Melukis Musik bersama Jimi Multhazam

02.12.15

Melukis Musik bersama Jimi Multhazam

Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan seniman dan musisi Jimi Multhazam (J).

by Ken Jenie

 

H

Dikenal sebagai musisi dan seniman, mana yang datang lebih dulu kepada sosok Jimi Multhazam di masa kecil?

J

Seni datang lebih dahulu, aslinya emang di seni rupa. Sedari kecil orang tua mendidik saya ke arah itu. Mungkin, mereka melihat saya ada bakat disitu. Jadi diarahkan kesana. Dalam konteks musik, mungkin cuma abang saya yang bermain gitar, tapi tak lebih dari itu.

H

Ini cukup unik, apalagi di era itu, orang tua Jimi sudah memiliki kesadaran untuk mengarahkan anaknya ke bidang seni…

J

Terutama mungkin dari ibu, setiap kali ada tamu atau pergi untuk ngobrol dengan teman atau saudara, beliau selalu membekali saya lembaran kertas gambar dan spidol untuk saya. Mungkin tujuannya supaya saya anteng, tidak lekas bosan atau rewel. Tapi memang saya ternyata memiliki ketertarikan lebih pada bidang ini, bukan bidang lain. Meskipun begitu, orang tua saya sebenarnya tidak terlalu mengerti perkembangan dunia seni rupa. Istilahnya mungkin mereka melihat hobi seni ini lebih murah daripada main lego (tertawa), hanya seperti itu saja.

Baru ketika lulus SMA saya mulai mencari lagi seperti apa sebenarnya seni yang ingin saya dalami. Sempat saya tes ke ITB, tapi setelah dilihat lagi saya merasa ada kecocokan yang lebih dengan IKJ. Awalnya saya masuk jurusan desain grafis, karena dari orang tua ada dorongan untuk bisa hidup mandiri meski masuk ke seni rupa. Di SMA, saya juga mulai mengenal musik, ini menjadi gerbang saya untuk belajar lebih banyak mengenai seni grafis, dengan artwork-artwork musik menjadi referensi utama.

H

Meski seni rupa lebih awal dalam menjadi bagian hidup Jimi, justru persona Jimi sebagai musisi yang keluar lebih dulu ke khalayak umum, kenapa begitu?

J

Sebenarnya saya memiliki hubungan yang juga cukup unik dengan musik. Saya tidak pernah kena dengan musik anak-anak. Mungkin ini ada hubungannya dengan kakak saya yang gemar memutar lagu dari Rolling Stones, Beatles, atau The Police sedari saya SD. Jadi semenjak kecil saya merupakan penikmat musik. Saya mulai menikmati genre New Wave dari masa itu. Ketika SMP mulai mendengar heavy metal, mulai dari KISS, juga Twisted Sister, standar sih. Tapi kena banget pas kenal sama Van Halen, dengan David Lee Roth, itu yang membuat saya ingin bermain musik. Meski ternyata agak susah untuk main musik seperti itu.

Saat SMA, baru saya mengenal punk rock. Ketika itu saya mendengarkan persilangan thrash metal dengan punk rock melalui Metallica, ini semakin mempersulit keinginan saya untuk bermain musik, karena untuk jadi gitaris harus shredder. Untungnya saya kemudian mendengarkan The Dehumanizers, kordnya tidak banyak, bahkan saya bisa mengulik lagu-lagunya. Dari situ saya merasa benar-benar menemukan apa yang saya cari, melalui punk rock a la The Dehumanizers, saya bisa bikin lagu. Akhirnya mulai main band-saat itu saya bermain bass dan mulai menulis lagu dan lirik. Dan kayaknya semenjak itu saya ketagihan bermain musik hingga sekarang.

Di tengah masa kuliah, saya pindah jurusan dari desain grafis ke fine art. Saat inilah saya merasa bahwa di bidang seni rupa, ada banyak tahapan yang harus dilewati sebelum karya saya bisa sampai ke publiknya. Sebuah seni rupa karya harus melalui pameran, diskusi, kurator dan segala macam prosedurnya, baru setelah semua terlewati, karya sampai pada publik. Itu proses yang terlampau lama bagi saya. Apalagi saya memiliki banyak sekali ide yang ingin saya sampaikan. Melalui musik, saya bisa menuangkan kegelisahan saya dengan tahapan yang lebih singkat pada publik. Di dalamnya pula, saya tetap bisa berkarya visual, misalnya dengan mendesain kover, poster hingga t-shirt.

Saya bisa mendobrak batasan segala birokrasi seni rupa melalui musik, pesan bisa sampai dengan lebih gampang, dan saya bisa menyampaikan gagasan saya secara berulang kepada masyarakat. Ini yang saya cari.

H

Bisa diceritakan masa-masa bermusik di IKJ, karena Jimi dengan Bequiet dan The Upstairs saat itu menjadi bagian dari era keemasan musik yang muncul kampus itu?

J

Berkembangnya musik di IKJ sebenarnya tak lepas dari kegiatan seni rupa yang menjadi makanan sehari-hari di sana. Hidup di kampus kesenian dengan tumpukan tugas sehari-hari cukup membuat kami suntuk, bermain musik adalah salah satu bentuk relaksasi kami dari deadline tugas tadi, biar nggak cepet gila. Event musik IKJ dulu awalnya adalah acara iseng-iseng mainin alat musik yang nganggur di pojokan kampus, kecil-kecilan. Jamming, tapi seru. Dan meski kita cuma main di pojokan kampus, dekorasinya selalu meriah. Sisa set teater, lampu, sampai sofa kita set di panggung, trus anak desainnya bikin poster buat disebar di kampus. Semuanya senang-senang aja, tapi energinya besar, dan seru. Akhirnya saya ikut aktif disitu, untungnya kuliah juga kelar.

H

Nama-nama yang mencuat dari scene IKJ saat itu didominasi dengan konsep vintage, apakah ada penggerak yang mengarahkan tren ke sana atau gimana?

J

Sebenarnya tidak ada satu arahan khusus untuk gaya yang ingin ditampilkan, tapi sepertinya kami memiliki kesadaran kolektif, dimana kami ingin melawan tren yang ada saat itu. Di saat dimana semua berlomba-lomba menjadi yang paling modern, maka kami justru memilih untuk tampil dengan logika terbalik, yakni dengan mengangkat gaya lama. Dengan gaya yang berkebalikan ini, kami justru bisa menonjol. Menjadi vintage jadi lumayan nyentrik diantara tren industrial rock yang ada saat itu. Saat latex dimana-mana, gaya new-wave pasti akan menonjol. Pertimbangan kami itu saja sebenarnya. Tidak ada niatan untuk mengejar konsep retro, karena kalau kesana agak mahal, butuh modal. Jadi misinya sederhana, untuk melampaui tren yang ada, dengan mengagkat gaya lama, yang siapa tahu bisa menjadi hal baru. Begitu saja.

H

Gimmick lumayan kuat di era The Upstairs, melalui gaya pakaian dan semacamnya, tapi ketika di Morfem, sepertinya semua lebih casual, kekuatan utama ada pada musik dan lirik. Apakah ini merupakan pertanda bahwa Jimi capek dengan gimmick, bahwa di titik tertentu, gimmick malah jadi batasan?

J

Ini bukan hal yang baru, sebelum The Upstairs, saya juga bermain di Bequiet yang konsepnya casual juga. Tapi di The Upstairs, saya bereksperimen dalam melakukan apa yang saya tidak suka, ini bahkan sebelum saya tahu bukunya Paul Arden (Whatever You Think, Think The Opposite). Jadi ketika di The Upstairs saya mencoba untuk bermain di luar area yang saya telah jelajahi. Cukup lama mendengar dan bermain dengan pedal efek fuzz di scene hardcore/punk, mulai dari tahun 1997 sampai 2000 kami bermain tiap minggu, tidak ada namanya dandan atau wardrobe, bahkan kami tampil tidak dibayar. Capek juga lama-lama. Di the Upstairs, saya berusaha melawan kebiasaan dengan mengeluarkan sisi flamboyan saya.

Lantas dari situ, file-file lama di ingatan masa kecil ketika saya dengerin Tom Tom Club, Fun Boy Three, DEVO, dan tentu saja A Flock of Seagulls kembali terbuka. Dengan dasar pemikiran tadi, yakni ingin tampil berbeda sekaligus menonjol. Dan, ternyata berhasil.

Secara musik sebenarnya saya melihat The Upstairs tak terlalu jauh dengan akar musik punk rock saya. Hanya dengan penggunaan pedal efek yang berbeda dan lebih banyak. Drum yang biasanya bunyinya kering, lalu kita kulik supaya suaranya lebih sintetis. Saya yang dulunya jijik dengan keyboard, lalu memberanikan diri menambah instrumen ini di musik The Upstairs. Perpaduan ini menghasilkan bebunyian ruang angkasa yang cukup terbalik dengan apa yang saya biasa mainkan.

Ketika kemudian The Upstairs meledak banget, manggung dimana-mana, lalu muncul konflik-konflik standar band. Disitu saya melihat The Upstairs mulai stagnan, dan kebosanan saya keluar kembali disini (tertawa). Mulailah saya memakai logika terbalik saya lagi. Di Morfem, saya pengen mengeksplor lirik. Awalnya justru saya membayangkan bahwa Morfem ini sebagai band folk, pengennya seperti The Vaselines, distorsi hanya digunakan sebagai aksesori dari lirik. Tapi ternyata personil yang saya ajak karakternya brutal dan liar, maka jadilah Morfem seperti yang sekarang.

H

Tapi banyak yang bilang justru lirik terbaik Jimi adalah pada saat di era The Upstairs…

J

Mungkin orang kadung dengerin The Upstairs dulu, jadi mikirnya gitu. Tapi emang saya pakai dua pendekatan yang berbeda untuk The Upstairs dan Morfem. Di The Upstairs, saya pakai gaya yang lebih puitis, ada gaya diksi yang berbeda. Di Morfem, saya lebih mengutamakan permainan sekaligus pemilihan tema. Sebenarnya, di The Upstairs tema-temanya sangat biasa, tapi saya bermain-main dengan analogi, dan gaya bahasa. Di Morfem kebalikannya, temanya lebih khusus, tapi bahasanya lebih sehari-hari, cenderung straight forward.

H

Darimana kecerdasan penggunaan Bahasa Indonesia ini muncul?

J

Saya sering menulis sejak kecil. Saya juga selalu menikmati tugas mengarang ketika di sekolah. Bahkan saya akan dengan senang hati mengerjakan tugas mengarang untuk teman-teman yang biasanya paling malas untuk mengerjakan tugas menulis ini. Dulu sering bikin cerita pendek, meski saat itu topiknya masih tentang robot, dengan nama-nama yang norak, saya jadi agak malu kalo mengingatnya sekarang (tertawa). Pengennya bikin komik sebenarnya, bikin cerita, tapi dengan ada gambarnya.

Dalam pemilihan tema, sering muncul cerita yang menarik dari keseharian. Seperti ketika menulis lirik “Pilih Sidang atau Berdamai”, itu kisah yang saya alami sendiri. Ketilang polisi karena menerobos lampu merah, lalu harus bayar “upeti” buat oknumnya dimasukin ke kotak di pos. Karena banyak yang kena tilang, saya lalu hanya pura-pura memasukkan uang ke dalam kotak, padahal cuma nutup kotak aja, dan nggak ketahuan (tertawa). Dari situ saya mengingat-ingat bagaimana saja pengalaman saya ketika ditilang, yang ternyata cukup sering saya alami. Mulai dari oknum yang sembunyi-sembunyi, sampai kena tilang dua kali berturut-turut, semua pengalaman itu lalu saya susun jadi lirik lagu.

H

Bagaimana Jimi melihat banyak band muda sekarang yang lebih nyaman menulis dengan Bahasa Inggris ketimbang dengan Bahasa Indonesia? Apa sebenarnya yang bisa dilakukan bagi mereka yang ingin menulis lirik dengan bahasa sendiri?

J

Ini permasalahan lama. Saya pun dulu di Bequiet juga menulis dengan Bahasa Inggris. Kalau di jaman saya, ada ketakutan ketika harus menulis lirik dengan Bahasa Indonesia, nanti akan terdengar cheesy. Apalagi gaya menulis lirik Bahasa Indonesia yang keren sudah dimonopoli oleh Slank dan Iwan Fals di era itu. Misalnya kalau pakai “lo, gue” jadi seperti Slank, kalau mau protes ntar kayak Iwan Fals, cukup susah mencari gaya baru sekaligus titik tengah di kondisi yang demikian. Lirik Bahasa Inggris menjadi pelarian yang paling gampang untuk dipikirkan. Karena Bequiet besar di kampus seni, kami juga memiliki keberanian untuk agak nyeleneh, jadi sekalian aja lirik kami ketika itu broken english. Ngehe sekalian. Tapi ternyata di Bahasa Inggris pun, sampai sekarang saya masih sering menemukan lirik yang kacau juga di band-band baru.

Satu momen pertama yang saya pikir cukup sukses bagi saya untuk menulis lirik dalam Bahasa Indonesia adalah untuk lagu “Kami Ingin Taman yang Asri”. Lirik ini juga berdasarkan pengalaman saya pribadi. Jadi dulu, di sekitar rumah saya di Jatinegara ada sebuah taman, yang kalau malam berubah jadi tenda biru mesum. Padahal saya melihat harusnya taman ini keren, bisa dibuat tempat gigs, dan semacamnya, tapi malah jadi tempat prostitusi. Pengamatan ini lalu saya tuangkan menjadi lirik. Sayangnya keberhasilan saya menulis tak berlanjut, beberapa kali mencoba nulis Bahasa Indonesia, ternyata gagal. Kemudian Bequiet kembali menggunakan Bahasa Inggris untuk lagu-lagunya.

Tapi trigger utama saya untuk menulis lirik Bahasa Indonesia yang bagus muncul ketika saya mendengarkan lagu dari band junior saya di kampus, Kebunku. Di lagu “Hey, Cantik” mereka seperti menampar saya dengan lirik yang sederhana tapi enak di telinga. Mengingatkan saya pada Netral era Miten. Ketika kecil, kakak saya sering memutar lagu dari Guruh dan Dodo Zakaria, mereka band pop tapi liriknya keren, dan memori tentang ini tersimpan di kepala saya. Kebunku dengan “Hey, Cantik” membuka kembali ingatan saya mengenai lirik yang baik itu seperti apa. Hanya dengan kalimat sederhana “Hey, cantik mau kemana” Kebunku membuat saya terpacu untuk membuat lagi lirik berbahasa Indonesia yang enak.

Pada era awal The Upstairs masih pakai Bahasa Inggris, masih ingat kan “Mosque of Love”? itu lagu liriknya jeleknya minta ampun. Di album kedua baru keluar, lalu jadi ketagihan. Saya juga kemudian bisa mengambil berbagai gaya berbeda di lagu-lagunya. Udah mulai belagu, sok-sokan main rima. Padahal saya tidak pernah mendapatkan pendidikan bahasa yang mendalam, justru saya lalu tahu rima dan semacamnya dari beberapa diskusi mengenai lirik dimana saya diundang menjadi salah satu narasumbernya. Anak-anak kampus itu bahkan membahas lirik saya dengan berbagai pemahaman yang cukup canggih, dimana saya sendiri tak tahu kalau lirik saya bisa diulas sedemikian mendalam.

Saya melihat teman-teman yang masih kesusahan menulis lirik Bahasa Indonesia itu mungkin masih macet di tema, takut norak, mungkin juga ada yang kagok karena ingin menulis lirik depresif padahal kehidupannya seneng-seneng aja. Ini lumayan bikin bingung. Saya memahami ini sebagai proses sebenarnya. Saya melihat generasi sekarang punya banyak referensi lirik yang bagus, ada Sore, Efek Rumah Kaca, juga yang baru Silampukau, kita bisa sama-sama belajar dari lirik-lirik mereka. Sama halnya seperti ketika saya belajar dari Netral.

Saya merasa cukup beruntung memiliki latar belakang seni rupa. Dengan background ini, saya bisa mengatur komposisi lagu beserta liriknya layaknya ketika saya mengatur warna, gambar, dan layoutnya. Pemahaman ini saya terus gunakan hingga sekarang.

Kuncinya, untuk bisa menulis lirik Bahasa Indonesia yang baik, kita harus ingat bahwa Bahasa Indonesia punya banyak sekali pilihan kata. Belajar dari pengalaman. Juga untuk lihai dalam memilih tema, bikin suasana yang sesuai dengan lagunya. Dengan begitu pendengar akan terbayang theater of mind sendiri ketika mendengarkan lagu kita.

H

Jimi cukup lama berada di scene musik, bagaimana melihat perbedaan perkembangannya di era dulu dan sekarang?

J

Sekarang semuanya lebih mudah untuk dilakukan. Dulu, menjadi independen itu merupakan perjuangan tersendiri. Dan berawal dari keterbatasan. Digital juga belum ada. Rekaman adalah sebuah proses yang tak mudah dan mahal. Untuk punya pita rekaman sendiri, harus membayar 1,5 juta, yang ketika itu bukan jumlah yang sedikit. Dan harga segitu pun kita akan dapat pita bekas rekaman dangdut. Sangat kerja keras. Tapi dengan begitu orang akan lebih total dalam berkarya, karena tahu pengorbanannya seperti apa.

Rekaman semakin mudah sekarang, bikin rilisan juga semakin gampang, belum lagi segala kemungkinan melalui sosial media. Jika dulu pertimbangannya adalah dimana tempat yang tepat untuk menempel poster supaya banyak yang lihat, sekarang pertimbangannya adalah gimana supaya postingan lebih banyak yang like, gimana supaya viral. Tapi dengan segala kemudahan ini, sepertinya banyak yang belum tahu bagaimana caranya untuk memanfaatkannya menjadi tools buat mereka. Sayangnya disitu. Ada juga sering band sekarang yang kehilangan momentum gara-gara keasyikan di studio. Saya sendiri bersama Morfem tak ingin lama-lama dalam mengeluarkan materi baru, sikat-sikat aja. Dan kalau sudah jadi harus segera dikeluarkan, daripada berkerak di kepala, gak peduli orang mau bilang apa.

Mungkin tahun depan harusnya kemungkinannya semakin besar bagi band-band muda untuk tumbuh semakin besar. Karena secara karya sebenarnya banyak yang lebih gila daripada yang dulu-dulu. Saya melihat Kelompok Penerbang Roket dan Barasuara punya potensi untuk muncul sebagai calon Beatles dan Rolling Stones nya musik Indonesia dengan karakter mereka masing-masing. Sepertinya akan seru kalau begitu.

H

Dari pengamatan saya, dua band yang Jimi sebutkan membuka kemungkinan untuk menyatukan scene independen dan mainstream, bagaimana Jimi melihat keadaan yang demikian?

J

Ini hal yang positif. Karena sebenarnya dari dulu, kita saling belajar dan mencuri ilmu. Anak independen mencuri ilmu pemasaran dari mainstream, anak mainstream belajar gaya musik dari anak independen. Dan ini lumrah. Misalnya setelah The Upstairs meledak dulu ada satu band yang mencontoh kacamata dan gaya musiknya di lagu “Gayamu yang maksimal..mal..mall” itu (tertawa). Saya tidak melihat itu sebagai masalah. Sebenarnya kalau melihat lagu “Cinta Melulu”nya Efek Rumah Kaca, kita pasti paham bahwa sebenarnya lagi itu pun juga mendayu-dayu, dan mungkin itu juga salah satu faktor mengapa lagu itu sukses.

Saya sendiri melihat pasar sekarang sudah memiliki pemahaman tentang mana yang benar-benar independen mana yang meniru independen.

H

Jimi memiliki energi yang cukup besar di musik, aktif bikin gigs, aktif bikin album, bahkan di kerjaan pun Jimi juga masih sangat berhubungan dengan musik. Apa sebenarnya yang ingin dicapai?

J

Di Morfem sedari awal saya emang punya cita-cita bahwa setiap tahun harus rilis album. Dan kebetulan juga anak-anaknya bisa diajak kesana. Saya melihat musik adalah tempat untuk bersenang-senang. Mulai dari rekaman, bikin artwork, rilis party itu semua fun. Belum lagi kalo tur, itu paling fun. Jadi harus sering-sering dilakukan dan diagendakan. Lebih dari itu, musik adalah kanvas buat saya. Jika orang bilang saya musisi, sebenarnya tidak terlalu tepat, karena saya memperlakukan musik sebagai sebuah lukisan. Dimana saya melukis gambar di kepala pendengar melalui musik dan lirik yang saya ciptakan. Musik adalah proyek seni rupa saya.

H

Belakangan Jimi mulai menjadi produser untuk band lain, apakah ke depan bakal lebih serius dalam menjalani peran ini?

J

Saya menjadi produser The Kuda karena saya menyukai musik mereka. Juga karena saya tahu sebenarnya bagaimana arah yang ingin mereka capai melalui musiknya. Yang selama ini belum terwujud karena keterbatasan dana dan semacamnya. Cukup puas melihat mereka senang dengan hasil rekaman yang saya produseri itu. Saya juga memiliki misi untuk memperluas jangkauan musik yang saya gemari ke khalayak yang lebih luas, karena saya tidak mau musik bagus hanya didengarkan oleh komunitas kecil. Misi ini cukup berjalan di album The Kuda, dimana musik mereka kini tak hanya menjadi konsumsi anak hardcore punk saja, tetapi juga anak indie rock dan semacamnya.

Saat ini, saya sedang mengerjakan proyek bersama band Surabaya, Baragula. Sekali lagi karena saya suka lagunya. Saya tidak akan menjadi produser buat band prog! Karena saya tidak pernah paham musiknya (tertawa). Menjadi produser, terutamanya untuk band lain adalah area baru yang cukup menarik bagi saya jelajahi. Bertemu seniman ajaib dengan segala kemauannya adalah hal yang seru.

H

Apa rencana Jimi ke depan?

J

Kalau pameran saya sedang mempersiapkan duet dengan seorang seniman, sayangnya saya belum bisa ceritakan lebih lanjut, karena masih belum ada kepastiannya. Untuk musik, harusnya album Morfem rilis tahun ini, tapi sepertinya baru tahun depan rilis. The Upstairs paling baru pertengahan tahun depan bikin lagu lagi. Sama palingan jadi produser buat beberapa band.

H

Tidak ada keinginan untuk misalnya pulang kampung terus bikin lagu folk dengan tema-tema non urban, karena sejauh ini karya Jimi selalu lekat dengan perkotaan…

J

Bisa juga sih mungkin suatu saat nanti. Mungkin saya akan pulang ke Sumatra terus bikin lagu folk di sawah atau pegunungan. Sepertinya akan menjadi area yang seru untuk dijelajahi di hari tua (tertawa).whiteboardjournal, logo