Adra Karim Memimpikan Musik Jazz Untuk Dinikmati Semua

21.02.18

Adra Karim Memimpikan Musik Jazz Untuk Dinikmati Semua

Amelia Vindy (V) berbincang dengan Adra Karim (A).

by Febrina Anindita

 

V

Sebagai seorang musisi yang dikenal lewat permainan musik jazz, seperti apakah perkenalan awal Adra dengan jenis musik ini dan apa yang membuat Anda tertarik untuk memainkannya?

A

Jadi waktu kecil saya mulai dari bermain piano. Sekitar umur 5-6 tahun saya mulai les piano. Guru les saya bilang ke ibu saya supaya saya terus bermain musik. Ibu saya galak, jadi akhirnya saya ikuti untuk terus bermain musik klasik sampai sekitar SMP. Waktu SMP itu banyak teman saya bermain gitar, bass, drum, dan waktu itu saya main piano tapi belum ada lagu yang seru. Waktu saya SMP itu lagi zamannya genre grunge, lewat band semacam Nirvana, saya kemudian juga belajar bermain pop. Sempat berhenti bermain klasik, saya kemudian lanjut belajar musik pop, tetap dengan instrumen piano.

Di SMA saya mulai ngeband sama teman-teman. Kami mulai banyak main lagunya Incognito meski awalnya lebih banyak main rock. Akhirnya kami main Incognito dan di sini saya bermain keyboard. Awal ngeband sebenarnya waktu SD sekitar kelas 4 atau 5, banyak main Guns N’ Roses. Di Guns N’ Roses ‘kan banyak pianonya, saya suka nih akhirnya ada yang cool dari instrumen saya. Selama SMA, musik yang kita mainkan waktu itu namanya acid jazz. Setelah ditelusuri, roots-nya adalah jazz. Waktu itu sulit mencarinya di Indonesia, toko kasetnya tidak lengkap. Saya juga mulai bermain Playstation dan ada beberapa games yang intro di lagunya itu swing jazz, dan musik seperti itulah yang saya mau. Instrumen pianonya pun ada dan cara mereka memainkannya benar-benar keren.

Saya lalu datang ke JakJazz dan waktu itu mendengar Indra Lesmana bermain, dan saya ingin main seperti dia. Sejak itu, ketika di akhir SMA saya mulai mencari-cari guru untuk mengajar saya bermain jazz. Waktu kuliah saya ikut workshop-workshop jazz. Selesai kuliah saya sempat bekerja, terus saya berhenti bekerja, dan berangkat ke Belanda untuk sekolah musik.

Waktu itu sekitar tahun 1997 masih susah mendapat akses ke musik jazz. CD masih jarang, toko musik terbatas, dan internet baru akan ada dengan koneksi yang sangat pelan.

V

Adra tidak hanya aktif sebagai musisi, namun juga sebagai pelaku diberbagai bidang seperti pengajar, komposer, arranger, produser hingga Music Director. Adakah kesulitan yang Anda hadapi dalam pembagian proses kreatif di tiap bidang tersebut?

A

Justru saling mendukung antar satu bidang dengan bidang lainnya. Biasanya masalah yang kita punya waktu dulu kita selalu tanya pada guru kita, lalu kita sok ngerti padahal tidak terlalu paham. Tetapi, ketika kita harus menjelaskan ke orang lain, kita malah bisa memahami celah yang kosong itu. Saat kita harus cari tahu cara menjelaskan masalah itu dengan kalimat kita sendiri ke orang lain, pada akhirnya kita malah menemukan jalan keluarnya. Begitu juga untuk composing dan arranging.

Mungkin kesulitannya ada di waktu. Mengatur jadwalnya agak ribet, di mana banyak yang harus dikerjakan, kemudian begadang dan besoknya harus main musik, lupa mengulik musik. Keuntungannya adalah, dengan menjadi satu kita bisa menjadi semuanya. Dengan menjadi musisi, kita bisa menjadi pengajar, arranger, composer, producer, dan menjadi pemain juga.

V

Hammond bukanlah instrumen yang mudah untuk dimainkan, tetapi Adra mempelajari instrumen ini hingga menempuh pendidikan formal ke Belanda dan menjadikan Hammond sebagai alat utama. Alasan apa yang membuat Anda memainkan instrumen ini?

A

Sebenarnya bukan ‘tidak mudah’. Kalau orang tumbuh mendengarkan atau bermain instrumen itu, rasanya sama seperti instrumen yang lain. Bedanya mungkin waktu itu tidak banyak ada di Indonesia. Hammond organ memiliki zamannya sendiri di Indonesia, namun ada satu era di sekitar tahun 1980-an di mana instrumen itu mulai hilang, mulai rusak dan tidak terpakai dengan adanya keyboard dengan midi dan sound-sound digital. Jadi bukannya Hammond sulit dimainkan, tapi karena sudah tidak ada saja.

Alasan utama saya adalah karena saya memang suka dan di sini saya tidak menemukan pengajar dan alat untuk belajar main Hammond. Di SMA ketika banyak bermain acid jazz, yang disebut roots of acid jazz adalah Jimmy Smith, dia bermain organ dan termasuk roots awal acid jazz. Dia memang pemain Hammond organ yang legendaris, bisa disebut bapaknya jazz Hammond organ. Dulu juga kita sering memainkan lagu dari James Taylor Quartet, dia juga banyak bermain organ. Saya juga menemukan band yang menginspirasi saya dan band saya, Tomorrow People Ensemble, yaitu band bernama Medeski Martin & Wood, dan John Medeski, salah satu dari tiga personil band tersebut, instrumen utamanya itu Hammond organ. Menurut saya itu sangat keren dan banyak yang bisa dimainkan dari Hammond organ terlepas dari suara keyboardnya sendiri.

Suatu hari ada teman saya namanya Ricky Lionardi, seorang arranger yang sekarang sebagai orchestrator dan membuat scoring film. Waktu itu ia sekolah di Berkeley dan main gitar. Dia liburan, pulang ke Indonesia, dan membawa buku tentang Hammond organ dan memberikannya ke saya. Waktu itu dia bilang “Dra, pelajarin dong ini. Nanti kita bikin organ trio”. Di situ saya sangat tertarik, semacam terobsesi. Setelah itu saya tidak bisa menemukan alatnya, meskipun sudah beli semua instrumen serupa yang terjangkau karena harga yang masih murah waktu itu. Kemudian saya berpikir lebih baik mempelajari Hammond organ ke Belanda.

V

Adra baru saja menggelar concerto Hammond di Spanyol, yang mana jika diperhatikan rasanya agak jarang melihat pemandangan tersebut. Biasanya concerto justru didominasi dengan permainan piano, violin atau pun cello. Apa yang mendorong Anda untuk membuat concerto tersebut dan mengapa Anda memilih untuk mengadakannya di luar Tanah Air?

A

Jadi sebenarnya pacar saya, dia orang Spanyol, punya satu orkestra di mana tiap tahunnya punya misi sosial ke negara atau daerah yang prasejahtera – yang tidak memiliki banyak kesempatan untuk melihat musik orkestra, simfoni orkestra, atau semacamnya. Dari situ, saya memainkan orkestra untuk mereka, mengajar mereka, dan melibatkan mereka untuk menjadi konduktor, terutama anak-anak kecil yatim piatu dan mereka yang dari rumah sakit.

Akhirnya kami kontak Mendikbud dan mereka mau membantu. Mereka akhirnya datang dari Spanyol dan di sini kami yang membantu. Kami ke Danau Toba dan membuat konser di sana. Kemudian, ketika mereka akan pulang, leader mereka, konduktornya mengatakan, “Saya ingin mengundang grup tradisional yang kita mainkan di Toba untuk bermain di Spanyol. Saya ingin kamu datang dan kita akan memainkan concerto Hammond organ”. Belum ada yang mengadakan concerto Hammond organ. Sebenarnya ada satu purpose concert yang dibuat oleh John Lord, tapi itu lebih berupa concerto band-band rock. Concerto saya juga sebenarnya bukan concerto klasik dan lebih ke arah jazz. Untuk komposisi, saya bekerja sama dengan Andreas Arianto. Jadi sebenarnya kenapa di sana? Karena ada dorongan dan tawaran dari teman saya. Saya memiliki keinginan untuk melakukan itu di sini. Memang jarang, mungkin kalau dicari yang keluar John Lord atau mungkin ILP piano concerto.

Yang hadir di concerto saya senang, sih. Di komposisi musik saya itu, saya banyak memasukkan elemen musik Bali. Yang datang usianya bervariasi, yang pasti mereka kebanyakan penduduk Asturias, Spanyol Utara. Banyak yang datang untuk konser ini karena kebetulan tempat manggung kita berada di tempat yang lumayan eksklusif. Kami mendapat concert hall yang bagus dari Niemeyer, seorang arsitek terkenal. Jadi mendapat tempat yang lumayan elit dan penjualan tiketnya terbuka untuk umum.

V

Adra sempat mengatakan bahwa Anda tidak setuju dengan premis “Jazz musik kalangan atas”. Menurut Anda sebagai pelaku, apa yang memicu munculnya premis itu?

A

Sebenarnya untuk pemikiran bahwa penyampaian jazz secara khusyuk di tempat indoor, mungkin memang lebih nyaman karena kita bisa lebih mudah dengar satu sama lain dan bisa mendengar musiknya dengan jelas. Tapi, tempat indoor bukan berarti tempat yang lebih diperuntukkan bagi kalangan atas. Jazz club di seluruh dunia mengambil tempat di bar. Misalnya di New York, banyak jazz club yang tempatnya dodgy-dodgy semua, ada yang main ping pong lagi, di Fat Cat.

Sekarang juga untuk di Indonesia mungkin mulai agak lebih baik, karena sekarang di tempat-tempat lain mungkin, di New York sendiri yang datang ke jazz club ya paling banyak adalah jazz students, meski masih banyak penikmat jazz. Namun, yang berkata kalau jazz adalah musik untuk kalangan atas akan sulit diterima. Musik jazz itu dari rakyat, awalnya dari blues, dari orang-orang yang tertindas, dan dari orang-orang yang memprotes. Ada satu masa di mana jazz menjadi sarana untuk protes. Mungkin karena butuh konsentrasi lebih untuk menikmati musik jazz. Ada beberapa jenis musik jazz, ada yang lebih rumit, ada yang lebih ringan.

Saya ingin mengutip kata-kata dari almarhum Riza Arshad. Waktu itu kami pernah manggung di Ngayogjazz festival, saya dan band saya Tuslah, jadi ada saya, Sri Hanuraga, Mas Ijar (Riza Arshad), dan Elfa Zulhamsyah. Kami main di kampung-kampung, dan free waktu itu, jadi yang datang juga dari orang-orang kampung itu. Musik yang kita mainkan waktu itu tidak mudah, musiknya lumayan kompleks. Ternyata, dari awal sampai selesai mereka nonton dan mereka suka. Waktu ditanya “Ada yang mau CDnya nggak?” banyak yang mau dan mengambil. Waktu ditanya apa “Senang nggak?” mereka jawab “Senang. Kita tidak pernah tahu ada musik seperti ini. Saya suka nih musik ini.” Hal ini berarti kelas di musik sebenarnya tidak ada.

Kadang, yang tidak ada adalah kesempatan bagi beberapa orang atau beberapa kelas untuk mendapat informasi akan musik tersebut. Atau ada yang mengatur kelasnya. Misal, kelas tertentu adalah kelas di mana kita sekali manggung akan mahal tapi frekuensi bermainnya jarang, dan kelas lain adalah kelas di mana kita bisa sering manggung dan akan menjual banyak. Itu ada yang mengatur. Sebenarnya tidak adil. Ada yang bercerita “Mas, waktu itu saya latihan di salah satu French school di Cipete. Saya akan main di rumah duta besar Belgia untuk main perkusi dari Belgia, dan saya latihan di tempat itu. Saya ajak satpamnya untuk ikut latihan. Kemudian satpamnya bilang “Wah saya tidak pernah tahu ada musik sepert. Seru juga ya.” Hal ini kan berarti tidak ada akses di radio dan di kehidupan sehari-hari mereka.

V

Musik jazz juga memiliki genre-genre lain yang mendukungnya, salah satunya adalah free jazz di mana musisi tersebut bebas melakukan berbagai improvisasi ketika memainkannya. Sebagai pelaku, seberapa besar peran improvisasi bagi karir bermusik Anda?

A

Tadi kita bicara jazz sebagai musik untuk kalangan atas. Sebenarnya ada juga yang bilang jazz adalah musik untuk orang-orang yang melakukan kesenangan untuk dirinya sendiri. Terkadang ini menjadi satu kebiasaan yang membuat orang-orang cenderung malas terhadap jazz. Kasarnya, mereka (pemusik jazz) seperti masturbasi panggung, hanya untuk menyenangkan diri mereka sendiri dan lupa kalau ada yang nonton. Hal itu juga salah satu masalah. Sementara, jika kita disediakan tempat dan waktu untuk melakukan hal itu sebenarnya ini tidak menjadi suatu masalah. Hanya saja, menurut saya sekitar delapan puluh persen dari musik jazz terletak dalam improvisasi itu. Orang malah membuat lagu sebagai alasan bagi mereka untuk berimprovisasi. Kadang saya juga merasa seperti itu.

Sementara konsep free jazz malah lebih rumit. Free jazz bukannya tidak punya konsep. Kalau kita tidak tahu apa yang mau kita ceritakan, apa yang mau kita bicarakan, dan dengan apa kita mau memainkannya, bisa saja dari lagu pertama sampai terakhir selama satu jam akan terdengar sama saja. Tergantung dari konsepnya. Saya sempat belajar dengan satu guru saya, Michael Moore, dia main klarinet dan banyak berkecimpung di dunia free jazz di Belanda. Saya sempat ada kelas bersama dia tentang improvisasi. Di situ kita tahu bahwa kita tidak bisa asal main. Kita membicarakan tekstur dan apa yang ingin kita ciptakan. Makanya saya juga ingin membuat workshop tentang improvisasi di Salihara. Bedanya, jazz biasa, yang standar, memiliki ketentuan dan alur sehingga lebih jelas. Free jazz sebenarnya memiliki itu juga, tapi mungkin agak lebih abstrak. Misalnya, kita tidak bilang “Oh, kita main di C minor ya.”

V

Adra sempat melakukan riset yang melibatkan banyak musisi di luar negeri. Riset apa yang Anda lakukan saat itu dan bagaimana hasil dari riset tersebut?

A

Untuk menyelesaikan master, saya kan harus membuat tesis. Tesis saya tentang aplikasi kotekan Bali dan tangga nada pelok Bali di komposisi dan aransemen modern jazz. Kami dikirim sekitar enam bulan ke New York untuk belajar di sana. Sebenarnya risetnya tidak mendalam tentang antropologi atau musikologi. Riset lebih ke apa yang dimainkan oleh orang-orang Bali dan kemungkinannya apa saja untuk musik jazz zaman sekarang. Jadi saya mendatangkan beberapa orang sebagai guru saya, saya tanya pendapat mereka mengenai apa yang menarik dari ini. Awalnya sebenarnya pengumpulan data tentang hal-hal yang ada di Bali.

Kenapa Bali? Karena untuk membuat tesis, kita harus punya footnote, dan satu-satunya buku yang ada waktu itu adalah buku tentang musik Bali. Tidak ada buku untuk musik lain. Ternyata banyak yang menarik dari satu bagian itu, tentang kotekan dan scale-nya. Kenapa kotekan? Karena kalau kita dengar tangga nada Bali dan tangga nada Sunda sebenarnya tidak beda jauh, seperti gamelan Bali dan gamelan Jawa hanya memiliki beda di beberapa alatnya. Namun, apa yang membedakan gamelan Bali dan gamelan Jawa terdengar di ornamen-ornamen kecilnya yang disebut kotekan.

Saya mengambil itu sebagai fokusnya dan satu lagi, scale. Mengapa scale? Karena tangga nada bisa dipakai ketika kita bermain modern jazz. Kita, orang Indonesia, jauh sekali dengan musik tradisional kita. Ada era, di tahun 1980 hingga 1990-an, di mana orang-orang merendahkan selera mereka yang mendengarkan musik tradisional. Ketika saya di Belanda, saya bermain musik bersama orang Bulgaria dan sangat kedengarannya Bulgaria banget, begitu juga ketika saya bermain bersama orang Turki, Brasil, dan Afrika. Saya sendiri pun besar sambil mendengarkan Nirvana dan Guns N’ Roses. Dari situ saya mulai malu dan kemudian memikirkan cara untuk mengangkat ciri khas Indonesia sambil menyesuaikannya dengan standar musik Barat dan internasional.

V

Banyak instrumen-instrumen indonesia yang mendapatkan perhatian lebih di luar negeri seperti contohnya gamelan. Sebenarnya apa yang menjadi daya tarik dari instrumen tersebut dan kenapa banyak orang justru mempelajarinya di luar negeri – bukan Indonesia?

A

Pertama, memang sound gamelan dan Indonesia berbeda. Musik gamelan mungkin tujuan awalnya berhubungan dengan spiritual dan berdoa. Kalau kita yang mendengarkan, terkesan biasa saja karena kita mendengarnya sehari-hari. Tapi, kalau orang luar yang biasa mendengarkan musik dengan instrumen lain dan kemudian mendengarkan gamelan, mungkin mereka akan berpikir, “Oh ini tuning-nya apa ya? Kok agak tidak pas tapi tetap bagus ya?” Ini adalah sesuatu yang tidak pernah mereka dengar sehari-hari. Metal instrument seperti gamelan memiliki tuning yang sedikit clashing karena getaran-getarannya dibutuhkan bagi pendengarnya untuk konsentrasi berdoa pada zaman dulu, dan sebagainya. Intinya, musik ini berhubungan dengan hal yang mystical dan religius. Mungkin di Barat juga terdapat musik gospel dan musik klasik.

Tapi gamelan adalah instrumen yang berbeda, dengan tangga nada yang berbeda, dan yang lebih membuat amazed lagi, puluhan orang bisa bermain tanpa membaca not secara berganti-gantian, menghasilkan musik yang kompleks. Tidak seperti orang luar yang terbiasa memainkan musik dengan mempelajari dahulu musiknya secara detail. Karena ketertarikan tersebut, mereka belajar ke Indonesia dan membawa hasilnya ke tempat asalnya, di mana mereka pada akhirnya mendirikan sekolah. Di Amerika sendiri terdapat kurang lebih seratus grup gamelan. Kita berada di era di mana kita berpikir bahwa karya Indonesia kalah saing dengan musik lain. Padahal, senjata nomor satu kita seharusnya ada di musik dan seni yang adalah budaya kita sendiri.

V

Anda tengah mempersiapkan proyek kolaborasi bersama John Navid yang diberi nama Mirak Div untuk memeriahkan geleran Jazz Sans Frontieres III di Salihara. Apa yang membedakan proyek ini dengan proyek lainnya?

A

Kita banyak bereksperimen. John Navid sendiri sebenarnya bukan pemain jazz. Tapi John memiliki visi dan nyeni yang berbeda. Dia lumayan absurd, “Nih saya nemu ini, bisa dijadikan alat musik nih, saya mau main seperti ini, bisa jadi begini,” seperti itu. Sementara itu, saya mencoba menjadi karpet, menjadi apa yang dia ingin lakukan secara teatrikal. John itu lebih teatrikal, baik orangnya maupun permainannya. Kita memiliki peran masing-masing. Salah satu hal yang paling menarik adalah melihat John tidak bermain musik pop, melainkan musik yang agak abstrak. John akan main banyak perkusi dan saya juga akan memainkan beberapa keyboard dan beberapa hal lainnya. Akan ada banyak cerita dalam permainannya dan kita akan lebih mementingkan improvisasi dalam dialog. Mungkin juga akan ekstrem. Pertunjukan untuk Mirak Div akan berlangsung selama satu hari pada tanggal 24 Februari 2018.

V

Menurut Anda sebagai pelaku, seperti apa kondisi musik jazz hari ini dan sebelumnya di Indonesia?

A

Hari ini kita kebanjiran musisi muda yang sangat berbakat. Terutama di piano, kita memiliki banyak orang yang ahli. Joey Alexander merupakan salah satu yang paling muda dari beberapa nama lainnya. Di sekolah saya ada satu, namanya Kashifi dan kemarin saya lihat juga ada Kafin Sulthan, seorang pemain piano. Saya menjadi juri MLD Dare 2 Perform. Setiap tahun, selama tiga tahun, kita selalu memiliki kesulitan terbesar untuk menentukan pemenang pemain piano. Paling tidak, ada tiga dari lima yang jago banget. Tahun ini, kelima peserta membuat semua juri kebingungan untuk menjagokan kontestan yang berbeda.

Memang level mereka lumayan di atas rata-rata. Saya yakin, kalau mereka berangkat ke sekolah saya yang lama, atau ke Amerika, mereka akan tetap menonjol. Permasalahannya, kita tidak ada tempat yang benar untuk main jazz dan untuk jam session yang oke yang sound-nya bagus. Salah satu tempat jam session yang oke ada di Jakarta Selatan, di Paviliun 28 setiap hari Kamis, dan sisanya kita tetap harus mencari-cari sendiri. Sementara kita punya Java Jazz, yang katanya adalah terbesar di Asia dan mulai mendunia. Sementara jika diberi pertanyaan “Di Jakarta mau nonton jazz nih, di mana ya?” jawabannya akan sulit ditemukan, tergantung hari dan tempatnya. Sangat disayangkan karena sumber daya nya sedang bagus banget.

Misalnya saya mengirim satu orang pemain bass dari Jakarta ke Belanda, saya yakin mereka akan menjadi pemain paling sibuk di sana. Kelebihan dan kekurangan kita menurut saya adalah bakat. Kenapa kelebihan? Karena segala sesuatu menjadi mudah. Kenapa kekurangan? Karena dengan kemudahan itu orang-orang menjadi malas, malas belajar dan malas mengulik. Jadi untuk instrumen yang butuh dedikasi seperti alat musik tiup, terompet, saksofon, atau biola, contra bass, hal-hal seperti itu hanya beberapa orang saja yang menguasai, tidak seperti instrumen yang lain. Karena alat-alat itu membutuhkan dedikasi dan latihan yang lama, mempelajari satu nada bisa sampai seminggu. Ada beberapa yang melakukan itu dan mereka menjadi sedikit yang menonjol yang kita miliki.

V

Proyek apa saja yang sedang Anda persiapkan untuk tahun ini?

A

Tahun ini solo album, sih. Sedang proses penggarapan. Kemarin sempat main di theSAFEHOUSE juga, karena ada banyak instrumen elektronik juga. Tomorrow People Ensemble juga semoga mengeluarkan sesuatu tahun ini. Tuslah sempat rekaman, sekarang sedang dibenerin, dan semoga tahun ini juga bisa keluar sih. Yang paling dekat untuk tahun ini yang pasti solo album, sepertinya tahun ini juga akan membawa orkestra dari Spanyol ke Ambon. Kemarin sudah sempat menghubungi dan ngobrol-ngobrol juga dan kolaborasi dengan orang sana mudah-mudahan. Mungkin tahun depan mereka ingin ke negara lain, dan tahun berikutnya kita juga bisa membawa ke daerah lain. Proyek ini bagi mereka sifatnya annual, tapi untuk kita sendiri belum tentu.whiteboardjournal, logo