Jelajah Alam bersama Nicholas Saputra

Art
21.06.17

Jelajah Alam bersama Nicholas Saputra

Febrina Anindita (F) berbincang dengan Nicholas Saputra (N).

by Febrina Anindita

 

F

Terlepas dari profesi sebagai aktor, Anda memiliki hobi untuk mengeksplorasi tempat-tempat di dunia lewat traveling. Seperti apa awal mula ketertarikan Anda terhadap traveling?

N

Sebenarnya ketertarikan datang sejak kecil, secara umum ada berbagai macam hal yang membuat saya travel. Yang pertama curiosity. Saya suka sekali sejarah karena sering nonton film-film yang berkaitan sama sejarah, kebetulan waktu kecil, kakek saya suka sekali nonton documentary. Untuk TV saya nonton dari kecil sejak di awal 90-an, biasanya nonton acara-acara yang berhubungan sama alam, khususnya flora fauna. Waktu SD, saya mulai banyak melihat image-image dari berbagai macam tempat, baik di Indonesia maupun di luar. Lalu saya ingat banget waktu kecil ada acara yang namanya Anak Seribu Pulau (RCTI), itu Mira Lesmana juga produsernya. Acara ini yang memperlihatkan kehidupan anak Indonesia dan selalu bagus landscape-nya. Jadi mungkin karena ketertarikan itu, curiosity, saya lalu ingin ikut berada di sana.

Mulanya saya benar-benar traveling itu sendiri tanpa orang tua, pernah juga pergi saat masih kecil, tapi ini tidak terhitung ya soalnya kan diajak orang tua (tertawa). Saya mulai inisiatif untuk bepergian itu waktu SMA kelas 1; pergi bersama-sama teman-teman ke Bandung. Habis itu saya tidak punya banyak waktu untuk travel kecuali yang berkaitan dengan misalnya promo film, karena masih terikat dengan sekolah. Saya mulai lagi travel secara intens setelah kuliah. Semester 1 kuliah saat liburan saya pergi ke Eropa selama sebulan. Habis itu jadi terus travel dan setelah lulus kuliah lebih sering lagi. Curiosity untuk travel sebenarnya pertama karena ingin melihat kehidupan atau budaya di tempat berbeda itu seperti apa.

Waktu kecil juga saya punya teman tetangga sebelah rumah saya. Waktu kelas 6 SD dia pindah ke London, kita saling kirim surat menyurat dan tukar cerita. Dia banyak bercerita tentang bagaimana keadaan di sana. Dari narasi-narasi seperti itu, saya terpancing untuk ingin tahu lebih jauh, makanya waktu pertama kali lulus SMA, saya ke London untuk bertemu dengan teman saya tadi. Kalo ketertarikan dengan alam, mulainya mungkin setelah 2005. Beberapa bulan setelah tsunami Aceh, saya ke sana bersama beberapa teman dari NGO yang aktif dalam kegiatan bertema lingkungan hidup. Dari situ jadi sering untuk mengeksplor lebih jauh dan mengamati wildlife. Diving saya mulai dari saat lulus kuliah tahun 2006 di Pulau Komodo dan sejak itu mulai keliling Indonesia.

F

Menurut Nico, apakah travel merupakan bagian dari kebutuhan hidup atau sekadar melepas penat?

N

Traveling adalah bagian yang penting – when I need it. Ada perjalanan yang dijalani untuk melepas penat, dan ada pula yang berangkat memang karena curiosity. Jadi misalnya sudah direncanakan tahun ini kalau ada waktu kosong, saya mau ke sini. Ada juga yang langsung “I need to go now” (tertawa). Jadi macam-macam dan beda-beda tujuannya, tapi traveling-nya sendiri sudah jadi bagian penting.

F

Saat menjalani traveling, selain pemandangan, kita juga akan bertemu kultur yang berbeda. Apakah perkenalan dengan budaya baru ini bisa memperluas mindset seorang traveler?

N

Mungkin pengalaman ini bisa memperluas atau membuka pikiran. Bahwa ternyata ada banyak orang di seluruh dunia, dan masing-masing memiliki pola kehidupan yang berbeda-beda. Ini tentu terjadi atau terkonstruksi karena banyak hal. Dari setiap lokasi alam yang berbeda, ideologinya berbeda, society atau state-nya pun berbeda. Melihat hal seperti ini, mungkin bisa membuka berbagai macam hal-hal yang tak terpikirkan sebelumnya, kita secara tidak langsung jadi lebih open-minded. Hampir semua tempat yang saya kunjungi meninggalkan ‘bekas’ masing-masing. Enlightenment yang saya dapatkan juga di level yang berbeda-beda. Ada yang lebih karena historical, ada yang lebih ke nature, ada yang lebih ke people-nya juga.

F

Setiap traveler bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian destinasi wisata yang dikunjunginya – terutama pada destinasi alam. Menurut Nico apa upaya yang sekiranya perlu diketahui oleh masyarakat untuk menjalankan responsible travel?

N

Setiap orang memiliki tujuan untuk travel yang berbeda-beda. Dan kalau kita lihat sekarang kultur travelnya pun juga terbentuk dalam bentuk yang bervariasi. Ada yang cukup dengan foto, posting dan di like orang-orang – orang tahu dia lagi ada di mana – itu sudah cukup. Tapi ada juga yang bisa lebih dari itu. Sebenarnya ini terserah dan tidak ada yang salah, tapi mungkin kalau membahas responsible travel, yang paling penting adalah bagaimana caranya kita bisa beradaptasi atau kita bisa menghormati tempat atau orang yang dikunjungi, baik itu mengenai alam maupun manusianya. Karena bagaimanapun juga, namanya turisme itu pasti akan mengubah susunan yang sudah ada selama ini di tempat yang dikunjungi. Tentang bagaimana caranya supaya kita bisa mengambil dan memberi yang positif pada tempat tujuan kita.

F

Sebenarnya sejauh mana awareness traveler terhadap konservasi alam di Indonesia?

N

Macam-macam. Yang paling gampang dan mulai cukup banyak adalah gerakan dari teman-teman traveler yang berinisiatif untuk travel responsibly. Kalau berkaitan dengan alam, biasanya provider-provider atau orang-orang yang ada di sana sudah cukup aware – melalui peraturan-peraturan ya. Tapi kan banyak juga yang tidak peduli. Sehingga masih mixed sih kita sekarang. Jadi, saya tidak bisa bilang semuanya tidak punya kepedulian atau punya. Yang jelas kita masih harus belajar mematuhi peraturan.

F

Kalau Nico sendiri, kapan mulai aware terhadap konservasi alam?

N

Mungkin (awareness saya) lebih ke alam. Mungkin ini egonya manusia untuk bisa menikmati alam yang sama secara sustainable ya. Saya mau memastikan bahwa kita bisa menikmati alam ini sampai terus menerus. Tapi intinya respect. Kita berangkat dari rumah sudah siap dengan respect, juga harus open-minded.

F

Kami sempat bicara dengan Butet Manurung yang menyampaikan bahwa “orang kota” kadang memaksakan standar kota ke dalam masyarakat adat. Destinasi wisata di Indonesia sendiri, kini mulai menyentuh pelosok dan tidak jarang backpacker mencari jalan untuk dapat mengeksplorasi daerah pelosok. Sebagai traveler, bagaimana Nico menyikapi hal ini?

N

Tidak bisa dibilang merusak, karena toh budaya memang tidak original, selalu berbenturan antara satu pengalaman dengan pengalaman yang lain. Mungkin dengan terbukanya akses untuk travel yang lebih mudah sebagai backpacker atau traveler, mungkin jadinya ada kemungkinan untuk mengkonstruksi suatu budaya yang baru. Mungkin kalau untuk budaya, saya tidak bilang kalau ada yang baru itu merusak, tapi justru responsnya yang menarik. Nantinya bisa jadi apa, itu yang menarik. Tapi memang kita tidak bisa memaksakan apapun, tidak bisa memaksakan sesuatu untuk berubah atau tidak berubah. Jadi kultur itu fluid.

F

Sejauh mana toleransi dalam traveling harus diaplikasian oleh para traveler guna membuat destinasi wisata menjadi sustainable?

N

Sekali lagi, ini soal respect. Tergantung tempatnya dan budaya sosial dari tempat itu. Kadang ada hal yang kita bisa blend in, alami atau pelajari lebih banyak. Tapi memang ada beberapa hal yang tidak bisa, dan kadang against our beliefs. Kalau memang tidak siap menghadapinya, lebih baik tidak usah memaksakan kehendak. Sebenarnya orang tidak bisa disalahkan, karena suka-suka mereka mau jalan-jalan ke mana dan tiap orang punya keinginan yang berbeda-beda.

Tapi tergantung kita, mau dilihat ibaratnya mau berteman, mau bergabung, atau mau dilihat sebagai mesin ATM. If you act like an ATM machine, they will treat you like one. Bayar, lalu selesai. Do whatever you want, lalu bayar admission dan selesai. Tapi, if you want to be friends, you want to be a part of it, if you want to learn something and give inspiration, act like one.

F

Beberapa tahun belakangan Tangkahan, Sumatra Utara menjadi fokus Nico sebagai destinasi travel natural, dan karena Anda menjadi duta untuk kampanye pelestarian gajah Tangkahan, sebuah proyek pun dibuat untuk memperkenalkan Tangkahan kepada publik. Bisa diceritakan apa hal yang ingin Nico sampaikan lewat proyek ini?

N

Saya bukan duta. Saya berteman dengan teman-teman di Tangkahan. Tidak ada yang menunjuk saya, karena semuanya inisiatif. Karena kami teman, saling bantulah. Sebenarnya karena begini, kita sudah sering melihat narasi-narasi tentang sebuah tempat atau tujuan traveling. Kita sering melihat masalah isu konservasi diceritakan oleh aktivis, NGO, atau duta. Yang saya belum terlalu banyak lihat itu adalah cerita-cerita ini yang dilihat dari kacamata seorang seniman. Jadi saya merasa penting untuk seorang seniman bisa merespon ini atau mengalami itu.

F

Kenapa untuk proyek ini, Nico memilih Angki Purbandono sebagai senimannya?

N

Kenapa Angki? Karena saya secara personal dekat dengan Angki. Saya mengagumi karya-karya dia dan saya rasa dia adalah orang yang cocok untuk berada di Tangkahan pada saat itu. Karena artwork-nya dan gaya berkomunikasi sosialnya juga saya rasa cocok.

F

Mengapa tema proyek ini bernama “Post Jungle”?

N

Karena Angki melihat proses (perkembangan) di Tangkahan dari hal yang dia lihat selama tinggal di sana – yang dari dulunya hutan, sekarang menjadi kampung. Nah, Tangkahan ini kan asal muasalnya hutan, berubah jadi pemukiman dulu, kemudian kampung, lalu menjadi kota. Sementara Angki itu kan city boy banget, karena ia biasa hidup di Jogja. Jadi untuk proyek ini, ia membandingkan Jogja yang sudah jadi kota, sementara Tangkahan itu adalah post jungle – suatu fase yang terjadi setelah alam terpapar hal lain dan menjadi sebuah pemukiman.

F

Apakah motivasi proyek ini adalah sekadar untuk memberitahukan publik bahwa ada perspektif lain dalam menceritakan Tangkahan?

N

Ya, pertama itu. Yang kedua juga adalah program proyek ini adalah exchange. Jadi Angki tinggal sebulan di Tangkahan. Kemudian jika ada hasil penjualan dari karya yang dipamerkan ini, kami akan membawa orang-orang dari Tangkahan ke Jogja untuk melihat Angki bekerja dan mengikuti program yang kami buat. Kalau ada hasil lebih lagi, kami ingin mengambil sebidang lahan di sana untuk diberikan kepada orang Tangkahan, untuk bercocok tanam pangan gajah. Karena gajah Tangkahan saat ini sangat tergantung dengan sawit. Nah, mereka butuh variasi makanan layaknya hidup seperti di hutan. Makanya kami mau tanam untuk makanan gajah yang captive di sana sehingga mereka lebih sustain dan lebih sehat.

F

Tapi buat apa orang Tangkahan exchange ke Jogja untuk melihat Angki berkarya?

N

Jadi begini, di Jogja ada tempat namanya Bumi Langit yang punya training permaculture. Tangkahan sendiri posisinya di sebelah kebun sawit ratusan hektar dan dipepet oleh taman nasional. Di sana kultur bercocok tanamnya hilang sejak tahun 70-an. Mereka sangat tergantung dengan kebun sawit karena itulah sumber mata pencaharian utama mereka. Saya merasa penting bagi mereka untuk di reintroduce kembali dengan bercocok tanam. Nah, nanti selama exchange sebulan di Jogja itu, mereka yang dari Tangkahan akan menjalani training permaculture selama 2 minggu, lalu 2 minggu berikutnya melihat proses Angki berkarya. Karena, buat saya, yang penting adalah saling membuka pikiran. Angki terbuka pikirannya karena juga mengenal sesuatu yang baru. Dan kebetulan juga cocok dengan temanya Art Jog tahun ini, “Changing Perspective.”

F

Mengapa Nico memutuskan untuk memperkenalkan proyek ini lewat ajang Art Jog 2017, bukan pameran tunggal?

N

Kemarin kepikiran untuk buat pameran, tapi Art Jog temanya pas sekali. Dan mungkin untuk pameran solo kami belum bisa untuk menemukan tempat yang bisa memfasilitasi ruang selama sebulan dengan jumlah pengunjung yang banyak. Mungkin habis ini bisa kita bawa jalan juga karyanya dan bisa di tempat lain. Tapi kenapa Art Jog kemarin pas, karena temanya sesuai dan ini sangat kebetulan. Kami sebenarnya tidak kepikiran untuk memamerkannya di Art Jog. Saya sempat berpikir kalau bisa keren juga kalau kita pameran di Art Jog, karena ada orang banyak yang bisa mengapresiasi ini, tapi bukan soal sekadar jual beli karya.

Ada rencana proyek lagi, mudah-mudahan ada lagi yang selanjutnya. Mungkin dengan tempat dan seniman yang berbeda. Kurasi ada di saya dan dengan sistem residensi.

F

Apakah setelah ini proyek Tangkahan ini akan dibangun dengan format visual art lagi?

N

Saya ingin mencoba puisi. Banyak tempat menjadi powerful ketika ada dalam sebuah puisi. Untuk kalangan pecinta puisi, melalui tulisan, imajinasinya jadi luar biasa. Misalnya melalui puisi-puisinya Pablo Neruda atau misalnya Sapardi tentang savana-savana di Sumba, itu kan membuat kita berpikir, jadinya “I wanna go there” atau “Apa ini yang sebenarnya diceritakan”.

Saya sangat terbuka dengan apapun output-nya, karena hasil dari residensi, maka kita tidak bisa terlalu menyetirnya. Tapi variasi dalam bentuk output juga bisa menarik. Untuk tulisan, saya penasaran siapa yang kira-kira penulis bagus, atau punya cara tata penulisan yang baik.

F

Selain proyek konservasi alam, apa hal yang sedang Nico siapkan? Apakah ada rencana main film arthouse lagi?

N

Film mungkin akhir tahun akan shooting 1 film. Belum bisa dikasih tahu tempatnya (tertawa).whiteboardjournal, logo