Advokasi Sastra bersama Fahd Pahdepie

Art
03.01.18

Advokasi Sastra bersama Fahd Pahdepie

Ibrahim Soetomo (I) berbincang dengan Fahd Pahdepie (F).

by Febrina Anindita

 

I

Bagaimana awal mulai ketertarikan Anda pada dunia penulisan kreatif?

F

Sejak kecil saya senang membaca. Dimulai dari membaca dongeng dan cerita-cerita para nabi. Saya melihat cerita punya daya tarik sekaligus daya dorong yang luar biasa. Ia bisa menjadi medium yang sempurna untuk mengubah pikiran orang, mempengaruhi perasaannya. Waktu SMP saya membaca “Little Prince dari Antoine de Saint Exupary” dan “Sophie’s World” dari Jostein Gaarder. Sejak saat itu saya mulai belajar menulis.

I

Anda telah menerbitkan 20 buku dengan berbagai genre di umur yang terbilang masih muda, apa yang mendorong Anda untuk secara produktif mengeksplorasi ragam gaya menulis?

F

Pada dasarnya saya senang mencatat apa saja. Ibarat fotografer, saya memotret keseharian saya dengan kata-kata. Kalau saya sudah menerbitkan 20 buku, berarti saya mencatat dengan baik. Saya mendokumentasikan pikiran dan perasaan saya ke dalam buku-buku itu.

Buat saya menulis adalah saat berdialog dengan pikiran dan perasaan pembaca. Topik, gaya, genre, atau apapun, adalah upaya kita untuk memasuki semesta pikiran dan interior perasaan pembaca itu. Jadi buat saya perbedaan gaya, pilihan tema atau genre yang saya tulis hanya cara saya untuk melakukan kerja dialog tadi agar tidak membosankan.

I

Anda kerap mengangkat kehidupan sehari-hari di karya Anda, bagaimana Anda memaknai keseharian sehingga hal tersebut bisa diangkat menjadi karya sastra?

F

Ada banyak hal istimewa dari hal-hal sederhana yang kita temukan di keseharian kita, jika kita berhasil menggali makna di baliknya. Mungkin sebagian dari diri saya adalah seorang filsuf. Ayah saya dosen filsafat di sebuah universitas di Bandung, sejak kecil saya senang mendengarkan dongeng-dongeng filsafat. Saya belajar bahwa para filsuf berangkat dari fenomena yang mereka temui di keseharian mereka. Mungkin itu yang membuat saya merasa tidak perlu jauh-jauh dalam mencari topik tulisan, banyak hal hebat ada di sekitar saya dan saya temukan sehari-hari.

Apresiasi generasi muda terhadap sastra dirasa masih rendah, apakah mengangkat keseharian merupakan cara Anda untuk mendekatkan sastra bagi pembaca muda? Karena dengan begitu pengalaman emosi mereka terwakili.
Buat saya, mengangkat tema keseharian menjadikan tulisan saya lebih dekat kepada pembaca. Mereka jadi turut merasakan, ikut terlibat. Saat pembaca terlibat di dalam teks yang kita tulis, berinteraksi dengan gagasan yang kita tawarkan, itu kemewahan yang luar biasa bagi penulis.

I

Anda menggagas situs inspirasi.co untuk mewadahi karya-karya dari para pelaku kreatif muda. Sebagai penggagas sebuah platform, bagaimana Anda melihat perkembangan penulisan kreatif saat ini?

F

Saya melihat ada banyak sekali orang yang mencintai dunia menulis ini. Mereka butuh wadah, butuh apresiasi, butuh kesempatan. Impian saya adalah memfasilitasi mereka, memberi mereka ruang untuk berkarya. Karena buat saya berkarya adalah proses panjang antara mengapresiasi dan diapresiasi. Inspirasi.co dirancang untuk itu.

I

Perkembangan teknologi memungkinkan sastra untuk berkolaborasi dengan media lain. Anda pun memperkenalkan istilah “fiksi lintas media” yang mengawinkan sastra dengan media seperti visual dan audio, adakah makna baru ketika sastra tidak lagi dinikmati secara tunggal?

F

Makna menurut saya tidak pernah tunggal. Makna selalu kompleks. Itulah sebabnya saat kita membaca teks yang sama untuk kali kedua atau ketiga, mungkin kita bisa menemukan pemaknaan yang berbeda. Fiksi lintas media yang menggabungkan teks, suara, dan gambar sebenarnya ingin menawarkan pengalaman yang berbeda saja saat berinteraksi dengan ketiga medium itu sekaligus. Ketika ketiganya dikolaborasikan, teks-suara-gambar akan saling berinteraksi satu sama lain dan menyajikan medan pemaknaan yang baru.

I

Karya sastra yang baik adalah yang mampu mewakili zaman atau konteks sosial yang terjadi, jika kita melihat situasi belakangan, isu moral masih terjadi di Indonesia. Menurut Anda, bagaimana para sastrawan merespon fenomena ini?

F

Menurut saya, karya sastra yang baik adalah yang mampu menyuarakan suara yang lain (other voices) dari suara yang mainstream. Mungkin suara yang lain itu adalah suara yang dibungkam, suara yang tidak dipercayai, suara yang diremehkan, dan seterusnya. Sastra bertugas menyajikan suara-suara semacam itu ke ruang publik. Untuk fenomena yang terjadi di Indonesia belakangan, sayangnya suara mainstream mengatakan bahwa orang boleh saling bermusuhan atas nama etnis, suku, agama dan seterusnya. Sastra harus bisa menyuarakan suara yang lain.

I

“Sastera Sebagai Advokasi” merupakan diskusi panel yang Anda hadiri di Singapore Writers Festival (SWF) 2017, menurut Anda, sejauh mana sastra dapat menjadi alat advokasi dan berperan dalam mewacanakan isu-isu genting di masyarakat?

F

Seperti jawaban saya sebelumnya, sastra sejak awal adalah medium untuk menyuarakan yang tidak terdengar. Di sana ada fungsi advokasi. Literature by default is an advocacy. Bahkan jika itu adalah tentang menyuarakan apa yang tersembunyi dalam pikiran dan perasaan si pengarang. Sastra bertugas mengadvokasi semua itu saat harus bertarung di ruang publik.

I

Tahun ini, SWF mengangkat isu etika dan moral yang dirangkum dengan tajuk berbahasa Tamil, “Aram.” Dialog seperti apa yang Anda harapkan muncul di festival ini, yang dapat berkontribusi terhadap kesusastraan Indonesia?

F

Saya kira SWF penting menjadi ruang untuk mulai menyatukan penulis-penulis di Asia Tenggara (ASEAN). Mereka harus mulai berpikir untuk bisa memiliki semacam platform bersama untuk berkarya, mencari kesamaan. Bahasa mungkin sulit diharapkan karena kesebelas negara ASEAN memiliki bahasa yang berbeda-beda. Barangkali, kita bisa mulai dari menuliskan tema yang sama, shared values, kegelisahan yang sama, dan seterusnya.

I

SWF adalah ajang mempertemukan sastra lintas Asia Tenggara dan juga dunia, bagaimana Anda melihat kedudukan sastra Indonesia di taraf internasional?

F

Sastra Indonesia masih punya banyak PR (Pekerjaan Rumah). Bahkan PR yang paling dasar untuk meningkatkan kesadaran literasi masyarakatnya, meningkatkan daya baca dan daya beli buku. Untuk bersaing di level internasional, rasanya masih jauh. Meskipun sudah ada beberapa penulis Indonesia yang mendapatkan pengakuan penting di kancah internasional. Menurut saya kantong-kantong kreativitas di Indonesia, termasuk aneka komunitas sastra, harus mulai mengurangi kecenderungan masing-masing untuk berseteru dan mulai bersatu untuk berkarya sebanyak-banyaknya.

I

Apa proyek yang sedang Anda kerjakan?

F

Saya baru saja menerbitkan sebuah novel, judulnya “Hijrah Bang Tato.” Ini novel pertama saya yang bicara isu populisme Islam sekaligus radikalisme. Saya sedang berusaha melakukan kontra-narasi terhadap radikalisme dan ekstremisme melalui novel ini. Mudah-mudahan akan difilmkan juga dalam waktu dekat.whiteboardjournal, logo