Dongeng Anak Bangsa bersama Pak Raden

09.09.15

Dongeng Anak Bangsa bersama Pak Raden

Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan ilustrator senior Pak Raden (R).

by Ken Jenie

 

H

Bagaimana Bapak Suyadi melihat budaya dongeng yang semakin hari semakin hilang dari dunia anak-anak Indonesia?

R

Saya melihat bahwa dalam konteks hilangnya dongeng dari masyarakat kita, tidak ada gunanya untuk mencari kambing hitam. Dan anak-anak jelas tidak bersalah sama sekali dalam hal ini. Sebenarnya, orang tua sekarang masih ada keinginan untuk mendongeng, tapi kita tahu sendiri, di kehidupan modern seperti sekarang, kita dihadapkan pada kondisi dimana Ayah sibuk, ibu pun demikian. Jadi, secara tidak langsung, situasi jaman sekarang yang menuntut kebutuhan ekonomi lebih dari era-era lampau berpengaruh cukup besar dalam terkikisnya budaya dongeng. Dulu, jika orang tua terlalu sibuk untuk mendongeng pada anak-anaknya, mereka menyerahkan kewajiban itu pada asisten rumah tangga, dan kebetulan, asisten pada jaman tersebut mayoritas memiliki keterampilan yang mumpuni dalam mendongeng, terutama mereka yang datang dari desa, pada umumnya daya imaginasi mereka sangat luas, jadi dongeng yang diceritakan akan lebih menarik.

Yang penting, bagi saya adalah memikirkan cara agar budaya mendongeng ini tak lantas hilang. Masyarakat harus bersama-sama untuk memikirkan bagaimana caranya agar dongeng bisa kembali menjadi bagian dari rutinitas anak-anak Indonesia.

H

Jika demikian, apakah Bapak melihat bahwa dengan hilangnya dongeng dari budaya anak Indonesia, maka kini hubungan antara anak dengan orangtuanya semakin jauh pula?

R

Saya kira begitu. Dalam proses mendongeng, hubungan antara orang tua dan anak terbangun melalui kisah yang diceritakan. Jadi bisa dibilang, dongeng mendekatkan hubungan antara keduanya.

H

Melalui berbagai karakter yang ada di kisah Si Unyil, terutama pada tokoh Melani (tokoh anak-anak berkebangsaan Tionghoa yang menjadi teman Unyil) Bapak mengangkat tema pentingnya keberagaman budaya bagi Bangsa Indonesia. Menurut Bapak, seberapa penting sebenarnya pesan-pesan seperti ini bagi seorang seniman?

R

Kepedulian akan pesan sosial pada karya seni adalah sebuah hal yang harusnya muncul secara alami dari diri seniman. Memang, cukup penting bagi seniman untuk menyuarakan pesan sosial melalui karyanya, tapi hal ini merupakan hak asasi dari tiap seniman.

Terkait dengan tokoh Melani di kisah Si Unyil, saya memiliki pengalaman yang sulit untuk saya lupakan. Dalam sebuah acara di Bandung, seorang ibu menghampiri saya. Tiba-tiba ibu tersebut menangis di hadapan saya, sambil berterima kasih kepada saya. Ibu tersebut bercerita bahwa tokoh Melani mampu membuat anaknya yang juga berasal dari keluarga Tionghoa diterima oleh teman-temannya di sekolah dasar. Dulunya, anak perempuan ibu tersebut selalu mendapat perlakuan yang berbeda di sekolah. Munculnya tokoh Melani yang menjadi teman bagi Unyil membuat anak perempuan tadi lebih diterima oleh lingkungannya. Cerita seperti ini membuat saya terharu. Saya sama sekali tidak menyangka bahwa tokoh yang saya ciptakan bisa merubah hidup seseorang.

Padahal sebenarnya, saya tidak memiliki misi khusus ketika menciptakan tokoh Melani. Tokoh tersebut muncul secara mengalir saja. Karya saya berdasar pada realita, semuanya merupakan refleksi dari apa yang terjadi di sekitar saya. Dari sehari-hari, sederhana saja. Kita kan juga hidup diantara keberagaman, kita tidak hidup diantara orang Indonesia asli saja. Hal itu yang kami ingin tampilkan melalui seri Si Unyil, sebuah tayangan yang merepresentasikan kehidupan Bangsa Indonesia. Di sini saya lalu mulai merasa bahwa salah satu cara paling efektif untuk menyampaikan semangat kebersamaan adalah melalui kesenian. Dengan menggunakan bahasa kesenian, pesan kebersamaan tadi bisa tersampaikan tanpa kita menggurui penonton. Saya pikir, ini merupakan cara terbaik untuk menyerukan semangat pembauran. Dan kisah Melani tadi merupakan bukti nyata mengenai hal ini.

H

Jadi awal mula dari munculnya si Unyil adalah untuk menyerukan semangat kebersamaan ini?

R

Kisah Si Unyil muncul ketika Bapak Drs. Gufron Dwipayana (mantan direktur PPFN, sekaligus sutradara film G30SPKI) merasa resah saat melihat tayangan anak-anak di layar kaca didominasi oleh acara produksi asing. Dari situ, saya dan Pak Kurnain Suhardiman dipanggil. Saya sebagai seniman mengambil peran sebagai tukang gambar, dan Pak Kurnain yang penulis untuk bertanggung jawab mengenai cerita. Salah satu ide utama dari Bapak Dwipa, adalah untuk memunculkan satu tayangan untuk anak-anak yang berasal dari bangsa kita sendiri. Ketika itu, awalnya Pak Dwipa ingin untuk membuat animasi. Sayangnya, keadaan saat itu tidak memungkinkan untuk merealisasikan ide tersebut.

Pada waktu itu, tahun 70’an, dan kita dituntut untuk memproduksi animasi yang akan ditayangkan pada setiap hari minggu, itu jelas agak susah untuk diwujudkan. Untuk mengakalinya, kami lantas mengajukan untuk menggunakan boneka sebagai pengganti animasi. Metode hand-puppet kami adaptasi untuk tayangan ini. Dari sinilah prototip awal Unyil lalu lahir. Untuk menghindari kebosanan karena muka boneka yang cenderung statis, kami lantas membuat Unyil serta beberapa tokoh utama dalam berbagai versi ekspresi, mulai dari tersenyum, tertawa, marah, hingga versi boneka unyil dengan muka babak belur.

H

Apakah dalam konsep boneka Unyil ini mengambil inspirasi dari wayang juga?

R

Betul. Dalam pengerjaan konsep Unyil ini, kami juga mengambil inspirasi dari wayang golek. Tapi ada satu hal spesial dari wayang golek yang agak susah kami terapkan pada boneka unyil. Meskipun muka dari boneka wayang golek itu statis, hanya satu versi, tapi dalam pagelaran wayang, itu sama sekali tidak mengganggu. Itu mungkin kepiawaian seorang dalang, yang mampu menghidupkan tokoh dari satu ekspresi pada boneka wayang. Jadi bisa dibilang sebenarnya dalang adalah animator kuno asli Indonesia.

H

Dalam beberapa tahun terakhir, budaya komik, novel grafis dan animasi Indonesia cukup berkembang, Apakah ada keinginan dari Bapak Suyadi untuk menyemarakkannya dengan membuat semacam versi baru dari sosok Unyil?

R

Usia saya sudah memasuki kepala delapan, saya sudah tidak muda lagi. Kalau saya diajak untuk menjadi penasehat, menjadi pembimbing, saya mau. Tapi kalau untuk membuat lagi, saya rasa saya sudah tidak mampu lagi membuat karya dalam level seperti itu. Sekarang, kemana-mana saya harus pakai kursi roda. Sudah tidak bisa seperti dulu lagi. Jika ada yang meminta saran atau masukan, saya akan dengan senang hati memberikan bimbingan, tapi untuk terjun secara langsung, saya rasa sudah tidak mungkin. Ini giliran anak-anak muda untuk berkarya.

H

Bapak sendiri melihat bagaimana sekarang perkembangan di dunia komik, animasi di Indonesia? Apakah Bapak melihat sudah ada yang bisa menggantikan Unyil sebagai salah satu simbol karakter representasi bangsa?

R

Dalam hal ini, saya sekarang sudah tidak bisa lagi mengikuti segala perkembangan di dunia tersebut. Saya masih membaca atau melihat bila ada yang muncul, tapi tentu tidak semuanya masuk ke apa yang saya perhatikan. Tapi sejauh ini, bukannya saya mengagung-agungkan karya saya sendiri, tapi yang saya lihat dan alami adalah bahwa sosok Unyil ini masih selalu dirindukan. Sekali lagi saya tidak bilang begitu karena Unyil karya saya, tapi karena banyak cerita dari orang-orang yang menyatakan demikian.

H

Bagaimana melihat anak-anak jaman sekarang yang justru lebih akrab dengan tokoh animasi luar daripada tokoh lokal?

R

Ya tidak apa-apa. Wong ya memang adanya di televisi seperti itu. Tapi pemerintah harus mencermati fenomena ini, karena kalau dibiarkan saja, budaya lokal kita akan tergeser dan anak-anak kita akan lari ke budaya asing tadi. Walau saya bukan pendukung fanatis salah satu calon presiden di pemilu presiden kemarin, saya sangat sepakat dengan slogan “revolusi mental” yang muncul pada saat itu. Kita perlu untuk merevolusi mentalitas anak muda bangsa, agar generasi terbaik bangsa ini mau untuk berkarya demi kemajuan bangsanya sendiri. Mentalitas seperti ini yang harus ditanamkan benar-benar sedari usia dini. Cukup penting untuk menyampaikan pesan bagi anak-anak, karena merekalah yang akan menentukan arah kemajuan suatu bangsa.

H

Menurut Bapak, apa yang bisa kita lakukan untuk kembali memiliki kebanggaan pada hasil karya bangsa?

R

Saya sendiri tidak tahu secara pasti bagaimana caranya. Ini semua tergantung pada manusia-manusianya bangsa tersebut. Kesadaran kita untuk bangga terhadap bangsa Indonesia itu penting. Dalam setiap kesempatan ketika saya ada acara di hadapan anak-anak, yang saya tekankan pada mereka adalah untuk bangga terhadap bangsanya. Tapi, selain itu saya juga selalu mengingatkan mereka bahwa untuk membangun kebanggaan bangsa, kita pun harus berprestasi. Nilai semacam ini harusnya ditanamkan sejak awal kepada generasi penerus bangsa. Supaya nantinya di masa depan kita akan hidup diantara manusia-manusia yang memiliki prestasi dan kebanggaan terhadap bangsa ini.

Tentu harus diingat bahwa untuk menyampaikan semangat seperti demikian kita tidak bisa melakukannya dengan terang-terangan, atau terlalu menggebu-gebu. Kita harus menghindari metode penyampaian yang seperti berdakwah atau berkhotbah. Karena dengan cara demikian, pesan kita justru cenderung tidak akan didengarkan. Ketika saya dulu mengajar pun, saya selalu memisahkan antara idealisme dan materi pengajaran. Biasanya idealisme saya sebarkan dalam metode yang tak langsung. Salah satunya ya dengan mendongeng. Salah satu poin utama dalam mendongeng adalah untuk membuat pendengarnya untuk bersenang-senang. Biasanya dengan demikkan, pesan-pesannya akan lebih mudah untuk dipahami.

H

Belakangan, Bapak Suyadi mulai intens kembali berkarya melalui lukisan, apa yang membuat Bapak Suyadi kembali pada medium ini?

R

Secara personal, saya telah mengucapkan selamat tinggal pada tokoh Unyil ini. Dalam artian, saya tidak akan membuat yang seperti itu lagi. Di usia sekarang ini, saya memilih untuk kembali ke asal saya. Kembali ke akar. Latar belakang saya adalah perupa dan pendongeng, di luar itu saya juga memiliki pengalaman sebagai dalang. Melukis kembali adalah salah satu upaya untuk kembali pada akar tersebut tadi. Kini setelah mulai lagi melukis, saya cukup bingung kenapa saya sempat cukup lama meninggalkan kegiatan melukis ini. Tapi jelas saya tidak menyesali apa yang terjadi di masa lalu, segala pengalaman lampau telah membawa saya pada posisi sekarang. Orang pun jadi lebih mudah dalam mengenali saya serta karya-karya saya. Tapi meskipun saya telah mengucap selamat tinggal pada Unyil, tidak berarti saya meninggalkan dunia anak-anak. Saya akan terus berkontribusi dalam pengembangan dunia anak Indonesia, meski mungkin sekarang posisi saya sudah tidak terlalu di depan seperti dahulu.

H

Setelah berbagai hal yang menghampiri kisah hidup Bapak Suyadi, mulai dari segala prestasi dan penghargaan, hingga masalah hak cipta Unyil yang cukup menyita energi Bapak, apa yang membuat Bapak Suyadi bisa terus konsisten mengabdikan karya untuk dunia anak hingga sekarang?

R

Dalam hal ini, orang Betawi punya istilah yang sangat pas untuk menjawab pertanyaan tadi. Yakni, emang udah sononya kayak gitu. Sedari kecil, gambaran saya selalu bercerita, tidak pernah saya menggambar suatu hal yang tidak ada penjelasan ceritanya. Selalu ada konteks cerita pada setiap detil dari gambar saya. Untuk ketertarikan mengenai dunia anak, itu memang muncul secara natural dari dalam diri saya.

H

Jadi aspek naratif memang selalu menjadi karakter utama karya Bapak untuk menjembatani passion Bapak yang cukup mendalam untuk bercerita?

R

Betul sekali.

H

Mengenai karya Bapak, disebut bahwa ilustrasi Pak Raden adalah salah satu contoh gaya ilustrasi yang Indonesia banget, padahal di dalamnya sebenarnya terasa pula garis dan goresan a la Eropa..

R

Memang saya pernah mengalami studi di sana. Saat itu saya belajar banyak mengenai ilustrasi, termasuk di dalamnya adalah mengenai anatomi tubuh dan perspektif. Karena studi mengenai anatomi dan perspektif berasal dari Eropa, maka pasti akan terlihat dampaknya pada bagaimana gaya saya dalam menggambar. Tapi saya sendiri melihat gaya ilustrasi saya sebagai hasil dari saya mencari tentang gaya gambar seperti apa yang paling komunikatif, bagaimana gaya gambar yang paling mudah untuk dipahami oleh anak bangsa. Dan gaya ini mengalir saja dalam perjalanan karya saya. Saya tidak terlalu berusaha dalam menemukannya.

H

Apa proyek mendatang dari Pak Raden?

R

Saya sedang menyusun sebuah buku anak-anak berjudul “Surti”, buku ini nantinya akan bercerita tentang seorang anak perempuan yang hidup sebagai anak dari dua orang tua yang bekerja sebagai anggota perkumpulan wayang. Ibunya adalah primadona, dan ayahnya adalah dalang. Latar belakang keluarganya yang menarik ini nantinya yang akan membuat cerita hidup Surti, seorang anak biasa ini menjadi cukup istimewa. Buku yang kedua adalah mengenai wayang kulit. Berkisah tentang seorang anak laki-laki biasa yang hidup di pedesaan dan bersekolah di SD Inpres. Yang akan membuat cerita ini menarik nantinya adalah kisahnya dalam membatu ayahnya yang merupakan dalang wayang kulit. Dari sini, saya ingin menyampaikan seluk beluk budaya wayang kepada anak-anak.

Salah satu pameran saya yang akan datang bertema “Anak Indonesia dalam Keseharian”. Dalam karya saya pada pameran tersebut, saya mencoba mengajak pengunjung pameran nantinya untuk melihat seperti ala sebenarnya anak Indonesia itu. Saya akan menampilkan berbagai karakter anak bangsa di dalamnya, mulai dari yang berkulit gelap, mata sipit dan semacamnya. Dari segala perbedaan, anak-anak tersebut akan terlihat bersenang-senang bersama. Jika tak ada halangan, rencananya, pameran ini nantinya akan berlangsung pada hari anak nasional, bulan Juni 2016.

Ada pula pameran tribut untuk H. C. Andersen. Orang mungkin akan bertanya-tanya kenapa kita memberikan penghormatan kepada orang asing, tapi bagi saya, karya Andersen telah memberikan standar baru dalam dunia dongeng anak. Anak Indonesia, jika ditanya mengenai dongeng apa yang paling diingat, jawabannya kebanyakan pasti berputar antara Timun Mas, Sangkuriang, Malin Kundang, atau Kancil Nyolong Timun. Memang semua cerita tersebut adalah asli cerita rakyat, tapi semuanya adalah cerita turun-temurun. Karya Andersen berbeda, semua dongeng yang dia bikin, adalah karya dia sendiri. Melalui pameran ini nantinya, saya juga ingin menyampaikan pada anak muda bahwa dengan mengabdikan karya kita kepada dunia anak, nama kita pun akan bisa dikenal oleh di dunia, asal kita melakukannya dengan sepenuh hati. Andersen telah menunjukkannnya. Saya sangat menunggu lahirnya Andersen-Andersen baru dari Indonesia. Jangan cepat puas dengan kisah Jaka Tarub, Jaka Tingkir, meski memang itu karya asli Indonesia, tapi itu turunan nenek moyang. Kita harus berani membuat cerita-cerita baru. whiteboardjournal, logo