Kamila Andini Berbicara Naluri Dalam Pembuatan Film

Film
07.03.18

Kamila Andini Berbicara Naluri Dalam Pembuatan Film

Amelia Vindy (V) berbincang dengan Kamila Andini (D).

by Febrina Anindita

 

V

Sebelum akhirnya menekuni profesi sebagai sutradara, Dini sempat mengalami fase yang menghindari dunia film karena bayang-bayang ayah, Garin Nugroho. Namun kini Anda justru mengikuti jejak beliau dengan terjun di dunia film, bagaimana proses transisi ini terjadi?

D

Mungkin karena saya terlalu dekat dengan dunia film, saya justru tidak pernah terpikir bahwa saya akan ada dalam industri itu. Karena saking dekatnya dan tidak tahu apakah saya memang bisa ada di dalam dunia film, saya tak bisa membayangkan bisa ke situ. Tapi dari kecil, salah satu hal yang memang selalu didekatkan dengan kami adalah seni secara keseluruhan. Filmmaker sendiri sebenarnya selalu terinspirasi dari banyak hal, jadi memang orang tua saya sangat concern untuk tiap anaknya mencoba belajar bidang-bidang seni yang lain.

Saya belajar musik, piano, organ, menari – dari kecil saya menari Jawa, Minang, belajar melukis, walaupun melukis merupakan aktivitas yang diberikan kepada saya. Tetapi memang tidak ada dari bidang-bidang itu yang membuat saya bertahan cukup lama, karena memang ada bagian-bagian di sana yang membuat saya merasa semakin merasa berat, semakin lelah. Nalurinya memang tidak ada di sana. Di musik, saya jadinya belajar untuk menghafal partitur, sementara anak yang lain menjadikan partitur sebagai panduan saja dan mereka main dengan naluri. Saya tidak memiliki naluri seperti itu, semuanya hafalan. Sama halnya seperti saat mempelajari gerakan. Ada orang-orang yang cepat belajarnya dan nalurinya keluar saat menghafal koreografi, dan saya sepertinya bukan bagian dari itu.

Dari situ kita kemudian tahu, kadang ada hal-hal yang memang saya rasa tidak cocok untuk diri saya karena semakin tinggi tingkatan kalau memang tidak ada naluri di sana, rasanya akan semakin berat, bukan menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk dilakukan. Jadinya malah selalu nervous, selalu jadi tegang kalau harus tes dan itu tidak menyenangkan sama sekali.

Di SMA saya lalu belajar fotografi. Saya merasa sangat nyaman di fotografi. Sempat beberapa kali melakukan pameran, meski memang masih di wilayah anak-anak SMA. Tapi di sana pun ada suatu hal yang saya memang tidak bisa lakukan juga. Saya agak gaptek, jadi agak kesulitan saat harus catch up dengan gadget baru, sedangkan fotografi kan selalu cepat perkembangannya. Setiap beberapa waktu ada kamera baru, dan saya tidak bisa catch up dengan hal itu.

Sampai akhirnya memang saat SMA itu saya lagi asyik sama fotografi, kemudian film Indonesia balik lagi ke bioskop dan penonton Indonesia sedang sangat antusias dalam menonton film Indonesia di bioskop. Itu zamannya “AADC?”, “Jelangkung”, “Kuldesak” – sepertinya mulai dari “Kuldesak”, kita jadi melihat lagi film Indonesia di bioskop dan itu zaman digital memang. Orang membuat film secara digital, pakai handycam untuk film pendek, sementara film panjang masih menggunakan film. Tetapi semuanya sudah digital. Editing film panjang tidak lagi manual, semuanya goes digital dan film Indonesia balik lagi ke bioskop.

Hal ini memang mengubah banyak hal di industri film Indonesia sendiri yang selama tahun 80-an juga mengalami mati suri. Tiba-tiba film menjadi opsi anak-anak muda selain karena saat itu membuat film mudah, bisa pakai handycam, film menjadi pilihan yang lain bagi anak muda untuk bereskpresi selain musik, olahraga, dan lain sebagainya. Tiba-tiba banyak anak muda yang ingin membuat film dan kondisinya memang memungkinkan bagi mereka untuk membuat film. Bahkan ada festival flim pendek waktu itu, ada Festival Film Confidence ketika saya masih SMA. Jadi memang saat itu adalah eranya film. Semua orang bikin film pendek. Lagi demam banget, apalagi karena “AADC?”, wah, banyak banget orang membuat film.

Begitu juga di lingkungan saya. Banyak sekali teman-teman saya yang jadi ingin membuat film. Ketika mereka berpikiran untuk membuat film, pasti yang dipikirkan adalah mengajak saya sebagai salah satu orang yang terlibat, pasti mereka berpikir “Ini pasti jago membuat film.” Pada titik itulah saya baru sadar. Saya kira saya terlalu dekat dengan film, ternyata tidak. Bahkan saya bisa dibilang tidak tahu apa-apa soal film. Mungkin saya tahu apa yang dilakukan seorang sutradara karena saya melihat ayah saya. Tapi bagaimana membuat film itu saya tidak tahu sama sekali. Teknisnya, bagaimana membuat shot by shot, apa sih yang dilakukan, istilah-istilah, wardrobe, semuanya saya tidak tahu sama sekali.

Jadi di titik itu saya agak berpikir bahwa saya itu aneh karena saya lahir di dunia ini, saya bahkan besar dari industri ini, tetapi saya tidak tahu apa-apa sama sekali dan hal itu menjadi hal yang cukup meresahkan bagi saya yang adalah anak dari seorang sutradara. Di titik itu sebenarnya saya ingin tahu tentang dunia yang membesarkan saya ini seperti apa. Akhirnya saya belajar membuat film dan ternyata saat saya membuat film, sampai titik ini tidak pernah ada kata lelah atau tidak suka atau merasa berat. Ya jalan saja gitu. Saya membuat film, kemudian diapresiasi, lalu membuat film lagi, sempat diapresiasi tidak terlalu bagus, tapi jadi ingin terus bikin lagi. Kalaupun jelek, rasanya ingin membuat lagi, bukannya jadi menyerah. Nagih saja. Itu tidak selesai sampai sekarang.

Saya menemukan suatu medium di mana saya bisa bicara tentang semua hal yang saya suka. Misalnya, saya bisa bicara soal tarian tanpa saya harus bisa menari, saya bisa bicara soal musik tanpa saya harus bisa bermain piano. Semua yang menurut saya tadinya berat tiba-tiba di medium ini saya bisa bicara tentang semua itu tanpa saya harus mengerti teknisnya dan menjadi pelaku. Saya bisa membuat lukisan dalam gambar tanpa saya harus benar-benar tahu caranya melukis. Itu yang membuat medium ini menjadi tidak ada habisnya untuk dieksplor. Kita kerja dengan tim yang banyak. Semua orang bisa saling mengisi – ketidakmampuan saya bisa diisi orang lain, begitu juga sebaliknya. Jadi itu yang kemudian membuat saya berpikir bahwa ini adalah medium yang paling tepat kalau saya ingin berekspresi.

V

Dini mengawali karir di dunia film dengan membuat film dokumenter, apa yang mendasari Anda untuk membuka salam perkenalan Anda dengan pendekatan tersebut – film dokumenter?

D

Sebenarnya kenapa waktu itu saya bermain di area dokumenter adalah karena waktu saya sedang mendalami fotografi, yang saya suka lakukan itu human interest, maksudnya foto yang saya lakukan itu bukan foto untuk berita atau stylish photo, itu saya tidak bisa. Jadi yang selalu saya lakukan adalah human interest. Saya memang tertarik dengan sosiologi. Waktu itu kan ketika saya SMA saya ingin kuliah sosiologi. Jadi saya rasa dokumenter ini adalah yang paling pas yang sesuai dengan kemampuan saya saat itu untuk memulai.

Saya tidak tahu apa-apa soal teknis film, tapi saya tahu apa yang saya ingin saya bicarakan. Saya tahu bahwa saya ingin memotret manusia. Jadi dokumenter ini, in a way, adalah salah satu hal yang paling dekat dengan saya saat itu yang tidak tahu apa-apa. Kemudian, bagaimanapun juga, kepala saya adalah fiksi. Tapi pendekatan ini, pendekatan dokumenter, dan cara berpikir saya yang cukup sosiologis dan antropologis itu memang selalu digunakan.

V

Debut film Dini, “The Mirror Never Lies” mendapat banyak pujian, karena film tersebut dianggap mampu menyajikan inti permasalahan dengan perspektif yang berbeda dan dengan takaran yang pas. Seperti apakah proses kreatif yang Anda lakukan dalam penggarapan film tersebut, mengingat Anda sebelumnya lebih banyak membuat film dokumenter?

D

Sebenarnya itu film yang cukup kompleks karena semua hal ada di situ. Saya juga belum pernah benar-benar punya film pendek sebagai karya. Jadi saat bikin fiksi, saya langsung buat film panjang tanpa membuat film pendek sebelumnnya yang benar-benar established. Jadi ini kan memang kuliah saya, saya juga tidak benar-benar kuliah film, saya kuliah media dan sosiologi, jadi ini benar-benar kuliah saya. Di titik itu banyak sekali yang harus saya pelajari. Pertama, teknis membuat film. Kedua, waktu itu umur saya juga masih 23, saya tidak tahu apakah saya bisa menjadi pemimpin yang baik dalam suatu produksi. Terakhir, karena ini debut film dan ayah saya seorang sutradara, orang sangat menunggu sebenarnya film ini akan menjadi seperti apa sih, dan semua orang pasti ingin saya berbeda dengan ayah saya. Kalau misalnya karya Garin itu sangat arthouse, orang pasti menuntut saya untuk melawan, menjadi beda, komersil, harus bisa lebih ditonton orang atau apalah.

Pada awalnya memang sangat tertarik untuk melakukan apa yang orang lain ingin saya lakukan. Padahal di titik itu, saya sendiri belum tahu saya itu siapa. Tapi pada akhirnya saat membuat film, saya jadi bertanya, kenapa ya saya harus melakukan apa yang orang lain ingin saya lakukan, kenapa tidak menjadi diri sendiri saja, mengikuti naluri. Proses pembuatan film itu juga panjang, hampir 3 tahun, dan di titik sebelum shooting akhirnya saya sadar bahwa saya tidak perlu mengikuti apa kata orang. Saya harus mengikuti diri saya sendiri dan memakai seluruh naluri yang ada. Saya ingin berkarya dengan jujur. Lewat film itu saya ingin tahu saya itu seperti apa, siapa dan bagaimana saya itu secara kreatif. Jadi jujur saja. Kalau tidak tahu ya bilang tidak tahu, lalu belajar. Kalau memang saya tahu apa yang saya mau saya usahakan itu sebisa mungkin.

Jadi sebenarnya itu, saya sama sekali tidak ada ekspektasi film itu jadinya akan seperti apa karena saya ingin bercermin lewat film itu. Jadi saat itu diapresiasi dengan baik, itu di luar ekspektasi saya. Tapi yang bisa saya yakini adalah saya mendapat banyak energi dari apresiasi itu untuk mencari lebih dalam lagi sebenarnya saya itu seperti apa dengan kemampuan yang sekarang saya miliki yang mungkin lebih baik dari sebelumnya.

V

Karya-karya Dini sarat dengan isu-isu perempuan seperti pada “The Mirror Never Lies”, “Following Diana” dan “Memoria”. Latar belakang apa yang membuat Anda tertarik untuk menggangkat isu tersebut pada karya-karya Anda?

D

Sebenarnya ini bukan sesuatu yang saya buat secara sadar atau terencana. Awalnya karena proses kreatif saya memang sesuatu yang dari dalam datang ke luar, sesuatu yang memang personal, jadi saya selalu memakai sesuatu yang saya sangat nyaman dan saya bisa relate. Dalam hal ini, karakter perempuan adalah hal yang paling saya kenal, di mana saya merasa paling nyaman, saya paling bisa relate karena saya perempuan juga. Jadi lebih nyaman buat saya untuk membicarakan sesuatu dari perspektif karakter yang saya kenal. Awalnya begitu. Tapi akhirnya semakin lama saya makin sadar bahwa ternyata ketika saya membicarakan karakter perempuan, saya punya perspektif yang laki-laki tidak punya.

Ada hal-hal yang saya tahu memang hanya kita yang tahu. Seperti tentang bagaimana perempuan itu sangat kompleks. Tidak banyak yang bisa mengerti itu – kompleksitas kita, kekritisan kita, bahkan keseriusan kita sebenarnya. Tapi saya bisa. Saya punya perspektif itu, saya tahu kenapa dan saya bisa menyuarakan itu. Karena saya sangat tahu bagaimana perempuan itu berpikir dan merasakan dan kompleksitasnya seperti apa. Di titik itu saya sangat sadar bahwa mungkin saya bisa jadi messenger untuk perempuan-perempuan Indonesia. Itu yang saya lakukan dengan film-film pendek saya. “Sendiri Diana Sendiri,” tentang perempuan yang dipoligami.

Tipe perempuan sendiri ada banyak. Orang berpikir ketika perempuan mengalami sesuatu, atau dilecehkan, dia harus bangun, harus kuat. Tapi kenyataannya tidak semua perempuan seperti itu. Kita punya kekuatan kita sendiri. Kadang saya amazed dengan perempuan-perempuan yang bisa bertahan. Itu kekuatan yang mungkin saya tidak bisa lakukan, dan saya ingin tahu hal itu lahir dari mana, kenapa, cara berpikirnya seperti apa. Saya bisa menyuarakan perempuan yang seperti itu – yang dianggap lemah oleh orang lain, padahal dia tidak lemah. Dia mengalami sesuatu di dalam dirinya yang tidak akan ada orang lain yang mengerti. Kemudian misalnya “Memoria,” tentang para korban perang yang selamat.

Saya rasa tidak ada yang mengerti bagaimana kita kalau terjadi sesuatu yang sangat berat – bagaimana itu menghantui kita, tidak ada yang mengerti, dan di titik itu saya tahu bagaimana untuk menyuarakan perasaan, hati mereka, kompleksitas yang terjadi itu seperti apa berdasarkan posisi mereka di dalam rumah atau di lingkungan sosial. Saya rasa saya bisa menyuarakan itu. Karena film kemudian menjadi seperti girls talk buat saya, seperti bicara perempuan antar perempuan. Nah, ini yang kemudian menjadi menarik dan saya senang untuk lakukan. Tapi, ya, awalnya memang karena ini memang hal yang bisa saya relate saja.

V

Perjalanan hidup sangat mempengaruhi Dini dalam membuat film dan rupanya pergeseran peran – dari single, istri hingga ibu – yang Anda alami saat pengerjaan film “Sekala Niskala” membuat Anda harus membenahi naskahnya dikarenakan perubahan sudut pandang. Pembenahan seperti apa yang Anda lakukan pada naskah tersebut?

D

Sebenarnya prosesnya panjang sekali, 6 tahun. Jadi agak sulit menemukan secara aktual pembenahannya seperti apa. Tapi memang yang jelas dulu waktu saya masih single, saya senang banget karena bagi saya dulu film ya film. Membicarakan suatu isu karena saya relate dan saya gunakan perspektifnya saja, dan saya suka lihat dari perspektif anak kecil. Ekstremnya, di “The Seen and Unseen (Sekala Niskala)” saya membicarakan sesuatu yang sebenarnya bukan playground-nya, bukan tempat bermainnya anak-anak – seperti kematian, malam, kehidupan yang holistik, kehidupan semesta – itu kan hal yang jauh dari anak-anak, dan orang tua tidak mungkin memberikan subjek itu ke anak-anak. Menurut saya itu menarik, bagaimana meletakkan subjek ke sesuatu yang sebenarnya bukan wilayahnya. Menurut saya ini hal yang seru, ambisinya sangat besar, eksplorasinya sangat besar.

Begitu menikah, punya anak, dan jadi ibu, saya jadi berpikir, “Ngapain saya ngomongin kematian buat anak-anak?” Tiba-tiba lihat film jadi beda, lihat film anak jadi beda. Biasanya kan, “Kenapa sih film anak itu-itu saja.” Tapi ketika jadi ibu kan jadi ada perspektif yang beda. Membicarakan malam, itu untuk membuat apa sih sebenarnya. Jadi memang harus dicari lagi, bagaimana untuk relate ke cerita ini. Ada saat di mana saya tidak bisa relate sama sekali dengan ide film ini. Saya mencari lagi alasan membuat film ini. Dulu jelas, di awal saya memulai cerita ini untuk mencari siapa saya, bagaimana manusia Indonesia berkoneksi, berbicara tentang interelasi kita sebagai manusia Timur, manusia Asia itu seperti apa.

“Sekala Niskala” ini kan suatu filosofi yang menggambarkan itu. Bagaimana kita mempercayai semua yang bisa kita lihat dan tidak bisa kita lihat. Hidup itu balanced di antara dua hal itu. Kita tidak bisa rasional terhadap segala sesuatu karena kita percaya budaya, agama, semua hal yang hubungannya dengan semesta, karma, kehidupan lain, reinkarnasi, bahwa ada manusia lain di luar kita, dukun, pawang hujan, kita mempercayai semua yang kita percayai, dan itu memang adanya kita. Kita tidak bisa dilepas untuk hidup semuanya sekala. Kita hidup secara holistik dan ini akhirnya yang membuat saya ingat lagi “Oh itu yang ingin saya bicarakan.” Saya harus menggambarkan rasa itu dan dari situ saya bisa lebih relate. Jadi meskipun ini ada anak-anak, karakternya saja anak-anak karena sebenarnya semua yang dibicarakan lebih advanced dari itu. Lalu karakter ibu juga lebih muncul di film ini meski perspektifnya bukan dari dia. Itu yang saya coba relate kembali dan makin terlihat film ini jadinya akan seperti apa secara visual dan lain-lain.

V

Film teranyar Dini, “Sekala Niskala” tertunda cukup lama produksinya dan memakan waktu kurang lebih 5-6 tahun untuk menyelesaikannya. Apa penyebab terhambatnya produksi tersebut?

D

Yang paling gampang, terhambatnya karena melahirkan dan menyusui. Ada titik di mana kita harus break. Kemudian keuangan juga salah satu alasan lamanya pembuatan film ini, karena ini bukan ide yang mengundang investor untuk memberi uang. Pasti susah. Apalagi dalam penulisan script sebenarnya kan sangat banyak orang yang berpendapat bahwa film ini bisa dibuat lebih komunikatif atau naratif, tapi satu hal yang paling kita jaga adalah kita mencoba untuk membuat produksi yang merdeka.

Independency itu adalah sesuatu yang kita jaga. Jadi kita memang harus menemukan financial source yang memang memberikan kita keleluasaan dalam berkarya, berekspresi, dalam membuat karya seni. Jadi ini yang membuatnya agak lama. Memastikan bahwa semua finansial yang hadir di kita tahu apa yang ingin kita buat dan memiliki visi yang sama. Jadi harus funding, yang memberikan keleluasaan.

Hal lain yang kita dari awal tahu, film saya yang lain “The Mirror Never Lies” besarnya di festival. Saya juga ingin mengenal dan memetakan festival itu seperti apa, karena mungkin karya saya akan ada di sana. Jadi memang film ini kita gunakan untuk mempelajari peta itu – mengikuti sistemnya seperti apa. Jadi kita mengikuti semuanya, development, script lab, yang di Indonesia itu tidak ada. Jadi kita ke project market, apply funding, dan lain sebagainya. Hal ini tidak sebentar. Funding itu sendiri butuh 6 bulan, baru kita tahu kita bisa dapat atau tidak, begitu juga project market. Memang selalu lama. Makanya kalau dengar “Oh, di luar itu proses pembuatan film selalu lama ya.” Memang sebenarnya ada proses yang di Industri kita lebih dipercepat.

Sempat membuat film di tengah produksi, karena memang jalannya film ini cukup lama. The thing is, kalau kita mengikuti itu, saya juga tidak tahu kapan bisa shooting dan saya butuh berkarya dan refreshing. Jadi akhirnya ada dua film yang dikerjakan.

V

Perubahan dan pendewasaan diri serasa tidak nampak pada “Sekala Niskala” karena film dianggap berhasil dalam menyampaikan sudut pandang ideal dari seorang anak mengenai isu yang Anda angkat pada film tersebut. Seperti apa ekspektasi Anda ketika mulai mengerjakan kembali produksi film ini?

D

Yang jelas, film kedua lebih susah dari film pertama. Bebannya lebih berat, apalagi saat film pertamanya lumayan menghantui, lumayan diapresiasi bagus. Lebih sulit untuk menaikkannya lagi. Itu susah banget. Saya sejujurnya tidak akan bisa objektif dengan “Sekala Niskala” karena bebannya terlalu berat dan prosesnya terlalu lama. Ada titik-titik di mana saya ingin mengeluarkan ini, ingin move on dari Tantri dan Tantra ini. Saya ingin dia keluar dari kepala saya karena terlalu lama disimpan.

Jadi sejujurnya tidak ada ekspektasi selain mengeluarkan semua yang ada di kepala. Saya sudah sangat siap ketika shooting, film ini mungkin bisa tidak menjadi apa-apa, it doesn’t work. Tapi saya sudah berproses dengan dia. Saya menganggap film itu anak. Saya yakin tiap anak punya jalannya sendiri, jadi ya tidak ada ekspektasi.

V

Pada salah satu media Anda sempat mengatakan bahwa Anda tidak yakin akan ada “ruang” untuk film Anda, mengapa demikian? Karena sepertinya hari ini, sudah banyak ruang alternatif yang sangat mendukung kehidupan film-film dengan pendekatan yang Anda lakukan.

D

Sebenarnya tidak ada ruang itu tidak sepenuhnya benar, tapi saya tahu bahwa ruang film saya tetap minoritas. Itu sejujurnya memang seperti itu. Yang saya maksud adalah, memang ada wilayah alternatif. Tapi itu tidak terjangkau publik. Itu tetap hanya diketahui oleh orang-orang yang tahu saja. Bagaimanapun, waktu kita masuk ke wilayah publik, film ini tidak ada di ruangannya. Saat di bioskop tidak ada ruangnya. Saya tahu bahwa di Indonesia tidak ada bioskop alternatif yang memang bisa memberikan opsi, paling hanya satu atau dua, dan itu tidak memberikan opsi kan kepada chain bioskop 21. Tetap saja kita butuh ruang seperti itu untuk memasarkan film.

Concern saya juga sebenarnya adalah saya tidak mau membuat film yang diapresiasi di luar, orang dengar, tapi tidak bisa menonton. Bagi filmmaker, itu seperti tidak bisa melakukan apapun dan menyedihkan. Film kan dibuat untuk ditonton, tapi orang tidak bisa menonton. Jadi memang bioskop ini salah satu bentuk pertanggungjawaban saya sebagai pembuat film, harus bisa membuat akses bagi orang yang ingin menontonnya. Tapi kita tahu pada saat masuk ke bioskop, sebenarnya bioskop adalah ruang bagi film-film yang sangat berbeda dengan film “Sekala Niskala.” Tiba-tiba kami harus berurusan dengan nama-nama bintang, bentuknya harus news, harus berurusan dengan sesuatu yang bentuknya promosi, dan itu bukan ruang bagi film seperti ini sejujurnya. Ini adalah salah satu hal yang melelahkan dalam membuat film. Seperti kita masuk ke pesta yang kita tahu kita tidak di situ. Rasanya susah, tidak bisa jadi diri sendiri, dan ini yang sebenarnya saya selalu rasa, bahwa tidak ada ruangnya. Padahal sebenarnya ada orang-orang yang mau menonton film ini.

Sama seperti orang-orang yang menonton film ini bukanlah mereka yang mau pergi ke mall, sedangkan bioskopnya ada di mall. Jadi kita, saya dan penonton, sebenarnya sama tetapi kita harus masuk ke ruang yang tidak sama, kan jadi bingung. Ini yang membuat saya kesulitan. Berbeda misalnya, saya pernah tinggal di Paris atau Melbourne. Misal saya tidak suka dengan ruang seperti itu dan saya ingin menonton film yang bukan seperti itu, saya bisa masuk ke ruang yang saya suka. Bioskopnya lebih kecil, intimate, tua, rooftop, lebih artistik dan lebih pas. Di sini, ada ruang-ruang alternatif di mana mereka juga punya kesulitan sendiri dan tidak bisa menyamai jumlah layar di 21.

V

Bagaimana Anda melihat perkembangan film-film independen di Indonesia?

D

Sebenarnya kalau membicarakan kreativitas, kita punya talent yang luar biasa dan film independen, menurut saya, tidak pernah mati di Indonesia. Ia akan selalu hidup karena talent-nya banyak dan kreativitasnya luar biasa. Beberapa tahun ini, 2 sampai 3 tahun terakhir, film independen kita berada di titik yang bagus sekali. Saya sering ke festival lewat “The Mirror Never Lies,” saya selalu merasa bahwa kita itu agak underdog, bahkan di tengah-tengah negara Asia Tenggarra. Saya sering sendirian, atau berdua, ya banyak tahun yang tidak ada film dari Indonesia. Beda, misalnya, Filipina, ia selalu ada film, Thailand juga banyak sekali, rombongannya ramai, sering dibicarakan, masuk di Cannes, menang di Cannes, kan kadang jadi minder. Bicara tentang film Asia, ya film-film itu, film Jepang.

Tapi tahun ini, saat saya pergi dengan film “Sekala Niskala,” saya justru sering menemukan saat di mana orang membicarakan film Indonesia. Banyak talent baru, dan yang membuat mereka amazed adalah karena filmnya benar-benar berbeda satu sama lain. Tahun ini yang sedang beredar ada “Pengabdi Setan,” film horor, ada juga “Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak” film tentang Sumba, ada juga “Sekala Niskala” yang berbeda. Jadi mereka berpikir, “Kalian tuh mikir apa sih? Kepala kalian itu isinya seperti apa? Kok ada film yang berbeda-beda seperti ini dari satu negara yang sama.” Filmnya pun bagus-bagus, itu yang membuat hal ini menarik.

Tahun kemarin kita punya “Siti”, film hitam-putih. Pokoknya menarik semua. Semua punya authenticity yang berbeda dan genuinity yang menarik. Jadi sebenarnya sekarang ini banyak yang sedang look up kepada film Indonesia dengan keberagamannya, keliaran pembuat-pembuatnya, dan lapisan-lapisannya. Jadi untuk saya, sekarang sedang bagus-bagus banget. Banyak pembuat film yang makin bagus. Di Busan kemarin, ada yang menang, “Madonna,” dari Indonesia. Film pendek Indonesia mulai masuk Cannes dan banyak yang berasal dari daerah yang kecil. Hal itu bagus banget dan harus terus diperbanyak dan dibangun lagi.

V

Sebagai sosok yang hidup di antara keluarga yang dekat dengan film, ayah sutradara suami pun juga, bagaimana dinamika saat bertemu, apakah saling mengomentari film masing-masing?

D

Kalau komentar, pastilah. Tetapi ada hal yang lebih penting yang saya rasakan dari keluarga ini. Karena industri film Indonesia kan kecil dan kita tidak sadar bahwa meski output-nya banyak, sebenarnya produk film kita secara general tidak memiliki banyak keberagaman, apalagi di bioskop. Nah, saya sangat sadar bahwa walaupun film Indonesia banyak banget, keberagamannya kurang.

Yang paling sulit sebenarnya menciptakan keberagaman itu, mencari orang-orang dan tim dengan visi yang sama. Semua orang sekarang visinya saat membuat film pasti mengincar penonton, dan itu sangat terasa. Kita harus mencari tim yang memiliki visi dan peran yang berbeda dari hal itu, bahwa seharusnya setiap film itu berbeda. Di titik ini saya beruntung punya keluarga yang memang sangat mengerti kalau film butuh keberagaman dan komentar di antara kami tidak bermaksud untuk menjelekkan, tetapi menaikkan visi ini. Kita memiliki concern yang sama. Kita harus berkomentar untuk mendorong satu sama lain untuk menghasilkan hal itu, jadi memang fungsi komentarnya sangat berbeda.

V

Adakah proyek yang sedang anda siapkan untuk tahun ini?

D

Untuk tahun ini saya sedang menulis, sekarang sudah draft 2, tapi saya juga tidak tahu kapan itu akan selesai. Saya juga ingin mencoba alih media. Di “The Seen and Unseen” kan kami membuat suatu instalasi sebelum filmnya keluar. Kami tahun ini ingin mengalihkan konten ini ke medium yang lain misal ke panggung, atau kemungkinan yang lain. Jadi yang tadinya ingin buru-buru menyelesaikan “Sekala Niskala” malah jadi ingin menghidupkannya kembali.whiteboardjournal, logo