Dua Film Indonesia Masuk Venice International Film Festival 2018

29.07.18

Dua Film Indonesia Masuk Venice International Film Festival 2018

Apakah hal ini berbanding lurus dengan awareness masyarakat terhadap film-film lokal berkualitas?

by Whiteboard Journal

 

Teks: Winona Amabel
Foto: Fourcolours Film

Pada pelaksanaannya yang ke-75, Venice International Film Festival atau La Biennale Di Venezia, dua film Indonesia “Kucumbu Tubuh Indahku” (Memories of My Body) dan “Kado” (Gift) berhasil menjadi line up di kompetisi. Keduanya masuk ke kategori Orizzonti, dengan “Kucumbu Tubuh Indahku” ke Orizzonti Competition, sementara “Kado” ke Orizzonti Short Films Competition. Kategori ini terbuka untuk semua karya dengan bahasa ekspresif dan pandangan yang lebih luas terhadap tren baru dalam film.

Film pertama “Kucumbu Tubuh Indahku” adalah film panjang ke-19 yang disutradarai Garin Nugroho, terinspirasi dari koreografer dan penari skala global asal Banyumas bernama Rianto yang kerap menghadapi diskriminasi karena cita-citanya menjadi penari. Berdurasi 105 menit, film ini diproduseri Ifa Isfansyah di bawah Fourcolours Film, studio yang juga memproduksi film “Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak”. Film ini mengisahkan perjalanan tubuh dalam peleburan sifat maskulin dengan feminin dari lingkungan alam, rumah, dan tradisi.

Film kedua “Kado” yang berdurasi 15 menit ini digarap sineas muda Aditya Ahmad, pemenang penghargaan sutradara film pendek terbaik se-Asia Tenggara di Singapore International Film Festival tahun 2014. Film ini mengisahkan tentang Isfi yang berencana merayakan ulang tahun Nita, namun untuk mempersiapkan hadiah spesial ia harus mengenakan kerudung dan rok panjang. Riri Riza selaku produser bersama Mira Lesmana, mengatakan bahwa gagasan dan isu yang disajikan di film ini dikemas dengan relevan, universal, namun tetap bersifat kelokalan.

Selain kedua film di atas, banyak juga film-film Indonesia yang bersinar di festival film ataupun audiens internasional, sebut saja “Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak”, “Sekala Niskala”, film pendek “Prenjak”, “Turah”, “Ziarah”, dan masih banyak lagi. Melihat perkembangan exposure yang didapat oleh film Indonesia dalam arena global, apakah hal tersebut berbanding lurus dengan awareness masyarakat terhadap film-film lokal berkualitas? Sepertinya kita masih harus berbenah untuk memperhatikan segala produksi film alternatif dan memberikan ruang pemutaran baginya selayak film komersil.whiteboardjournal, logo