Ekofenomenologi bersama Saras Dewi

13.07.16

Ekofenomenologi bersama Saras Dewi

Febrina Anindita (F) berbincang dengan Saras Dewi (S)

by Febrina Anindita

 

F

Kapan Saras mulai tertarik dengan filsafat?

S

Saya kenal filsafat pertama kali otodidak membaca buku Plato saat SMA, sekitar umur 17 tahun. Dulu waktu sekolah, saya cukup menyebalkan karena suka bertanya dan mengkritik hingga suka berdebat dengan teman. Teman saya sampai protes, “Kenapa segalanya harus dikritisi?” Saya sempat merasa apakah saya outsider karena tidak lazim mendapati orang seperti saya yang selalu ingin tahu. Jadi saya berpikir cukup lama, hingga saya ingin kuliah yang memungkinkan untuk meneruskan semangat kekritisan saya. Akhirnya saya mengambil kuliah filsafat di tahun 2001, walau sebenarnya ada ketertarikan dengan bidang arkeologi dan sejarah. Belum selesai kuliah, saya ditawarkan untuk jadi asisten dari dosen yang saya sangat teladani. Lalu saya mendapat tawaran untuk mendapat beasiswa S2 ikatan kerja di umur 23. Setelah lulus, saya mengajar cukup lama, lalu saya melanjutkan S3 yang selesai di tahun 2012 kemarin.

F

Dari sekian banyak ilmu, apa yang membuat Saras memilih filsafat untuk didalami hingga tingkat doktoral?

S

Secara lintas disiplin sih saya belajar arkeologi, sejarah, linguistik dan kebanyakan ilmu budaya lain yang saya sukai. Tapi saya sudah merasa fisafat seperti panggilan hati saya, semacam cita-cita. Dulu saya dari Bali datang ke Jakarta dengan tekad untuk mengambil sekolah filsafat pun dipertanyakan oleh keluarga saya, tentang apa profesi saya nantinya setelah lulus. Waktu itu saya belum memiliki ambisi dan lebih memilih untuk mengikuti insting dalam mengambil sekolah yang bisa membuat saya bahagia.

F

Saras menguasai filsafat timur dalam kajian yang luas. Mengapa memilih filsafat timur?

S

Filsafat Timur di departemen filsafat kampus saya ini juga mengalami pergulatan. Di sini ada kecenderungan kalau ditanya apa itu filsafat pasti diidentikkan dengan filsafat Barat. Saya juga dididik dengan sistematika Barat dengan pelajaran seperti filsafat Yunani Klasik, filsafat modern di Eropa, juga filsafat kontemporer di Perancis. Tapi bila sesungguhnya kita ingin menggeluti filsafat, kita harus tahu bahwa narasi pengetahuan itu banyak macamnya. Sayangnya filsafat Timur ini tidak tersentuh, sedangkan banyak sekali subjek pembahasan yang belum dikuasai di departemen filsafat pada saat itu.

Dulu saya bilang ke almarhum guru saya, I Wayan Suwira bahwa saya ingin skripsi saya tentang Upanishad karena dalam studi filsafat India, Upanishad itu bagian khusus seperti mistisisme; seperti Sufisme dalam Islam. Dalam kajian teologi Islam, Sufisme sudah cukup banyak ditulis oleh orang, mulai dari Rumi hingga Ibn Arabi. Saya merasa bahwa filsafat India masih sangat sedikit kajian spiritualitasnya. Sampai sekarang, Upanishad pun masih belum banyak yang menulis. Jadi saya merasa sedikit kecewa dengan perkembangan pengetahuan pemikiran Timur, karena kajian Upanishad masih minim peminat. Bisa jadi ini terjadi karena topik ini terlalu sulit atau sumber, kajian, diskursus tentang Upanishad yang juga tak mudah ditemukan. Jadi, saya masih ingin menerbitkan pengantar tentang Upanishad dan filsafat India secara umum.

F

Filsafat Timur identik dengan kuatnya elemen rasa yang lebih relatable terhadap manusia daripada filsafat Barat yang identik dengan akal. Apa yang yang membuat filsafat Timur memiliki karakteristik seperti itu?

S

Orang suka berpikir bahwa fisafat Timur adalah filsafat religi. Seperti filsafat Islam, sumber utamanya adalah Al Quran, padahal di dalamnya ada juga yang mengkritik Al Quran. Di filsafat India atau Timur juga ada pemikiran ateistik seperti Buddhisme yang mengkritisi cara orang hidup yang lepas dari ketergantungan dan memahami apa arti kesadaran untuk mencapai kebahagiaan.

Filsafat Barat memang identik dengan banyak berpikir dengan tokoh pionirnya Rene Descartes yang menekankan kalau pikiran adalah bukti kemanusiaan dengan kata-kata “Aku berpikir, maka aku ada.” Sedangkan di filsafat Timur, manusia digambarkan memiliki compassion dan intuisi untuk memahami sesuatu. Jadi pemahamannya berangkat dari rasa dan pengalaman manusia yang sifatnya tidak semuanya rasional dan hanya bisa dipahami secara subjektif serta individual.

F

Beberapa kali mengisi kursi pembicara dalam seminar hingga kuliah umum, Saras bicara tentang tradisi Nusantara pada masa lampau yang dikaitkan dengan filsafat. Apa hal yang seringkali terlewat oleh pemahaman publik mengenai falsafah sejarah Nusantara?

S

Sekarang kenusantaraan jadi topik yang hangat dibahas, tapi banyak juga yang menganggap apakah hal tersebut layak untuk disebut filsafat. Sementara pemikiran Nusantara itu banyak yang terserak dan tidak memiliki data untuk dibahas. Saya dan beberapa pengajar juga mempertanyakan sebenarnya filsafat Nusantara itu ada atau tidak? Kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu adalah kita belum bisa membuat struktur yang pas untuk mengkarakteristikkan apa itu Nusantara. Apakah hanya Jawa, padahal kepulauan kita luar biasa, lengkap dengan pemikiran tersendiri dari Sumatra, Kalimantan, Bali, Lombok, Papua dan lain-lain.

Saya rasa jika kalau ingin menyusun pemikiran Nusantara, hendaknya penyusunan itu dipahami secara kritis dan membuatnya secara ketat atau rigoris bukan semacam pemikiran lokal saja yang diturunkan secara lisan dari nenek moyang sampai generasi sekarang. Saya berpikir bahwa masyarakat Indonesia yang sangat plural dan multikultural punya latar belakang terhadap rasa perbedaan yang menurut saya merupakan sebuah ciri khas. Tapi saya masih berusaha membuat skema besar mengenai Nusantara. Sekarang yang saya lihat adalah justru kita butuh untuk melestarikan pikiran kedaerahan ini untuk dikritisi agar selaras dengan prinsip HAM, terutama yang berkaitan dengan perempuan, seperti sunat perempuan atau pandangan atas patriarkal yang harus dilawan. Tapi tidak semua pandangan daerah tidak harus dianggap terbelakang, justru sekarang; jika bicara tentang lingkungan hidup, apa yang saya temukan di kearifan lokal, ada rasa yang cukup tanggap dalam melihat relasi alam dengan manusia seperti apa.

Kita memahami Nusantara bukan sebagai satu kesatuan, justru dipandang sebagai gejala yang patut dipahami untuk mempertanyakan seperti apa identitas kita yang berlapis-lapis dan selalu bersinggungan dengan banyak perbedaan. Saya rasa fakta multikulturalisme bisa dijadikan ciri khas kalau mau bicara kenusantaraan. Menurut saya hal tersebut harus dibaca dengan kritis dan tidak sebagai fakta antropologis.

F

Tahun lalu Saras menerbitkan buku mengenai ekofenomenologi membahas relasi manusia dengan alam. Apa premis yang membuat Saras merasa perlu mengurai isu tersebut?

S

Buku ini dari hasil disertasi saya, tapi bagi saya masalah lingkungan hidup hanya bisa diubah dengan tindakan. Saya rasa harus ada kebijakan atau peran negara, komunitas serta masyarakat; desa dan kota, untuk melakukan penyelamatan lingkungan. Tapi saya berpikir bahwa, kalau kita ingin mereplikasi pemikiran lintas zaman untuk 5-10 tahun ke depan harus ada tradisi ilmu yang bekerja. Masalahnya, saya rasa di Indonesia, kajian lingkungan hidup tidak terlalu banyak. Saya bisa menyebutkan beberapa nama seperti, Sonny Keraf dan Emil Salim sudah menulis tentang etika dan filsafat lingkungan hidup sangat berpengaruh untuk saya tapi di luar dari itu, tidak terlalu banyak yang mencoba untuk menarik garis filsafat dari apa relasi manusia dengan alam.

Sederhananya, disertasi saya itu berusaha melihat ketidakseimbangan yang sekarang terjadi, salah satunya tentang deteriorisasi spesies. Kekayaan keragaman hayati akan hilang dan manusia merasa bahwa dirinya bisa seterusnya hidup seperti ini tanpa ada tanggung jawab. Saya menekankan elemen tanggung jawab karena berangkat dari pertanyaan mengapa manusia tidak menyadari punya tanggung jawab. Ternyata kalau hanya anjuran atau pendekatan etis, ternyata orang tidak terlalu terikat dengan apa yang mesti dilakukan. Mungkin jika bisa berpikir bahwa aku ada, karena alam ada, manusia jauh lebih tersentuh untuk memahami alam. Jadi saya mengangkat dimensi ontologis dalam buku ini.

Ironis penulisan ini jika saya berusaha untuk menyusun Heidegger, Merleau-Ponty hingga Husserl untuk memperkuat pengertian relasi manusia dengan objek atau alam, saya merasa bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia sudah menghidupi filsafat saya. Masyarakat kecil seperti Baduy dan Tenganan sudah hidup seperti itu, sedangkan kita selalu menganggap mereka seperti “Orang Lain” padahal mereka hidup secara utuh. Hal itu menjadi refleksi bagi saya bahwa pengetahuan akademis dan universitas harus bercermin ke masyarakat jika ingin memahami lingkungan hidup.

F

Bagaimana manusia seharusnya mulai beraksi terhadap relasi yang seharusnya sudah dibangun berdasarkan common sense?

S

Dengan menerapkan gaya hidup sederhana, karena memang gaya hidup ini sustainable. Menahan hasrat untuk mengkonsumsi yang kadang menggila. Saya juga manusia biasa yang maunya mengikuti alur konsumerisme di kota. Saya pun merasa gaya hidup konsumtif itu sebagai hal yang tidak bisa dihindari. Tapi saya berpikir bahwa gaya urban yang konsumtif itu justru membuat saya tak bebas. Dari situ, tiap kali saya mau terdorong untuk mengikuti gaya hidup itu, saya merasa ada bagian hidup saya yang terkungkung. Makanya saya terobsesi dengan orang-orang yang menggiatkan permaculture – orang-orang yang hidup di kota tapi tetap organik. Mereka bisa bertani di kota dan hasil pertaniannya dinikmati oleh banyak orang.

Kalau menonton revolusi Kuba, terlihat signifikan bahwa perkotaan di Kuba berubah setelah masa embargo karena relasi dengan Uni Soviet, mereka mengubah gaya hidupnya dengan permaculture. Bahkan beberapa tokoh Kuba jadi narasumber utama untuk penanaman organik di kota itu. Jadi saya rasa, kehidupan kota tidak harus kemudian identik dengan menghilangnya identitas individual kita. Kota selalu dianggap sebagai tempat industri dan modern yang orang-orangnya terasing satu sama lain layaknya di kubikel, yang saya rasa konsep kota tidak harus seperti itu. Tapi memang butuh paradigma baru untuk melihat kota yang jauh lebih sustainable dengan relasi antar masyarakat yang lebih hangat dan tidak merasa tertekan. Tapi saya rasa, hal itu butuh tata kelola kota yang punya paradigma hijau juga.

Kalau saya melihat masa depan kota harusnya ke arah sana. Karena pola kota yang kita hidupi sekarang tidak akan bisa bertahan lama. Kota yang sentralistik, menggerus banyak energi, lambat laun akan self-defeating. Kita akan kehabisan semuanya, pun manusianya akan jadi luar biasa tertekan secara psikologis. Jadi tipe kota sekarang ini tidak akan bisa bertahan, menurut saya. Tapi perubahan selalu mungkin terjadi.

F

Apa manifestasi terbaik dari relasi manusia dan alam yang patut dilakukan oleh kita?

S

Alam di mata saya bisa jadi menakutkan sekali, tapi di satu sisi alam memberikan begitu banyak anugrah, but we take it for granted. Saya rasa cara hidup yang berkesinambungan melibatkan kesadaran individu yang nantinya jadi kesadaran sosial untuk melestarikan lingkungan hidup. Jadi, saya masih merasa kalau tipe gerakan lingkungan hidup yang ada masih berupa himbauan dan anjuran yang tidak datang dari diri sendiri, maka kehancuran akan berlangsung terus-menerus. Karena mereka selalu membedakan manusia dan alam adalah dua epistemologi yang berbeda. Sedangkan dalam buku, saya menyatakan bahwa manusia dan alam adalah relasi yang tidak bisa dipisahkan. Manusia adalah alam itu sendiri. Alam terwujud dalam adanya manusia. Jadi, relasi yang saya maksud tidak memisahkan keduanya menjadi dua pengertian, justru saya berusaha melihat kalau manusia dan alam terkait satu sama lain.

Manusia itu kehidupannya ditentukan oleh alam. Kita tidak bisa serta merta bebas dari alam. Kalau ada keinginan untuk melampaui alam, sebenarnya itu adalah bagian dari ketakutan kita. Seperti Heidegger bilang, teknologi dibuat karena kita ingin selalu mengatasi alam. Kita takut sekali dengan kematian dan entropi yang ditunjukkan di alam bahwa semuanya akan membusuk, itu sangat menakutkan bagi manusia. Dan teknologi dibuat untuk melawan itu. Sebagian besar teknologi ingin melayani ambisi manusia untuk melampaui alam.

Bagi saya, kita harus memahami bahwa hidup dan kematian adalah bagian dari siklus manusia. Jadi kemanusiaan kita tidak bisa lepas dari kematian, dan kematian merupakan hal yang alamiah. Selama kita bisa memahami itu, menurut saya itu lebih bisa membuat orang bahagia, tidak tertekan untuk memikirkan kematian serta teknologi yang dibuat atau digunakan pun tidak akan arogan atau angkuh terhadap kekuatan alam. Jadi, tipe teknologinya sudah bisa berganti paradigmanya, justru bekerja sama dengan alam, seperti misalnya tenaga surya. Banyak sekali sekarang bermacam-macam teknologi yang bisa dikembangkan dengan paradigma ini.

Tapi itu utopis sekali ya (tertawa). Tesla salah satunya yang memiliki ide mobil listrik dan renewable rocket. Jadi, sebenarnya kita bukan tanpa harapan (tertawa).

F

Bagaimana kita menemukan sisi spiritual dibalik tiap relasi yang terbangun antara manusia dan alam?

S

Kalau kita berada di tengah alam, ada hal yang sangat menarik dan membuat kita tremendum atau tergetar. Tapi saya rasa itulah pengalaman spiritual yang paling tinggi. Ketika kita menyadari bahwa kita berada di antara alam yang megah namun menakutkan. Menurut saya orang beruntung jika sudah mencapai tingkat spiritual seperti itu.

Menurut saya, bila saya merefleksikan itu, bahwa spiritualitas manusia berada di tengah-tengah alam itu sedang tergerus mulai dari hutan di Sumatra dan Kalimantan yang tergerus membuat saya sadar bahwa saat menghilangnya ruang spiritual ini berdampak pada kerugian manusia. Manusia kehilangan kesempatan berada dalam keadaan yang sublim dengan alam.

F

Seromantis apa hubungan manusia dengan alam?

S

Saya rasa, ketika saya menulis disertasi tentang ekofenomenologi saat itu saya sangat rasional. Saya melihat tanggung jawab itu datang dari akal budi, tapi ada tanggung jawab yang benar-benar berbeda waktu kita benar-benar merasakan alam. Waktu saya menulis itu bersamaan dengan proyek reklamasi Teluk Benoa, geliat menulis saya sangat berbeda ketika melihat alam yang sedang dihancurkan ini bukan hanya sebatas diskursus teoritis saja, karena secara nyata pesisir, hutan dan tanah di Indonesia sedang dijarah habis-habisan. Jadi cuma sikap romantis sebenarnya; menurut saya, yang dibutuhkan agar masyarakat Indonesia dapat romantis dengan alam, sehingga ada rasa sayang, memiliki dan cinta dengan alam.

F

Apa rencana Saras tentang mensosialisasikan ekofenomenologi ke publik?

S

Saya berusaha, selain penggiatan pelestarian lingkungan bukan hanya dari membaca buku, tapi dari kesadaran individu. Misal mereka yang menolak memakai plastik hingga rela tidak membeli minuman kemasan untuk mengurangi konsumsi plastik. Mereka yang bercocok tanam untuk mengatur apa yang mereka konsumsi menurut saya itu merupakan tindakan individual yang menular dan jadi gerakan sosial baru.

Saya tetap merasa, di luar dari berfilsafat lingkungan hidup, harus ada rindakan riil. Bagaimana cara untuk mengkampanyekannya adalah dengan menghidupinya.

F

Apakah ada proyek yang sedang Saras siapkan?

S

Saya ingin menulis fiksi, karena saya sudah lama sekali tidak menulis sastra. Selain itu saya mau membuat essay menarik yang bisa dibaca masyarakat luas, bukan hanya buku teoritis. Saya ingin lebih banyak riset dan mengabdi pada masyarakat.whiteboardjournal, logo