Seni dan Refleksi Kehidupan bersama Slamet Rahardjo

28.09.16

Seni dan Refleksi Kehidupan bersama Slamet Rahardjo

Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan Slamet Rahardjo (S).

by Febrina Anindita

 

H

Om Slamet Rahardjo tumbuh di keluarga yang sepertinya lekat dengan dunia seni, bagaimana awal interaksi ketika mengenali dunia seni?

S

Kalau boleh jujur, dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada ayah saya, kesenian yang mengalir pada diri saya, lahir dari Ibu saya. Beliau adalah ibu rumah tangga, namun merupakan seorang seniman sejati yang lukisannya bagus dan gemar membuat sculpture. Beliau sering bercerita, juga berbagi kata-kata bijak yang indah. Sedikit banyak, ini kemudian menurun pada saya, dimana saya lantas mulai memahami tentang warna hingga selera dalam seni. Di luar itu, dari beliau saya juga sering berbagi mengenai filosofi di balik apa yang ada di sekitar kita, tentang alam dan apa hubungannya dengan kita.

Ayah saya adalah seorang komandan di Angkatan Udara, dan dari beliau saya belajar tentang kepemimpinan dan kedisiplinan. Perpaduan ayah dan ibu saya ini membuat saya merasa beruntung, dimana saya dididik untuk tepat waktu dan bertanggung jawab atas apa yang saya lakukan, dan di sisi lain, saya juga diajarkan tentang estetika oleh ibu. Saya merasa lebih beruntung lagi ketika saya tinggal bersama kakek di usia sekolah. Saat itu ayah saya harus sering berpindah tempat dinas, dan karena ingin tinggal di satu tempat yang pasti, saya lalu minta untuk pindah ke Jogja bersama kakek saya. Di sana, sejak SMP hingga SMA saya juga belajar banyak dari kakek, beliau menjejali saya dengan berbagai filsafat Jawa. Yang menyenangkan adalah kakek saya menceritakan filsafat tersebut dalam bahasan yang sederhana dan populer.

Salah satu hal yang selalu saya ingat dari kakek saya adalah tentang ketika saya bertanya mengenai asal-usul saya. Dulu, orang pasti bertanya tentang siapa leluhur saya, ketika saya tanyakan ini kepada kakek, beliau menjawab bahwa leluhur saya adalah kambing. Melalui jawaban tersebut, kakek saya mengajarkan bahwa akan lebih baik kalau kita tidak bergantung pada leluhur atau keturunan yang kita miliki, karena hal tersebut akan membuat kita malas untuk berkarya. Bahwa dengan memposisikan diri sebagai orang biasa yang tidak spesial, kita akan bisa lebih rajin. Kadang, gelar yang kita sandang justru tidak bisa kita pertanggungjawabkan.

Seni, bagi saya adalah tentang keindahan. Melalui seni, kita bisa mengubah amarah menjadi hal yang indah. Kalau tentara marah, mereka akan menyerang, kalau anggota dewan marah, mereka akan membanting kursi, kalau penyair marah, mereka akan membuat puisi, kalau pelukis gelisah, ia akan membuat lukisan, jadinya estetika. Di dalam estetika ada etik, di dalam etik ada moral, di dalam moral ada filosofi. Dan, tentang filosofi ini, saya mendapat banyak pelajaran di Jogja, kota yang kita kenal sebagai kota seni yang sangat membekas di benak saya. Di sana, saya belajar dari berbagai hal remeh yang ternyata memiliki makna mendalam. Seperti tentang tembang “Bebek Adus Kali” yang ternyata berarti bahwa kita sebagai manusia harus berani mengejar keadilan sosial. Hal-hal seperti inilah yang saya jadikan pegangan dalam hidup.

H

Bagaimana kemudian dari situ Om Slamet Rahardjo memasuki dunia teater?

S

Saya sempat belajar di Akademi Film Nasional, tapi karena saat itu industri film nasional sedang mulai bergeliat, guru di akademi tersebut kemudian sibuk untuk membuat film semua, kampus saya jadi kosong dan nasib saya jadi tidak jelas (tertawa). Saya lalu pindah ke Akademi Teater Nasional Indonesia. Di sana, saya bertemu seseorang yang membuat saya tersadar bahwa teater adalah cabang kesenian. Sebelumnya, saya melihat bahwa teater bukan merupakan bentuk kesenian. Sekali lagi dalam hal ini saya meminta maaf pada senior saya di Jogja, namun ketika itu saya melihat bahwa bentuk teater yang ada itu jelek – W. S. Rendra saat itu masih di Amerika. Bagi saya, teater yang ada di Jogja saat itu jelek sekali, tak seindah puisi, syair dan lukisan, katakanlah begitu. Pembawaan teater ketika itu bagi saya norak sekali, dengan ekspresi muka yang selalu berlebihan, dimana seluruh otot muka harus bergerak dalam melafalkan dialog dan adegannya. Ini tidak menarik bagi saya.

Suatu ketika saya melihat pementasan teater di TVRI yang berjudul, “Lagu Terakhir” yang dimainkan oleh Teguh Karya dan Henky Solaiman. Saya melihat bahwa pementasan teater tersebut bagus sekali. Akting pemainnya natural, tak berlebihan layaknya teater pada umumnya. Saat itu juga saya tahu bahwa teater adalah bentuk seni juga. Ini menjadi salah satu pertimbangan bagi saya untuk pindah ke Akademi Teater Nasional Indonesia, dimana Teguh Karya adalah salah satu pengajarnya. Dari situ, saya kemudian belajar banyak. Termasuk mempelajari bahwa saya dulu bodoh dalam memaknai bahwa teater itu jelek. Ternyata, teater adalah sebuah bidang yang luar biasa indahnya.

Ayah saya sempat mempertanyakan keputusan saya ketika kuliah ini, beliau bertanya, kenapa harus belajar untuk jadi ledek (istilah jawa untuk penampil di panggung). Namun seiring waktu, saya bisa membuktikan pada beliau bahwa saya bukan sekadar penghibur biasa. Bahwa saya adalah seorang seniman. Sebuah aktivitas yang masih saya sangat nikmati hingga sekarang. Anak saya sempat bertanya dan khawatir mengenai aktivitas saya di dunia seni, bahwa sekarang saya sudah tua dan waktunya untuk beristirahat di rumah saja. Saya lantas menjelaskan pada anak saya bahwa saya tak akan merasa lelah di dunia seni, karena ini bukan pekerjaan yang melelahkan, seni adalah hidup saya.

H

Bersama Alm. Teguh Karya, Om Slamet Rahardjo memulai Teater Populer, sebuah gerakan yang menggerakkan skena teater lokal, apa sebenarnya misinya saat itu?

S

Kalau misi sebenar-benarnya, mungkin hanya Teguh Karya yang tahu. Bagi saya sendiri, misinya adalah tentang justification dan make believe. Saya sendiri ingin mempelajari bagaimana Teguh Karya bisa membuat akting di teater meyakinkan tanpa harus menampilkan muka yang perot dan berlebihan. Ternyata, saya lantas mempelajari bahwa acting is believing. Acting di sini jelas beda levelnya dengan pretending. Pretending berarti kita berpura-pura, kalau acting, kita harus benar-benar menjadi tokoh yang kita perankan. Teguh Karya melalui sukma dan raganya menunjukkan kepada saya bahwa dia mampu menunjukkan imaji dari peran yang dilakukan, saya lantas tahu bahwa teater bukan imitasi kehidupan. Semua karya seni bukanlah imitasi kehidupan. Seni adalah refleksi kehidupan.

H

Teater Populer telah melahirkan banyak tokoh penting di dunia sinema Indonesia, mulai dari Om Slamet Rahardjo sendiri, Christine Hakim, Niniek L. Karim, hingga Alex Komang, apa sebenarnya yang terjadi di teater Populer hingga bisa menjadi tempat para legenda seni peran Indonesia lahir?

S

Itulah salah satu kehebatan Teguh Karya. Bagi kami semua, beliau pandai berbagi. Salah satunya adalah tentang kesederhanaan. Di Teater Populer, kami diajarkan untuk melupakan status sosial, beliau bisa menempatkan diri dengan santai bersama kami yang bukan siapa-siapa. Semua dipandang sama. Prinsip utama dari beliau kepada kami adalah kemauan untuk bekerja, dan mencintai pekerjaan tersebut. Dan ini beliau sampaikan kepada kami dari hal-hal sederhana, seperti dari aktivitas mencuci piring dan menyapu halaman.

Teguh Karya selalu hadir sebagai mentor, bukan pemberi instruksi. Kalau dianalogikan, yang beliau berikan kepada kami sebagai bekal adalah kail, umpan, bukan ikan. Dan ini kemudian membuat kami tumbuh dan berkembang sesuai dengan keahlian kami masing-masing. Ada yang kemudian berkembang menjadi penulis hebat, ada yang pandai mengelola keuangan, ada pula yang mahir memainkan peran. Yang positif di sini adalah kami berkembang sebagai sebuah kolektif dan kolaborasi yang masih saling berhubungan dan saling mengangkat satu sama lain ketika mendapat highlight dari publik. Dan kebetulan, tokoh-tokoh yang ada di situ kemudian menjadi yang terbaik di bidangnya masing-masing. N. Riantiarno dari Teater Koma adalah salah satu murid Pak Teguh yang berhasil dalam melanjutkan cita-cita untuk membuat sebuah kolektif teater yang berkelanjutan dan bisa mendatangkan jumlah penonton yang stabil pada setiap pementasannya. Saya sendiri lebih aktif di film.

Setelah Teguh Karya meninggal, barulah saya sadari bahwa sosok beliau tak terganti. Kalaupun saya sekarang menjadi ketua Teater Populer, saya hanya meneruskan pemikiran dan tafsir beliau, lebih kepada bimbingan kepada mahasiswa yang ada di sana. Ini mungkin yang membuat sekarang Teater Populer tak seproduktif dulu. Ketika zaman Teguh Karya itu luar biasa, bisa dalam 1-2 bulan ada pementasan teater, saya belum bisa membuat yang seperti itu. Mungkin justru Bapak Riantiarno yang bisa mengejar produktifitas Teguh Karya.

H

Bagaimana melihat perkembangan teater Indonesia sekarang? Karena sepertinya belum ada nama lain yang muncul selain Teater Koma dan Teater Garasi di Yogyakarta.

S

Saya rasa, ada perubahan pola kehidupan yang belum bisa diterjemahkan dalam bentuk pementasan teater sekarang ini. Terutamanya adalah pengaruh teknologi yang semakin tak bisa dipisahkan dari keseharian. Kadang, kita justru dikuasai oleh teknologi. Contoh bagaimana teknologi mengubah kehidupan kita adalah tentang bahasa keseharian, sekarang orang cenderung gemar menggunakan kalimat pendek seperti “BTW, OTW, dan FYI”. Ini agak mencemaskan bagi saya. Bahwa bagaimana kemudian posisi puisi di era yang demikian. Apakah mungkin orang masih bisa membuat puisi bila bahasa sehari-harinya seperti itu? Apakah mungkin akan lahir puisi seperti karya Toto Sudarto Bachtiar di era sekarang? Saya ragu. Karena keindahan bahasa menjadi aneh dan bertele-tele di era yang demikian.

Di sisi lain, teknologi juga membantu kita dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Dan ini tidak bisa dinafikkan esensinya. Jadi, bagi saya kita harus membuat format berkesenian baru yang bisa mengakomodir perubahan zaman ini. Kita tidak bisa selamanya memaknai pementasan teater layaknya apa yang saya lakukan pada zaman dahulu. Dan ini adalah arena baru yang menarik. Karena dengan semakin majunya zaman, dinding pemisah antara berbagai bentuk kesenian semakin melebur, dan ini akan menjadi warna yang menarik bagi pengembangan pentas teater. Semuanya jadi begitu cair.

Era digital membuat saya berpikir secara lebih rock ‘n roll. Kita bisa lebih bebas dalam berekspresi. Jangan-jangan era ini juga menuntut bentuk naskah yang berbeda pula? Mungkin kita tidak lagi bisa bermain dengan kalimat-kalimat panjang yang penuh pengandaian, karena ini bisa dirasa melelahkan bagi generasi sekarang. Saya rasa, jika ada roman Romeo – Juliet era gadget, akan berbeda bentuknya dengan roman aslinya dahulu. Teater masa kini harusnya bisa mengatasi pergeseran zaman yang ada. Kalau begitu-begitu saja, teater akan mandek dan ketinggalan. Dalam hal ini, teater tidak boleh berlaku seperti lakon “Waiting for Godot” yang hanya menunggu kehampaan.

Teater hari ini belum ada yang bisa membuat saya tercengang. Belum ada yang seperti itu.

H

Ada perbedaan yang cukup jelas antara teater dan film, bagaimana Om Slamet Rahardjo menjalani pergeseran antara dua bidang ini?

S

Ketika ingin mempelajari film, saya sempat meminta izin kepada Teguh Karya. Kepada beliau saya berkata bahwa ada hal menarik di dunia film yang berbeda dengan dunia teater. Di teater, akting saya berhubungan langsung dengan penonton serta berbagai elemen lain di pertunjukan tersebut. Sedangkan di film, saya hanya berinteraksi dengan kamera dan kameramen, ini merupakan hal baru yang sangat menarik untuk saya pelajari.

Teater mengajarkan kita kajian yang mendalam. Tapi film mengajarkan kita untuk tangkas dalam mengungkapkan apa yang kita pikirkan. Jadi sebenarnya kalau dikombinasikan, ini bisa jadi hal yang bagus. Keuntungannya saya bisa menjalani dua dunia tersebut dengan lumayan baik. Ini hal yang saya lihat cukup jarang terjadi. Bagi saya, ketika Mas Rendra main film, itu jelek (tertawa). Akting beliau terlalu teatrikal.

H

Om Slamet Rahardjo telah mengalami sendiri masa keemasan film Indonesia di tahun 60an, turunnya animo film nasional, hingga kini mulai bergeliat kembali, bagaimana melihat perkembangan industrinya? Apakah Om Slamet Rahardjo punya kritik terhadap industri ini?

S

Saya sebagai pelaku bisa bilang bahwa film nasional tidak pernah mati. Kalaupun dulu sempat mati suri, itu karena kami sedang marah dengan sistem kepemilikan film oleh kekuatan tertentu. Bioskop adalah panggung kami, saat itu ada yang mengontrol dan membatasi gerak kami di situ, maka saat itu kami memilih untuk minggir saja. Kalau kata Marlon Brando, “lebih baik mati daripada bertekuk lutut!”. Buat apa bikin film kalau ada instansi tak jelas yang mengontrol wilayah gerak kami. Jadi sama sekali bukan mati suri, tapi kami memilih untuk mematikan keinginan kami untuk beraktivitas di dunia film. Kalau dibilang kami tidak bisa bikin film saat itu, itu bohong, kami masih bisa bikin film, cuma memang kami tidak mau.

Selain itu ada juga serangan dari film internasional yang kekuatannya jelas tak bisa dibandingkan dengan kami. Yang tidak fair adalah, film lokal saat itu selalu dibanding-bandingkan dengan film luar. Misalnya pun referensinya sama, jelas eksekusinya berbeda. Secara modal sudah jauh. Dan, fakta bahwa skena film lokal yang tidak kompak adalah faktor yang semakin melemahkan film lokal saat itu. Kalaupun ada perlawanan, dan ini sempat dilakukan, langsung mendapat tekanan dari Amerika melalui kebijakan ekspor-impornya. Akhirnya kami memantapkan diri untuk mematikan diri. Kami tidak mau didikte.

Untungnya ada Mas Garin Nugroho yang mau berdiri sendiri untuk mengisi katalog film lokal.

Sekarang, secara teknologi semua sudah sangat canggih. Semua bisa langsung dilihat bagaimana jadinya secara instan. Dulu, preview harus menunggu dari Hong Kong dahulu, jadi set tidak bisa dibongkar sebelum dipastikan kalau shot-nya sudah aman. Sekarang sutradara dari saat shooting bisa langsung tahu bagaimana gambar jadinya. Tapi sekali lagi, teknologi yang seperti ini juga membuat kita kehilangan arti kemanusiaannya. Dengan begitu, yang tersisa sekarang adalah apakah film yang kita buat itu bermanfaat buat masyarakat atau tidak.

Sayangnya pemerintah masih belum sadar mengenai peran film. Dari institusi yang mengembangkan ilmu film saja, cuma ada satu yang terus konsisten, cuma IKJ saja. Padahal ada berapa provinsi di Indonesia? Ini jelas kurang. Saya sempat berbicara dengan pimpinan negara, “Kalau Bapak mengirim kapten dari angkatan bersenjata, kenapa kita tidak bisa mengirimkan kapten dari barisan film dan teater?” Ini penting karena dengan “kapten-kapten” film ini, kita bisa jadi negara yang lebih hebat. Apalagi dengan konteks semangat Revolusi Mental yang diangkat pemerintah sekarang, saya melihat film adalah senjata yang paling mujarab untuk menyebarkan semangat revolusi mental ini ke berbagai pulau negeri ini. Nyatanya pemerintah belum mau untuk melihat potensi ini. Seniman dan pegiat dunia film atau teater masih harus bergelut dengan hibah. Jatuhnya pemerintah masih menganggap kami sebagai barang dagangan semata.

H

Bagaimana secara konten? Belakangan cukup marak tren film yang mengangkat cerita dari buku dan remake film zaman dahulu, apakah ini merupakan pertanda bahwa industri film mulai kekurangan ide?

S

Bagi saya, film adalah anak zaman. Kalau sekarang mulai muncul biopic zaman dahulu dengan gaya masa kini, itu bebas-bebas saja. Asal mereka bisa memahami konteks dan kontennya secara mendalam, itu bisa lebih bagus lagi. Bukan berarti yang ada sekarang tidak berkualitas, tapi sepertinya riset yang mereka lakukan belum optimal. Riset itu mahal, dan waktunya pun tidak singkat. Dan film lokal jarang yang meluangkan waktu dan sumber daya mereka di situ. Bagaimana mereka bisa optimal? Dana produksinya kecil.

Kalau soal ide, saya rasa ini bukan soal kehabisan ide. Khususnya pada bagaimana film lokal mulai melihat pada sastra, saya justru melihatnya sebagai hal positif. Ini juga menunjukkan bahwa semakin tipis batasan antar disiplin seni. Meskipun film; sebagus apapun itu, maksimal hanya bisa mengeluarkan 60-70% dari keindahan karya sastra. Imajinasi yang tercipta dari film itu sangat terbatas bila dibandingkan dengan dengan apa yang bisa muncul dari kata-kata indah di naskah sastra yang tak berbatas. Coba bayangkan, bagaimana caranya melukiskan salah satu tulisan Zeffry Alkatiri, “Sajadahku sudah terlalu tipis, tapi belum jua aku sampai ke sana” yang sangat indah ini ke bentuk audio visual? Saya yakin satu kalimat ini, tak akan bisa selesai dalam 6 jam durasi film. Mungkin film bisa menerjemahkannya, tapi jangan mimpi jadinya bakal seindah puisi.

Tapi bukan berarti kita harus berhenti mengambil referensi sastra, justru kita harus melihat banyak di situ. Karena meskipun film memiliki keterbatasan dalam menciptakan imajinasi, dampak film ini sangat kuat, berjuta-juta orang yang nonton akan langsung tersentuh melalui film. Film itu luar biasa. Dan ini saya sadari ketika saya menonton Jurassic Park bersama tokoh tari kontemporer, Sardono Waluyo Kusumo, dari dua menit menonton film itu, saya langsung paham luar dalam mengenai DNA, sebuah hal yang saya gagal pahami sepanjang masa sekolah. Film itu sangat efektif. Mimpi Bung Karno yang berkata tentang berbagai kebudayaan Indonesia yang bersatu dalam satu kapal induk itu mungkin bisa tercapai melalui film.

Tentang film remake yang belakangan marak, saya tidak melihat ini sebagai masalah. Karena jika dilakukan oleh orang dan pada zaman yang berbeda, pasti hasilnya juga beda. Dan kita juga harus bijak dalam melihat perbedaan pembawaan ini. Yang masalah bagi saya, adalah kalau ada pembuat film yang membuat film berdasar cerita lama, tapi tidak mengakuinya. Meniru itu sebuah metode, kalau misalnya kita dulu tidak meniru cara orang tua kita berjalan, kita akan terus merangkak hingga dewasa. Meniru bukan masalah bila kita mengakuinya, yang sebenarnya jelek adalah penipu yang mengambil dan tidak mengaku.

H

Bagaimana melihat perkembangan film non-bioskop yang mulai meraih penghargaan di festival internasional?

S

Inilah yang harusnya mendapat perhatian dari pemerintah. Mereka menciptakan dikotomi sendiri dari film yang muncul dari negeri ini. Ini bisa dilihat pada bagaimana ada dua penghargaan yang membeda-bedakan kategori film, yang satu adalah Festival Film Indonesia yang bekerja dengan Departemen Pariwisata, dan Apresiasi Film Indonesia dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ini kan tidak perlu sebenarnya dikotomi seperti ini. Saya rasa, film seperti “Siti”, dan “Prenjak” bisa diapresiasi dalam bahasan yang sama oleh masyarakat Indonesia. Film adalah milik warga negara, bukan milik orang-orang kaya saja.

Bagi saya, teman-teman yang wilayah kerja filmnya di sidestream; bukan mainstream, adalah orang-orang yang sebenarnya menjalankan misi kebudayaan negara kita. Karena kalau yang di bioskop kan ada campuran kepentingan cari duitnya. “Siti” contohnya, itu kelam sekali, seperti tak ada jualannya, tapi kalau dibandingkan dengan film bioskop, Siti lebih relatable dengan kehidupan kita.

Ke depannya, akan lebih baik bila dua festival tadi bersatu dan tidak rebutan film untuk diapresiasi. Harusnya kita mengapresiasinya bersama-sama. Dan perkembangan yang positif ini sebenarnya bisa disokong dengan sekolah film yang lebih bagus, serta kebijakan kebudayaan yang lebih baik dari pemerintah supaya film kita bisa bersaing dengan film asing.

Kalau kita bisa menghapuskan dikotomi antara film sidestream dan mainstream, sebenarnya akan sangat bagus. Supaya publik juga tahu ada berbagai semiotika yang berbeda di dunia film lokal. Dan film, se-eksperimental apapun itu, sebenarnya akan bisa ditangkap oleh publik lokal kita, karena orang Indonesia sebenarnya lahir dengan pendidikan semiotika yang ada di sekitar kita. Jadi apapun itu bentuknya, pasti akan dipahami oleh kita.

H

Apa yang bisa dilakukan supaya dua sisi dunia film tadi berjalan beriringan?

S

Keduanya harus bisa menata ego. Lagipula, ego sektoral seperti ini biasanya hanya diperdebatkan oleh orang-orang yang masih membuktikan diri mereka masing-masing. Kalau sudah matang dan melewati ilmunya, perbedaan sektoral ini tidak akan jadi masalah. Dan sebenarnya kalau dilihat dari sisi lain, sebenarnya dua sisi dunia film ini bisa saling mendorong perkembangan masing-masing. Misalnya, nama Slamet Rahardjo bisa jadi besar karena ada Sophan Sophiaan, besarnya Sophan mungkin karena ada Roy Marten, pembanding yang seperti ini membuat kita bisa menciptakan measurement, pembandingan.

H

Om Slamet Rahardjo merupakan salah satu tokoh film yang cukup sering terlibat di aktivitas yang tak jarang mengkritik pemerintah dan kekuasaan, mulai dari film “Marsinah” hingga acara TV “Sentilan Sentilun,” bagaimana melihat peran seni terhadap perubahan sosial?

S

Cuma orang yang tidak sayang kepada kita, yang membiarkan kita terjerembab di jurang. Kalau orang itu peduli, pasti akan mencegah kita, bahkan menolong kita dari jurang tersebut. Pemikiran dan kritik yang saya lontarkan pada negara adalah karena saya cinta kepada bangsa ini.

Rakyat yang tidak disiplin, dicampur dengan pemimpin yang korup, akan menghasilkan negara yang rusak. Saya sebagai seniman, melihat aktivitas saya di sini sebenarnya juga aktivitas politik. Kadang, kita terlalu mengidentikkan term politik dengan aktivitas partai politik, padahal kan tidak demikian. Seniman juga politikus. Film-film saya adalah statement politik saya, misalnya film “Rembulan dan Matahari”, itu saya buat supaya orang tidak rebutan kursi, “Seputih Hatinya, Semerah Bibirnya” adalah tentang ketulusan dalam bersikap. Semua film saya adalah sikap politik saya. Dan kalau ada kritik di situ, itu karena saya percaya bahwa Indonesia ini adalah bangsa yang bagus budinya.

Secara dampak dari aktivitas politik saya sebagai seniman, jelas ada. Tak jarang, dari apa yang saya buat, menyinggung teman-teman di kabinet, dan saya lantas dipanggil. Tapi di situ saya jadi semakin bisa mengutarakan pendapat saya. Saya rasa, kalau kita bisa menunjukkan kepedulian kita di bidang kita masing-masing, itu akan bagus sekali. Saya justru agak aneh ketika seniman ikut masuk ke politik praktis, jadi caleg, dan semacamnya. Kalau mereka sadar posisi mereka bisa lebih bebas di seni, mereka harusnya tidak mencoba untuk menjadi orang lain. Kalau alasannya untuk berpolitik, itu jelas mereka salah kaprah memahami seni dan politik itu sendiri.

H

Beberapa tahun terakhir mulai muncul inisiatif baru yang membawa film ke ranah-ranah berbeda yang memperkaya wacana dunia sinema, seperti Ubud Writers & Readers Festival, apa komentar Om Slamet Rahardjo tentang fenomena ini?

S

Sebagai orang yang belajar dan tumbuh dari budaya membaca buku, saya rasa Ubud Writers & Readers Festival adalah acara penting yang membuka wawasan kita ke area yang lebih luas. Ini juga melatih kita untuk melihat apa yang beyond the book. Film dan buku adalah dua medium yang bisa memperkaya pemikiran dan mentransfer kebudayaan, jika keduanya digabungkan akan bagus sekali. Tentunya, akan menarik juga melihat sastra dari sudut pandang dunia teater dan film. Dan inilah yang akan saya bagi dan bicarakan di acara itu.

H

Apa proyek mendatang dari seorang Slamet Rahardjo?

S

Saya sedang mempersiapkan sebuah film yang diadaptasi dari film Korea, berjudul “Sweet 20”. Selain itu saya juga mengajar di IKJ dan mengisi posisi kepemimpinan di Teater Populer. Bulan Desember 2016, saya akan mementaskan lakon “Suara-Suara Mati” di Salihara. whiteboardjournal, logo