Musik Di Balik Layar bersama Indra Perkasa

31.08.16

Musik Di Balik Layar bersama Indra Perkasa

Febrina Anindita (F) berbincang dengan komposer Indra Perkasa (I)

by Febrina Anindita

 

F

Seperti apa pengalaman pertama Indra mendengarkan musik?

I

Kalau ditarik dari awal, saya pernah ikut kegiatan marching band di kuil. Itupun sebenarnya dipaksa (tertawa). Saat itu saya sempat les piano sebentar, sekitar 3 bulan, namun ternyata saya tidak menyukainya (tertawa). Baru mulai mendalami musik lagi saat SMP mau ke SMA lewat ekstrakulikuler dan band. Awalnya saya main gitar dan saat itu semuanya di band main gitar (tertawa), tapi lama kelamaan saya jadi mau coba main bass. Lalu saya mulai les bass dan akhirnya tertarik kuliah musik.

Di tengah kuliah musik itu, wawasan saya dibuka, mulai dari harus mempelajari musik klasik dan lain sebagainya. Dari situ, saya tertarik dengan film scoring. Kalau nonton film dengan musik John Williams atau Danny Elfman di film-film Tim Burton selalu berkesan buat saya. Danny Elfman adalah salah satu alasan yang membuat saya suka dengan film scoring.

F

Di umur yang muda, Indra mulai mengenal instrumen musik berupa baritone horn melalui kegiatan marching band. Apa hal yang mendorong Indra untuk mendalami instrumen tersebut?

I

Awalnya saya main terompet (tertawa). Cuma, alat brass kan punya mouthpiece, nah kalau tidak salah bibir saya saat itu terlalu tebal (tertawa). Sedangkan kalau pemain terompet harus punya bibir tipis dan tiupan saya memang tidak bisa mencapai range tinggi, jadinya saya beralih ke baritone horn. Dari baritone horn saya beralih main tuba, bahkan pernah main bass drum juga (tertawa). Ternyata saya memang suka main alat musik yang berfrekuensi rendah. Sekarang saya mainnya bass (tertawa).

F

Bagaimana perkenalan Indra dengan contra bass?

I

Setelah SMA, saya sempat les musik di Farabi karena ingin mengambil kuliah jurusan musik. Saat kuliah, saya konsultasi dengan Tjut Nyak Deviana Daudsyah, salah satu tokoh jazz senior yang juga merupakan rektor institut musik di Jerman, kalau saya akan mengambil ambil major bass. Saat itu kurikulumnya mengharuskan saya belajar jazz, lalu beliau menyarankan kalau mau belajar bass, ya sekalian dari empunya (tertawa).

Tentunya saat ingin belajar jazz, harus belajar contra bass. Dengan itu, saya lalu mencoba dan ternyata instrumen ini memang jauh lebih susah untuk dimainkan (tertawa). Tapi lama kelamaan saya ketagihan karena suara yang dihasilkan akustik, dan benar-benar dapat resonansi asli dari body contra bass. Sejak itu hampir tidak pernah menyentuh bass elektrik (tertawa). Ya, kecuali kalau di rumah untuk isi rekaman. Tapi begitu sudah menemukan enaknya contra bass, susah berpaling (tertawa).

F

Indra menyelesaikan sekolah musik untuk mendalami contra bass dan memiliki ketertarikan dengan musik jazz. Apa yang Indra lihat dari genre ini sehingga ingin mendalaminya seperti sekarang?

I

Awalnya sih, mungkin waktu itu karena masih awam. Saat itu pilihannya antara kuliah musik jazz atau klasik. Bagi saya, jazz tidak terlalu menakutkan jika dibandingkan dengan musik klasik, pada saat itu. Selain itu, saya merasa jazz lebih fleksibel dan ilmunya lebih mudah diaplikasikan ke kehidupan nyata. Dan yang saya suka di jazz, kita dilatih untuk spontan dan melakukan improvisasi; tapi bukan yang asal-asalan, ada teorinya. Enaknya di jazz kita tetap fleksibel dan luwes. Itu yang saya suka. Jadi jazz mengajak kita untuk belajar berekspresi dan spontan.

Komposisi itu kan sebenarnya improvisasi yang ditulis. Jadi sebenarnya ketika sudah menguasai dasar improvisasi, itu sangat membantu dalam membuat komposisi. Karena awalnya improvisasi dulu, lalu dieliminasi bagian yang tidak enak. Yang bagus diambil, lalu dirangkai jadi satu kalimat. Bedanya kalau pemain jazz tidak menulis improvisasinya, mereka main spontan di panggung, sedangkan komposisi direncanakan. Jadi, walau dasarnya jazz, output-nya sangat luas dan kebetulan saya juga merasa cocok. Meskipun pada akhirnya saya belajar literatur klasik juga saat mendalami komposisi, tapi berangkatnya memang dari pintu jazz.

F

Bersama dengan Adra, Nikita dan Zulham, Indra tergabung dalam grup Tomorrow People Ensemble (TPE) yang hadir dengan genre jazz yang kental. Apa latar belakang unit ini?

I

Kami saat itu sama-sama sedang belajar dan ingin main saja sih. Kami tidak terlalu mau bermain musik jazz konservatif karena di sekolah, kami sudah belajar tradisional, sedangkan kami mau proyek yang refreshing, dalam arti jamming atau main-main saja. Ya, memang output-nya jadi menarik karena masing-masing personilnya juga memiliki latar belakang berbeda. Misalnya Adra dan Nikita memang sudah ngeband bareng dari SMA dan suka banget musik-musik rock dan metal, seperti Nine Inch Nails dan semacamnya.

Di TPE juga kami kadang memainkan lagu-lagu Led Zeppelin atau Radiohead yang tidak terlalu jazz, tapi kami menyelipkan unsur improvisasi. Sebenarnya TPE ini proyek senang-senang yang tidak mikir (tertawa). Nikita juga sering bilang kalau TPE itu ibarat “rumah” karena masing-masing punya kesibukan sendiri, tapi ketika sudah berkumpul bisa nyaman dan berusaha buat sesuatu yang seru.

F

Apakah ada hubungan antara musik jazz yang Indra mainkan dengan komposisi musik yang Indra dalami kemudian?

I

Unsur jazz-nya mungkin lebih pada saat membuat komposisi. Tapi kalau suka film scoring alasannya tidak tahu dari mana. Mungkin, ini karena saya juga suka menonton film juga. Saya bisa berulang-ulang menonton film sampai saya ingat filmnya. Akhirnya sampai sekarang, kalau saya membuat komposisi, pasti diawali improvisasi dulu. Saya cukup menyalakan komputer untuk merekam permainan saya, lalu saya akan kembali mengedit bagian yang kurang sesuai dengan feel. Improvisasi pada akhirnya jadi pintu awal.

F

Apa yang menarik dari Danny Elfman dan John Williams hingga bisa menginspirasi Indra untuk mengambil UCLA Extension dengan fokus film scoring?

I

Dulu film scoring itu megah, dan Danny Elfman di film-film Tim Burton itu bisa membuat komposisi gothic dan membawa orang ke dunia lain dan fantasi. Yang saya sukai dari film scoring itu adalah karena musik ini sangat deskriptif, orang bisa membayangkan mood-nya dan bisa langung tercipta film sendiri di kepala. Danny Elfman bisa membawa atmosfer magical, fantasy, dan saya sendiri kalau menonton film selalu menyukai sesuatu yang bisa membawa saya keluar dari realita (tertawa).

F

Antara penonton dan film, apakah film scoring secara tidak langsung bergantung dengan sugesti dari gambar yang ditampilkan?

I

Ya, tapi kalau komposisinya jelek bagaimana? (tertawa), mungkin justru akan merusak imajinasinya. Kalau Harry Potter ditonton tanpa musik, mungkin akan jadi drama biasa saja. Kedalaman suasana yang tergambar, bisa tidak tertangkap penonton. Buat saya saat menonton film, musiknya bisa membuat kita lupa sedang berada di bioskop. Jadi kita bisa benar-benar terhanyut sampai lupa kalau kita berada di teater, bahkan merasa sedang mengalami film itu sendiri. Itu adalah kekuatan musik dalam film, menurut saya.

F

Apakah alasan itu memperkuat tekad Indra untuk mendalami film scoring?

I

Ya, salah satunya karena musik bisa memperkuat dan mengiringi film. Menurut saya komposisi musik di film itu menariknya, tidak hanya bersifat mengiringi, tapi sebenarnya bisa juga dinikmati secara terpisah. Misalnya film Harry Potter, kita tidak bisa nonton filmnya tanpa musik, tapi jika kita mendengar musik tanpa filmnya, kita masih bisa membayangkan visualisasinya. Hal tersebut yang membuat saya penasaran dengan film scoring. Saya ingin bisa membuat musik yang menangkap mood dan buat cerita.

Selain itu, kalau dilihat dari segi musik, output dari film scoring juga sangat luas dan tidak terbatas dengan bentuk-bentuk musik pada umumnya. Misalnya saat mendengar musik, ada verse 1 dan 2, reff lalu balik lagi ke verse. Sedangkan kalau film scoring, sang komposer mengikuti gambar untuk menggubah komposisinya, sehingga kalau kita dengar musiknya saja, terkadang ada lompatan ritme yang tak terduga. Tapi ketika kita dengar dengan filmnya, perlompatan itu akan make sense, karena ternyata ada perpindahan gambar yang terkait dengan setting tempat, waktu hingga situasi dan kondisi. Hal tersebut memungkinkan komposisi yang dibuat fluktuatif dan hal itulah yang membuat saya berekspresi lebih terbuka dan tidak melulu harus sesuai formula musik pada umumnya. Sehingga saat mengomposisi musik non-scoring pun saya telah terbiasa menggunakan imajinasi yang liar.

F

Berapa lama waktu yang Indra butuhkan untuk bisa memilah atau mencerna musik dalam film?

I

Biasanya saya tidak lama, mungkin karena sering juga karena sehari-hari juga mendengarkan (tertawa). Tapi maksudnya, saat saya nonton di bioskop, saya bisa langsung tahu apakah saya suka atau tidak dengan musiknya, instinctively. Kalau saya suka, pasti sampai di rumah saya langsung cari atau beli musiknya. Karena mungkin kebiasaan saya juga sih mendengar musik dengan jeli.

Patokannya bisa juga ketika kita selesai nonton film tapi tidak aware musiknya apa, bisa jadi film scoring-nya bagus karena kita tidak terganggu dengan musiknya. Musik yang blended perfectly dan seamless dengan gambar sebenarnya adalah parameter ideal dalam film. Jadi musiknya mengiringi, tidak over-shadowing atau terlalu di belakang. Musiknya harus mendukung storytelling dengan baik. Jadi kalau orang suka dengan filmnya, berarti komposernya bekerja dengan baik.

Tapi jika orang bisa notice musiknya, bisa jadi terlalu bagus juga (tertawa). Misalnya ketika melodinya terlalu menonjol dan terlalu banyak muncul sampai orang terlalu notice sampai mengkhayal sendiri mengikuti musiknya, bukan cerita filmnya (tertawa)

Jadi, tantangannya adalah musiknya tidak bisa terlalu menonjol dan harus tahu porsi musik untuk mengiringi film dengan baik. Tapi, memang tidak bisa dipungkiri kalau ada musik-musik yang memorable, seperti Star Wars, Harry Potter, Superman, Indiana Jones dan lain-lain. Tapi ya memorable in a good way karena filmnya juga dikenal dengan bagus.

F

Apa output yang dicari dari pembuatan film scoring?

I

Kalau buat saya nomor satu adalah filmnya. Karena bagaimanapun judulnya film. Musik pun di sini memainkan konteks sebagai “film scoring.” Jadi, prioritas utamanya adalah bagaimana musiknya membantu storytelling film. Misalnya, ketika tanpa musik, jalan filmnya jadi lambat, musiknya bisa kasih tempo agar penonton tidak merasa bosan, atau sebaliknya, ketika film terlalu cepat, musiknya bisa memberikan rem agar penonton bisa membayangkan ceritanya sedikit.

Musik juga memberikan kedalaman emosi, menurut saya. Musik memberikan sesuatu yang tidak terlihat. Misal, shot wajah diiringi musik sedih, kita jadi bisa langsung tahu kalau orang itu sedih karena sesuatu telah terjadi. Jadi, musik memberikan kedalaman 3D. Kalau gambar kan hanya 2D, tapi ketika ada musik, timbul ruang di dalamnya.

Kegiatan menonton film di bioskop itu sakral kan. Masuk ke ruangan khusus dan tidak melakukan apapun kecuali menonton. Yang saya suka dari film itu adalah saya bisa keluar dari realita yang saya jalani. Sekejap liburan dan bisa menemukan hal-hal yang tidak bisa ditemukan di keseharian.

F

Salah satu film yang Indra buat scoring-nya adalah Tabula Rasa. Bagaimana proses Indra mengolah film scoring tersebut?

I

Kebetulan boleh dibilang proses produksi Tabula Rasa cukup ideal, maksudnya tidak mepet deadline (tertawa). Malah saya sudah terlibat sejak pre-production, ketika mereka masih garap script, sampai saya ikut mereka cek lokasi ke Papua. Selain itu memang sudah ada obrolan dengan sutradara kalau ia mau pakai unsur kedaerahan, baik dari Padang maupun Papua. Jadi di scene awal Tabula Rasa yang menggambarkan perpisahan dari Papua, sang sutradara memang sudah riset kalau di sana ada nyanyian tradisi untuk melepas anak yang mau merantau. Jadi pas saya ke sana, saya rekam seadanya dan sesampainya di Jakarta saya olah dan sesuaikan dengan musiknya. Kami juga sewa musisi Padang untuk main talempong dan sebagainya. Setelah selesai shooting dan editing, baru film dikirim ke saya, Music Director. Prosesnya cukup enak sih, 1,5 sampai 2 bulan.

Kemarin saya awalnya buat musik untuk pembuka dengan chant dan lama kelamaan mulai berasa tone filmnya hingga saya menyelesaikan musik keseluruhan film. Banyak unsur tradisi juga sih, tapi saya coba kemas dengan bentuk yang lebih masa kini, istilahnya (tertawa). Seperti ada musik talempong tapi saya juga pakai instrumen barat. Lalu saya membuat musik masak, itu juga awalnya membingungkan sih, tapi setelah dapat, baru tahu rumusnya.

Sebenarnya ini seperti proses membuat patung, eliminasi, dari tidak ada bentuknya lalu terus dikurangi sampai muncul bentuk ideal. Tidak tahu dengan sutradara lain, tapi Adri (Adriyanto) suka yang minimalis, jadi saya memilih untuk memberi musiknya dilebihkan saja dulu, karena lebih gampang mengurangi daripada menambah. (tertawa)

F

Bagaimana Indra mengkomunikasikan ide kepada pihak lain dalam tim produksi saat melewati proses pembuatan film scoring?

I

Ya, saya tidak bisa memaksakan ide kalau mereka merasa tidak cocok. Setelah berpengalaman, saat diskusi, lebih baik jangan membicarakan teknis, karena malah rancu. Lebih baik diskusi dengan sutradara yang tidak paham musik sama sekali, dibanding yang mengerti tapi hanya seberapa, karena justru akan salah paham (tertawa).

Sebenarnya, yang perlu dikomunikasikan adalah feeling-nya. Misalnya, di scene tertentu mau feeling yang seperti apa, apakah sedih yang galau atau depressed. Nanti setelah mereka mendengar musik yang sudah dibuat, mereka bisa merasakan apakah musiknya sudah pas atau belum. Itu jadi tugas Music Director untuk interpretasi. Itu lebih gampang sih, ketimbang menghadapi sutradara yang mengusulkan untuk memakai chord tertentu, kalau dia tidak mengerti banget ya (tertawa).

Sejauh ini yang paling efektif komunikasinya adalah feeling dan mood dari scene atau filmnya mau seperti apa. Itu adalah tugas kami – Music Director – untuk interpretasi. Caranya adalah saat membuat komposisi, apakah kami sudah merasakan mood-nya atau tidak. Dari situ, sutradara pun bisa merasakan juga mood yang dimaksud sudah pas atau belum.

Jadi memang jika sudah menemukan sutradara yang cocok untuk diajak kerja bareng, bisa banyak belajar karena mereka bisa melihat hal-hal yang tidak kami pikirkan dengan sudut pandang berbeda. Buat saya itu jadi menambah pengalaman dan skill dalam komposisi. Karena film bagi mereka adalah karya, bukan untuk mencari uang.

F

Apa hal yang crucial saat membuat komposisi scoring untuk sebuah film?

I

Waktu mungkin ya (tertawa). Timeline itu sangat penting, begitupun dengan budget. Storyline itu pasti. Tapi biasanya storyline akan terlihat setelah melihat script. Tapi kami juga harus jangan terlalu terpaku pada script, karena itu belum diwujudnyatakankan, masih berupa rancangan. Jadi, yang harus menjadi patokan adalah setelah selesai editing. Karena ketika kami baca script kan belum tentu khayalannya sama dengan apa yang ada di kepala sutradara.

Music guide yang diberikan sutradara dan editor juga crucial. Biasanya mereka sudah tahu spot musiknya di mana saja dalam film. Tapi waktu itu penting menurut saya, karena kami butuh waktu untuk mengembangkan ide, karena dalam realita agak dianggap remeh, terutama di post-production.

Dikiranya buat musik itu gampang dan cepat (tertawa). Cuma sebenarnya prosesnya seperti shooting saja, ada pengembangan script, latihan dengan aktor, shooting dan editing. Untuk musik juga sama, kami buat partitur, rekaman hingga mixing dan melibatkan orang banyak juga. Tapi memang sejak era teknologi, timbul kesan umum bahwa buat musik itu mudah di rumah dengan komputer. Akhirnya kalau memang waktunya terbatas, ya jadi tidak terlalu detail dan agak disayangkan, apalagi untuk film.

Kami juga harus mengetes ide seiring waktu. Ini kan kesenian yang ada waktunya, bukan lukisan yang diam saja. Misalnya, hari ini buat, lalu keesokkan harinya jika didengarkan dengan kuping yang fresh bisa mendapatkan penilaian yang berbeda. Dari situ kami bisa melihat bagian mana yang perlu dipoles. Kalau ada waktu untuk review kan pasti selalu ada room for improvement. Yang disayangkan, kalau waktu terbatas ya “aman” saja, mungkin masih bisa lebih maksimal.

Sayangnya nanti kalau sudah beberapa tahun lagi didengar lagi, bisa menyesal (tertawa). Saya sebisa mungkin kalau mengerjakan film secara maksimal, karena ini kan semacam peninggalan saya juga. Saya mau 10-20 tahun lagi masih bangga melihat film itu karena musiknya buatan saya. Kalau mengejar proyek yang mepet memang sekarang bisa dapat banyak uang, tapi ke depannya kurang membanggakan mungkin ya (tertawa).

F

Seperti apa peran scoring dalam menentukan mood atau ambience dari sebuah film kepada penonton?

I

Kalau melihat perkembangan sejarahnya, agak bergeser. Dulu film bisu, musik pasti dominan. Ketika mulai ada dialog, era itu komposer yang kerja di perfilman masih komposer klasik dari Eropa. Setelah Perang Dunia II, komposer tersebut migrasi ke Amerika. Saat itu perfilman di Amerika sedang naik daun, jadi tidak heran kalau saat itu musiknya sangat grande dan penuh sekali.

Seiring perkembangan teknologi, gambar film dan sound jadi semakin bagus, otomatis musiknya jadi lebih simple, kalau diperhatikan. Malah kalau film action, sound effect-nya lebih kencang daripada musik (tertawa). Kalau masih pakai treatment yang sama seperti dulu, dengan musik yang bombastis, mungkin tidak cocok dengan keadaan sekarang.

Sekarang musik di film lebih subtle karena sinemanya juga sudah lebih maju. Mereka bisa banyak bercerita dari shot dan sound lapangan saja, dan perkembangan film sudah ke arah sana. Musik justru harus lebih bisa efisien lagi dalam mengiringi gambar.

Selain itu tools-nya juga semakin banyak, dalam artian, sound eletronik mulai masuk ke dalam film. Itu masih termasuk musik, walau ada beberapa sudah tercampur dengan sound effect.

Misalnya dalam film Gravity, sang komposer Steven Price membuat film scoring yang tercampur dengan sound effect. Jadi interpretasi musik yang dibuat olehnya adalah bagaimana menggambarkan dunia luar angkasa yang hampa udara, tidak ada bebunyian. Jadi, ia membuat suasana melalui sound tekstural, tidak seperti musik biasanya.

F

Apakah mungkin film hanya diisi dengan sound effect?

I

Mungkin kok.

F

Apakah sekarang sudah mengarah ke sana?

I

Dari dulu juga sudah ada sih. Film itu juga luas kan. Ada film-film art yang memiliki pemikiran kalau musik itu membuat film tidak realistis. Ada juga film-film yang perlu penekanan di musik, film fantasi seperti Harry Potter itu jelas perlu musik. Ya tergantung filmnya.

F

Baru-baru ini, Indra bersama 3 musisi lain mendapat kesempatan untuk membuat komposisi baru untuk remake album soundtrack Tiga Dara. Bagaimana Indra menginterpretasikan kembali musik dari sebuah film ikonik?

I

Itu interpretasinya juga berdasarkan lagu aslinya. Pertama saya mengobrol dengan David Tarigan dan David Karto. Sebelumnya kami mendengarkan dulu sebelum memilih materi yang cocok untuk diolah kembali. Saya mengambil 6 lagu dengan 4 lagu diolah dengan big band dan di lagu aslinya pun juga memakai format big band.

Ketika mengolahnya pun saya juga mengobrol dengan David Tarigan untuk mengolah lebih megah, tidak tanggung-tanggung. Ya sudah, untuk lagu Tiga Dara dibuat ala boogaloo dengan formasi big band. Ide awalnya memang ingin menonjolkan nuansa big band sih. Jadi, saya pikir saya mau mood semangat dan orang bisa joget (tertawa).

F

Kabar bahwa master dari pita rekaman album soundtrack asli Tiga Dara tidak ditemukan, menjadi latar belakang dibuatnya album ini. Bagaimana Indra menentukan sound bites dari lagu-lagu di Tiga Dara untuk mereproduksinya sedemikian rupa?

I

Untuk proyek ini saya dibebasin sih. Saya coba buat sebebas dan seliar mungkin. Proyek seperti ini kan mewah sekali. Mereka ingin sound saya. Kalau film kan masih harus mengikuti filmnya, walau ada karakter diri sang komposer. Semuanya saya pertahankan tapi ada twist-nya. Seperti lagu “Tiga Dara” saya tetap pakai intro aslinya, cuma mungkin dalam kostum yang berbeda.

Karena saya pikir kan ini idenya restorasi, lalu aransemen ulang, jadi, hal-hal original yang saya pikir menarik dan patut saya pertahankan akan saya simpan, tapi saya kemas baru seperti yang saya rasakan. Seperti lagu-lagu dengan format big band, boleh dibilang 50% mirip dengan lagu aslinya. Tapi kalau aransemen ulang kan, melodi pasti sama, cuma musik iringannya yang dibedakan.

F

Selain film, Indra juga membuat musik untuk iklan. Apa yang membedakannya saat membuat scoring untuk film?

I

Sama saja sih sebenarnya, cuma lebih tidak basa-basi, tanpa building. Iklan kan maksimal 1 menit, lalu ada yang 30 detik dan 15 detik. Tapi rata-rata musik yang saya buat iklan untuk YouTube yang rata-rata 1 hingga 2 menit. Kalau iklan langsung mood saja sih, wall-to-wall, musiknya jalan terus, kalau film kan kita masih nafas. Musik sedikit, diam lalu kasih yang kencang. Kalau musik untuk iklan kan langsung, ibarat cuci otak. Pokoknya perhatian orang harus teralih, musik harus sekencang dan semenarik mungkin agar orang melihat.

Dan yang saya pelajari dari pengalaman adalah tidak terlalu banyak artistic value dalam membuat musik untuk iklan, lebih ke bagaimana cara memposisikan diri dan bekerja sama dengan baik (tertawa). Karena kliennya tidak terlalu peduli dengan artistic value, yang penting produk mereka harus terlihat bagus.

Makanya bedanya kalau di iklan, fee-nya harus besar, karena literally hanya itu yang didapat. Kalau film, kami berkarya juga, selain uang, kami juga dapat reputasi, nama kami ada di film itu. Kalau iklan kan tidak dikredit, yang tahu cuma PH dan agency (tertawa). Jadi mindset-nya harus jelas, kalau iklan pure cari uang, kalau film berarti sama-sama buat karya.

F

Seperti apa ekosistem film scoring di Indonesia saat ini?

I

Sekarang sih mulai banyak ya generasi komposer baru. Yang saya tahu aktif ada Tya Subiakto, Aghi Narottama dan lain sebagainya. Film juga semakin banyak, jadi otomatis komposernya juga jadi banyak. Walaupun pemain besar tetap ada. Misalnya filmnya Hanung Bramantyo hampir pasti dia sama Tya, kalau Nia Dinata dan Joko Anwar dengan Agi dan Bemby Gusti, sudah ada pasangannya lah.

Di satu sisi memang tidak bisa disalahkan sih jika terlihat berkubu, karena dalam membuat film itu, nomor satu adalah kenyamanan, bukan skill. Saya juga mengajar film scoring di sekolahnya Aksan Sjuman, di semester terakhir, saya selalu menekankan ke mahasiswa kalau jadi komposer, nomor satu adalah networking. Mereka harus bisa berteman dengan filmmaker, bukan dengan musisi saja. Karena kerja di film kan intens, maksudnya selama beberapa bulan ke depan akan dealing dengan orang yang sama, tingkat stres tinggi dan harus tetap bekerja dengan nyaman di bawah tekanan. Jadi pasti ketika sudah nyaman, mereka akan memilih untuk bekerja dengan komposer tertentu, dan hal itu tidak bisa dielakkan.

Tapi saya tidak terlalu memaksakan menembus lingkaran tersebut, makanya saya lebih memilih filmmaker baru saja, jadi sama-sama dari bawah. Kalau memang cocok, ya pertahankan saja, misalnya saya dengan Adri. Yang penting bisa ngobrol, tapi sekarang sudah banyak pilihan, mereka jadi lebih terbuka juga.

F

Mengapa terkesan publik kurang familiar dengan dunia film scoring, bahkan cenderung tidak memperhatikan aspek tersebut ketika menonton film?

I

Kalau saya bilang, belum saja sih. Maksudnya itu proses dan tergantung dengan filmnya juga. Amerika sudah melewati golden era Hollywood di tahun 1930-an dan mereka juga sudah merdeka ratusan tahun, sedangkan kita 100 tahun juga belum. Tapi saya masih optimis sih.

Kalau dalam film scoring itu, semuanya tergantung filmnya. Filmnya harus bagus, baru orang notice musiknya bagus (tertawa). Kalau musiknya bagus tapi filmnya jelek, bagaimana orang mau notice (tertawa). Jadi filmnya harus bagus, komposer bagus yang buat musiknya bagus juga, baru bisa jadi masterpiece. Film itu kan sebenarnya gabungan karya seni, mulai seni rupa, seni panggung, seni visual, seni musik.

Mudah-mudahan bisa terus konsisten ya, tapi sejauh ini sudah semakin bagus ya perkembangan ekosistemnya, walau masih jauh perjalanannya, tapi kalau kita lihat 10 tahun ke belakang, sudah jauh lebih bagus.

F

Berarti secara tidak langsung komposer Indonesia kurang dapat exposure karena perfilmannya kurang bagus?

I

Ironisnya iya. Karena kalau filmnya jelek, musiknya cuma punya batasan tertentu untuk menolong, harusnya kan attitude-nya bukan untuk menolong, tapi untuk menambah. Istilahnya bukan menuntun, tapi jalan bersama jadi audiovisual. Misalnya filmnya dragging lalu musiknya membantu, kalau filmnya bagus kalau dikasih musik jadi semakin bagus, kan idealnya seperti itu.

Dari segi teknis juga kita belum bisa membuat film yang agak kompleks dengan banyak CGI, special effect atau film colossal. Kalau kita sudah bisa sebagus itu, otomatis kebutuhan musiknya akan lebih sesuatu yang lebih kompleks dan grande. Kalau sudah begitu akan menantang komposer untuk buat sesuatu yang lebih bagus lagi.

Misalnya kita sudah bisa buat film seperti Lord of the Rings tapi ceritanya tentang Gajah Mada atau Majapahit, otomatis komposernya akan terangsang untuk buat sesuatu yang grande, orkestra tapi dengan nuansa Indonesia. Dari situ pasti akan muncul sesuatu yang fresh, itu semua kan balik lagi ke filmnya.

John Williams kan jadi terkenal karena Star Wars kan karena ide briliannya George Lucas yang punya visi tentang masa depan. Itu yang jadi pemicu John untuk buat musik dengan berimajinasi seperti apa bentuk pertempuran di luar angkasa.

F

Melihat perkembangan film Indonesia sekarang, apakah susah untuk mencapai fase seperti itu?

I

Ya kalau dibilang susah, ya susah sih. Kalau dibilang ikut-ikutan dengan film luar negeri tidak masalah buat saya. Maksudnya, tidak ada yang baru juga sekarang, yang penting orang terhibur saat menontonnya (tertawa). Sekarang saja, nyaris tak ada yang original di film-film Hollywood, mereka daur ulang dari komik-komik, tapi tetap saja orang menontonnya (tertawa). Maksudnya dari segi entertainment kan tetap mereka bisa mengangkat sesuatu yang menarik dan membuat orang terbuai saat menontonnya. Perjalanan kita masih panjang sih.

Sekarang kita paling bagus bikin drama atau action, seperti The Raid. Menurut saya arah perfilman kita mesti ke luar zona nyaman filmmaker, buat epic, colossal atau action. Karena kalau drama melulu, musiknya akan itu-itu saja, tidak bisa eksplorasi. Palingan pakai piano, strings atau gitar yang mellow. Kalau filmnya bisa bercerita tentang hal lain, itu akan jadi sesuatu yang fresh untuk mengolah musiknya.

F

Apakah karena film scoring bersifat teknikal, ekosistem yang mewadahi serta materi yang diproduksi bisa disebut niche dibandingkan skena musik lainnya?

I

Niche banget sih, bahkan di luar negeri juga. Karena yang tahu yang suka saja, orang-orang di belakang layar yang menggeluti. Di Indonesia sangat jarang ada rilisan yang memuat film scoring, di luar memang ada walau tidak terlalu popular.

F

Apa proyek yang sedang Indra siapkan?

I

Saya sedang ada proyek web series “Maestro” dengan Riri Riza. Lalu ada musikal “My Little Pony” untuk bulan November 2016. Selain itu, di bulan November-Desember ini ada proyek scoring untuk filmnya Lola Amaria.

Tomorrow People Ensemble juga mau main di Jepang pada bulan September, di Motion Blue Yokohama dan Kanazawa Jazz Street Festival. Album baru juga sedang dipersiapkan, sudah ada 4-5 lagu tapi yang direkam baru 1,5 lagu karena semuanya pada sibuk banget (tertawa). Lalu rencananya ada tur Tiga Dara dan palingan main sama Monita Tahalea.whiteboardjournal, logo