Ifan Ismail Berbicara Tentang Film Komersil dan Festival

Film
04.04.18

Ifan Ismail Berbicara Tentang Film Komersil dan Festival

Carla Thurmanita (C) berbincang dengan Ifan Ismail (I).

by Febrina Anindita

 

C

Bagaimana awal ada keinginan dari diri Anda untuk terjun ke dalam dunia film, khususnya dalam bidang penulisan naskah?

I

Saya lebih menganggap ini sebagai ‘kecelakaan hidup’ ya. Awalnya saya tidak menyangka akan memulai karir di dunia film. Dari dulu saya sudah senang film, tetapi awalnya saya lebih mengira saya akan masuk ke komik (industri komik), terutama di bagian menggambarnya karena saya sendiri dulu ambil kuliah desain. Jadi saya mengira akan menjadi desainer, namun akhirnya membelok ke dunia film. Tapi sebenarnya saya memulai karir di penulisan naskah itu bukan di industri film terlebih dahulu, melainkan di stasiun televisi. Waktu itu saya mengerjakan naskah untuk program “Extravaganza” dari episode 1 hingga episode yang kesekian ratus. Dari situ baru mulai menulis naskah film.

C

Akhirnya memutuskan untuk menulis naskah film karena waktu itu ada yang mengajak kerja sama atau memang dari Anda sendiri ingin mencoba tipe penulisan naskah lain?

I

Di samping ada ‘kecelakaan’ sejarah, ada keberuntungannya juga. Saya menganggap diri saya beruntung karena dalam karir penulisan itu banyak yang mulai dari pitching dulu, mencari kenalan orang yang tepat, “Saya pengen nulis, tapi kok gak tau channelnya di mana. Kirim ke siapa nih karya saya? Siapa yang bisa kasih feedback karya saya?” Saya melihat ternyata perjuangan orang lain seperti itu, sementara saya agak dilancarkan untuk menemukan jalur tersebut.

Keberuntungannya itu mungkin dimulai sejak masa kuliah. Meskipun saya ambil jurusan desain, saya juga ikut unit film di ITB, namanya Liga Film Mahasiswa (LFM) dimana para penggemar film dan fotografi berkumpul di unit tersebut. Saat itu LFM sempat menjadi partner dalam pemutaran film “Petualangan Sherina”, membantu Riri Riza untuk promo film “Eliana, Eliana” di kalangan mahasiswa Bandung. Lalu saya coba nekat untuk magang di Miles (Miles Films), bagian Art Department, hingga nama saya ikut tercatat dalam pembuatan film “AADC?” juga. Setelah itu, sekian tahun menulis untuk “Extravaganza” dan bisa kenal dengan Salman Aristo dari program tersebut. Jadi dari pengalaman tersebut saya bisa kenal dengan orang-orang yang berhubungan dengan dunia film. And the rest is history.

C

Naskah film yang biasa Anda tulis, seperti “Habibie & Ainun”, “Ayat-Ayat Cinta 2”, dan “The Gift”, kebanyakan merupakan naskah film komersil. Apa yang mendorong Anda untuk menjadi Program Coordinator di Kineforum yang notabene lebih banyak bersinggungan dengan film-film alternatif?

I

Kalau di komunitas film itu ada istilah “cah komunitas” dan “cah industri” yang saya duga awalnya muncul dari anak-anak di Purbalingga dan (mungkin) Yogyakarta di mana komunitas film di dua daerah ini memang kuat. Komunitas dan industri jelas merupakan dua dunia yang sangat berbeda, dan memang sudah saya rasakan cukup berbeda, dan entah bagaimana kaki saya ini berdiri di dua-duanya. Mungkin awalnya dimulai waktu saya sedang sibuk-sibuknya membuat naskah untuk TV, mulai muncul kegelisahan-kegelisahan akan konten yang begini-begini saja. Lalu melihat juga film Indonesia yang begitu-begitu saja. Sejak saat itu saya mulai berkenalan dengan suatu lingkaran yang berisi kritikus-kritikus film melalui Multiply. Saya coba menulis panjang di sana, yang ternyata tulisan saya tersebut menarik perhatian dan ditawari untuk dimuat di RumahFilm.org dengan nama-nama seperti Hikmat Darmawan, Eric Sasono, Krisnadi, dan Ekky waktu itu. Lalu saat saya kumpul dengan lingkar tersebut, saya mulai tahu bahwa sebenarnya ada kritikus film yang memang hobi dan concern terhadap film Indonesia. Setelah RumahFilm.org istirahat, saya sebagai alumni lalu bisa berkenalan dengan komunitas-komunitas film alternatif ini.

Hal lain yang cukup mendorong saya juga adalah waktu saya ikut masterclass/workshop bersama mantan programmer dari Rotterdam, Gertjan Zuilhof di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2016. Di sana ia memberikan perspektif yang sangat menarik bagi saya. Zuilhof yang awalnya juga seorang kritikus, meskipun sebegitu skillfull dirinya dalam menulis, dia bahkan merasa bosan dengan penulisan kritik yang seperti itu saja. Lalu suatu saat dia mulai bermain-main dengan kritiknya sendiri; ada satu film yang menurut dirinya jelek, namun ia puji film tersebut di tulisannya dengan alasan-alasan yang valid. Zuilhof pun berpikir kalau kritikus film itu, seperti Anton Ego di film “Ratatouille”, memberikan perspektif tentang sebuah karya. Dia menawarkan perspektif itu; apa yang relevan dari film ini ke dunia nyata, dan apa yang relevan dari film ini ke dirimu – hidupmu mungkin. Dan kalau misal kamu belum melihat kedua hal itu, silahkan cari sendiri, sedangkan kritikus sudah memberikan jalan sebagai akses.

Lalu kalau memang tujuan kritikus ini untuk memberikan perspektif, kenapa hanya satu film per film saja? Kenapa tidak sekalian jadi programmer? Kalau jadi programmer, kan, kamu bisa sekalian memilihkan dan menyajikan film yang kamu anggap pantas dengan tujuan topik tertentu yang ingin kamu berikan kepada penontonmu. Perspektifnya ini yang lalu mendorong saya. Inilah kenapa di Kineforum, kami buat diskusi setiap bulannya, karena kami memang dasarnya tematik. Jadi kami tidak membicarakan tentang misal “Bagaimana cara membuat film?” atau “Tips-tips untuk membuat film” dalam diskusi kami, karena walaupun kedua hal itu merupakan hal penting, saya pribadi merasa perfilman kita itu mulai butuh perspektif. Mulai butuh statement. Dan Kineforum mencoba menawarkan itu dengan ruangan berkapasitas 45 orang ini. Kita jadikan ruangan ini untuk membicarakan hal-hal di luar film, lewat film sebagai mediumnya.

Selain itu, terkadang saya mengatakan pada diri saya sendiri bahwa wilayah kritikus film, komunitas alternatif, dan programming ini adalah cara saya untuk menjaga ‘kewarasan’ saya. Kalau misalnya saya benar berada di wilayah komersil tok, mungkin saya akan kehilangan banyak perspektif. Kalau benar-benar terbenam dalam industri ini, saya sering lihat gejalanya itu kebanyakan orang sudah tidak mikir lagi soal film kamu itu ingin bicara tentang apa. Antara yang penting tetap laris, yang penting bersenang-senang, yang penting turuti kata produser atau keinginan penonton, tapi tanpa punya statement dan perspektif. Dan memang, kalau sudah terbenam di industri itu uangnya besar.

Di sini saya mencoba seimbang, dan dari sisi egoisnya sendiri, saya juga ingin memperkaya diri dengan dua kaki itu tadi. Lebih tepatnya lagi, kalau di wilayah komersil itu pasti ada kompromi yang harus dijalani, yang sebenarnya bisa dipahami karena jalannya memang seperti itu. Namun idealisme diri itu tetap harus dijaga juga karena jika terlalu lama dibiarkan diam, ia bisa terkikis habis. Dan kalau misalnya sudah habis, ada yang harus dibangun lagi juga.

C

Lalu sebagai penggiat film yang sudah menginjakkan kaki di baik perfilman arus utama maupun alternatif, apakah Anda melihat akses terhadap kedua jenis layar sudah cukup seimbang?

I

Tentu saja belum. Kalau di Jakarta, sih, sebenarnya sudah mulai banyak bermunculan. Seperti Paviliun 28, Sinema Rabu, Cine Space di Tangerang, Kinosaurus, lalu Sinema Sang Akar di Tebet – dan semuanya berinisiatif untuk menghadirkan film-film alternatif. Di Malang pun juga cukup hidup, terutama untuk film-film pendeknya. Akses penonton ke tempat-tempat ini sebetulnya ada saja tapi memang sering tidak terekspos. Platform-platform ini kan sebenarnya terbuka, orang-orang tinggal datang saja kalau memang mau.

Justru akses komunitas itu yang mungkin belum bisa meraih semua penonton. Eksposurnya yang masih kurang jika dibandingkan dengan bioskop komersil. Apalagi platform alternatif ini seringnya memang didirikan atas inisiatif penggila film yang mungkin tidak punya modal besar untuk berbuat banyak, namun secara militan.

C

Berarti bisa dikatakan salah satu kesulitan yang sering ditemui oleh tempat-tempat pemutaran film alternatif ini adalah masalah dana? Apakah ada kesulitan lainnya?

I

Bisa dana, dan tentu biasanya akses ke filmnya. Ini berhubungan dengan isu daerah dan pusat. Kalau misal di daerah, karena memang di sana kebanyakan film alternatif dan film pendek, pembuat kedua jenis film ini pun dari awal dengan sadar mengelilingkan film itu untuk bisa diakses dengan mudah oleh daerah-daerah ini. Untuk film yang lebih mainstream sendiri, seringkali kita harus mengakses langsung ke pemilik filmnya. Kesulitan ini ditambah dengan, kalau di Indonesia, data pemilik film itu tidak ada. Kita harus mencari satu-satu karena database yang rapi, yang bisa diakses itu tidak tersedia. Lagi-lagi harus mengandalkan kenalan di sini.

Di Sinematek sendiri sebenarnya memang menyimpan daftar tersebut, tetapi rights film bukan ada di mereka. Jadi kadang harus dilacak sendiri lagi siapa pemilik terakhir dari satu film ini. Ada juga film yang memang sudah lama sehingga bisa PT-nya sudah tidak ada, production house (PH) nya juga tidak ada, lalu tinggal ahli warisnya dan malah jadi rebutan, ada juga yang dibeli oleh PH lain sehingga kita harus kontak langsung PH baru tersebut. Dengan adanya kesimpangsiuran seperti itu, dan apa yang harus dilalui oleh kita yang berada di wilayah Jabodetabek sendiri, bisa dibayangkan seberapa besar kesempatan bagi platform-platform alternatif di daerah untuk memutar film di tempatnya masing-masing. Misal mereka ingin memutar film tertentu, mereka harus ke pusat dahulu untuk kontak orang yang bersangkutan. Kecuali jika platform di daerah tersebut punya koneksi langsung ke pemilik filmnya sendiri.

C

Pemerintah setempat sendiri sudah cukup turut andil dalam membantu berjalannya bioskop-bioskop independen?

I

Memang pemerintah bisa apa? Saya sendiri tidak bisa cerita banyak untuk permasalahan ini. Kalau misal untuk kasus Kineforum, karena kita ini sebenarnya berada di bawah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tentu kita punya budget untuk program yang berjalan di Kineforum. Tapi selama ini kan budget ini cukup untuk biaya operasional, kalau untuk pengembangan kayanya masih belum ada. Dan dalam praktik umumnya sendiri biasanya saat film disewa, normalnya pemilik film akan mengenakan screening fee. Hal ini biasa terjadi di festival-festival film. Biasanya nanti biaya yang dikenakan untuk pemutaran oleh festival, bioskop alternatif/arthouse, dan bioskop komersil itu dibedakan. Di sini kita tidak punya biaya untuk itu. Jadi biasanya kita tawarkan sistem pembagian hasil donasi tiket dimana ya jumlah hasil yang tidak terlalu signifikan itu hanya bisa untuk menutup biaya operasional saja. Ada juga PH yang keukehuh untuk menetapkan screening fee, jadi ya kita tidak pernah bisa dapat film dari PH itu. Balik lagi, kita ini independen, semuanya harus berjalan sendiri. Untuk dukungan dari pemerintah, bentuknya itu seperti apa, saya sendiri belum terbayang.

Tapi kemarin ada yang menarik dari Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Pusbang Film). Pusbang ini kan sering bikin acara untuk mendukung perfilman mainstream maupun alternatif. Dari workshop sampai temu komunitas itu mereka fasilitasi. Meskipun sering kelihatan orang-orang Mendikbud nya sendiri masih clueless dengan peta perfilman Indonesia, ya tapi saya anggap hal ini tetap upaya yang mengharukan jika memang mereka benar ingin belajar. Terakhir ini ada program “Fasilitasi Pembelian Film Rights (Sewa Hak Tayang)” dari tanggal 26 Maret-18 April ini yang lagi diadakan oleh Pusbang. Jadi mereka seperti bikin forum untuk permasalahan sewa hak tayang film di sini. Berarti kan mereka cukup merespons fenomena kesulitan mengakses film dan menyajikannya ke publik yang selama ini kita keluhkan. Ini mungkin salah satunya. Jadi ya sambil pelan-pelan lah, walaupun tersedat. Lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali.

C

Dalam proses pemilihan film yang akan diputar di Kineforum, selain basis yang dikatakan sebelumnya yaitu tematik, hal apa saja yang terlebih dahulu dipertimbangkan?

I

Pertama, layak bagi saya sebagai programmer. Kadang-kadang ada satu dua kasus yang secara pribadi saya tidak suka dengan satu film, tapi it says something important. Jadi ya sudah, tidak apa. Minimal filmnya memang harus baik, kalau masalah saya suka atau tidak itu lebih ke arah subjektif kan. Tapi kalau filmnya sendiri not good enough sebagai film, agak berat bagi saya untuk mengajukannya. Pernah satu dua kali saya digugat, “Ngapain sih, Fan, pilih film ini? Kan jelek.” dimana saya jawab dengan, “It says something about this and this!” Dan problem-nya adalah, ketika saya berani ambil risiko itu, seringnya penonton sudah keburu kepentok sama jeleknya film tersebut sebelum mereka bisa sampai ke apa yang mau dikatakan oleh filmnya. Jadi seringnya ya lebih baik kembali ke pertimbangan minimal itu tadi.

C

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, perbedaan mendasar apa saja yang mempengaruhi adanya perbedaan perkembangan industri film Indonesia dan luar, khususnya untuk wadah perfilman alternatif?

I

Dari platform dulu, saya belum terlalu tahu bagaimana bentuk platform pemutaran film alternatif di negara-negara luar. Misal di Thailand, saya tidak tahu bioskop alternatif yang mereka punya itu seperti apa. Tapi dari yang terlihat kalau sedang jalan-jalan di Bangkok, bioskop alternatif atau arthouse-nya itu yang bisa menayangkan film-film klasik Amerika. Di sini saya tidak tahu apakah mereka men-sustain itu sebagai entitas bisnis kah, atau memang mereka disubsidi oleh pemerintah atau sesuatu atau bagaimana?

Kedua, mungkin perbedaan nasib. Dilihat dari sisi akses film, terutama film lama. Misal di Filipina, sebenarnya nasib perfilman mereka jika dikaitkan dengan pemerintah, ya sama saja. Sama-sama cuek. Tapi beruntungnya mereka, ada satu televisi swasta di sana yang mengkhususkan diri untuk menayangkan film-film Filipina dari zaman dulu sampai sekarang. Mereka melakukan investasinya itu memang benar dengan cara preservasi film tersebut. Direstorasi, dibeli rights-nya sehingga minimal bisa tayang di televisi, jadi film-film itu terawat. Orang-orang Filipina pun bisa mengakses film lama mereka melalui televisi swasta ini. Budaya filmnya jadi hidup terus. Kalau di Thailand sendiri mungkin ada faktor dukungan dari pemerintah juga. Film archives mereka bagus, bahkan di sana kita bisa beli film klasiknya Thailand dalam bentuk DVD. Sedangkan kita, bisa di mana? Paling download di YouTube kan. Contoh-contoh seperti itu mungkin yang bisa saya berikan.

C

Tidak semua penonton memiliki selera untuk film alternatif, dan hal ini mungkin saja dikarenakan lebih seringnya mereka pergi menonton film arus utama di bioskop komersil. Menurut Anda sendiri, mengapa hal ini kerap terjadi? Apakah mungkin kurangnya akses atau informasi terhadap film alternatif menjadi salah satu faktor?

I

Mungkin untuk pertanyaan ini, jawabannya big stroke banget ya, karena saya akan membicarakan budaya yang hilang di sini. Dulu saya dan RumahFilm.org pernah membuat buku berjudul “Menjegal Film Indonesia”. Jadi, kita bekerja sama dengan TIFA Foundation melakukan penelitian ekonomi dan politik film Indonesia, pasca orde baru terutama. Fenomena yang paling kelihatan adalah dengan munculnya jaringan bioskop XXI saat itu, tentu ada efek samping yang terjadi. Sekarang ini memang selain bioskop jaringan yang saya sebutkan tadi mulai banyak lagi bermunculan, seperti Cinemaxx dan CGV meskipun semuanya memang punya modal yang kuat.

Kalau zaman dulu kan bioskop itu sebenarnya ada di mana-mana. Di setiap daerah, di kota kelas dua ataupun kelas tiga, pasti ada bioskop dengan pengelolaan masing-masing yang walaupun tidak sepenuhnya profesional, namun tetap meriah. Karena hal ini lah lalu film jadi bagian budaya saat itu – budayanya orang Indonesia ya mereka sudah biasa lihat film. Tapi kemudian saat munculnya jaringan XXI ini, banyak bioskop di kota kelas kedua dan ketiga tadi mulai hilang. Contohnya di Banyuwangi dan Kupang, yang dulunya ada gedung yang dipakai sebagai bioskop ya sekarang sudah tidak ada lagi. Jadi secara umum kita melihat adanya kekurangan akses orang Indonesia ke bioskop bahkan yang komersil sekalipun.

Ketika tiba-tiba sekarang bioskop malah identik dengan gaya hidup, karena memang semua bioskop sekarang ya jadi satu dengan mall, maka dia bukan lagi jadi semacam budaya nonton yang khas – budaya menontonnya saja sendiri. Dan karena jumlah bioskop yang sedikit ini, lumayan satu generasi hilang dimana orang sudah tidak terbiasa menonton film lagi. Pelan-pelan budaya itu hilang, sesederhana itu. Ditambah dengan adanya gangguan distraksi yang dimunculkan oleh teknologi. Tetapi di luar itu tetap selalu ada penonton-penonton yang curious enough untuk datang ke kita, dan meskipun hanya segelintir orang ya pelan-pelan bisa ditumbuhkan lagi budaya menonton tersebut.

C

Hal apa saja yang ditawarkan oleh bioskop alternatif yang tidak bisa didapatkan dari bioskop komersil sehingga dapat menarik perhatian penonton?

I

Seperti yang saya sebutkan di awal tadi, ketemu dengan penontonnya langsung, jadi adanya interaksi langsung di ruang kita. Kalau bioskop komersil kan ya kamu datang, beli, terhibur atau tidak, lalu pulang. Kalau di tempat kita sendiri, kita ingin lebih dari itu. Itulah kenapa kita selalu bikin program diskusi, dan kalau memungkinkan sambil menghadirkan filmmaker nya. Misal adanya Q&A setelah pemutaran film, dan malah idealnya kita juga bisa membicarakan tema yang sedang ditawarkan. Ya itu tadi, kembali lagi ke visi core kita bahwa kita ingin menyampaikan hal-hal lain melalui film.

C

Lalu sejauh ini apakah grafik audiens yang datang sebagai penonton sudah stabil dan datang dari beragam kalangan dan umur?

I

Kalau umur, sebenarnya banyak dari usia late 20s atau fresh graduates yang baru lulus kuliah atau mulai kerja ya. Untuk usia lebih tua lagi kadang-kadang ada juga yang datang tapi tidak banyak. Malah yang saya sayangkan jumlah penonton dari anak muda yang masih SMA dan kuliah ini yang sedikit. Sedangkan stabil atau tidaknya jumlah penonton sebenarnya tidak bisa dipastikan karena faktor terbesarnya tetap terletak pada film apa yang sedang diputar.

C

Selain tempat pemutaran film berupa ruangan seperti Kineforum, terdapat juga platform film alternatif online seperti Viddsee dan Kineria. Bagaimana pendapat Anda mengenai apakah platform online dan offline sama-sama dapat memberikan akses untuk audiens ke film alternatif?

I

Menurut saya keduanya sudah pasti bisa kalau memberikan akses ke penonton, tapi kembali lagi, bisa tidak mereka yang mengakses ke penonton? Kira-kira penonton tahu tidak ya ada film apa misalnya yang diputar di platform online tersebut? Kembali lagi ke eksposur. Contoh lain, saya cukup kaget ketika melihat di commuter line ada televisi mereka di dalam kereta yang memutar film pendek yang saya tahu dan memang bagus filmnya.

Tapi tetap diperlukan studi khusus untuk meneliti apakah platform tersebut tepat bagi penonton. Karena bagi saya sendiri, film bukan sesuatu yang bisa ditonton di televisi yang hanya bisa sesekali dilirik seperti itu. Apakah platform seperti itu merupakan platform yang tepat untuk menampilkan film yang membutuhkan perhatian lebih? Di luar itu, untuk platform online seperti yang disebutkan tadi sudah cukup memberikan keragaman sih.

C

Apa harapan Anda terhadap pergerakan platform film alternatif di Indonesia?

I

Lebih ke sistem ya, tepatnya pembaharuan sistem. Tentu saya juga berharap adanya pertumbuhan platform, namun pentingnya sistem di sini adalah supaya pertumbuhan ini bisa bertahan juga. Balik lagi ke permasalahan database yang sudah kita bahas tadi. Jika ada pembangunan sistem dimana database mulai dimunculkan, tersusun rapi hingga lebih mudah diakses, maka ruang putar film yang nantinya tersebar itu otomatis akan terdukung agar bisa bertahan.

C

Akan seperti apa prospek Kineforum untuk ke depannya?

I

Sementara ini fokus di menayangkan film alternatif dulu. Lebih tepatnya, mempertahankan program rutin yang ada. Karena untuk pengembangan program lagi-lagi, seperti yang saya bilang tadi, tidak ada dana pengembangan program. Apakah kita harus membuat cara kreatif sendiri untuk melakukan hal tersebut? Tetap harus ada strategi pengembangan yang kita pikirkan untuk ke depannya. Sebenarnya mempertahankan program tadi itu target minimal, kalau bisa kita juga ingin mengembangkan program dengan cara membuat program yang berbeda dan lebih lagi dari sekarang.whiteboardjournal, logo