Politik Makanan bersama Elia Nurvista

05.04.17

Politik Makanan bersama Elia Nurvista

Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan Seniman, Elia Nurvista (E).

by Muhammad Hilmi

 

H

Darimana ketertarikan mba Elia tentang seni muncul?

E

Dulu, saya pertama kuliah inginnya masuk UGM seperti anak Yogjakarta pada umumnya, tapi tidak diterima. Dulu saya ingin masuk ke jurusan Sastra Jepang dan Psikologi. Lalu saat mau mengambil studi di ISI sempat kepikiran ‘Buat apa jadi seniman?’. Tapi di dalam lubuk hati, saya memiliki ketertarikan pada bidang desain. Saya lalu sempat mengambil studi di MSD, Modern School of Design, ada banyak teman di sana. Saya dan teman-teman disana kebanyakan belum kepikiran kuliah ISI, tapi pada akhirnya setelah 1 tahun di MSD saya ikut ambil ISI. Di ISI saya mengambil jurusan design interiordan mulai ambil kerjaan kantoran di biro desain. Saat kerja dan langsung terjun kerja profesional desain sampai 5 tahun, sampai mulai merasa bosan karena kerja di kantor jatuhnya jadi stuck gini-gini aja.

Saya lalu bersama teman-teman perempuan, termasuk Dian Ariyani, Yuvita istri dan Gintanina Swastika memulai inisiatif perempuan dengan nama Simponi. Awalnya kami mencoba belanja baju di pasar baju bekas Yogyakarta, Sekaten tapi kita produksi lagi jadi tas dan pernak-pernik lain. Bertepatan dengan itu mulai booming seni rupa di Indonesia khususnya Yogyakarta. Mulai banyak kurator dan kolektor yang mencari bibit muda di Indonesia. Sampai suatu waktu ada kurator yang tertarik pada kami yang semuanya wanita untuk ditarik pameran di Jakarta. Awalnya kita tak merasa percaya diri dengan aktivitas baru ini. Tapi mulai saat itu kami merasa tertarik dan sekaligus diperkenalkan dengan dunia seni kontemporer.

H

Bagaimana perjalanan Elia bersama Simponi dari yang pertama berjalan di bidang fashion sampai sekarang lebih concern ke bahasan tentang makanan?

E

Saat di Simponi kami mendefinisikan cara kami dengan banyak beraktivitas dalam teknik domestik yang identik dengan aktivitas perempuan, seperti merajut, menyulam, dan lain-lain. Tapi di situ kami menemukan kekurangan dalam aktivitas kami. Salah satunya adalah saat kami mengemukakan mengenai isu kesetaraan, kami mengangkat isu tersebut melalui bentuk karya yang berhubungan dengan obyek-obyek yang dianggap erat dengan perempuan. Kami mengangkat contoh hukum syariat di Aceh yang mengharuskan wanita memakai kerudung dan dilarang menggunakan celana ketat. Kami memanifestasikannya dengan patung lampion besar dan rok-rok hitam. Saat melakukan refleksi mengenai karya ini, kami lalu sadar bahwa karya yang kami buat ini hanya dimuat di galeri dan ruang-ruang tertutup yang hanya bisa dinikmati kolektor dan kelas tertentu. Ini bertentangan dengan misi kami yang ingin mengangkat isu sosial, namun justru membatasi konsumsi karya kami.

Saya lalu memutuskan untuk agak mengurangi porsi membuat karya untuk keperluan pameran. Saya lalu menemukan kesenangan baru di crafting, jadi sekalian saja kalau mau jualan kenapa tidak buat karya untuk itu? Apa yang saya buat, saya jual. Tapi tak lama saya lalu menemukan kebosanan lagi, karena kalau hanya jualan itu kita cenderung tidak bisa mengemukakan gagasan.

Saat booming seni rupa, hampir setiap minggu terjadi banyak pembukaan pameran di galeri, namun saya melihat orang-orang kebanyakan tidak berinteraksi dengan karya. Hanya sebatas lewat saja. Saya membayangkan bahwa akan lebih menarik kalau orang bisa berinteraksi dengan karya seni. Saya lalu mencari bentuk yang bisa menjembatani keinginan ini.

H

Tentang makanan, bagaimana akhirnya bertemu dengan interest ini?

E

Dulu saya punya hobi masak dan saya gemar membaca resep makanan untuk dipraktekkan di rumah. Bahkan memang saat bekerja pun, gaji banyak dipakai untuk belanja peralatan makanan (tertawa). Hampir setiap hari saya memasak, dan mulai terpikir untuk mengolah hobi ini menjadi bentuk lain. Di tahun 2012 ada pembukaan residensi Koganecho di Jepang, saya mendaftar untuk bikin proyek tentang menelusuri sejarah keluarga lewat resep masakan. Di sana saya mulai berpikir untuk melakukan workshop tentang masak dan makanan, saya melihat bahwa workshop juga bentuk berkarya, dan yang menarik adalah di sana saya melihat ada interaksi dengan audiens. Dari residensi tersebut saya melihat bahwa tema makanan ini bisa di-extend di berbagai hal, mulai dari resep, sejarah hingga memori personal.

Tahun berikutnya saya diterima residensi “Politics of Food” di London. Di acara itu seniman, kurator, aktivis, jurnalis, chef, yang memiliki interest mengenai makanan. Kalau di Koganecho kita berkarya, di London formatnya lebih ke short-course, jadi ada semacam kelas debat, dan ceramah. Di sana saya lalu tahu kalau dari ada spektrum yang luas dalam hal makanan, mulai dari bagaimana makanan sebagai cara untuk membicarakan mengenai politik, kolonialisme hingga post-kolonialisme. Makanan adalah medium yang cair. Saya lantas merasa bahwa saya belum selesai tentang makanan. Tahun 2015 saya menginsiasi food study group, dengan landasan mengenai pemikiran saya bahwa kesenian harus memiliki penopang yang kuat dalam hal research. Food study tersebut melibatkan kebanyakan anak antropologi yang tertarik dengan antropologi makanan. Disana tercipta diskursus antropologi, seni, etnografi, sejarah, sosiologi, kelas hingga ekonomi lewat makanan.

H

Di sini, masyarakat terbiasa memperhatikan makanan sebagai bagian dari konsumsi keseharian, di televisi atau media sosial. Bagaimana Elia kajian mengenai makanan di Indonesia?

E

Di Indonesia belum ada antropologi mengenai makanan. Yang ada justru mata kuliah wisata kuliner. Kita tidak pernah diajak berpikir lebih mengenai makanan. William Wongso, Bondan Winarno, Rahung Nasution melakukan itu, tapi aktivitas mereka lebih pada kajian kepada sejarah dan melestarikan resep. Jadi wajar saja kalau kita tidak memiliki perhatian khusus kepada makanan selain sebagai aktivitas konsumsi semata.

H

Jadi itu landasan pemikiran Elia saat membuat Bakudapan.

E

Iya.

H

Dengan bahasan makanan yang cenderung banyak bekerja pada sisi konservasi, jadi bagaimana posisi konservasi dalam aktivitas Elia?

E

Memang bukan tendensi kami untuk bicara soal konservasi, pelestarian resep atau masakan siapa yang paling otentik. Justru hal tersebut yang ingin kami pertanyakan. Seperti apa sebenarnya resep yang orisinil itu?

H

Tapi yang menarik, sekarang banyak yang berlomba mengemas tempat makan, baik menu lokal maupun internasional dengan jualan resep otentik, bagaimana Elia melihat fenomena demikian?

E

Justru di situ adalah bukti bahwa makanan telah mengalami komodifikasi. Bukan lagi mengenai rasa. Bahwa makanan juga menunjukkan eksistensi dan gengsi. Kami juga sedang meneliti konsep makanan organik, dan konsep fair trade. Karena bisa jadi ini juga bentuk komodifikasi, bahwa dengan menjadi konsumen yang etik, kita akan menjadi bagian dari kalangan sosial tertentu. Mereka melakukan itu dengan dalih pemberdayakan petani, dan sebagainya. Usaha seperti ini jelas menyasar kaum elit, dan ini terlihat seperti bentuk komodifikasi baru.

Perhatian lain yang sedang kami teliti seperti pada fast food. Dulu fast food kebanyakan bagian dari waralaba global, tapi sekarang mulai ditiru oleh pengusaha lokal. Bakudapan ingin melakukan riset tentang fenomena-fenomena makanan. Kenapa riset? Karena riset selalu dianggap sebagai aktivitas yang sangat akademis, dia hanya milik kaum intelektual. Kami sedang belajar untuk melakukan pendekatan yang berbeda terhadap riset melalui seni, dengan tur, hingga praktek berkebun.

H

Bagaimana hasil dari riset Elia sejauh ini? Apa yang kita lewatkan jika hanya menganggap makanan sebagai praktek konsumsi semata?

E

Banyak hal yang kita lewatkan jika kita melihatnya seperti itu. Bukan hanya tentang kesehatan, bahwa makanan organik bisa membuat tubuh semakin sehat. Padahal ada dimensi sosial, misalnya tentang kesenjangan, dimana kegiatan posting makanan di social media juga merupakan praktek mengkategorikan diri pada golongan tertentu. Itu hanya salah satu contoh hal yang kita lewatkan, masih banyak hal lain yang kita abaikan jika melihat makanan sebagai praktek konsumsi, tentang kesadaran misalnya.

H

Dalam proyek Hunger Inc. dari Biennale Yogya kemarin, Elia mengangkat masalah kelas dan kolonialisme yang “membentuk” konsep makanan di ranah lokal, apa sebenarnya yang terjadi?

E

Di proyek Hunger Inc. saya mengomentari mental kita yang cenderung miskin. Saat kolonialisme berakhir, reproduksi kuasa tetap terjadi. Kesenjangan itu masih ada dan lahir dalam nama baru nasionalisme. Padahal di negara kita, kekuasaan utama masih di tangan beberapa orang saja. Ide pertamanya itu, saya penasaran tentang bagaimana situasi kaum miskin urban dalam mengakses makanan. Masih sering sekali ada kejadian pembagian raskin yang rusuh, dikorupsi, dan semacamnya. Bagaimana mekanisme orang miskin bisa mengakses raskin, yang ternyata dikategorikan menjadi 13 kategori kemiskinan. Di sana saya berkolaborasi dengan Fajar, seorang seniman untuk membangun tenda makanan yang biasanya ada di lokasi bencana. Kami berpura-pura membuat NGO bernama Hunger Inc. yang khusus mengurusi kelaparan di kaum urban. Kami berperan sebagai sosok heroik tapi saat bekerja selalu salah sasaran. Praktek ini menyasar pada beberapa masyarakat yang kadang terjebak dalam konsep miskin agar mendapatkan akses bantuan makanan. 13 Kategori kemiskinan itu terlalu sulit untuk dipahami. Kami ingin membicarakan mental miskin, dan heroisme beberapa NGO, yang seolah ingin membantu, padahal merupakan proyekan (tertawa).

H

Tentang eksperiman Elia yang menggunakan bahan-bahan makanan murah yang lalu di rebranding dalam bentuk gourmet?

E

Itu proyek di Wonosari, suami saya datang dari sana. Di sana saya melihat ada makanan yang dibuat dari ampas – leftover minyak wijen. Ini menarik karena rasa ampas makanan yang tidak enak itu justru dianggap sebagai sesuatu yang layak konsumsi. Ternyata mereka menggunakan trik seperti menggunakan daun basil yang dibakar untuk mengurangi bau yang tidak enak. Setelah itu saya bikin dapur yang memasak itu di Kedai Kebun. Awalnya saya diajak untuk keperluan pameran di sana, tapi saya ingin mencoba hal lain di luar pameran yang objek atau benda, lalu saya terpikir untuk mengundang orang fine dining dengan bahan olahan tadi. Saya buka fine dining tersebut selama satu setengah bulan dan memasak setiap hari, menyediakan bahan, dan bahkan mengundang orang untuk membawa bahan yang akhirnya jadi menu di pop-up restoran.

Yang menarik dari proses karya ini adalah pada prosesnya. Bagaimana dapur bisa dihidupkan oleh komunitas, mereka menyumbang bahan makanan. Sama-sama berbagi pengetahuan soal makanan, tercipta diskusi dan ini menarik, karena kita bisa jadi bercerita tentang makanan. Semua menjadi bahan catatan dan riset kami. Ada orang Australia yang membandingkan rasa ampas saat itu dengan jamur truffle. Padahal secara visual, bau dan tampilan itu tak enak. Bahkan, biasanya ampas itu jadi bahan ternak. Ini juga merupakan cara kami untuk menyentil wisata kuliner kadang seperti fetish, terhadap bahan makanan yang eksotis. Saya selalu menjelaskan bahwa bahan yang digunakan tidak ada value-nya. Kami ingin menceritakannya tanpa ingin mengeksotisasi budaya makan masyarakat yang kami angkat. Kami tidak ingin menampilkan foto-foto dan ingin orang-orang membayangkan bagaimana wilayah yang kami maksud tanpa melihat visualnya. Ini saat itu saya kerjakan bersama Syafiatudina dari Kunci.

H

Untuk masalah makanan dan kelas dalam masyarakat, Saya punya pengalaman pribadi, ada katul makanan ayam yang kini dianggap sebagai makanan organik dan jadi bahan makanan yang sophisticated yang mahal. Apa ini ada hubungannya bentuk komodifikasi atau itu memang trik pemasaran?

E

Jika berbicara soal tentang pemasaran dan makanan itu luas, bukan soal satu korporasi atau satu negara, itu masalah global. Waktu itu ada Dialita, saat mereka mau konser, kebetulan saya kebagian untuk memasak untuk acara. Mereka sempat bercerita bahwa dulu para personil Dialita pernah makan bulgur – beras yang seperti katul, yang dibagikan pemerintah AS karena mereka surplus. Jadi mereka membagi bahan makanan tersebut ke negara-negara yang mereka anggap butuh bantuan. Saya merespon cerita itu dengan menciptakan makasan dengan bahan tersebut. Lalu saat mencari, saya tidak menemukan bulgur di pasar tradisional dan harus memesannya dari toko sehat dari Turki. Tidak sampai satu kilo harganya 150.000 rupiah. Bulgur jadi mahal karena menurut mereka, makanan itu sehat dan baik untuk diet, membantu pencernaan, sudah diriset dan lain-lain.

Hal seperti ini tidak pernah berpihak pada petani sebagai produsen. Ada masalah yang rumit di makanan. Sekarang semakin sering terjadi komodifikasi, belum lagi praktek pematenan makanan, salah satunya pada GMO (Genetically Modified Organisms). Praktek seperti ini hanya menguntungkan korporat. Waktu itu saya sempat datang ke Kediri bersama teman dari India dan menemukan bahwa ada petani yang dituntut karena membagikan bibit yang telah dipatenkan ke sesama petani. Ini aneh kan?

H

Di Indonesia banyak kejadian aneh seperti saat genjer-genjer dipolitisasi, ada lagi rumput krokot yang sebenarnya enak dan bergizi tapi dianggap makanan orang miskin. Apakah ada contoh lain yang bisa ditambahkan?

E

Dulu genjer-genjer dipolitisasi karena ada lagunya dan erat dengan golongan kiri. Sesederhana itu logikanya (tertawa). Pada dasarnya kita didesain untuk mengkonsumsi apa yang disediakan oleh pasar. Petani juga dipaksa menanam apa yang diminta oleh pasar. Padahal ada banyak pangan liar yang dulu dimakan oleh generasi sebelum kita, seperti singkong, beluntas, dan lain-lain tapi sekarang sudah sulit ditemukan. Ini semakin menjauhkan kita dengan berbagai bahan makanan yang ada. Kita dibiasakan membeli yang sudah tersedia di supermarket. Di desa-desa seperti di Jombang waktu saya residensi, masyarakatnya masih mengkonsumsi makanan dari tumbuhan liar. Mereka memiliki pengetahuan mengenai berbagai bahan makanan yang bisa ditemukan di sekitar kita.

Dulu Soeharto mengutamakan beras sebagai pangan nasional, sebagai makanan yang lebih bermutu. Padahal di Papua misalnya, masyarakatnya tidak familiar dengan beras sebagai makanan pokok. Di Wonosari jika ada masyarakat yang makan singkong atau gaplek, dianggap miskin. Padahal belum tentu kandungannya kurang bergizi jika dibandingkan dengan beras. Sekarang ada banyak aktivis makanan yang mengkampanyekan biodiversity makanan. Misalnya dalam seminggu kita disarankan mengkonsumsi karbohidrat tidak hanya dari beras. Tapi di situ bisa jadi ini menjadi bentuk komodifikasi baru. Bisa jadi nanti ada gaplek organik, atau bulgur yang dijual mahal.

H

Sebagai seniman apakah mbak Elia akan mengembangkan karya sampai sejauh mana?

E

Sebagai seniman aku ingin terus bereksperimen. Untuk sekarang, saya belum selesai dengan makanan dan kemungkinan di dalamnya. Tapi saya ingin mengeksplornya dengan performance, teatrikal, seperti dengan Hunger Inc. pada bienalle kemarin, saya melihat jarak di sela-sela performance art saya masih gagal memberi pengalaman lain bagi publik. Saya ingin lebih luwes membahas makanan. Jika suatu saat mencari bentuk baru, mungkin bisa kembali ke objek dan saya akan bereksperimen disana.

H

Dengan praktek berkesenian yang demikian, bagaimana Elia memposisikan kolektor yang ingin membeli karya?

E

Waktu itu sempat ada kolektor yang bertanya apa yang akan dia dapatkan dari karya saya jika membawanya. Dulu saya masih naïf untuk hal seperti itu, saya lebih ingin memperhatikan kapasitas pameran, durasinya, audiensnya. Saya sedang berpikir apa kira-kira objek yang bisa mereka bawa pulang. Masih banyak seniman yang membuat dulu bendanya, baru dirasionalkan. Itu yang tadi saya pikir, apakah seharusnya karya dibuat seperti ini? Saya ingin menemukan bagaimana cara menyajikan karya yang object-based dalam konsep yang kuat. Karena kalau logikanya dibuat-buat juga pasti malu sebagai seniman (tertawa). whiteboardjournal, logo