Melampaui Realita bersama Agan Harahap

23.08.17

Melampaui Realita bersama Agan Harahap

Soni Triantoro (S) berbincang dengan Agan Harahap (A).

by Febrina Anindita

 

S

Bagaimana awal ketertarikan Agan Harahap terhadap dunia digital imaging dan kemudian menekuninya?

A

Awalnya adalah masa kuliah. Waktu itu masih zaman sebelum digital imaging. Saya kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual dan ada tugas fotografinya. Padahal saya tidak bisa motret dan tidak punya kamera. Karya teman-teman yang tidak terpakai lalu saya pinjam dan saya klaim sendiri. Sementara itu saya mulai belajar edit Photoshop. Dari cuma brightness, contrast, hingga akhirnya belajar cara menyeleksi, memotong, lalu memindahkan ini-itu.

Setelah lulus, saya pindah ke Jakarta dan kerja di studio foto kawinan dengan tugas digital imaging kayak menghilangkan jerawat, menghijaukan rumput, membirukan langit dan sebagainya. Saya bekerja di sana tidak sampai setahun. Tiba-tiba seorang teman (Bayu Adhitya) bilang, “Gan, lu mau ngegantiin posisi saya tidak jadi fotografer di Trax Magazine?” Anjir, padahal saya tidak bisa motret. “Udah, cuek aja,” katanya. Ya sudah, akhirnya saya pinjam portofolio teman saya yang fotografer beneran. Saya kasih ke Trax Magazine, lalu saya tiba-tiba dipanggil mereka. Saya presentasi seolah-olah foto-foto itu punya saya. Eh tidak tahunya diterima. Akhirnya, karya saya di majalah Trax hampir setahun dari tahun 2006 itu hasil Photoshop semua. Tapi itu malah bikin saya harus belajar. Setiap lagi motret, begitu cekrik, ada yang nyamperin,“Mas, boleh lihat?” “Eh tidak boleh,” (tertawa). Soalnya saya ngaco banget motretnya. Hari pertama saya bertugas saja saya tidak tahu cara menyalakan lampunya. Pokoknya saya motret pakai mode auto saja. Begitu masuk komputer baru di-edit sambil begadang. Seperti itu terus selama 12 bulan. Tapi setelah 2006, saya sedikit-sedikit sudah mulai bisa motret.

Nah, itu tadi kalau di bidang pekerjaan. Beda lagi untuk masuk ke dunia seninya. Waktu kuliah dulu saya memang anti dengan fotografi karena memang tidak bisa dan tidak punya alatnya. Mahal. Saya dan teman-teman kuatnya di ilustrasi. Kita waktu itu sok seniman padahal dari kampus desain. Sampai kita punya idiom bego-begoan: “Orang jago fotografi berarti gambarnya jelek”. Kita senang ketika hampir tiap minggu ada pembukaan pameran di Bandung. Saya dan teman-teman hampir tiap hari ke sana. Sebenarnya bukan karena karya seninya, tapi cuma karena opening ‘kan berarti ada makanan gratis, sementara kita anak kosan semua.

Pulang dari pameran, biasanya kita berkumpul di rumah salah satu teman sambil minum dan ngobrol sok tahu membahas karya-karya tadi. Secara tidak sengaja itu menghasilkan ambisi terpendam. Trigger-nya kemudian adalah waktu saya kerja di Trax. Dulu kantornya di dekat Sarinah, sementara rumah saya di Cempaka Putih, jadi tiap hari saya lewat Galeri Nasional dan nyari makan gratisan di pameran-pameran. Padahal tidak ada yang saya kenal, ya bodo amat. Tapi akhirnya saya terpacu ketika melihat ada open submission Indonesian artwork di Kompas. Karya-karya yang saya bikin di sela-sela waktu bekerja lalu saya sertakan dan ternyata berhasil masuk nominasi. Walau tidak menang, tapi dari situ saya mulai kenal lingkungan seni.

S

Beberapa karya Anda dilengkapi dengan teks narasi fiktif yang menarik, terutama seri Metallica. Bagaimana Anda melihat posisi teks dalam karya visual, terutama foto?

A

Tergantung medianya. Karya saya disebar di media sosial, ketika memungkinkan untuk menaruh caption ya saya taruh. Semisal kalau berkarya di Twitter, mungkin saya bakal kasih link: “Ingin tahu cerita lengkapnya? Klik saja!” Teks itu tergantung medianya. Untuk beberapa media sosial itu penting, tapi tergantung fotonya juga. Kalau fotonya Habib Rizieq dan Ahok kemarin, menurut saya tidak perlu caption yang lebay. Itu sudah selesai. Tapi jika saya ngomong soal masa kecil Rihanna di Indonesia, saya rasa perlu caption. Begitu juga pameran offline di galeri di mana caption diperlukan tapi hanya untuk statement seniman atau di katalog saja.

S

Selain menuai apresiasi, karya Anda juga tak jarang menjadi provokasi. Apa sebenarnya yang dicari dari pola kerja seperti ini?

A

Kesenangan (tertawa). Kita hidup ‘kan mau senang-senang. saya bersenang-senang ketika orang bisa tertipu, marah-marah, atau berantem satu sama lain gara-gara saya. saya baca komentar-komentar sambil tertawa. Fanatik kok bisa sampai segitunya.

S

Karya Anda banyak bermain dengan realita. Bagaimana Anda melihat fenomena hoax dan tren post-truth yang ada sekarang?

A

Ya memang sudah zamannya begitu. Zaman penuh tipu daya. Dekat kiamat katanya kan penuh nabi-nabi palsu. Memang perkembangan teknologi saat ini sangat memungkinkan untuk munculnya fenomena ini, jadi saya tidak berkomentar. Eranya seperti ini, ya hadapilah. Kalau orang yang gampang termakan berarti tidak siap, mending tinggalkan media sosial saja.

S

Apakah karya Anda bisa dikategorikan sebagai hoax?

A

Bisa-bisa saja. Tergantung bagaimana cara pandangnya. Ketika ada foto Habib dan Ahok bersalaman, banyak yang bilang, “Hoax nih! Fitnah nih!” Ya saya ‘kan bikin damai, kalian tidak capek berantem terus? Saya selalu mencampurkan air dan api di karya-karya saya. Ketika ada foto Ahok dipeluk Megan Fox dan dicium Miley Cyrus, wah Ahokers marah-marah, “Fitnah nih!” sementara kubu satunya, “Nih ‘kan buktinya!” Saya selalu bermain di wilayah itu. Kadang-kadang saya memberi harapan supaya benar-benar terjadi, tapi kadang memancing supaya jadi perang. Tergantung saya memang mau mengarahkan ke mana.

S

Dan lucunya media kerap kedapatan turut memberitakan itu seolah kebenaran.

A

Ya mungkin mereka mengira itu kebenaran, atau bisa juga karena mereka sengaja memberitakannya untuk cari hits.

S

Menurut Anda, arah media lebih cenderung yang mana?

A

Tergantung yang kasus yang mana. Misalnya kemarin ada artikel ”Heboh! Raja Salman Bertemu Habib Rizieq, Begini Ceritanya!” Eh, ujung-ujungnya mereka sendiri mengabarkan bahwa itu hanya berita bohong. Ya biasalah mereka cuma cari judul bombastis agar orang klik dan share.

Karya saya yang logo PKI di kepala ikan louhan dalam sehari mendapatkan beribu share. Media Tribun ikut mengangkatnya, lalu tass! Semua orang heboh. Makanya jurnalisme di era digital ini kacau. Mereka tidak melakukan verifikasi. Kalau tidak salah memang awalnya dari Tribun dulu. Saya tidak tahu tujuannya apa, tapi yang jelas nama saya tidak disebut. Lalu media-media gurem lain ikutan memberitakan. Foto louhan itu paling gokil karena media-media mengira itu beneran. Denny Siregar dan beberapa orang lainnya juga menulis itu blognya. Helooo.. makan tuh ikan!

Pola kerja saya adalah karya di-share dulu oleh lingkaran pertama saya. Ketika karya itu di-share, temannya-teman yang tidak tahu saya langsung termakan. Polanya pasti begitu. Pokoknya lempar ke media sosial saja. Saya soalnya mulai tahu bahwa akan dikira jokes jika saya posting sendiri. Makanya ketika ingin efeknya lebih hot, ya saya minta teman untuk posting, dan akhirnya, kebakaran (tertawa).

S

Kapan Anda merasa punya momentum untuk turun tangan merespons sebuah isu sosial?

A

Memang tergantung momen. Sekarang lagi ada momen apa sih? Hari Proklamasi ya? Atau Setya Novanto jadi tersangka E-KTP? Yah, biasa saja sih, saya tidak merasa tergerak. Makanya saya sekarang berhenti dulu karena kemarin saya sudah masuk di isu Pilkada, sementara sekarang Habib Rizieq lagi ke Arab. Wah terus apa dong yang menarik? Kesepian dong saya (tertawa).

S

Yang disasar oleh hoax adalah emosi, bukan intelektualitas. Apakah Anda juga menerapkan pendekatan yang sama dalam menggarap karya?

A

Tidak. Saya tidak pandang bulu dalam menembak. Saya punya beberapa akun. Akun Agan Harahap memang digunakan untuk posting yang lucu-lucu. Kubu kanan tidak masuk di timeline milik saya. Saya butuh satu akun untuk melakukan monitoring atas apa yang terjadi di kubu kanan dan kiri. Saya ada di tengah dan tidak pandang bulu.

S

Seberapa jauh Anda memikirkan dampak sosial dari tiap karya Anda?

A

Untungnya sampai saat ini apa yang saya pikirkan itu selalu tepat. Jadi saya tidak sampai mengalami seperti apa yang dialami “Makan Mayit”-nya (Natasha Gabriella) Tontey yang hasilnya di luar ekspektasinya. Saya sudah mengerti batasan bahasa-bahasanya, apakah terlalu vulgar atau bagaimana. Kalau cuma muka-muka tokoh yang dicium selebriti masih oke lah. Tetap ada pertimbangannya walau tidak pandang bulu target sasarannya. Seperti senapan mesin, daaaar! Pukul rata semua. Ada yang kena dan ada yang tidak, bodo amat (memeragakan senapan mesin).

S

Bagaimana Agan melihat pola kerja digital yang membuat semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk membuat karya? Dan bagaimana menurut Agan posisi seniman dalam kondisi yang demikian?

A

Idealnya adalah sesuai kata-kata seniman adiluhung zaman dulu bahwa seniman merespons kejadian di sekitarnya dan menuangkannya dalam karya. Di saat seperti ini, posisi seniman itu jelas. Saya juga seperti itu. Saya mendapatkan semua isu dari timeline, dan saya kembalikan lagi ke timeline. Tidak banyak seniman yang begini, apa yang saya lakukan mungkin memang old-fashioned. Kalau kita lihat tahun-tahun sebelum reformasi, tiap seniman tiba-tiba temanya politis. Sekarang paling cuma segelintir doang yang masih begitu. Saya memang lagi senang di situ. Paling Anti-Tank yang sama-sama political. Cuma kalau Anti-Tank ‘kan modelnya serius, sementara saya main-main.

Saya tidak peduli kalau soal pangsa. Nanti kalau saya bosan ya akan saya tinggalkan. Sekarang lagi pusing mengurus anak dan segala macamnya, dan sementara juga lagi bosan. Ya sudahlah, nanti mungkin bisa gencar lagi. Saya tidak merasa terancam.

S

Apa kritik Agan pada dunia fotografi? Terutama fotografi kontemporer lokal?

A

Tidak ada, karena tiap orang pandangannya berbeda dalam memberi sikap. Interest-nya juga berbeda. Yang interest pada distribusi fotografi via media sosial mungkin cuma saya dengan editing digital. Yang lain sasarannya macam-macam. Jadi saya sih biasa saja melihat ini. Sorotannya justru adalah di netizen yang segala-galanya dilahap. Semua pasti berujung pangkal dari media sosial. Sepenglihatan saya, kebanyakan justru kalau tidak ibu-ibu, bapak-bapak, dan–kesenjangannya jauh banget—anak muda yang baru. Kenapa usia kuliah jarang terkena isu-isu begitu? Karena kita pengguna lama. Kita sudah mengerti ritmenya. Nah, lalu tiba-tiba booming ponsel Cina dan paketan pulsa. Maka kalau tidak orang tua maka adalah anak baru yang gampang termakan. Misalnya grup WhatsApp keluarga yang isinya, “Jangan begini-begini! Ayat ini bilang begini!” Halaah… “Tapi yang ngomong kakek lho. Kakek tidak pernah bohong. “ Sehingga yang jadi sasaran adalah kalau bukan rentang atas banget ya bawah banget. Yang tengah relatif aman.

S

Apa tantangan terbesar bagi seniman visual yang galerinya adalah media sosial?

A

Sama saja tantangan galeri offline dan online, yaitu kebosanan. Kadang-kadang sense untuk mengolah momentum itu tidak konstan. Kalau lagi mood, sehari saya bisa ngerjain banyak visual sebagai cadangan. Sementara kalau sekarang ini ada kasus apa sih? TNI pukul-pukulan, terus kenapa? Tidak masuk.

S

Terkait statement sebelumnya bahwa seniman bertugas merespons lingkungannya, maka apakah setuju jika proses berkarya Anda sendiri sangat bergantung pada apa yang sedang terjadi di lingkungan masyarakat?

A

“Di eranya”, itulah yang dikatakan kontemporer. Intinya memang merespons. Kita ngomong Rembrandt ya selalu tentang apa yang terjadi di era itu. Begitu juga ketika kita ngomong Caravaggio. Ketika agama mendominasi semuanya, maka gambar pada era Caravaggio atau Michelangelo tiba-tiba isinya ketuhanan semua. Lalu kenapa tiba-tiba gambarnya Van Gogh adalah impresi? Ya karena eranya memang sedang begitu. Kita eranya lagi di mana sekarang? Tidak tahu, lagi menebak-nebak. Tadi saat ada pertanyaan tentang penamaan karya saya, kita tidak akan tahu karena teknologinya masih berjalan. Aplikasi dan distribusinya masih berkembang terus. Mungkin nanti setelah ini tergantikan oleh penemuan-penemuan media yang baru, genre-nya baru akan ketemu.

S

Istilah ‘no pic hoax’ tak lagi relevan ketika dihadapkan dengan karya-karya Anda. Pernahkah Anda resah ketika sadar bahwa begitu mudah memanipulasi realitas lewat olahan foto?

A

Tidak lama lagi orang akan tidak percaya dengan foto. Saya sudah melakukan semua ini. Sepuluh sampai lima tahun kemarin, orang-orang masih berpikir bahwa foto adalah pembuktian. Sementara kini apa yang bisa kamu percaya selain yang di atas? Tergantung kadar keimanannya saja.

S

Selama ini literasi media sering diasosiasikan semata untuk konten teks berformat tulisan. Bagaimana literasi media untuk konten fotografi dikembangkan?

A

Pasti ada, tapi saya tidak tahu dan tidak mau tahu juga. Literasi teks itu tujuannya untuk siapa? Tidak buat umum juga ‘kan, melainkan untuk profesi-profesi tertentu. Begitu juga literasi foto. Perlunya apa untuk sekarang? Saya baru saja melihat satu akun yang ngehek banget, bisa-bisanya menyamakan Hitler dengan Nabi Muhammad (Menunjukan akun tersebut lewat gawainya). Gila banget nih. Bagaimana kita disuruh percaya di era sekarang? Sementara sejarah saja bisa dipelintir.

Waktu yang akan menjawab pendidikan kritis pada foto. Karena kesejahteraan dan pendidikan saja belum merata. Misalnya Hitler disamakan dengan nabi ke orang-orang yang tidak tahu Hitler kayak di pedalaman Kalimantan yang baru dapat ponsel, ya akhirnya mereka memahaminya secara plek ketiplek. Mereka tahu apa? Belum lagi kalau kita bicara yang lebih njelimet seperti soal penistaan agama. Orang-orang di kampung ini tahu apa? Mau buka video puluhan menit ya kuotanya habis. Sementara kabel optik belum sampai ke daerahnya. Dia tidak akan tahu ini maksudnya ke mana. Jadi memang tidak bisa, kecuali dikondisikan seperti Cina yang menerapkan kebijakan firewall pada kelompok media sosial. Atau ya dikondisikan agar orang-orang tidak bergantung pada media sosial lagi.

S

Apa proyek Anda mendatang?

A

Bokep! (tertawa) Bagaimana caranya bokep bisa selaras dengan agama. Contohnya di media sosial ada satu artis bokep Jepang yang punya follower satu juta lebih. Tapi akun Instagram-nya bukan akun Instagram biasa. Dia bisa tahu yang mengakses fotonya paling banyak dari mana. Ternyata cuma berapa persen orang Jepang sendiri yang follow dia. Paling banyak orang Amerika Serikat, dan yang kedua adalah orang Indonesia. Orang Bekasi katanya yang paling banyak. Padahal Bekasi ‘kan yang kanan banget kesannya.

Dan sekarang trennya lagi agama. Tidak bisa melenceng sedikit. Akun saya yang lain pernah mengunggah foto Camelia Malik waktu masih muda dengan bikini. Memang foto aslinya seperti itu, saya cuma posting saja. Eh, lalu komentar orang-orang adalah, ”Wah tidak boleh, kalau ibu lu yang dibeginikan bagaimana?” Apa hubungannya? Cuma payudara doang tapi pikirannya langsung ke agama. Nah, sekarang saya ingin cari caranya biar bisa selaras dan ketemu antara agama sebagai sesuatu yang mulia dan bokep sebagai hal paling rendah. Saya lagi mempelajari tentang porn and contemporary art. Di Indonesia belum ada yang seperti ini. Cuma ada di Eropa atau di Amerika Serikat di mana seks itu biasa saja. Tapi saya belum tahu caranya. whiteboardjournal, logo