Wacana Kehidupan bersama Mahfud Ikhwan

Art
24.01.18

Wacana Kehidupan bersama Mahfud Ikhwan

Soni Triantoro (S) berbincang bersama Mahfud Ikhwan (M).

by Febrina Anindita

 

S

Bagaimana awal mula ketertarikan Anda dengan dunia fiksi?

M

Saya berkenalan dengan fiksi baru nyaris setelah masuk sekolah sastra. Di situ, saya mulai memutuskan untuk tertarik atau berpikir bahwasanya “sepertinya aku bisa.” Cuma boleh jadi itu bukan perkenalan pertama, apalagi kalau bingkainya fiksi.

Saya orang yang sangat mengandalkan kuping dan besar dengan tradisi telinga. Saya tumbuh, dan kemudian menjadi penyimak yang baik ketika sandiwara radio booming. Saya rasa itu adalah perjumpaanku yang intens dengan karya fiksi. Ada Brama Kumbara, Arya Kamandanu, dan lain-lain. Saya juga seorang penyimak ludruk radio yang intens. Saya menyukai tokoh-tokoh urban legend Jawa Timur. Di luar itu, saya pun menyukai tontonan film. Apapun yang punya storytelling maka saya lahap, dari yang bagus sampai yang sangat buruk. Saya agak yakin bahwa itu berhubungan karena saya masih menjadi pendengar dan penonton yang baik sampai sekarang. Tontonan saya masih itu-itu saja. Walau berkembang, tapi saya tidak benar-benar bisa meninggalkannya sebagai dosa yang menyenangkan, termasuk musik-musik cengeng dan cerita-cerita receh. Bahkan saya masih nonton gosip artis.

S

Kalau fiksi dalam bentuk teks tertulis?

M

Selain giat mendengarkan sandiwara radio, saya memang juga membaca beberapa buku di era berlangsungnya puncak ideologi kepemimpinan Orde Baru yang salah satu pilarnya adalah bacaan resmi, dan penyebarannya termasuk ke sekolah-sekolah. Jadi meskipun sekolahku buruk, tapi bacaan-bacaan standar itu tetap masuk. Di umur delapan sampai sepuluh tahun, saya sudah mengenal Zawawi, Arswendo, Andy Wasis, dan sosok-sosok lain yang waktu itu ditunjuk oleh alat-alat resmi pemerintah–entah itu departemen pendidikan atau Balai Pustaka–untuk menulis cerita anak. Kurasa itu bisa masuk ke pertanyaanmu.

Di umur sepuluh sampai sebelas, saya bertemu dengan buku-buku Fredy S, Eddy Iskandar dan sebagainya. Yah, penetrasi dari budaya buruk kota ke desa lewat persentuhan pertama anak-anak remaja desa dengan kenakalan ala remaja kota, seperti bacaan-bacaan terlarang. Mungkin di saat yang sama film biru juga masuk, cuma saya mengonsumsinya belakangan.

Kalau kemudian ada teman-teman sesama penulis yang sangat yakin ia sudah membaca sastra sejak SD sampai SMP, saya tidak punya bayangan yang sama. Sekolahku sangat buruk, sehingga yang ada cuma buku cerita rakyat, cerita dari penjuru Nusantara, atau cerita motivasional. Salah satunya yang masih saya ingat adalah sebuah buku tebal berjudul Penakluk Ombak Pantai Selatan. Kira-kira buku itu semacam dorongan si penulis dan negara agar orang Jogja berani menjadi nelayan. Dan saya dengar sendiri sebenarnya tradisi nelayan di Pantai Selatan Jogja baru muncul belakangan.

Di SMP, saya mengenal sastra lewat hapalan pelajaran. Saya sudah mendengar nama Iwan Simatupang, Chairil Anwar, Amir Hamzah, Rendra, tapi dalam bentuk hapalan. Jadi saya hapal buku apa saja yang pernah ditulis mereka. Tapi tentu saja tidak pernah bukunya bisa kulihat. Walau sebenarnya juga agak fundamental terhadap minatku pada sastra, tapi kurasa itu belum layak disebut sebagai sebuah perkenalan dengan fiksi atau sastra.

Pengalaman menarik di SMU yang sering saya ceritakan adalah tentang momen di salah satu pelajaran Bahasa Indonesia. Kami diminta membuat resensi novel Indonesia yang bisa dipinjam di perpustakaan sekolah. Saya ingat mengambil buku berjudul Hujan Kepagian karangan Nugroho Notosusanto. Yang saya tidak tahu waktu itu ternyata Hujan Kepagian adalah kumpulan cerpen. Saya bahkan tidak tahu bedanya novel dan cerpen di usia 17 tahun. Makanya saya baru benar-benar mengenal fiksi di Jogja.

S

Lalu kapan mulai “memproduksi” atau menulis? Apakah ada hubungannya kemudian dengan memilih kuliah di jurusan sastra?

M

Pertama, saya tidak punya bayangan apapun ketika masuk jurusan sastra kecuali bahwa itu memungkinkanku lebih mudah untuk masuk UGM. Soalnya saya tidak berhasil masuk ketika memilih jurusan teknik dan eksakta. Sastra itu pilihan prioritas ketiga (tertawa). Saya masuk sastra, dan baru setelah itu memutuskan untuk menulis sastra.

S

Apakah Anda merasa terlambat mulai menulis dibanding penulis lain?

M

Kadang ada perasaan itu. Saya sering iri dengan teman-teman yang membaca Iwan Simatupang dari SMP atau Layar Terkembang sejak SD. Tapi saya pikir itu perjalanan masing-masing, dan sampai di titik ini justru saya memperkaya diri sebagai penulis dari tradisi yang receh, murahan, dan kodian.

S

Anda sudah dianugerahi dua penghargaan bergengsi di wilayah sastra untuk dua novel terakhir. Apakah ada bentuk apresiasi lain yang masih dicari?

M

Ini agak sulit. Pertama, saya tidak terlalu peduli dengan apresiasi dari lembaga-lembaga seperti itu. Mereka menjadi penting ketika saya memang membicarakan sastra Indonesia secara umum, bukan ketika bicara karyaku. Dan saya relatif agak membebaskan diri dari pikiran-pikiran besar yang banyak dipegang oleh para penulis sastra, misalnya ingin mengubah sastra Indonesia atau membuatnya mendunia. Itu persoalan personalku kenapa menulis. Kalau itu kemudian berhubungan dengan sastra secara umum, mungkin karena saya jebolan Sastra Indonesia sehingga saya mengerti secara keilmuan. Saya agak mudah membebaskan diri dari irisan-irisan yang sifatnya kelembagaan atau relasi antara karya dan apresiasi.

Benar bahwa saya sempat mengalami fase yang pahit soal apresiasi. Ketika saya menulis Ulid Tak Ingin ke Malaysia (2009), sejak awal saya berpikir bahwa itu pasti buku yang akan sulit dijual dan sulit mendapat pembaca. Tapi saya kemudian tahu bahwa Ulid akhirnya lebih sulit lagi dijual dari yang saya perkirakan, atau malah memang tidak ada usaha untuk menjualnya. Setidaknya mungkin dijual dengan cara yang salah, misalnya bagaimana novel semacam itu dijual seolah bacaan motivasi, terlihat dari kovernya. Novel yang agak anti-drama tapi dijual sebagai drama yang berurai air mata. Ini seperti menjual acara komedi di malam Jumat. Ini memukulku sebagai penulis, bahwa bukuku yang kutulis lama dan panjang ternyata tidak dibaca orang dan dibicarakan. Bahkan tidak terjual dan tidak memberiku uang. Bagaimana seorang penulis hidup jika tidak dari karyanya? Saya menulisnya di sela-sela menjadi buruh selama enam tahun, dan buku itu sama sekali tidak memberiku uang.

Ini berhubungan dengan perasaanku saat Kambing dan Hujan mendapat penghargaan dari DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Pertama, harus kuceritakan bahwa Kambing dan Hujan memang kutulis dengan intensi yang lebih ringan. Bahkan, kalau mau dijual secara pop, ya okelah, meskipun saya memakainya juga untuk menyampaikan kegelisahanku sebagai orang yang hidup di antara komunitas agama yang bersaing. Tentu saja tidak kepikiran bahwa buku itu kemudian justru mendapatkan status sebagai pemenang sebuah lomba dari lembaga yang kita anggap sebagai puncak lembaga kebudayaan di Indonesia – bagiku bukan, itu lembaga provinsi yang kebetulan di pusat saja. Yang terbaik dari apa yang bisa kuterima ketika mendapati bahwa novelku yang berikutnya jadi juara DKJ adalah dia (Kambing dan Hujan) mungkin akan lebih baik nasibnya. Mungkin tak ada hubungannya dengan uang atau jumlah pembaca, tapi ini sedikit menghiburku. Yang kedua, saya dapat uang dalam jumlah yang relatif baik, mungkin 10 atau 20 kali dari novel pertama (Ulid). Oke, yang saya lakukan ternyata tidak sia-sia. Hal yang pertama dipikirkan saat menjadi penulis memang tindakan altruis, tapi saya tidak mau menjadi altruis yang konyol, katakanlah tidak bisa mengontrak rumah sendiri. Kalau kamu tidak bisa mandiri melakukan sebuah pekerjaan, berarti pekerjaan itu tidak layak dihidupi. Kupikir sisi baiknya di situ.

Penghargaan-penghargaan itu memudahkan buku-bukuku diterima dan dibicarakan. Apa yang kutulis sebagai semacam refleksi kemudian menjadi tersampaikan. Ya sampai di situ saja. Hal-hal lainnya ya contohnya saya senang dapat hadiah, dan kamu mewawancaraiku. Ada juga penerbit besar yang bertanya, ”Mas, ada naskah nggak?” Ini menyenangkan, karena dulu saya harus berjuang untuk menawarkan naskahku. Sweet revenge. Dan itu tidak ada hubungannya dengan cita-citaku untuk sastra Indonesia. Kalau ditanya sejujur-jujurnya “kenapa kamu menulis?”, saya akan menjawab, “Aku ingin mengubah dunia”. Tapi saya jual buku saja tidak bisa kok mau mengubah dunia.

S

Dalam Kambing dan Hujan, Anda menggunakan istilah “masjid utara” dan “masjid selatan.” Apa saja pertimbangan untuk tidak secara langsung memakai sebutan Muhammadiyah dan NU?

M

Pertama, itu akan menggangguku untuk bercerita karena saya adalah bagian dari salah satunya. Saya menulis Kambing dan Hujan untuk membongkar mitos-mitos dan pada saat yang sama membuat olok-olok. Biar orang kemudian membuat pilihannya sendiri, sampai akhirnya menemukan bahwa ada Muhammadiyah dan NU di sana. Kedua, dalam realitas pun saya menemukan bahwa kami biasa menyebut “masjid timur” dan “masjid barat”. Awalnya saya ingin memberi judul novel itu “Utara Selatan Terpisah Jalan.” Tapi tentu saja ini judul yang akan terlihat konyol.

Yang ingin saya gambarkan adalah bahwa ada jalan yang memisahkan dua pihak. Makanya saya pakai variabel jembatan yang kemudian dibakar oleh orangtua, dan anak muda kemudian ingin membangunnya ulang.

S

Terlihat ada gap generasi ketika Mif dan Fauzia sebagai golongan muda tidak mempermasalahkan perbedaan “aliran” sebagaimana orangtua mereka. Apakah Anda melihat bahwa gap ini juga terjadi di realitas era sekarang?

M

Itu idealisasi atau bayangan idealku. Pada kenyataannya, konflik itu terwariskan sebagaimana cara pandang kita terhadap PKI. Dan para pewaris ingatan ini biasanya membuat simpulan dan stereotip lebih buruk lagi karena mereka berjarak sehingga tidak tahu masalah sebenarnya. Bisa dilihat di situ bahwa Mif dan Fauziah adalah generasi yang ideal. Mereka terdidik dan menjadi kelas menengah urban dan tercerahkan, tapi lingkungan mereka masih sama dengan kesadaran kolektif yang dibangun orangtuanya. Kalau generasi tua masih punya alasan untuk berkonflik, maka yang muda-muda ini tinggal berpegang pada stereotip yang tidak berusaha dibuktikan. Mungkin generasi berikutnya memang relatif tercerahkan, tapi kamu pasti tahu bahwa itu masih menjadi persoalan. Media sosial masih membuktikan bahwa Mif, Fauziah, dan kesepakatan mereka untuk tidak mempermasalahkan itu hanya pengecualian. Bahkan, mungkin hanya ada di kepala penulis.

S

Sebagai orang yang sudah bertahun-tahun tinggal di Jogja yang relatif urban, bagaimana Anda memosisikan diri ketika memotret kehidupan desa? Menggunakan sudut pandang orang kota atau orang desa?

M

Itu lebih tepat dijawab pembaca bukunya. Tapi walau sudah 20 tahun tinggal di Jogja, saya merasa gagal menjadi orang urban. Meskipun dalam kualitas tertentu saya adalah orang urban–misalnya saya menulis, punya waktu luang, dan terdidik – cuma saya merasa punya psikologi seperti para diaspora yang gagal. Manusia ulang alik. Saya orang desa yang ke kota, dan ketika pulang ke desa maka saya menemukan bahwa saya orang kota tapi tak pernah benar-benar menjadi orang kota. Kadang secara sengaja saya mencitrakan diri sebagai orang desa, misalnya nongkrong di warung kopi dekat sawah sebagai usaha melankolis. Boleh jadi ini adalah cara seorang desa yang mengurban tapi gagal, dan kemudian mencoba menebus rasa bersalahnya.

Saya pernah menulis cerita-cerita yang berbasis urban karena waktu menulis cerpen dulu acuanku adalah Putu Wijaya yang sangat urban. Tapi waktu itu saya merasa gagal masuk pada tokoh-tokoh berjenis urban sehingga tulisan-tulisanku yang berbasis urban tidak berkembang. Ketika akhirnya saya harus menulis novel, nyaris tidak ada pilihan lain selain membuat cerita yang lebih panjang dan kompleks dengan persoalan-persoalan desa dan dinamikanya, termasuk ketika desa itu mengalami gejala urbanisasi. Bisa jadi desa-desa yang bergejolak di karya-karyaku adalah cerminanku juga sebagai orang desa yang berubah tapi tidak sepenuhnya bisa menjadi orang kota.

S

Sepengamatan Anda, persoalan sosiologis pedesaan itu dinamis atau tak banyak beranjak?

M

Belum lama ini, saya membuat kritik pada seorang teman. Saya memujinya karena berani membuat novel dengan set pedesaan. Tapi saya lihat karyanya tidak lepas dari pretensi menyebarkan pencerahan yang didapatkannya dari kota. Kita seperti anak desa yang datang ke kota mendapatkan pencerahan lalu balik dan semuanya terlihat gelap. Bagaimanapun saya juga mengalami fase itu. Setelah dari kota, saya tahu bahwa orang-orang desaku tidak bisa maju. Ini persis seperti founding father kita yang ketika ke Belanda kemudian melihat dari jendela di sebuah kafe di Den Haag, mengenang Jawa, lalu ingin melakukan sesuatu. Fase itu ada dalam caraku berpikir. Tapi di saat yang sama, pencerahan juga muncul dari bacaan dan cara berpikir kelas menengah terdidik yang mengajariku bahwa desa tidak sestatis itu. Mereka punya dinamikanya sendiri. Desa dan penghuninya itu hidup. Mereka punya respons-respons yang khas terhadap perkembangan di luar desa. Pada titik tertentu, sebuah desa tidak dapat menutup diri.

Di Ulid misalnya, sebuah desa tampak tenang meskipun miskin sampai mereka mendapati sebuah industri yang mengancam mata pencahariaannya. Mereka berjumpa dengan sesuatu yang lebih besar, yakni ekonomi kapital, sementara sebelumnya mereka cukup dengan ekonomi subsisten. Respons desa itu kemudian luar biasa. Mereka tidak lalu menjadi defensif, namun agresif. Menjadi perantau dan kemudian memeluk kultur atau moda produksi yang bukan hanya semi urban, bahkan metropolitan. Orang-orang desa yang kugambarkan di Ulid melompat ke kota metropolitan. Mereka mungkin menjadi bagian paling pinggiran dari kehidupan itu, tapi kemudian mereka membawa gaya hidup, moda produksi, dan etos urban itu kembali. Mereka mulai mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, menabung, merencanakan bisnis, membuat rumah yang layak, memiliki selera lawan jenis yang berbeda, serta mendengarkan musik dan tontonan yang berbeda pula. Pada akhirnya komunitas-komunitas yang kita pikir tampak sebagai kegelapan boleh jadi justru hanya ketidakmampuan kita sebagai orang desa yang mengurban untuk melihat dan kembali pulang. Kita tidak bisa merumuskan itu. Dan boleh jadi ilmu-ilmu yang berkembang di kampus tidak bisa segera meringkus semuanya dengan keilmuan yang tepat.

S

Apakah dimensi sosialnya juga beragam sebagaimana ada tokoh seperti Inayatun dan Mat Dawuk pada Dawuk yang beda jauh dari tokoh-tokoh di Kambing dan Hujan yang cenderung lebih santun?

M

Iya, iblis dan malaikat ada di manapun. Selalu salah untuk menggambarkan desa sebagai malaikat, dan kota sebagai iblis. Itu berarti tidak memahami kompleksitas. Desa punya persoalan-persoalan sendiri. Desa menciptakan iblis dan pahlawan-pahlawannya sendiri. Tidak seperti yang digambarkan orang kota. Ulid misalnya, menggambarkan apa yang terjadi di dekade 80-an atau 90-an soal anak kota yang broken home dan tidak mendapat arahan yang cukup. Itu terjadi di desa, di mana sebuah komunitas mengalami gelombang buruh migran. Banyak anak-anak yang dicukupi secara ekonomi dan benda tersier tapi mereka hidup bersama neneknya. Arah hidup mereka kemudian ya membeli motor di usia 14-15-an, ikut trek-trekan, mati karena minum dan pil koplo, punya perilaku seksual yang berani, dan itu ditunjukan lewat karakter Inayatun. Meskipun tanpa bersentuhan dengan migrasi pun bibit-bibit semacam itu memang ada.

S

Dawuk punya daya sinematik dan lebih kuat membangkitkan imaji visual dibanding Kambing dan Hujan. Apa yang membedakan dari proses penggarapannya?

M

Dawuk memang dibentuk oleh pengaruh-pengaruh yang tadi kusebut: lucah, murahan, pemuas nafsu. Ini termasuk film-film yang bukan hanya bagus tapi juga sangat buruk – film nggak bermutu yang ceritanya melompat-lompat. Saya menyebut Machette-nya Robert Rodriguez sebagai pengaruh. Sementara beberapa pembaca melihat Dawuk kubuka dengan adegan yang sangat mirip dengan El Mariachi, meskipun saya tak menyadarinya. Acuan-acuannya ya ke film-film action India, film silat Indonesia, Rhoma Irama, lagu dangdut, atau cerita ludruk. Jika kamu tanya buku apa yang kubaca ketika menggarap Dawuk, maka saya akan lebih menyodorkan kepingan film, kaset, dan buku-buku stensilan. Saya juga membaca karya-karya Mary Shelley dan Stevenson, tapi hanya untuk tahu caranya bikin cerita yang gloomy dan punya feel thriller. Namun, kurasa itu sebenarnya lebih bisa kudapat di film. Beberapa adegan penting di Dawuk adalah adegan film. Dialognya juga lebih diambil dari dialog film. Saya punya bayangan yang agak terang bagaimana tokoh-tokohku secara visual. Saya membayangkan komposisi ketika Mandor Har dan Blandong Hasan masuk ke rumah Inayatun dan kemudian punya maksud buruk. Saya bisa bayangkan rumahnya seperti apa dan komposisi duduk mereka, bagaimana kejadian tragis itu terjadi, lalu Dawuk datang ke rumahnya dengan terlambat.

S

Anda memperlihatkan minat besar terhadap desa, film India, dan musik dangdut dalam karya-karya Anda. Apakah Anda memang melihat ketiganya punya relasi ruang yang kuat?

M

Iya, setidaknya dalam pengalaman personalku. Dan ada upaya untuk semacam “melawan dunia” dengan itu semua. Kadang kita menemukan novel-novel Indonesia ber-setting desa, tapi acuan-acuannya kisah klasik Yunani atau menggunakan lagu-lagu jazz. Bisa membayangkan? Kadang memang bercerita lebih asyik dengan acuan-acuan yang bersifat snob terhadap tokoh-tokohnya, hingga karakternya menjadi aneh.

Saya memakai film India, dangdut, dan cerita ludruk agar tampak lebih meyakinkan sebagai cerita rural. Bahkan pada tingkat yang lebih dalam lagi, saya sangat berusaha menciptakan metafora-metafora yang sifatnya terjangkau. Banyak orang bicara dengan latar Bali atau Lombok tapi metaforanya hanya cocok untuk cerita dengan latar Irlandia atau perbatasan Amerika-Meksiko. Menurutku itu salah. Benda-benda atau acuan untuk menjelaskan cerita dalam universe mereka akhirnya tidak terjangkau. Katakanlah, dalam Dawuk, saya menulis, “Ia ketakutan, badannya bergetar seperti cangkir yang digedor” atau “Dia jatuh ke tanah seperti pohon pisang yang tersambar petir.” Saya berusaha seperti itu, dan itu jarang kutemui di sastra kita. Kadang pengaruh besar membuat penulis kita menjadi genit, sehingga tidak asyik rasanya kalau tidak menyebut pohon oak atau pohon maple.

S

Mereka terbebani untuk membuat metafor yang impresif?

M

Orang-orang ingin mengesankan pembacanya dengan impresi-impresi yang lebih bersifat ke arahnya sendiri dibanding tokohnya. Di Ulid yang latarnya menyerupai dunia sandiwara radio dan cerita silat misalnya, sejak awal saya membatasi diri untuk mengambil metafora yang sesuai. “Hatinya hancur seperti pendekar yang dibanting” atau “Dia payah seperti begundal yang hanya muncul belakangan dan mati.” Itu seperti bagaimana orang Jawa selalu mencerminkan dirinya ke wayang. Sebuah usaha untuk memetaforakan.

S

Ketiganya (desa, film India, dan dangdut) juga sering diperbincangkan dengan sikap inferior oleh masyarakat. Sejauh apa Anda berupaya membuatnya lebih diakui seperti yang disinggung di Kata Pengantar “Aku dan Film India Melawan Dunia”?

M

Pengantar di “Aku dan Film India Melawan Dunia” bisa diterapkan juga di novel dan cerita-ceritaku. Bukan hanya yang inferior adalah dangdut, film india, dan desa, Mahfud Ikhwan adalah orang yang mungkin juga dianggap inferior. Orang inferior yang mencoba memulihkan kepercayaan dirinya. Kamu bisa melihat bagaimana saya dengan bersemangat dan penuh pembelaan membagikan link film India dan lagu dangdut. Itu adalah metode. Saya punya inferiority complex dan sedang berusaha melawannya. Salah satu caranya adalah merasa lebih besar dari yang lain atau – paling gampang – mengecilkan yang lain. Saya mengejek musik jazz dan para penikmatnya. Nggak masalah, mungkin para penikmat jazz tak pernah mengejek dangdut, karena bahkan terpikir pun tidak (tertawa).

S

Lalu apa menurut Anda tentang snob?

M

Saya melalui fase snob itu. Makanya saya bisa mengejek para snob. Saya tidak bisa menjelaskannya secara ilmiah seperti kamus Merriam Webster, tapi setidaknya saya tahu orang seperti apa yang snob. Mungkin orang biasa menyebutnya hipster. Bagaimana orang yang menunggu albumnya Homicide yang tidak bikin album lagi, hingga akhirnya dia mendengarkan Via Vallen, dan tiba-tiba apresiatif dengan lirik. Sejak kapan pendengar dangdut memikirkan lirik, kecuali seorang pemuja Rhoma Irama yang kemudian kuliah di Jogja, lalu berubah cara pandangnya? (tertawa)

Saya seorang snob, tapi memang fatal jika snob tidak berhenti-henti. Bebas dari snob itu kira-kira setelah nonton semua film (Francis Ford) Coppola, lalu ”Wah, ini film terpenting yang dilahirkan oleh industri”, tapi akhirnya mengantuk, dan “Ya sudah, ini memang tidak menyenangkan”. Apocalypse Now? Itu film apa? (tertawa)

S

Sebagai negara dengan tingkat kesejahteraan tak terlalu tinggi, bagaimana industri film India bisa sangat produktif? Apakah justru ini berkat kebutuhan eskapisme dari warganya?

M

Pertanyaan itu menghantui puluhan atau ratusan sarjana di India. Saya menemukan buku-buku tentang sinema di India yang menjawab pertanyaanmu, tapi saya belum membacanya. (tertawa)
Orang India punya dua agama – yang lain gaya hidup – , yakni kriket dan film. Mereka terikat luar biasa dengan itu. Fandom untuk film di sana sangat berbeda. Jangankan Bollywood, seorang teman bertutur bahwa bintang-bintang film di Bangalore yang mati saja akan diikuti oleh matinya penggemarnya. Seperti istri yang mengikuti kematian suaminya sebagai ungkapan rasa cinta. Itu tidak bisa dibayangkan terjadi di sini.

Tapi hal itu juga didukung oleh bagaimana politik membentuk film. Meski belum benar-benar jelas, tapi bisa kupaparkan sedikit bahwa film di era pasca-Nehru adalah salah satu cara untuk mencitrakan tentang nation-state, nasionalisme, dan mendefinisikan diri. Mereka punya Mother India (1957), sebuah film dengan karakter yang dibikin oleh seorang muslim, dan menggunakan judul dari sebuah buku antropologi Amerika yang dipakai untuk menghina dan mendiskreditkan India. Itu lebih dari sekadar apa yang disebut oleh orang-orang postkolonial sebagai mimikri. Jadi film itu meniru dan kemudian melawan stereotip. Mother India lantas menjadi prototip perempuan di film-film India sampai sekarang, dan di saat yang sama membentuk kehidupan di luar layar. Pada akhirnya orang India punya acuan bagaimana menjadi ibu bagi anak-anaknya. Ibu yang bekerja keras, menghidupi anaknya, dan kemudian berani membunuh mereka jika berbahaya bagi dunia

Di sisi lain, ada juga keputusan-keputusan politik yang kemudian berimplikasi pada membesarnya industri film India. Televisi tidak begitu berkembang di India sampai akhir 80-an. Pertama, itu adalah upaya dari emergency-nya Indira Gandhi yang semi diktator. Kedua, kebijakan ini memang dipakai untuk melindungi industri film. Para insan film tidak ingin mereka mendapat pesaing dari film serial atau film-film yang masuk televisi membuat orang-orang tidak lagi datang ke bioskop. Bayangkan, di tahun 60-an, ketika orang-orang sudah melihat The Beatles di televisi, fase industri televisi baru dimulai India di dekade 80-an.

S

Kenapa film-film India tampak lebih lapang untuk menampilkan problem-problem sosial masyarakatnya, misalnya dibanding Indonesia?

M

Mereka punya tradisi kiri di fase-fase pembentukannya. Mereka punya orang-orang berorientasi kiri dan komunis yang masuk di industri. Mereka menjadi sutradara, aktor, penulis cerita, dancer, music arranger, dan sebagainya yang sulit diabaikan karena paling berbakat di antara yang lain.

Sebagian di antaranya punya pengaruh besar, termasuk mereka di balik apa yang disebut IPTA (Indian People’s Theatre Association). Ini semacam Lekra-nya India. Orang-orang ini punya kaitan yang sangat erat dengan teater rakyat yang melahirkan banyak aktor besar di industri. Komunis memang pernah dikalahkan di fase-fase krisis revolusi India, tapi mereka tak pernah dibasmi seperti Indonesia membasmi Lekra. Dan sekali lagi, mereka terlalu berbakat untuk diabaikan industri. Jika pernah nonton The Apu Trilogy (1955-1959), maka itulah kemiskinan atau realisme sosialis yang dibungkus dengan sedikit romantisme Bengali. Beberapa film penting dalam tradisi India memang sangat kiri.

Satu lagi, mereka juga punya koneksi yang bagus sampai setidaknya rezim Indira Gandhi berakhir di akhir tahun 80-an dengan Soviet. Mereka memang baru terbuka di dekade 90-an. Sebelumnya, India relatif tertutup. Salah satu cirinya, orang-orang seperti Amir Khan nggak banyak kenal film-film dunia. Dia mungkin nggak tahu beberapa filmnya mencontek dari luar.

S

Apa rencana proyek ke depan?

M

Saya sedang ingin menulis buku sepakbola, tapi belum tahu pastinya akan seperti apa. Selain ini menjelang Piala Dunia 2018, pada dasarnya saya digerakkan oleh kesenangan, dan sebagian dari apa yang saya tulis sebenarnya memang kesenangan-kesenangan dan kecenderunganku sebagai person. Itu kenapa saya menulis tentang dangdut, film india, dan desa.whiteboardjournal, logo