Jujur Prananto Berbicara Tentang Skenario dan Fenomena Film Dilan

Film
21.03.18

Jujur Prananto Berbicara Tentang Skenario dan Fenomena Film Dilan

Vania Almira (V) berbincang dengan Jujur Prananto (J).

by Febrina Anindita

 

V

Bagaimana awal ketertarikan Anda untuk terjun ke dunia penulisan naskah film setelah sebelumnya menulis beberapa cerita pendek (cerpen)?

J

Setelah saya merasa bisa menulis, kemudian saya berpikir-pikir, dengan kemampuan saya ini, kira-kira apa yang memungkinkan saya untuk bisa hidup, bisa cari duit. Sesederhana itu. Kalau sastra, saya tahu persis bahwa sastra tidak bisa menjadi andalan hidup. Kemudian di samping itu, saya juga merasa senang dengan musik, dunia seni rupa, bidang seni lainnya, dan saya pikir yang paling dekat dengan bidang-bidang itu sekaligus menulis, adalah film. Setelah itu, ya sudah, saya memutuskan untuk masuk di dunia film.

V

Di dalam pembuka buku kumpulan cerpen “Parmin”, Anda pernah menyatakan bahwa lebih suka menyebut cerpen-cerpen Anda ‘terinspirasi’ daripada ‘berdasarkan’ kisah nyata. Apakah hal ini juga berlaku ketika menulis sebuah naskah film?

J

Sebenarnya bukan begitu, saya justru terinspirasi dari kisah nyata. Cuma bukan hanya mengungkapkan kisah nyata itu saja tapi dari situ melahirkan inspirasi, seperti itu. Saya melihat sesuatu, misalnya melihat A, “Waduh kalau ternyata kenyataannya A, seandainya B akan gimana ya?” Nah, dari situ. Itu yang saya maksud terinspirasi.

Kalau menulis film agak beda karena film ada dua macam, yang lahir dari ide sendiri, dan yang lahir dari orang lain. Nah memang lazimnya kalau saya kan memang masuk di film-film yang industrial, artinya yang memang untuk ditonton orang banyak, yang ada produsernya, ada sutradaranya, itu hampir semua yang saya tulis memang ide dari orang lain. Jarang sekali saya menggagas ide sendiri dari awal, dari menggagas hingga menulis sinopsis sendiri itu jarang. Hampir semua ide datang dari orang lain.

V

Nama Anda semakin melambung setelah kesuksesan dalam menulis naskah film “Ada Apa Dengan Cinta?” (AADC?) hingga mendapatkan penghargaan “Skenario Terpuji” pada Festival Film Bandung 2002. Apakah kesuksesan film ini mempengaruhi karya-karya dan karir Anda seterusnya?

J

Oh iya, sumbangan “AADC?” termasuk besar ke karir saya. Dalam pengertian, untungnya pada waktu itu kan belum banyak film dan belum banyak penulis, jadi tiba-tiba terkesan saya muncul duluan. Otomatis relatif gampang dikenal dan bahkan sampai sekarang pun cap saya itu selalu ‘penulis skenario Petualangan Sherina dan AADC?’. Itu sudah cap yang susah ditolak. Walaupun sudah ada film lain, orang-orang tetap menyebut “Petualangan Sherina” atau “AADC?”.

Ya, belakangan mungkin lama-lama generasi remaja yang sekarang sudah tidak nonton lagi, mungkin kalau di generasi sekarang “Petualangan Sherina” diputar, ada yang belum lahir, mungkin saja kan. Cuma yang masih melekat sampai sekarang ya itu. Saya merasa mendapat keuntungannya dari situ, saya mungkin gampang dikenal dari kedua film itu.

V

Melalui film “AADC?”, karakter Rangga yang dingin, sederhana, namun puitis dan romantis melahirkan ekspektasi bahwa pria yang ‘keren’ harus memiliki karakter tersebut pada masa itu. Jika hal ini diterapkan dalam masyarakat sekarang apakah masih berlaku?

J

Hmm. Saya rasa, masih-masih saja ya. Masih, hanya mungkin kreator saat ini memang ingin mencoba hal yang lain. Juga mencoba hal lain dan berhasil, seperti itu. Sebab saya lihat, misalnya pada film “Dear Nathan”, yang diambil dari novel, Jefri Nichol itu karakternya memang tidak dingin, tapi mahasiswa yang terpinggirkan atau tidak dianggap. Kira-kira ada kemiripan ya diantara tokoh pria di “Dear Nathan” dan Rangga, dan masih work menurut saya. Bukan seperti karakter di “London Love Story” yang ‘gaya’. Kalau “London Love Story” kan ‘gebyar’, pakai mobil dua pintu. Ini Jefri Nichol di “Dear Nathan” dan film lainnya itu selalu tokoh yang tidak dianggap. Cuma, bedanya tidak dingin. Kalau Rangga kan khasnya dinginnya itu. Ya mungkin memang kadang-kadang orang takut dikira meniru jadi mencoba yang lain. Tetap bagus saja sih.

V

Karena dari yang saya lihat pada peran di film “Dilan 1990”, karakter Dilan itu dibuat baku dan puitis. Kebanyakan masyarakat sekarang menganggap bahwa gombalannya tidak cocok untuk diterapkan di zaman sekarang. Bagaimana menurut Anda akan hal ini?

J

Oh iya, bisa jadi. Bahkan mungkin untuk zaman dulu pun saya juga tidak yakin kenyataannya begitu (tertawa). Waktu Pidi Baiq menulis itu, saya menduga sekali bahwa dia tidak terinspirasi oleh umumnya suasana saat itu, tapi oleh impian dia ketika pacaran mungkin enaknya seperti itu (tertawa). Kalau soal boncengan motor, tunggu-menunggu telepon, nah itu memang sangat tipikal karena handphone memang belum ada. Hal-hal itu memang tidak tergantikan. Cuma kalau gombalan dan kata-katanya itu kan canggih sekali. Ketika saya nonton juga saya pikir ini adalah impian semua orang dan juga impian penulisnya. Seperti kata-kata, “Rindu itu berat, biar aku yang menanggungnya,” itu kan novelis sekali dan sepertinya tidak ada di kehidupan sehari-hari (tertawa). Namun sebagai penonton kita senang saja mendengarnya.

V

Adanya perubahan zaman tentunya membuat beberapa unsur tata bahasa juga berubah. Adakah kesulitan tersendiri dalam menulis naskah sesuai dengan perubahan zaman?

J

Kalau tata bahasa sih tidak berubah untuk Bahasa Indonesia, hanya mungkin istilah-istilah yang mutakhir, seperti masuknya ke bahasa ‘alay’ atau mungkin bahasa-bahasa yang berubah seperti misalnya ‘kali’ menjadi ‘keleus’. Kalau itu jujur saja kalau sekarang saya diminta untuk menulis pure cerita remaja masa kini, saya tidak berani. Kecuali dikawal, ya. Tapi, kalau memang nulis kemudian harus dikawal orang, lebih baik orang itu saja yang menulis (tertawa).

Ada satu contoh, penulis “Ada Cinta di SMA”, namanya Haqi – ia masih sangat muda, kira-kira umurnya 20-an. Dia itu sangat update. Dia sampai secara sadar, sengaja dan senang karena memang hidup pada zamannya, dia mengoleksi macam-macam kosakata yang sedang banyak muncul. Dan itu terpakai betul ketika dia menulis skenario. Jadi, skenario dia pasti dunia anak muda, dan ketika dia menulis dunia anak SMA, nah, sudah enak banget. Ketika saya menonton “Ada Cinta di SMA”, Oh, oke. (tertawa) terasa sangat hidup karena memang penulisnya paham dan update dengan perkembangan saat ini. Kalau saya mungkin juga ikut dengar-dengar karena saya pikir, jangan sampai ketinggalan saja. Tapi untuk memberanikan diri menulis seperti itu, wah sepertinya tidak deh, orang lain saja.

V

Di era modern seperti saat ini, tentunya harus lebih berhati-hati dalam menaruh unsur politik, sosial, seksualitas, agama, dan sebagainya ke dalam sebuah naskah. Bagaimana cara menghindari hal seperti ini tanpa mengurangi penyampaian dan estetika dari naskah tersebut?

J

Itu memang agak sulit ya. Jujur saya pernah mengimpikan untuk membuat film tentang banci tapi dari sudut pandang bahwa banci itu kasihan. Kasihan dalam pengertian dihujat atau mungkin secara agama diminta untuk kembali ke kodratnya. Ya, namun mau bagaimana lagi kodratnya. Saya pernah mengimpikan membuat film-film yang seperti itu. Seperti mengungkap tentang banci itu, yang secara fisik dia menerima keanehan yang luar biasa. Ya maaf saja, kadang dia mempunyai kemaluan pria, namun punya buah dada. Memangnya dia bisa mengelak? Tapi dia dihujat. Hal itu kan luar biasa kasihan. Cuma, rasanya kok kalau membuat film seperti ini, kita harus sangat hati-hati dan mungkin bentuknya bukan di film layar lebar untuk umum. Mungkin bisa dibentuk dalam film festival atau form-form khusus karena secara umum, kita melawan mindset yang lama-lama di benak orang lebih sederhana untuk disimpulkan bahwa “ini benar” dan “ini salah”. Apalagi sekarang istilah LGBT sudah seperti harga mati untuk dinyatakan bahwa “ini salah”.

Nah, hal ini memang menyulitkan kita untuk memiliki sudut pandang yang berbeda. Kalau saya memang tahu diri untuk membuat film dengan tujuan menghibur. Ya sudah, kalau bisa memang jauh-jauh dari tema itu. Seksualitas juga. Kalau saya juga masalah seksualitas memang tidak ingin-ingin banget untuk diungkapkan di film. Saya anggap itu wilayah yang privat dan kenyataannya memang privat. Contohnya jika saya melihat sesuatu yang sangat terbuka di layar itu, saya pribadi memang tidak nyaman. Dan nyatanya sekarang, bila kita menonton film Barat, adegan sensual, sebrutal apapun kita pasti terima saja karena mungkin memang orang Barat lah. Sedangkan kalau kita menonton film Indonesia, walaupun tidak terlalu brutal, contohnya selingkuh antara seorang istri dengan tetangganya yang masih muda, pasti akan heboh banget karena identifikasi kita lebih dekat. Itu yang menyensor saya sebagai penulis untuk tidak memilih mengungkap hal-hal seperti itu. Self-censorship.

V

Menurut Anda, di ranah perfilman saat ini, sosok karakter utama seperti apa yang dapat berpengaruh atau berkesan bagi penonton?

J

Contohnya, saat ini kalau yang paling mutakhir mungkin Dilan ya (tertawa), orang pasti akan ingat terus. Sebetulnya itu rumus film yang sudah banyak diteorikan oleh banyak profesor di Hollywood juga, bahwa protagonis itu tokoh yang menyenangkan, tokoh yang selalu mengundang simpati. Sedemikian rupa hingga bila dia tertawa, penonton akan tertawa, dia tersenyum kita akan tersenyum, dia dipukuli kita akan ikut sakit (tertawa). Nah itu, rumus yang paling fundamental dari tokoh yang menyenangkan tuh seperti itu. Kalau tokoh yang simpatik, bisa macam-macam. Misalnya Dilan itu dapat dikatakan pribadi yang komplit, yang sebenarnya agak berbeda dengan bukunya karena di bukunya dia lebih brutal tapi baik. Sedangkan di film kan manis tapi pintar berantem, tapi dia bisa mengalah terhadap pacarnya. Bisa dikatakan bahwa dia itu impian. Impian semua orang. Jadi jika ditanya sosok karakter yang dapat berpengaruh atau berkesan ya, sosok yang diimpikan banyak orang.

Dulu tahun 90-an ada serial film “Catatan Si Boy”. Itu contoh impian yang film banget. Tapi kenyataannya laku dan banyak orang yang menonton karena itu impian yang setengah mimpi betul. Dalam artian dia kaya, mobilnya yang seperti di “London Love Story” begitu lah, kemudian baik, rajin ibadah, yang intinya serba sempurna. Karakter itu pada masanya work juga. Tapi tidak tahu apakah sekarang kalau karakter yang sama dimunculkan akan seperti apa, saya tidak tahu juga. Mungkin hal itu butuh 2, butuh riset dan butuh mencoba.

Pokoknya pemandangan yang menyamankan mata, nyatanya bisa menarik minat penonton pada segmen tertentu. Ya, mungkin anak-anak yang pintar banget dan yang sadar akan kenyataan kayaknya tidak akan tertarik menonton. Tapi sebenarnya, jangan salah, produsernya itu sangat sadar bahwa pasarnya memang mengarah kepada penonton ‘alay’ karena memang kebanyakan pemain-pemainnya itu lahir dari televisi, dari FTV dan kemudian pemain yang oke-oke dinaikkan ke film. Nah, cuma mereka coba-coba. Formatnya itu sangat FTV, seperti cerita-cerita yang awalnya dari naik sepeda, kemudian tabrakan dan kenalan. Begitu semua. Syutingnya juga kebanyakan hemat anggaran. Saya pertama kali menonton, “Gila, murah banget ini film,” tapi laku. Laku juga dengan dukungan promosi yang gencar. Nah, kebanyakan penontonnya itu kelas-kelas menengah ke bawah. Konon katanya di luar kota-kota Jakarta penontonnya sampai menabung dahulu untuk menonton filmnya. Hal itu dramatis sekali kan.

Nah, beda lagi di kalangan ibu-ibu muda. Di pasar-pasar yang besar, mereka itu mengidolakan suami yang sangat soleh, seperti tercermin di film “Surga yang Tak Dirindukan”. Makanya ibu-ibu muda itu menjerit-jerit kalau melihat Fedi Nuril. Dan ajaibnya, yang saya juga tidak menyangka, mereka sampai bisa mengamini atau mengampunkan bahwa sosok suami seperti itu pantas saja untuk bisa punya dua istri. Mereka merasa bahwa mengizinkan suami untuk bisa seperti itu merupakan suatu kebesaran hati. Hal-hal seperti itu juga termasuk impian dan nyatanya hal itu memang work.

Jadi dapat disimpulkan dari 3 karakter itu mungkin ya. Satu yang seperti model Iqbal (Dilan), satu yang seperti model di “London Love Story”, satu yang model untuk ibu-ibu muda itu.

V

Dalam sebuah seminar, Anda pernah menyatakan bahwa jika memungkinkan, tokoh utama harus disukai semua orang. Namun bagaimana halnya bila tokoh utama justru ditakuti oleh penonton? Seperti misalnya tokoh Dara pada film “Rumah Dara” yang disutradarai oleh The Mo Brothers.

J

Sebenarnya hal-hal yang menyenangkan itu adalah resep untuk film-film box office. Bukan berarti tidak boleh, boleh peran utama itu jahat. Tapi, siap-siap saja menerima risiko bahwa film ini tidak akan ditonton banyak orang. Kemungkinan untuk disukai banyak orang itu kecil. Saya tidak tahu di Indonesia itu permasalahannya bagaimana. Kalau film karya The Mo Brothers itu kan biasanya untuk di luar juga, jadi dapat dikatakan segmented. Jadi kalau saya pernah bilang tokoh utama itu harus seperti ini itu, itu relevansinya dengan resep film mainstream yang pembuatnya ingin ditonton sebanyak-banyaknya orang.

Nah, kalau melawan arus ya silahkan dengan risiko film itu akan segmented. Karena film-film seperti itu biasanya adalah film yang harus dinikmati secara khusus. Artinya, kalau lazimnya penonton umum yang awam atau mayoritas itu kan selalu ingin ada proses identifikasi, contohnya “Oh, saya ingin jadi seperti ini” atau “Oh, ini saya banget” itu ada prosesnya. Nah, kalau di film tokoh-tokohnya tidak ada unsur seperti itu, artinya penonton menikmati sesuatu yang berbeda. Nah proses menonton seperti itu biasanya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang jenuh dengan film mainstream yang banyak penontonnya hingga membuat mereka ingin menonton film yang berbeda, atau punya daya apresiasi tinggi terhadap sesuatu yang beda. Itu pun sedikit.

Makanya kalau kalian lihat di festival film, itu kan banyak penonton-penontonnya. Biasanya penonton yang datang itu memang ingin menonton tontonan yang lain, film-film yang di luar mainstream atau dapat dikatakan film indie. Katakanlah kamu bayangkan film yang tokoh utamanya orang cacat. Penonton itu pasti tidak akan mengidentifikasikan dirinya dengan orang cacat itu kan, tapi dia baru bisa menikmati film itu kalau dia merasa bersimpati pada tokoh ini. Nah, untuk orang-orang yang bisa mempunyai simpati tinggi itu kan harus orang-orang terpilih, orang-orang yang tulus. Secara persentase orang-orang yang seperti itu masih kecil.

V

Anda juga telah beberapa kali menulis naskah untuk FTV yang cenderung memiliki cerita-cerita lebih sederhana. Apakah menulis naskah FTV dapat terbilang lebih mudah atau justru lebih sulit daripada menulis naskah film layar lebar?

J

Relatif lebih mudah karena semuanya serba sederhana. Misalnya tokohnya pengusaha. Kita tidak ada beban untuk menjelaskan tokoh ini pengusaha apa karena itu tidak penting. Karena yang diungkapkan dan apa yang dilakukan hanya berdasarkan sedikit background. Sebenarnya banyak film layar lebar yang seperti itu juga, namun FTV itu lebih bermain-main dengan kejadian-kejadian. Ini ketemu ini, maka ini terjadi. Nah itu, tidak terlalu menuntut hubungan dengan profesi dia, tidak menuntut kejadian itu lahir bukan karena profesi, bukan karena karakter, bukan karena background tertentu, tapi karena kejadian yang bisa menimpa siapapun. Nah itu kan kita menyesuaikannya lebih gampang.

Hal-hal ini mempermudah untuk menulis dengan cepat. Settingnya juga tidak banyak, terkadang hanya berputar di hotel, jalanan, ya lebih sederhana. Dulu saya menulis untuk SCTV, saya tidak tahu kalau sekarang, tapi dulu peraturannya adalah sinopsis itu harus disetujui dengan pihak SCTV. Jadi pihak-pihak mengirim sebanyak-banyaknya sinopsis, yang terpilih akan dikirim balik ke Production House (PH). Nah, ketika balik ke PH itu berarti sudah disetujui dan bisa dibuat skenarionya. Kadang-kadang sinopsisnya memang sangat klise, saya terkadang sampai bertanya “Pak, yang benar ini mau dibikin? Cuma mau kayak gini?” lalu jawabnya, “Ya kalau hanya seperti ini untuk apa menghubungi Pak Jujur?” (tertawa).

Akhirnya ya saya harus meng-create lagi. Sebenarnya menyenangkan menulis FTV, dalam artian tidak ada beban. Dan memang harus cepat kan. Terkadang begitu disetujui sudah ada jadwal syuting, jadi menulis dalam beberapa hari sudah harus selesai, seperti itu. Kadang-kadang ketika di tengah menulis, sudah harus syuting, jadi sebagian dulu yang dikirim. Ya ada hal-hal seperti itu.

V

Saat ini banyak yang beranggapan bahwa acara televisi sudah tidak lagi menarik dan edukatif untuk ditonton. Bagaimana tanggapan anda mengenai masa depan pertelevisian Indonesia?

J

Nah itu hal-hal yang membuat saya lama-kelamaan meninggalkan FTV karena sudah kelewatan. Kelewatan dalam artian, seperti pertama settingnya atau lokasi syuting itu dibatasi. Kalau dulu saya masih bisa nulis adegan di rumah, jalanan, kafe, hingga 5 tempat masih bisa. Kalau sekarang sudah tidak boleh, cukup 3. Karena syutingnya akan dibatasi hingga 3 hari, pembatasannya luar biasa. Kedua yang membuat saya tidak bisa mengikuti dan ogah untuk mengikuti, ketika tren FTV mulai beralih ke cinta-cinta yang lucu-lucu, seperti FTV dengan judul yang aneh-aneh.

Misalnya, dua remaja bertemu dan pasti polanya bertengkar dulu dengan cara yang musuhan dan berbicara dengan kata-kata kasar seperti itu. Nah, itu saya tidak bisa lagi mengikuti karena tidak tega juga. Kemudian sepanjang film ada lagu tema yang diputar terus-menerus, menurut saya, aduh itu berisik sekali ya. Waktu zaman saya menulis trennya masih lain, saya masih bisa menulis cerita. Saya mengharapkan penonton masih bisa mengikuti dongeng dan bisa ketawa karena dongengnya. Kalau ini kan ketemu, berantem, menjelek-jeleki satu sama lain, aduh apa tidak capek (tertawa). Cuma saya tidak tahu ya, nyatanya ditonton orang, artinya ada penonton yang senang kan. Yang paling susah itu menulis sesuatu yang tidak kita sukai. Itu berat. Seperti rindu, berat. (tertawa)

Kalau masa depan pertelevisian Indonesia sih, jangan salah juga pengelola TV khususnya PH juga pusing untuk menentukan kita mau bikin apa karena tren berubah terus. Biasanya mulai berubah itu 3 tahunan. Ingat tidak dulu ada masa-masa di mana semuanya Islami laku keras, ada ‘Hidayah’ ini dan itu. Sampai penulis-penulis yang non-Muslim pun di kursuskan istilah-istilah islami seperti “Astagfirullah” seperti itu. Mereka harus paham.

Ada grup penulis Alexis, grupnya wanita dan semuanya non-Muslim, mau tidak mau mereka harus menulis seperti itu dan jadi agak lucu. Toh, akhirnya tren juga berubah. Dulu semua wanita di layar TV itu kerudungan, tiba-tiba ada masanya hilang lagi. Habis itu sempat masuk drama-drama serigala-serigala yang diperani Aliando, dan hidup terus selama beberapa tahun. Jadi hal itu membuat susah. Nah, kalau saya perhatikan sekarang kembali ke yang lembut-lembut lagi. Kemarin saya agak kaget, sudah lama tidak nonton serial, kemarin saya coba nonton serial remaja yang ada sore-sore diperani anaknya Vena Melinda. Itu sepertinya ratingnya tinggi. Saya nonton, “Loh, kok masih sehat?” sehat dalam pengertian tidak berantem-berantem melulu, tapi cinta-cintaan yang tidak terlalu gimana-gimana. Ternyata penulisnya saya kenal, dulu anak IKJ juga.

Jadi, akan berubah terus. Dan perubahan itu bisa mengagetkan, karena sempat juga action-action drama zaman dulu muncul, seperti film-film silat. Itu sempat syuting dengan set yang gede-gedean di Cibubur sini, set-set seperti model “Misteri Gunung Merapi” yang kerajaan-kerajaan, investasinya sudah sangat besar, diharapkan itu booming, ternyata cuma tayang beberapa episode karena tidak ada rating dan benar-benar stop. Nah, seperti itu. Jadi jika ditanya kalau begini terus akan bagaimana suasanaya, menurut saya, pertama selera pun berubah-ubah. Kedua, selama potensi penonton masih ada dan itu besar, pasti akan tetap berjalan. Cuma akan tetap membela kalangan yang mayoritas.

Di Indonesia kalangan yang mayoritas itu kan menengah ke bawah. Nah, selama orang yang pendidikannya pas-pasan itu masih banyak di Indonesia, selama itu pula ranah pertelevisian akan begitu. Karena kembali lagi mayoritas TV di Indonesia itu kan swasta yang sepenuhnya dibiayai dengan iklan. Dasarnya orang memasang iklan kan kalau di sebuah lakon atau tayangan yang ditonton banyak orang, kalau tidak banyak yang nonton untuk apa pasang iklan. Nah, apa tontonan yang ditonton banyak orang? Banyak orang itu kan kuantitas, artinya yang menarik perhatian banyak orang ya film-film yang menarik banyak perhatian kalangan menengah ke bawah itu. Makanya, semuanya sekarang membodohkan diri untuk membuat cerita-cerita yang agak buru-buru lah, yang gampang-gampang. Yang atas tidak laku semua, kebanyakan tontonan yang elitis ratingnya rendah.

V

Dalam proses kreatif menulis naskah film, apa unsur utama yang harus diperhatikan?

J

Unsur utama pastinya, wilayah seperti ini itu terdiskusikan bersama produser dan tim kreatif. Biasanya mereka ada unsur menduga-duga juga, mengira-ngira unsur tren. Kira-kira tren untuk sekian bulan ke depan itu apa, kemudian unsur pemain, dan genre juga. Ini untuk di luar cerita. Bagaimana bersiasat agar orang menonton. Itu hal yang biasanya dipegang terlebih dulu oleh produser. Pertimbangannya itu memang butuh diskusi panjang, dan biasanya saya tidak ikut. Penulis biasanya belakangan setelah mereka menggodok ini itu dan yakin pada keputusan untuk membuat sesuatu, baru menghubungi penulis. Jadi, dalam hal ini saya memang cenderung inginnya membebaskan diri dari proses itu, karena berat.

Itu proses yang ada unsur gamblingnya. Makanya kalau bertemu produser baru yang bertanya, “Pak Jujur, enaknya kita bikin apa ya?” Nah, itu susah. Biasanya ada ‘peak’ keinginan apa, nanti akan saya bikinkan. Karena biasanya kalau kita juga ikut mengutarakan, kalau ada apa-apa kita juga harus ikut bertanggung jawab. Karena saya memang ada di aspek penulis bukan penggagas. Jadi saya biasanya membatasi juga pada hal-hal seperti itu. Kadang saya sebagai penulis berpikir juga, “Siapa ya yang akan menonton film seperti ini?” Kadang-kadang seperti itu. Dan lucunya film yang memberikan saya Piala Citra pertama itu film yang seperti itu. Tahun 2010 kalau tidak salah.

Erwin Arnada, produsernya film “Jelangkung” dan sebagainya, sebelum itu kan dia tinggal di Bali, dia melihat banyaknya kasus pedofil. Orang bule yang sudah tua, mereka bergaya menghidupi anak-anak kecil di Bali. Nah, Erwin Arnada menulis sebuah novel judulnya “Rumah di Seribu Ombak” yang mengangkat kasus itu. Waktu itu dia mengirimkan draft kepada saya dan dia ingin bahwa di saat novel terbit, film terbit juga. Akhirnya saya buatkan naskahnya. Menurut saya, film itu pedih ya, dan serba salah karena tentang anak-anak korban pedofil. Nah, siapa yang mau nonton coba?

Saya sempat tanya ke Erwin sasarannya akan ke mana. Saya bilang ini arahnya mau ke mana karena sepertinya kalau film keluarga juga tidak bisa. Kemudian dia minta dibuat sesuai dengan bukunya, dan ya sudah saya setuju. Dan kenyataannya itu tidak laku betul, penontonnya hanya berapa ribu, main juga tidak ada seminggu, tapi saya dapat Piala Citra (tertawa). Ya memang karena saya muntahi semua kebisaan saya untuk menulis di situ. Secara skenario menjadi yang terbaik, cuma ketika menulis saya sudah merasa bahwa siapa yang akan menonton?

V

Film-film begenre drama percintaan maupun keluarga dapat dibilang lebih banyak diminati oleh kebanyakan pentonton, sedangkan film yang bernuansa lebih serius seperti “Boven Digoel” kurang diminati. Bagaimana pendapat anda mengenai hal tersebut?

J

Nah, itu lebih parah lagi. Saya kasihan karena sutradaranya pernah mengimpikan akan dapat banyak penonton. Ternyata di Jakarta kan memang hanya beberapa hari terus hilang, ternyata di Papua peminatnya tinggi dan beberapa bulan main terus, di Ambon juga lumayan karena pemeran utamanya kan JFlow. Artinya, terasa sekali bahwa film-film seperti itu ya memang film-film yang tidak entertaining, tidak menghibur.

Contoh lagi, film “Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara”. Itu film yang sama. Ketika saya menulis tentang kisah di daerah tempat yang paling miskin di NTT, film tentang sekolah, tentang perjuangan guru, saya pikir, aduh, ini film yang tidak akan ditonton. Karena ternyata benar, siapa sih penonton yang mau ikut berjuang, mengeluarkan duit tiket untuk menonton penderitaan. Cuma “Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara” lumayan, kalau kita sudah menonton semua orang akan suka. Cuma untuk masuk membeli tiket itu yang berat.

V

Banyak sekali film Indonesia yang lebih dihargai di dalam festival film luar negeri. Menurut Anda hal apa yang harus diperhatikan dalam situasi ini? Apakah mungkin bila dikatakan bahwa sebenarnya penonton dalam negeri yang justru tidak berkualitas sehingga membuat beberapa film kurang diminati?

J

Begini, yang penting semua itu sah asal semua sadar apa yang dilakukan. Yang celaka itu yang tidak sadar. Misalnya, seperti tadi, sudah jelas-jelas bikin film yang menurut kita berat untuk ditonton, tapi bermimpi ditonton oleh jutaan. Nah itu kasihan. Atau film-film yang sudah jelas-jelas tidak bicara apa-apa. Pure menghibur. Itu hal yang pernah terucap oleh produsernya Star Vision. Star Vision kan sangat produktif, filmnya tidak ada yang jelek, filmnya semua entertaining, semua segar, cuma memang tidak bicara apa-apa. Hanya entertaining saja, titik.

Dengan susunan gambar yang bagus, flow editing yang enak, pemain yang menarik, cerah, penonton senyum terus, titik. Nah, produsernya pernah bilang, produk kita kok tidak ada yang pernah nyangkut ke FFI. Dalam hati, ya gimana karena memang tidak bicara apa-apa. Kalau menurut saya, festival seperti FFI itu kan film yang terpilih adalah ketika film yang mengatakan sesuatu, yang jelas mau mengucapkan apa. Itu yang paling penting, tidak sekadar mendongeng tapi di balik itu ada ide yang jelas ingin disampaikan ke penonton. Waktu 2002 juga, orang-orang banyak yang bilang pasti “AADC?” akan menang. Saya bilang tidak, karena “AADC?” itu bukan film kelas festival. Dia menghibur, dia membuat terharu, menarik, tapi sekarang apa coba, setelah menonton itu tidak ada pesan apapun yang ingin disampaikan. Selain bahwa ingin melarutkan penonton pada cerita itu, ya menghibur, entertainment. Nah, balik lagi kepada niatnya.

Orang pasti banyak yang ingin juga menyicipi film-film yang dihargai di festival tapi penontonnya banyak. Nah, itu terjawab di model seperti “Cek Toko Sebelah”, makanya saya senang sekali saat waktu itu saya menjadi juri Indonesian Box Office Movie Awards (IBOMA), bahwa film ini jelas idenya apa, jelas dia ingin mengatakan apa tapi kemasannya entertaining. Jadi, secara box office juga dia penontonnya banyak, secara konten dan gagasan dapat juga, gitu. Tapi kan tidak semua film bisa begitu. Dan kalau ditantang malah susah. Tidak bisa begitu saja dengan gampang kita buat.

V

Bagaimana jika ternyata peran pada tokoh yang ditulis di dalam naskah tidak sesuai dengan peran yang dimainkan oleh aktor/aktris saat di film?

J

Saya jarang sih mengalami ini. Tapi biasanya yang begini itu muncul di film-film televisi. Kebetulan memang jarang yang ekstrem, ya jadi memang jarang juga yang mengecewakan sekali. Yang pernah terjadi adalah, bukan casting atau apanya, melainkan sutradara melakukan perubahan skenario di lapangan dan terlalu menyimpang dari aslinya. Nah, biasanya kalau seperti ini saya minta ditulis 2 nama, atau secara ekstrem nama saya tidak usah dicantumkan.

Saya pernah menulis FTV khusus untuk tema tertentu, itu saya sudah di setujui, sudah dianggap bagus oleh yang punya proyek, diserahkan kepada seorang sutradara yang saya tau persis dia pasti akan merombak skenario itu, karena memang begitu karakter dia. Nah ternyata benar ketika syuting benar-benar berubah satu kata pun, satu kalimat pun yang saya tulis tidak ada yang tersisa. Nah, saya langsung minta tolong untuk nama saya tidak usah dicantumkan. Atau terkadang karena revisi-revisi saya minta dua nama. Itu untuk pertanggungjawaban dua sisi, karena kalau filmnya jadi bagus saya tidak enak dipuji-puji, sebaliknya kalau jelek banget saya tidak mau juga sendirian dihina. (tertawa)

V

Belakangan ini, sedang marak beberapa film yang diadaptasi dari film lama dan dijadikan film lanjutan, seperti “AADC 2” atau “Eiffel I’m in Love 2”. Menurut Anda apakah peluncuran film tersebut merupakan salah satu strategi untuk menarik minat penonton film lokal?

J

Iya jelas dan itu sah-sah saja. Itu kan juga sudah lama dilakukan oleh Hollywood. Terkadang Hollywood sampai remake hingga 3 kali. Generasi Bapak saya ada, tiba-tiba generasi saya juga. Lumrah itu, nggak masalah. Dan hebatnya orang-orang seperti Joko Anwar itu bisa me-remake dengan canggih. “Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2” juga oke menurut saya.

V

Promosi film yang gencar diumumkan melalui media sosial saat ini cukup menarik minat orang untuk mengetahui dan menonton sebuah film, apakah hal ini merupakan satu langkah yang baik untuk masa depan perfilman Indonesia?

J

Baik asal tetap terpulang kepada produknya. Kalau nggak bumerang, seperti yang terjadi pada film “Benyamin Biang Kerok”. Produsernya pasti membayangkan bahwa penontonnya akan ada hingga jutaan. Saya dengar mereka pasang iklan di Gedung Veteran, seperti zaman “Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2” dulu, saya belum lihat tapi saya dengar mereka memasang di dua sisi dan sudah mengeluarkan sebanyak 10 miliar untuk biaya promosi. Jadi dia memang mengharapkan film ini besar, tapi nyatanya hingga sekarang penontonnya belum sampai jutaan.

Nah, saya senang sekarang orang pembuat film sudah sadar bahwa peran promosi itu sesuatu hal yang penting dan harus, itu saya senang. Cuma ya promosi itu senjata pisau bermata dua. Kalau produknya jelek, hanya angkatan pertama yang termakan sama promosi, katakanlah yang menonton hari pertama dan hari kedua. Cuma dengan sosial media pula cepat sekali virus anti-produksi ini, seperti “Jangan nonton lo, kecewa!”. Makanya kalau puas akan berlipat-lipat, kalau jelek ya cukup hari-hari pertama itu orang yang penasaran oleh promosi itu tadi tapi tidak mengajak yang lain, gitu. Yang besar itu kan kalau terus mengajak, memberikan multiplier effect, seperti yang terjadi di film “Dilan 1990”.

V

Hingga Januari 2018 ini, tercatat bahwa Anda telah menulis skenario film sebanyak 23 judul. Dari mana kah datangnya inspirasi untuk dapat terus menulis skenario film?

J

Wah saya lupa juga sudah berapa judul (tertawa). Seperti tadi yang saya bilang, katakanlah dari sebanyak 23 judul itu, yang benar-benar ide saya itu cuma 2 kalau tidak salah, yaitu “Doa yang Mengancam” dan “Petulangan Seratus Jam”. “Doa yang Mengancam” itu kan dari cerpen saya yang dimuat di Kompas, ada produser yang sangat suka dan dia ingin bikin filmnya. Dari situ saya bikin skenarionya dan itu pure ide saya.

Satu lagi “Petulangan Seratus Jam”, itu ide dan segala macam dari saya tapi masih ada arahan terhadap orang yang akan main. Cuma hampir semua ide cerita dan lain-lainnya memang dari saya. Lainnya, hampir semua dari produser atau sutradara. Jadi, kalau dibilang dari mana inspirasi saya, yang menginspirasi ya dari orang, saya mengembangkannya menjadi skenario.

V

Dari naskah-naskaih yang telah dibuat, adakah satu karya yang memiliki proses kreatif paling berkesan bagi Anda?

J

Kalau berkesan, mungkin “AADC?” paling berkesan karena capek banget. Karena waktu menulis umur saya masih 40-an dan saya bukan orang Jakarta tapi saya harus menceritakan tentang remaja Jakarta, makanya agak keras juga perjuangannya. Saya jauh lebih cepat menulis “Petualangan Sherina” dari pada “AADC?”. “Petualangan Sherina” itu saya happy sekali nulisnya karena kebetulan saya punya tetangga yang punya anak kecil. Karena saya butuh modelnya jadi saya wawancara tetangga-tetangga dan langsung dapat.

Nah, “AADC?” kan remaja SMA, anak Jakarta, waduh saya langsung menuntut syarat harus ada pendamping, harus ada pembaca yang mengoreksi dialek-dialek Jakarta yang tidak pas, seperti itu. Ternyata kemudian sebagian dari dialog saya masih laku juga. Tambahan-tambahan yang tidak terduga juga ternyata oke. Misalnya kata-kata, “Basi! Madingnya udah terbit!” kata-kata ‘basi’ itu orang lain, itu Prima Rusdi yang membuat – saya ingat sekali. Tapi, dialog-dialog panjang bagian Cinta dan Rangga, seperti contohnya kalimat-kalimat “Kamu di rumah, semuanya pasti dikerjain pembantu. Ya, kalau bisa dikerjain sendiri, kenapa harus dikerjain pembantu? Ya, kalau misalnya ada pembantu, kenapa harus dikerjain sendiri?” itu saya yang buat.

Kemudian yang masih laku dan saya tidak menyangka orang masih ingat itu, adegan yang bertemu di lapangan basket, kalimat “Jadi salah gue? Salah temen-temen gue?” itu saya tidak menyangka sama sekali sampai bisa orang ingat. Padahal adegan itu, adegan yang saya sangat sesalkan karena shotnya hanya berhadap-hadapan. Tapi ternyata malah itu yang dikenang oleh orang-orang.

V

Apakah ada penulis skenario muda yang namanya patut disoroti di dunia perfilman saat ini?

J

Menurut saya banyak sih. Kalau yang sudah terbukti itu Ernest Prakasa, dia tipikal komik, film-film komedi. Menurut saya Ernest agak-agak jenius ya dan dia sangat memahami cara membuat kelucuan itu seperti apa. Dia punya teori-teorinya. Seperti contohnya di film “Cek Toko Sebelah”, dia itu terlihat sekali menulis sesuatu tentang hal yang sangat-sangat dia pahami. Kita bisa secara dengan emosional ikut terlibat. Kalau yang agak angkatan saya itu Salman Aristo, dia orangnya pintar. Istrinya Salman Aristo, Gina S. Noer, dia juga hebat ketika kemarin dia menulis “Posesif”. Saya ketika menonton “Posesif” itu, saya rasa agak gila ya karena pasti risetnya serius. Karena kelihatan sekali dari perkembangan karakter, seperti apa orang yang posesif itu dan tidak mungkin jika hanya mengarang. Jadi pasti memang ada riset dan pendalaman yang serius, dan hal itu terasa di dalam skenarionya. Pintar dia, bisa terasa sekali.

Dan memang asosiasi penulis sedang diaktifkan lagi. Sebenarnya sudah lama ada asosiasi bernama PILAR (Penulis Indonesia Layar Lebar) itu sekian tahun tidak ada kegiatan, kemarin ini pemilihan lagi pengurus dan diketuai oleh Salman Aristo. Tiba-tiba punya inisiatif untuk mengundang lagi penulis-penulis yang pernah menulis untuk layar lebar. Ternyata jumlahnya ada 70an, banyak sekali. Tapi memang 70 itu memang tidak semuanya produktif atau sangat aktif. Ya tapi sejauh ini memang 3 nama itu yang menonjol menurut saya.

V

Apa rencana untuk proyek ke depan?

J

Ke depannya ada komedi. Saya mencoba komedi action. Ini yang gagasannya lagi-lagi dari produsernya. Judulnya “Awas Ada Copet”, unik, karena tokohnya justru pencopet yang seperti Robin Hood, yang mencopet untuk menyumbang. Idenya hanya sebatas itu, saat ini saya sedang mengembangkan cerita, saya sedang mencari legitimasi agar penonton dapat tetap bersimpati kepada tokoh copet ini. Ada juga proyek bersama sutradara “London Love Story”. Kali ini dia menggagas sendiri ceritanya, obsesi dia lah. Tentang keluarga yang waktu nikah miskin, setelah menikah menjadi sukses, tapi setelah sukses ternyata ada saja masalahnya. Ini akan dibuat semi-komedi. Filmnya akan mengenang lagi kenapa dulu mereka bisa mesra, intinya me-refresh perkawinan. Tapi bagian komedinya belum kita bahas mau sejauh apa. Dan ada satu lagi tapi masih rahasia dan masih belum mulai sama sekali. Ada juga kemarin yang menawarkan dari novel tapi masih belum dibicarakan lagi.whiteboardjournal, logo