci keawetan tersebut? Dan apa yang bisa dilakukan oleh generasi sekarang jika mereka ingin membuat ruangrupa sendiri?

A

Memang ada beberapa hal yang membuat bertahan sebenarnya, pertama memiliki visi. Visi itu kan sebenarnya bisa diartikan sebagai mimpi bahwa kami punya bayangan mengenai sebuah keadaan yang ideal, “Saya kepinginnya art scene-nya begini nih, ingin ada karya-karya seperti ini yang tercipta atau kepingin seniman-seniman muda bisa terdukung nih” contohnya begitu. Ada bayangan besar atau goal yang akan di jalani dengan penuh usaha, idealisme dan terkadang spekulasi, karena kami sendiri pun tidak tahu apakah visi itu akan berhasil atau tidak. Itu satu, yaitu ada satu ide atau gagasan yang memang kita bayangkan bersama. Saat kami melihat ada seniman-seniman muda atau mahasiswa-mahasiswa yang main musik, bikin karya dan sebagainya, kami berpikirnya mereka harus bisa sampai “jadi” nih, bagaimana caranya? “Kita dukung yuk.”

Semangat dari ide inilah yang akhirnya menghidupi dan men-sustain, sampai jadi keberlanjutan, bukan dilihat dari uang kalau menurut saya. Karena buktinya ada banyak kok, bahwa ada satu ide dengan uang yang banyak, tapi tidak memiliki visi, idealisme, dan ideologinya pasti akan bubar, karena hal-hal yang tidak mereka miliki itulah yang bisa menghidupinya. Sementara kalau sudah memiliki hal tersebut, cara-cara pasti ada, strateginya akan muncul. Dari yang tidak punya uang hingga nantinya setelah punya uang akan bagaimana atau bagaimana cara mencari uang dan mendukung dengan fasilitas bagaimana.

Kedua, pertemanan. Menurut saya, hal ini juga bisa diterjemahkan bermacam-macam, tidak hanya soal kedekatan tapi seperti yang sudah saya sampaikan tadi, begitu ada ideologi. Setelah itu yang dibutuhkan adalah orang-orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh untuk menjalankan ide dan gagasan tersebut. Karena itu, menurut saya setelah memiliki ideologi lalu harus ada orangnya, saya beruntung sekali bertemu dengan orang-orang yang pikirannya sama, mau bekerja dengan sungguh-sungguh dengan kegembiraan dan senang-senang juga, dan segala energi positif untuk mengerjakan semuanya bersama dalam waktu yang panjang. Jatuh bangunnya tentu ada, mungkin orang-orang melihat kami yang seru dan segala macamnya. Tapi kalau dilihat dalamnya, ada bertengkarnya, saling kritik, munculnya ide baru, brainstorm hingga evaluasi. Pada intinya banyak sekali apa yang terjadi di backstage-nya. Nah kedekatan itulah yang terus dijaga dan juga value yang dipunyai oleh orang-orang tersebut. Sisanya sih, soal struktur dan itupun kalau dari kami sendiri terus berubah-ubah (tertawa).

Buat generasi sekarang kalau mau coba membangun hal serupa, cobalah dengan memiliki hal-hal tersebut lebih dahulu. Tentukan visi dan ideologinya dan yang terpenting kepada siapa keberpihakannya, cobalah untuk fokus di situ. Ideologi itu kan termasuk politik dan juga estetika, contohnya, pertama, seperti saya yang berpihak kepada seniman muda. Kedua, konsep estetikanya yang seperti apa? Urban misalnya, jadi yang tidak urban ya tidak bisa ikut, jelas. Saya ingin mendukung yang ini atau ingin mendiskusikan dan mewancanakan ini.

Contoh lainnya, punya visi untuk mendukung anak muda yang membicarakan soal urban dengan kritis. Satu kalimat itu saja sudah sangat menjelaskan, jadi akan tahu yang mana akan didukung, karya seperti apa yang akan pilih. Hal itu lah yang harus ditentukan dan terkadang memang tidak mudah, tapi kalau saya harus bicara ini kepada yang lebih muda, bisa saja hal tersebut ketemunya tidak di depan atau di belakang tapi bisa juga di tengah. Maksudnya bisa saja nanti yang muda-muda ini sudah menjalankan sesuatu, yang terkadang kalau ditanya alasannya kenapa membuat hal tersebut mereka akan menjawab asal bikin saja, begitu kan kalau anak muda sekarang.

Coba sekarang dicek ulang, sebenarnya yang sudah dibikin ini ideologinya ke mana sih? Keberpihakannya ke mana, baru setelah itu dirapikan dan strateginya disusun. Saya menunggu dari yang muda-muda untuk bisa melahirkan inisiatif-inisiatif yang lebih seru lagi karena ada banyak sekali yang belum dibuat, dilakukan atau diarahkan oleh ruangrupa. Contohnya seperti Gardu House, yang menurut saya mereka memiliki pendekatan yang menarik, juga ada Serrum yang sekarang sudah tahu arahnya ke mana, keberpihakannya dan arah artistiknya pun jelas.

V

Setelah sekian tahun berjalan, apakah cita-cita ruangrupa telah tercapai?

A

Ada beberapa yang sudah, meskipun tidak sempurna atau seperti yang dibayangkan tapi kami tahu kalau hal itu memang butuh waktu, tenaga dan finansial yang cukup. Kalau soal “supporting,” kami bisa bilang itu sebagai pencapaian karena kami mendukung banyak sekali orang. Mungkin seperti yang mungkin Anda tahu, ada banyak yang keluar dari ruangrupa dan kemudian bisa dapat rekognisi lebih di luar. Lalu bicara soal jaringan, kami punya jaringan yang sangat luas baik dalam maupun luar negeri. Selain itu soal isu, misalnya dulu proyek-proyek kami membahas soal urban dari tahun 2000 dan bisa dikatakan berhasil karena membuat isu kota menjadi isu yang dibicarakan dan dijadikan fokus oleh teman-teman seniman.

Ada juga isu media, seni dan teknologi, seperti apa yang kerjakan oleh OK. Video yang menggabungkan isu-isu tersebut dan berhasil kita tawarkan menjadi isu yang dibicarakan dan didiskusikan dengan baik. Ya intinya masih ada banyak sekali yang masih belum dan tentunya ingin kami lakukan juga (tertawa).

V

Dari pengalaman Ade pameran di ranah lokal dan internasional bagaimana Ade melihat posisi kesenian kita jika dibandingkan dengan karya dari Asia ataupun dunia?

A

Menurut saya sudah sangat mampu untuk bersaing dan juga sudah banyak yang menjadi pemain utama, ada banyak contoh-contohnya di acara-acara dan tempat-tempat yang besar. Indonesia itu sangat menarik, karena besar dan juga kompleksitasnya tinggi, belum lagi budayanya yang beragam juga fenomenanya yang banyak, sehingga bisa membicarakan hal yang beragam juga. Secara kultural banyak sekali isu yang bisa diperbincangkan, selain itu secara geokultur dan geopolitik, apa yang terjadi di Indonesia sangat menarik untuk dilihat dunia, makanya ketika seniman-seniman Indonesia mempermasalahkan atau menawarkan isu-isu tersebut ke dunia, hal itu menjadi bahan dengan nilai yang tinggi untuk kemudian dibagi dengan isu-isu di negara lain. Menurut saya, untuk ukuran Asia Pasifik, seni rupa kontemporer negara kita merupakan salah satu yang sangat dilihat. Karena seperti yang saya sebutkan tadi, bahwa tidak banyak negara yang art scene-nya sebesar, seberagam dan isunya sekompleks Indonesia.

Kalau dulu mungkin di tahun 80-an, negara lain hanya melihat kita dari sisi eksotik saja, ada tradisi-tradisi dan segala macamnya, tapi kalau sekarang isunya sudah global dan sama. Contohnya kita membicarakan soal kota, lalu Bangkok dan Tokyo juga, bayangkan, apabila disatukan dalam sebuah pameran, pasti akan bisa berdialog, para penonton pun juga jadi bisa melihat bahwa ada ini dan itu di sana. Dalam hal itu, Indonesia sudah dilihat menjadi kontributor sekaligus berkontribusi ke dalam dialog internasional. Boleh dibilang jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Pasifik, art scene di Indonesia sangat besar dan bisa lebih besar lagi. Karena kalau kita bicara soal Indonesia, sebenarnya hanya membicarakan pula Jawa saja atau bahkan hanya 3 kota saja yaitu Jakarta, Bandung dan Yogyakarta dari dulu hingga sekarang. Padahal di Surabaya, Semarang, belum lagi kota-kota di pulau Sumatera, Kalimantan dan Makassar pun ada juga.

Menurut saya di Indonesia sendiri masih ada ketimpangan contohnya tentang pendidikan seni. Sekolah seni di Kalimantan tuh tidak ada, coba bayangkan di pulau sebesar itu tidak ada satu pun sekolah seni, jadi sebenarnya kalau kita mau berkontribusi lebih besar lagi sangat bisa karena hanya dengan 3 kota itu atau pulau Jawa saja kita sudah bisa sebesar itu. Tapi coba eksplor pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, kebayang tidak kalau ada 10 sekolah seni lainnya di seluruh Indonesia, produksi seniman dan karya-karyanya akan semakin banyak, tidak terkecuali diskusi yang akan semakin melebar. Contohnya seperti isu yang ada di Sumatera misalnya, mana pernah kita dengar? Seniman-seniman dari Sumatera larinya ke sini juga dan yang ada malah tidak kembali ke tempat asalnya (tertawa). Jadi kalau bicara soal potensi, super lah dibandingkan dengan negara lain.

V

Di era yang serba modern, instan, berlimang kemudahan dewasa ini, masih relevankah mengadakan sebuah pameran konvensional yang mana membutuhkan banyak persiapan dan tentu saja modal? Adakah kecenderungan menggeser pola baku sebuah pameran ke medium yang lebih ‘terjangkau’?

A

Tidak akan bergeser, karena 2 ruang tersebut memiliki pengalaman berbeda. Memang menarik sekarang ini muncul sebuah ruang baru bernama ruang digital atau virtual yang memiliki sistemnya sendiri. Kemudian banyak seniman-seniman juga yang akhirnya memanfaatkan kevirtualan tersebut, contohnya memasukan karya mereka ke Instagram, sehingga bisa langsung berdiskusi atau berdebat dengan audiens seperti The Popo, Komikazer atau Agan Harahap, yang mana jika karya tersebut dipamerkan di sebuah ruang pameran, belum tentu dialog seperti itu akan terjadi. Menurut saya 2 ruang ini memiliki nature, konsep dan sistem yang berbeda, juga kelebihan dan karakternya masing-masing. Contoh, karya saya yang merupakan karya seni instalasi harus Anda rasakan secara fisik, tidak akan cukup kalau hanya dipamerkan lewat ruang digital. Tapi beberapa seniman seperti Agan Harapan contohnya, bisa memamerkan karyanya di kedua ruang tersebut. Kalau di ruang pamer karyanya jadi jadi seperti karya seni lah istilahnya, tetapi ketika menaruhnya di ruang digital justru bisa jadi lebih relevan karena orang-orang bisa langsung mempertanyakan, “Ini betulan nggak sih?” dan sebagainya. Yang mana jika di ruang pameran tidak akan ada perdebatan seperti itu, melainkan melihat karyanya secara langsung dan menilainya dari segi teknik, skill, material dan estetikanya, makanya ini menarik menurut saya.

Ada yang bisa hidup di 2 ruang tersebut dengan karakternya masing-masing dan memanfaatkannya sesuai dengan karakternya juga memang ada karya yang harus dialami dan rasakan secara langsung. Jadi tidak bisa digantikan ya, 2 ruang ini akan exist bersama. Ada yang bisa digabungkan dan ada juga yang tidak, sama seperti bioskop sekarang sudah bisa mengunduh, ada DVD dan sebagainya, tetapi orang-orang masih ada yang memilih untuk menonton film ke bioskop, atau orang tetap baca buku meskipun sudah ada e-book karena semua itu beda. Jadi ada banyak sense yang hanya bisa ditampilkan dalam kematerialan ini. Sementara kalau di digital beda lagi karakternya, lebih ke viralnya atau lebih ke sesuatu yang lebih instan atau cepat dalam segi penyebaran misalnya. Karakter-karakter itu jadi menarik untuk produser pameran sebenarnya, karena bisa menggabungkan atau menggunakan salah satunya, tapi kalau pertanyaannya bisa digantikan atau tidak? Ya tidak. Karena menurut saya itu akan tetap ada dan harus ada, karena banyak seniman dengan karya berbentuk instalasi atau media yang mengharuskan adanya interaksi dengan audiensnya yang mana hal tersebut tersedia di ruang digital. Jadi 2 ruang ini harus jalan beriringan, menariknya karena jadi ada ruang alternatif lain dan ada tambahan-tambahan pilihan, kesulitan dan tantangan dalam menyiapkan ruang pameran justru adalah bagian yang menjadi karakter ruang pameran, intinya kegunaan ruang itu disesuaikan dengan kebutuhan karyanya.

V

Selain sebagai seorang seniman, Ade juga berperan sebagai seorang kurator. Dalam menyeleksi karya, apa yang sebenarnya harus diperhatikan? Mengutamakan pandangan pribadi sebagai kurator atau harus tetap bisa melihat secara keseluruhan bahwa karya tersebut berpengaruh luas?

A

Bisa dua-duanya ya, meskipun tergantung scale dan kurasinya, tetapi biasanya hal itu kemudian dipikirkan secara bersamaan. Katakanlah misalnya ketika bicara soal sudut pandang pribadi, menurut saya justru itu harus, karena menjadi kurator juga sebenarnya tentang memberikan pemaknaan yang lain, jadi bisa memperkaya makna dari karya-karya yang di kurasi. Contohnya nih saya kurator, Anda kurator, lalu ada sebuah karya dan dilihat dari sudut pandang berbeda sehingga bisa masuk di 2 kurasi, dan hal ini banyak terjadi. Misalnya ada satu karya, saya melihat dari segi bahasanya atau dari sudut pandang kotanya, sementara kurator lainnya melihat dari sudut pandang anak mudanya, karena 2 hal tersebut beririsan sehingga karyanya bisa dipilih untuk mewakili 2 pameran. Jadi menarik dan karya tersebut semakin kaya karena bisa dinilai lebih dari 1 perspektif dan interpretasi, maka dari itu kalau menurut saya sebagai kurator harus menilai dari sudut subjektif.

Pertanyaan kedua menjadi menarik, karena biasanya sebagai kurator kita harus sudah menyelesaikan tentang sejarah seni rupa, medium dan karyanya. Bisa dicek misalnya dari proses kreatifnya seperti apa dan sebagainya, sehingga bisa menempatkan karya atau praktek tersebut di konstelasi yang lebih luas, entah dari segi sejarah atau pencapaian artistiknya, “Karya dia ini ada di sebelah mana ya?” begitu. Jadi selain isu, karya ini punya capaian artistik bagaimana, ada capaian bahasa visual seperti apa. Kalau soal pemaknaan mungkin bisa dibilang itu tergantung dari pemahaman si kurator menangkap karyanya bagaimana, namun jika bicara soal kesejarahan, kurator harus tetap tahu sebenarnya di perjalanan ilustrasi contohnya, alasan apa yang membuat saya bisa mengatakan sebuah karya ini fresh atau baru? Itulah tugas kurator. Dia harus tahu scene ilustrasi; katakanlah di Jakarta seperti apa sih, barulah bisa menilai. Untuk menjadi seorang kurator harus bisa punya pengetahuan yang luas dan terus mengikuti perkembangannya. Makanya sebagai kurator kita harus rajin datang ke pameran, dan ketika mengeluarkan pernyataan sebuah karya “baru” atau “fresh,” sebagai kurator harus mengkroscek kembali, apakah iya karya tersebut baru atau fresh? Berarti ada pengetahuan dasar yang harus dimiliki meliputi sejarah seni rupa, mediumnya dan tekniknya.

Kalau sebagai kurator kita mengetahui setidaknya sedikit teknik tentu akan berbeda, karena jadi paham tingkat kesulitan, misalnya, “Wah bikin karya seperti ini tekniknya susah nih” lalu kemudian sebagai kurator kita akan menilainya dengan cara yang berbeda, dibandingkan dengan yang tidak paham teknik mungkin akan melihat karya-karya tersebut biasa saja. Menjadi kurator sebenarnya bukan hanya buat pameran atau cuma memaknai karya lalu mengemasnya menjadi sebuah pameran, karena sebenarnya pada saat yang bersamaan itu bukan pekerjaan yang one time, tetapi ada proses yang secara daily base kita harus selalu ikuti terus. Katakanlah saya memerkan karya instalasi, saya harus tahu dulu perkembangan instalasi di Indonesia misalnya bahkan di dunia itu seperti apa. Hal itu tidak ada hubungannya dengan pameran kan, tapi kita sebagai kurator harus tahu dan belajar itu terus. Jadi kerja kurator tidak hanya ketika dia sedang membuat pameran, tapi dia juga harus tahu dan mengikuti terus progres dan perkembangan seni. Seperti Indra Ameng contohnya, dia harus selalu mendengarkan terus musik-musik sekarang. Karena harus memperkaya dan akan tahu juga capaian-capaian baru dan sebagainya. Entah lewat baca, nonton, datang ke pameran, ngobrol dengan seniman atau datang ke studio lalu digging terus proses dan segala macamnya bagaimana bisa karyanya bisa seperti itu, sehingga proses ini yang menjadi sangat penting.

V

Sosok Ade Darmawan tidak bisa dipisahkan dengan Jakarta Biennale. Di tahun 2009 menjadi Artistic Director, kemudian di tahun 2013 berperan menjadi Executive Director. Selama memegang event tersebut, bagaimana perkembangan Jakarta Biennale itu sendiri? Apakah mampu mengakomodasi perkembangan dunia seni kontemporer Jakarta?

A

Saat saya mengerjakan Jakarta Biennale, yang menarik dan sangat menantang bagi saya adalah bagaimana membuat Jakarta Biennale sebagai acara publik. Bahwa ini adalah acara yang tidak hanya bisa dinikmati oleh pencinta seni saja. Ada banyak alasan sebenarnya, yang pertama adalah sebagai acara publik dalam artian dibiayai oleh Pemerintah Daerah, jadi saya harus membuatnya sepublik mungkin, karena kalau tidak akan jadi elit atau hanya diperuntukkan kepada orang-orang tertentu saja, itu tantangan pertama.

Yang kedua, bagaimana membuat karya-karya yang ditampilkan bisa benar-benar relevan untuk publiknya, bisa dibaca dan dikomunikasikan dengan baik, dan bisa memunculkan keterlibatan. Karena Jakarta Biennale itu sebenarnya sudah dari tahun 1974, tapi banyak orang yang tidak tahu acara ini, padahal acara ini besar dan berpengaruh tapi hanya diperuntukan untuk kalangan orang-orang yang berkecimpung di dunia seni saja, tidak untuk publik luas sehingga tidak exist di kepala orang-orang. Itu mengapa di tahun 2009 ketika saya menjadi Artistic Director dan masih menjadi menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, saya lihat dulu kotanya, yaitu Jakarta.

Karena di kota Jakarta yang cukup fragmented, misalnya saya yang tinggal di Jakarta Selatan lalu ke Kota di Jakarta Utara, pasti kesasar. Jadi kota ini tuh sebenarnya fragmented dan hampir tidak ada 1 orang pun di Jakarta menurut saya yang tahu Jakarta secara keseluruhan. Orang Selatan ke Utara pasti kesasar dan sebaliknya. Mulai dari kebiasaan-kebiasaannya yang berbeda, fasilitasnya dan tidak lupa kulturnya, pasti Jakarta Utara dan Jakarta Barat itu berbeda kan. Dengan kota yang seperti ini dan acara seperti itu mesti bagaimana, itu yang coba saya strategikan. Kalau berharap acara itu ada di suatu tempat dan kita ingin menarik orang atau publik untuk datang ke tempat itu, usahanya sudah pasti gila-gilaan, lengkap dengan persoalan macet dan sebagainya, tidak mudah pokoknya. Makanya lalu kita kombinasikan, pertama ada main venue lalu kita attract orang-orang untuk datang, kemudian karyanya justru mengunjungi si ruang-ruang itu. Itu alasan mengapa di tahun 2009 kita buat acaranya di Grand Indonesia, Senayan City ada juga di beberapa komunitas dan area, itulah yang lalu jadi konsentrasi saya dan terus dijaga konsepnya hingga sekarang. Karena kalau tidak dengan cara seperti itu pengalamannya jadi elit, dan itu pun jadi tantangan buat senimannya, yang biasanya ada di ruang pameran sekarang berada di ruang publik. Itulah yang coba saya tarik dan pecah-pecah, jadi pengalamannya mesti diperluas karena harus digabungkan.

Selanjutnya di saat yang bersamaan, si publik sebenarnya pun memiliki sedikit pengalaman melihat pameran, buat kita mungkin gampang, dalam setahun bisa berapa puluh kali melihat pameran, tetapi kebanyakan orang, apa mereka datang ke galeri? Nyatanya tidak, karena galeri pun tidak butuh, mereka butuhnya orang yang membeli (tertawa) tidak terlalu mementingkan apresiator. Sementara institusi-institusi publik yang seharusnya menarik atau mengedukasi dan menawarkan pengalaman-pengalaman seni itu pun juga kurang banyak. Meskipun Jakarta Biennale hanya 2 tahun sekali, akhirnya berusaha untuk tidak seperti itu, makanya kita membuat workshop atau touring ke kampus-kampus untuk mengedukasi. Terakhir yang juga merupakan hal penting adalah relevansi isu. Apa yang kita perlu bicarakan, dalam 2 tahun terakhir ada isu apa yang paling penting yang kemudian akan kita sampaikan lewat bahasa visual.

V

Banyak yang berkata bahwa Manifesto merupakan proyek paling menantang bagi Ade karena mengumpulkan karya seni di era 1940-an. Bagaimana ceritanya?

A

Itu benar, karena waktu persiapannya juga tidak panjang dan saya memang tertarik dengan sejarah, tapi itu adalah pertama kalinya saya harus deal dengan karya-karya bersejarah dari koleksi-koleksi lembaga di Jakarta yang punya nilai sejarah dari tahun 50 sampai 60-an. Lalu tantangannya bagaimana karya itu bisa relevan dengan keadaan sekarang, membaca sejarah dengan cara yang tidak romantis dan hubungannya dengan realitas kontemporer jadi diskusinya bisa lebih kaya, jadi tidak romantis tapi bisa merefleksi. Juga tentang waktu, isu sosial politik yang ada sekarang, bisa dilihat misalnya, “Oh ternyata masih relevan hingga sekarang” dan kita bisa melihat jalurnya bahwa sebelumnya ada isu-isu yang sudah dibicarakan dan sekarang masih gini-gini saja ya rupanya. Bisa seperti itu berpikirnya atau bisa juga ternyata kita punya potensi-potensi tertentu dari pembacaan tersebut. Hal itu cukup menantang buat saya karena harus mengkombinasikan karya-karya sekarang dengan karya-karya yang historical dan coba membacanya dari sudut pandang sekarang. Juga pola kurasi yang berbeda karena saya sebagai kurator lebih suka menguratori tentang process based, jadi benar-benar berdasarkan interaksi antara saya dan seniman, sementara ini tidak begitu karena yang saya kumpulkan adalah karya-karya dari seniman yang sudah wafat, sehingga saya harus berpikir lebih keras (tertawa).

V

Ade juga pernah bergabung di Dewan Kesenian Jakarta di tahun 2006-2009. Apa yang membedakan bekerja di kesenian dalam garis pemerintahan maupun independen bersama ruangrupa?

A

Sangat berbeda dan saya tidak suka (tertawa). Tidak suka karena contohnya seperti ini, kalau saya di ruangrupa ketika ada banyak perubahan, bisa langsung dibicarakan dan dikerjakan setelah itu langsung di evaluasi, rotasinya cepat. Berbeda dengan saat bekerja dengan pemerintah, laper birokrasinya sangat tebal sehingga terlalu lama mengatasi persoalannya dan saya kurang cocok berada di situasi tersebut. Bertele-tele dan lamban, dan menurut saya itu sudah menjadi karakter lembaga yang besar, ya layaknya orang gemuk saja geraknya jadi lamban, karena perkara birokrasinya. Juga kebijakan-kebijakan yang kami buat jadi tidak bisa langsung ditindak makanya sedikit buat frustasi dan bukan hanya saya, yang lain pun banyak yang frustasi.

Dewan Kesenian Jakarta pun punya masalah soal fungsi hingga sekarang, karena meskipun namanya Dewan masih sebatas membuat proyek atau kegiatan, bukan membuat kebijakan. Seharusnya mereka bisa membuat kebijakan dan menjadi tandem gubernur. Sebenarnya surat keputusannya seperti itu, namun kalau menurut saya itu saja sudah sangat sulit untuk di sinkronisasi dengan pihak Pemda dan dari sudut kebijikannya. Ada beberapa yang bisa dicapai dengan baik dan ada banyak juga yang tidak juga, jadi agak sulit hanya karena jalur birokrasinya yang rumit.

V

Dengan kondisi Jakarta yang saat ini sedang panas dalam artian suhu politik, tensi SARA, dan persenggolan kepentingan sangat masif terjadi, apakah dapat menarik rangsang para seniman untuk membuat karya-karya kontemporer?

A

Peran kesenian seharusnya bisa memberikan imajinasi ke masyarakat, karena masyarakat yang tidak punya imajinasi nanti akan dihukum (tertawa). Imajinasi harus terus berjalan, karena peradaban akan mati kalau tidak memiliki imajinasi, mimpi dan kreativitas, karena bensinnya kan itu sebenarnya. Kalau menurut saya seniman memiliki peran untuk terus memberikan pertanyaan bukan jawaban, juga spekulasi-spekulasi, atau pun godaan-godaan yang menggoyahkan iman seperti karyanya Agan Harahap, The Popo dan Komikazer contohnya, seru sekali itu buat saya.

Tapi mesti diperhatikan juga kalau seniman itu tidak boleh terlalu reaktif terhadap isu, karena yang ditakutkan karyanya akan menjadi terlalu dangkal menurut saya, karena kita sedang membicarakan sesuatu yang panjang. Untuk bisa mengubah atau melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang hal tertentu juga ketika menawarkan sesuatu dan membuat spekulasi sebetulnya butuh satu intensitas yang baik. Seniman harus bisa intens mengikuti perkembangan isunya dan mengetahuinya dengan baik, jadi tidak dangkal dan bisa berisi ketika memberikan entah statement, pertanyaan atau dalam menjadi sesuatu yang kemudian diperbincangkan di masyarakat. Karena terkadang ada bahayanya juga, kesenian cuma jadi alat yang digunakan satu politik tertentu dan menurut saya integritas kesenian harusnya terjaga dari itu dan juga harus independen.

V

Bagaimana dengan sekat yang tercipta antara seni dan masyarakat umum dan awam? Apakah masih terbuka lebar dan jauh atau perlahan mulai melebur dan dapat diterima masyarakat?

A

Batas itu akan selalu ada menurut saya. Karena balik lagi tadi ke peran tadi, tawaran-tawaran seniman memang sering ada yang kontroversial atau pun di luar imajinasi-imajinasi publik kebanyakan yang kalau menurut saya memang perannya adalah di sana. Yang dibutuhkan sebenarnya adalah jembatan dan itulah yang seharusnya dilakukan oleh kritikus, penulis, media, kurator dan lembaga-lembaga publik. Yang lalu akan menjembatani antara seniman, karya dan publiknya.

Masalahnya di Indonesia jembatan itu masih kurang sekali, edukasi ke publik juga jarang, memangnya ada yang tau program museum? Entah itu Museum Nasional atau Galeri Nasional? Pasti jarang. Jadi pertanyaan seperti karya dan pameran itu tentang apa, seni itu apa dan prateknya bagaimana, bisa juga diturunkan lagi seperti teknik dan penciptaannya seperti apa. Itu kan sesuatu yang harus terus menerus diedukasikan dan bukanlah pekerjaan yang hanya bisa dilakukan satu kali saja.

Kalau di luar, peran itu diambil alih oleh pemerintah, lewat museum, arsip untuk mendukung edukasi-edukasi yang dibuat oleh museum. Selain itu juga ada penerbitan-penerbitan yang berhubungan untuk edukasi yang pasti didukung oleh pemerintah. Sedangkan di Indonesia, jembatan ini dikerjakan oleh para senimannya sendiri, jadi kerjanya double. Kebayang tidak, kalau di luar peran tersebut di ambil pemerintah dan dilakukan setiap hari, jadi memang ada yang khusus mengerjakan itu saja, untuk mengedukasi publik. Sehingga sekat yang jadi pertanyaan ini jawabannya ada satu atau dua, kita itu butuh jembatan dan jembatannya itu adalah edukasi publik kalau menurut saya. Karena kalau sekarang ini yang melakukan edukasi publik di Indonesia adalah si pelaku atau produsen seninya itu sendiri, bukan oleh pemerintah atau jembatan ini, atau katakanlah media. Ada berapa banyak media yang membicarakan atau menulis artikel tentang kegiatan seni? Tidak usah bicara seni rupa dulu deh, kesenian secara keseluruhan misalnya seperti tari, teater dan sebagainya, biasanya cuma ada di hari Minggu karena masih dianggap sebagai rekreasional bahwa itu adalah sebatas hiburan saja. Kalau pun ada, hanya beberapa media saja yang mengangkat seni menjadi headline-nya, bisa kok di breakdown jumlahnya.

Begitu pula media online seperti Detik contohnya, mereka masih mengkategorikan seni sebagai hiburan dan saya pernah protes juga menyampaikan pada mereka kalau kedua hal tersebut berbeda, padahal kalau mau dijadikan konten ada banyak sekali yang bisa didapatkan dari sana. Tapi seperti yang sudah saya sampaikan, jembatannya itu tidak pernah dibangun, dimulai lembaganya yang masih ada, yang setiap hari ngurusin hal seperti itu pun masih ada, pemerintahnya masih turun tangan, medianya juga bisa ikut bantu, itu sebenarnya yang bisa diubah. Karena masih sangat kurang sekali jika diperhatikan, ada media yang menyuguhkan sesederhana ulasan tentang pertunjukan tari misalnya, jarang sekali. Kelengkapan itulah yang menurut saya kalau tidak dilengkapi akan terus memberikan sekat, karena kalau pun sudah lengkap sekat akan tetap ada sebetulnya. Alaminya sudah seperti itu, karena seni imajinatif, seni itu akan lari sekencang-kencangnya dan lebih cepat dari masyarakatnya itu sendiri, karena menang itulah perannya. Jadi kita sebenarnya hanya membutuhkan jembatan untuk publik agar bisa tahu dan mengerti tentang seni.

V

Apa proyek yang sedang dikerjakan sekarang?

A

Yang pertama karena saya sedang mendirekturi Jakarta Biennale, jadi saya sedang mengurusi persiapan pembukaan Jakarta Biennale pada tanggal 4 November 2017. Daftar senimannya sudah ada, juga bekerja dengan Artistic Director yang sangat seru, yaitu Melati Suryodarmo dan tentunya beberapa kurator internasional. Di bulan September ada Asia Art Triennale di Taiwan, saya menjadi salah satu kuratornya dan bertanggung jawab atas wilayah Asia Tenggara dan Selatan, jadi saya memilih seniman-seniman dari India, Bangladesh, Filipina, Indonesia dan Malaysia. Kalau sehari-harinya saya mengurusi Gudang Sarinah Ekosistem dengan sekian banyak kolektif yang bekerja sama untuk menghadirkan ide-ide baru dan sebagainya. Terakhir saya sedang menyiapkan pameran tunggal yang rencananya akan terlaksana tahun depan.whiteboardjournal, logo