Spiritualitas Musik Elektronik bersama Jonathan Kusuma

Music
17.01.18

Spiritualitas Musik Elektronik bersama Jonathan Kusuma

Febrina Anindita (F) berbincang dengan Jonathan Kusuma (J).

by Febrina Anindita

 

F

Di podcast Color, Ojon mengatakan alasan untuk membuat musik adalah karena sekitar akhir tahun 90-an tidak mendapatkan musik yang cocok di telinga. Memangnya musik seperti apa yang Ojon cari saat itu?

J

Sebetulnya karena pada saat itu belum ada internet, tetapi saya ada keinginan untuk mendengarkan musik-musik yang beda dan baru. Jadi sebenarnya tidak ada spesifikasi harus lagu yang seperti apa. Karena pada tahun itu musik identik dengan instrumen gitar, bass dan drum, saya justru ingin bereksplorasi dengan kemungkinan-kemungkinan lain. Akhirnya menemukan pengalaman lain ketika bertemu musik elektronik.

F

Bagaimana perkenalan Ojon dengan musik techno, house maupun leftfield yang menjadi identitas Anda di dunia DJ?

J

Tentu awalnya dari digging ya. Saat mencari musik, kalau ada satu yang bagus pasti secara otomatis akan mengantarkan kita ke musik-musik lainnya yang tak kalah bagusnya. Hingga akhirnya bisa ke titik tersebut, musik-musik itulah yang memang saya suka. Tapi sebelum mendalami genre-genre tersebut, saya juga mendengarkan musik-musik lain contohnya seperti ketika saya membuat proyek bernama Space System, record label Space Records, dari situlah saya banyak mencari untuk mengenal musik-musik di Indonesia.

Namun, apa yang membuat saya sangat tertarik dengan musik-musik yang ditanyakan, karena saya suka dengan energi hingga budaya. Contohnya seperti di tahun 90-an, musik house itu kan identik dengan istilah “we live in the same house, same roof, one love,” untuk bisa menerima semua ras misalnya, atau untuk bisa menyebarkan cinta kasih.

F

Selain menjadi DJ selama belasan tahun, Anda juga merupakan seorang produser. Bagaimana Ojon memilah proses bekerja saat menjadi DJ dan saat menjadi produser? Mengingat dua profesi ini sama-sama membutuhkan porsi fokus yang hampir mirip, tidakkah merasa kesulitan?

J

DJ dan produser sudah jelas merupakan dua hal yang berbeda ya. Hanya saja yang saya lihat hari ini adalah produser harus jadi DJ, dan DJ harus produce, karena dua poin tersebutlah yang diminta oleh industri sekarang, terutama untuk seorang produser dance music. Cara memilah bagi saya sampai saat ini memang masih agak sulit, harus nge-DJ sedangkan ada deadline lagu karena saat menjadi seorang DJ kita kan harus mengumpulkan lagu-lagu orang lain yang ada banyak sekali, sedangkan kalau produce lagu itu harus fokus. Jadi kalau menurut saya cara memilahnya sebenarnya harus ada tombolnya, namun terkadang memang tidak mudah.

Buat saya, dua profesi ini saling membantu satu sama lain, kalau DJ-ing kita bisa langsung mengetahui respon dari orang-orang mengenai pilihan lagu yang kita mainkan di dance floor atau tanggapan mereka mengenai komposisi hingga sound-sound yang spesifik. Terkadang justru yang mempersulit itu sebenarnya adalah lifestyle-nya, kalau produser, lifestyle-nya kan tidak terlalu sering keluar rumah, paling sering berdiam di studio saja atau bisa dibilang cukup anti sosial, sedangkan DJ diharapkan untuk bisa lebih bersosialisasi, contohnya seperti bertemu dengan orang banyak hingga tampil di depan mereka. Dengan menyelami dua profesi dengan karakter yang berbeda ini saya merasa seimbang. Keluarnya cukup, di rumahnya pun demikian.

F

Bersama Gerhan, Anda membuat Akamady Records. Lalu ada pula project Space Rec. dan Space System yang menuai respon menarik dikarenakan identitas dan idealisme yang mendasarinya. Apa kabar proyek tersebut?

J

Kalau Space Records sudah tidak ada sekarang, hampir kurang lebih 3 tahun yang lalu bubar, sedangkan Akamady masih tetap berjalan namun memang agak lamban saja (tertawa). Lamban dalam arti karena bos labelnya sedang mengurusi urusan pribadi dan buat saya itu cukup normal (tertawa).

F

Bicara musik elektronik, sebenarnya genre ini mampu mempengaruhi pikiran pendengarnya pada saat didengarkan, seakan menciptakan sebuah pengalaman spiritual atau trance. Apakah Ojon mempertimbangkan hal tersebut ketika mengaplikasikan intensitas pada karya-karya yang Anda buat?

J

Jujur, saya sebetulnya mencoba untuk tidak memikirkan hal tersebut, dalam artian terkadang kalau berkreasi tetapi terlalu dipikirkan untuk apa atau mau bagaimana dan seperti apa buat saya justru malah menutup dan membatasi kreativitas. Ketika berkarya saya selalu mencoba untuk, ya berkarya saja, jadi tidak terlalu memikirkan elemen-elemen tersebut. Justru yang menjadi pertimbangan saya ketika membuat musik adalah teknisnya, seperti sound contohnya, kick-nya sudah benar belum ya, nanti kalau dimainkan di speaker yang besar bagus atau tidak ya, kick drumnya mengalahkan suara synthesizer tidak ya. Itulah yang menjadi pertimbangan saya sekarang ini.

F

Seberapa jauh Ojon memikirkan dampak dari tiap karya yang Anda buat?

J

Tidak terlalu banyak memikirkan itu sih (tertawa). Tetapi sebagai orang Indonesia, saya ingin membuat karya dengan mencoba menuliskan sesuatu – seperti judul lagu misalnya yang berhubungan dengan konteks keseharian saya. Contohnya seperti salah satu judul lagu di EP “Im A Cliche”, “Gong 3000” latar ceritanya di Indonesia dengan membawa nama Gong di tahun 3000 yang modern, atau “Disko Mordor” itu maksudnya disko yang ada di Jakarta dan menganggap Jakarta sebagai Mordor yang ada di Lord of The Rings, semudah itu aja.

Jadi, yang paling penting adalah bagaimana caranya asal mula saya kuat dan terasa pada karya-karya yang saya buat. Lebih spesifik lagi seperti konteks saya di Jakarta atau Indonesia bisa ada di musik saya, itulah salah satu hal yang selalu saya pertahankan karena saya pribadi ingin memiliki karakter saya sendiri. Dan kabar baiknya, tanpa di sadari hari ini saya telah membawa saya ke posisi yang saya hanya bayangkan sebelumnya.

F

Bicara tentang spiritualitas dalam musik elektronik, bagaimana Ojon mencari hal tersebut dari referensi musik yang Anda dengar – apakah harus dari live music atau cukup dari komposisi musik?

J

Musik elektronik itu kan dihasilkan oleh manusia yang berhubungan dengan mesin atau sesuatu yang dialiri listrik, atau dapat di ibaratkan seperti bagaimana dapat menghidupkan sesuatu dari benda mati. Kalau menurut saya, spiritualnya dari situ. Dan itulah yang membuat saya tertarik dengan musik elektronik, karena berkesempatan untuk bereksplorasi dengan si mesin atau bermusik menggunakan mesin. Namun, kalau ditanya mengenai inspirasinya datang dari mana, sebetulnya tidak dari musik elektronik itu sendiri, justru dari kehidupan sehari-hari. Musik-musik tradisi Indonesia seperti gamelan atau dari film dokumenternya siapa, lebih ke sana kalau saya pribadi.

F

Karya Ojon justru mendapat apresiasi besar di dunia internasional, terbukti dengan dirilisnya EP dan track di berbagai label. Apa kendala yang dihadapi sehingga kebanyakan label luar yang merilis materi Ojon?

J

Saya rasa cukup jelas alasannya apa, karena di Jakarta sendiri support system dan infrastrukturnya pun belum terlalu memadai. Contohnya seperti jumlah record label atau venue yang tidak terlalu banyak, jadi saya berasumsi itulah mengapa pihak luar jadi lebih tertarik. Menurut saya bisa dibilang Indonesia itu cukup ketinggalan, tetapi beda hal kalau kita membicarakan talent ya, banyak pelaku kreatif Indonesia yang bisa bersaing di luar sana.

F

Skena musik elektronik San Francisco lumayan mempengaruhi referensi Ojon dikarenakan teman-teman yang dulu tinggal belasan tahun di sana selalu membawakan records ketika pulang ke Jakarta. Jika hal tersebut tidak terjadi, akan seperti apa musik Anda?

J

Wah (tertawa). Kalau itu tidak terjadi saya rasa saya akan tetap mencari terus, bagaimana pun caranya – sebelum ada internet tentunya, karena saya selalu memiliki rasa penasaran untuk menggali musik-musik baru.

F

Era kejayaan rave party di Jakarta berakhir di awal 2000-an. Setelah itu skena musik underground seakan memiliki konsep eksklusivitas baru. Melihat skena party hari ini, apa yang Ojon rasa perlu dikembangkan?

J

Seperti yang sudah saya sebutkan tadi ya, infrastruktur. Semoga lebih banyak orang yang bergerak di bidang management, tidak hanya di musiknya saja. Lebih banyak manager, record label, perusahan-perusahaan atau orang yang mendukung di bidang musik dan venue yang lebih memikirkan kualitas musik dari pada penjualan venue itu sendiri, menurut saya itu yang sangat diperlukan di Indonesia.

Dan sedikit menambahkan, tadi sempat disinggung soal era San Fransisco, yang mana sebenarnya tidak berhenti di era itu saja, setelahnya pun tetap masih ada lagi dan terus berlanjut. Contohnya ketika era internet masuk ada kemudian banyak hal-hal lain yang semakin berkembang, jadi tidak hanya sampai di era San Fransisco saja. Dan saya rasa era tersebut itu tidak hanya berdampak penting untuk diri saya namun juga untuk banyak orang.

F

Bicara party, bersama Aditya Permana dan Ridwan Susanto, Anda membuat Dekadenz untuk mengakomodasi musik kalian secara optimal dan ideal. Seperti apa latar belakangnya dan apa yang sebenarnya hal yang ingin ditunjukkan lewat unit ini?

J

Kalau untuk saya pribadi, Dekadenz adalah tempat atau party di mana saya bisa memainkan musik saya pribadi. Sebelum ada Dekadenz, saya tetap DJ-ing, tapi saya punya perasaan bahwa lagu yang saya mainkan doesn’t belong there, seperti agak aneh rasanya karena saya merasa musik saya beda sendiri. Maka dari itu, ketika hal tersebut terjadi akhirnya saya mencari teman-teman yang memainkan lagu yang sama seperti saya atau setidaknya teman-teman yang bisa memainkan lagu-lagu saya.

Kurang lebih itu latar belakang awal saya, karena dari kita bertiga pun punya kesadaran, “Sepertinya di Jakarta, belum ada yang memainkan musik semacam ini ya,”. Belum ada dalam artian mungkin sudah ada, namun tidak banyak. Dan kalau pun ada, mereka seperti tidak berkumpul, bergerak bersama. Kami ingin menyebarkan musik yang kami mainkan dan ingin nge-DJ tanpa harus memikirkan crowd atau venue maunya musik seperti apa.

F

Seperti apakah respon pendengar ketika mendengarkan lagu Dekadenz sejauh ini? Mengingat seperti yang telah disebutkan bahwa musik Dekadenz cenderung idealis.

J

Sejauh ini, saya merasa responnya bagus. Dalam artian musiknya menyebar. Saya berharap kalau saya sedang main, ada orang yang meng-Shazam untuk cek musik apa sih ini? (tertawa) Dan saya notice, meskipun sebenarnya saya pun tidak tahu hal tentang penyebarannya dari mana, entah itu dari kita, atau memang mereka cari sendiri seperti yang tadi saya sebutkan. Namun, saya lebih suka membayangkan bahwa artinya musik ini sudah menyebar.

Dan kalau soal kritik, menurut saya hal tersebut akan selalu ada. Bahkan sampai sekarang saya masih mendapatkan kritik. Contohnya ketika saya main di suatu tempat, akan masih ada orang-orang yang, “Kok dia mainnya dark banget ya?” atau, “Ih, dia mainnya kurang happy,” dan lain-lain, hal itu pasti akan ada.

F

Adakah kritik yang berpengaruh hingga mengubah apa yang Anda lakukan?

J

Tidak ada (tertawa). Paling kritik yang perlu diperhatikan ketika menyinggung teknis seperti sound system atau venue yang terlalu sumpek. Karena kalau kritik terlalu diambil pusing justru membuat down.

F

Bersama Aditya Permana juga, Ojon membuat duo yang mengeksplorasi drum music. Seperti apa musik yang ditampilkan unit ini?

J

Sebenarnya kami masih dalam tahap mengeksplorasi. Saya sendiri baru memulai lagi latihan untuk penampilan langsung, karena mungkin sedang merasa agak jenuh dengan DJ-ing jadi rasanya ingin kembali ke saat tampil, main secara live, memainkan lagu sendiri dan berekspresi sepenuhnya di atas panggung.

Dari latar belakang tersebut, saya dan Adit lagi proses brainstorming dan jamming full. Jamming dalam arti kami mencoba untuk membuat lagu on-the-run. Paling ini sih yang sedang coba dilatih. Dari segi sound tidak terlalu jauh berbeda dari apa yang kita mainkan. Sempat ada yang menawarkan saya untuk membuat EP secara live, namun sayangnya saya belum berani mengambilnya karena saya dan Adit masih proses pemanasan (tertawa).

F

Apa tantangan terbesar seorang DJ atau sosok kreatif di dunia musik elektronik lokal dalam menyampaikan idealisme berkarya mereka?

J

Kritik, dance floor bubar dan tidak dipanggil lagi sama venue-nya (tertawa). Tetapi tantangan terbesar buat saya pribadi, ketika kita tahu kita memainkan lagu A, orang akan bubar, tetapi kita suka lagu itu. Dan pada saat yang bersamaan, kita mungkin bisa memainkan lagu B, tapi kalau kita memainkan lagu B kita tahu orang pasti akan stay. Itu tantangan terbesar buat saya, melawannya itu sih (tertawa).

Untuk menjalani itu, saya selalu mengingatkan diri saya bahwa DJ itu tetap harus berperan sebagai performer, dalam artian pasti berinteraksi langsung sama audiensnya. Sehingga hal tersebut melatih saya menyetarakan ego dalam memilh lagu yang bisa membuat orang stay; di Jakarta lebih khususnya, tapi dalam saat yang bersamaan juga saya harus suka dengan lagu tersebut.

Label Prancis saya yang mengajarkan bahwa ketika kalau saya sudah rilis di sini, saya sudah harus tahu karakter label seperti apa dan artinya saya sudah tidak bisa memainkan tidak sesuai dengan karakter. Saya sudah harus mulai memikirkan musik saya pribadi seperti apa dan harus bisa membangun karakter dan jangan sampai rusak dalam artian saya harus pintar memilih gig. Kalau semisal gig tersebut mengundang saya karena nama saya, tapi tidak tahu musik yang saya mainkan, ya jangan diambil.

F

Seperti apa party ideal menurut Ojon?

J

Sound system-nya bagus dan bisa buka sampai jam 6 pagi (tertawa).

F

Apa proyek yang sedang Ojon persiapkan?

J

Sedang menyelesaikan album EP untuk label Cocktail d’Amore, sedang menyiapkan proyek live bareng Adit dan personal terakhir juga sedang menyiapkan beberapa remixes project dengan beberapa label.whiteboardjournal, logo