Mengkritik Fenomena Eksotisme dalam Fashion Melalui Kampanye Dolce & Gabbana

Fashion
23.11.18

Mengkritik Fenomena Eksotisme dalam Fashion Melalui Kampanye Dolce & Gabbana

Melihat fashion show “The Great Show” lebih dalam.

by Emma Primastiwi

 

Foto: Dawn

Upaya terbaru Dolce & Gabbana dalam merayakan budaya Cina untuk fashion show “The Great Show” telah dituduh mendukung rasisme dengan mengangkat stereotip seputar budaya Cina. Menampilkan seorang model Asia terlihat kesulitan menyantap makanan Italia dengan sumpit, akun Instagram Dolce & Gabbana diserang dengan amarah dan keluhan para pengikutnya dari seluruh dunia.

Tanpa menggali arti lebih dalam, sebagian besar publik masih tidak sadar akan stereotip budaya Cina dalam seri video tersebut, sehingga tidak menemukan hal negatif dalam kampanye ini. Sayangnya, kampanye ini disambut dengan amarah para pengikut Dolce & Gabbana di Cina, menganggap penggambaran ini sangat offensive dan tidak sesuai dengan budaya mereka sebenarnya. Akun Instagram Diet Prada yang telah lama mengekspos isu-isu dalam dunia fashion turut mengajak para pengikutnya untuk memperhatikan beberapa atribut penting dalam video, seperti “over-the-top embellishment of cliche ambient music, comical pronunciations of foreign names/words and Chinese subtitles. Dengan kritikan itu, mereka membantu pengikut Asia maupun Non-Asia untuk melihat bahwa tema-tema utama dalam video itu stereotipikal, kuno dan ignorant.

Walau mengecewakan, eksotisme terhadap negara Cina dan wanita Asia seperti terlihat dalam video tersebut telah diwariskan dari ribuan tahun lalu. Diawali oleh perdagangan antara Eropa dan Asia di awal abad ke-18, mode barat mengalami banyak perubahan berkat pengaruh estetika timur, sehingga melahirkan pesona eksotisme ‘Far East’ yang menggambarkan negara-negara Asia sebagai tempat mistis – penuh dengan magis, misteri dan fantasi. Pesona inipun dipopulerkan di Eropa, contohnya, pada saat itu mode Perancis banyak mengambil inspirasi dari pakaian tradisional elit Cina seperti Qipao dan Cheongsam beserta estetika budaya Cina lainnya. Sebagai hasil pengaruh itu, para desainer Eropa mulai mengimplikasi elemen-elemen desain Cina, tidak hanya dalam mode pakaian tapi juga dalam karya seni, perkakas rumah bahkan arsitektur dan dikenal sampai sekarang sebagai gaya desain ‘Chinoiserie’.

Melihat asal dari pemikiran tersebut, batas antara apresiasi atau apropriasi sebuah budaya jatuh pada kepekaan dan edukasi terhadap budaya yang ingin dirayakan. Karena pengetahuan terhadap sejarah budaya tertentu masih belum diperhatikan, apropriasi budaya, rasisme dan stereotip masih terlihat jelas, dan sayangnya, masih mempertahankan penggambaran estetika dan budaya timur yang kuno, berlebihan serta terkadang menghina.

Di sisi positifnya, Dolce & Gabbana membuat video ini sebagai upaya untuk merayakan budaya Cina seputar fashion show mereka yang akan diselenggarakan di Shanghai. Wanita Asia yang sedang mencoba untuk menyantap makanan Italia bisa saja menyimbolkan keinginan Dolce & Gabbana untuk menyatukan budaya Italia dan Cina. Sayangnya eksekusi dari konsep tersebut tidak diterima oleh publik dengan baik, cara penggambaran model, setting, suasana, dan bahkan musiknya pula menghasilkan terjemahan menghina dari sentimen mereka yang positif.

Untuk mengobati rasa kecewanya, pengikut setia Dolce & Gabbana tentunya ingin pihak yang bertanggung jawab untuk mengakui kesalahannya. Namun, administrator akun Instagram Dolce & Gabbana malah bereaksi dengan menghina orang-orang Cina dan pengkritik kampanye tersebut, lalu menyatakan bahwa akun mereka telah di hack. Alhasil, “The Great Show” yang seharusnya diselenggarakan di Shanghai tanggal 21 November lalu telah dibatalkan.

Melihat hasil dari fenomena ini, tentunya para pelaku fashion dan penikmatnya mulai mempertanyakan batas antara apresiasi ataupun apropriasi sebuah budaya. Sebelum upaya ini, Dolce & Gabbana padahal sudah pernah menggelar acara serupa “The Great Show” di Mexico dan Dubai tanpa mengalami masalah. Menilai dari upaya tersebut, kiranya mereka memang mempunyai niat baik untuk mengapresiasi budaya Cina, walau masih jatuh korban atas pemikiran kuno yang masih dijiwai dalam budaya barat. Jika mereka masih saja menolak untuk mengubah cara ini, bagaimana para designer barat bisa mengapresiasi budaya timur tanpa memancing amarah suatu bangsa? whiteboardjournal, logo