18.11.15

bedchamber dan Cotswolds Lepas Single “Frowning” dan “Marra”

(pesan split tape bedchamber dan Cotswolds) Sejak merilis debut EP masing-masing pada 2014 dan 2013 lalu, baik bedchamber dan Cotswolds belum pernah merilis apapun setelahnya. Namun lewat kedua debut EP mereka tersebut, keduanya berhasil menawarkan warna musik berbeda yang dengan sangat kuat menandai mereka sebagai dua unit muda dengan karakter yang khas pada musiknya masing-masing: bedchamber yang indiepop dengan segala keriangannya serta Cotswolds yang kental akan gelap post-punk dengan segala kemuramannya. Pun ternyata, keduanya kemudian juga berhasil diterima dengan sangat baik atas apa yang mereka mainkan tersebut Namun dalam PORTSIDE: a split tape by bedchamber & Cotwolds, kali ini mereka menampilkan sisi-sisi lain dari mereka yang mungkin akan terdengar bertolak belakang dari bagaimana musik mereka dikenal. bedchamber bermain dengan pola drum post-punk dalam nuansa yang lebih gelap? Atau entah apa yang membuat Cotswolds menjadi terdengar lebih riang lewat permainan gitar yang kental akan pop? PORTSIDE mempertemukan dan mengabadikan transisi-transisi itu dengan baik. Sebagai single pertama bedchamber memilih "Frowning" sementara Cotswolds menawarkan "Marra". bedchamber menuturkan tentang "Frowning" yang menurut mereka adalah sebuah teka-teki akan sifat dan keadaan psikologis seseorang yang tidak bisa memberikan kepercayaan kepada orang lain dan memilih untuk melalukan segala hal seorang diri sehingga apakah ia merasa kesepian atau tidak menjadi hal yang sulit diketahui. Sedangkan "Marra" menurut Cotswolds adalah momen terungkapnya kepribadian gelap dan tersembunyi dari seorang wanita periang pengidap bipolar yang tidak pernah diketahui sebelumnya. PORTSIDE akan dirilis dalam format kaset oleh Nanaba Records serta digital stream lewat Kolibri Rekords pada 5 Desember 2015. Rilisan ini merupakan kolaborasi pertama di antara kedua label tersebut, juga sekaligus menjadi penghubung menuju album perdana dari masing-masing band. Showcase istimewa untuk rilisan ini juga akan dilaksanakan di Surabaya, Malang, Bandung, dan Jakarta dalam waktu dekat. -- ​ bedchamber - Frowing | Cotswolds - Marra from split album 'Portside' Out 5 Des 2015 on cassette via Nanaba Records & digital stream via Kolibri Rekords

29.09.15

Pameran Wani Ditata Project

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah proyek seni sering muncul dalam berbagai diskusi dan tulisan seni rupa di Indonesia. Seni sebagai sebuah proyek—di mana di dalamnya terdapat berbagai kemungkinan pengembangan ide, baik secara kolaborasi dan individu—memang tidak terlalu dekat dengan sejarah seni rupa kita. Namun, jika merujuk pada sejarah, yang telah dilakukan oleh para founding fathers seni rupa modern kita sebenarnya ada yang sudah mengarah pada bentuk proyek seni seperti yang kita terjemahkan saat ini. Lihat saja proyek poster revolusi pascakemerdekaan Indonesia yang digagas oleh S. Sudjojono dan Affandi bersama Seniman Indonesia Muda (SIM). Ia tidak hanya meletakkan seni sebagai kegiatan mendedah estetika rupa, namun menjadi alat perjuangan yang berkolaborasi dengan para penulis pada masa itu, seperti Chairil Anwar. Seni rupa sebagai sebuah proyek seni memang tidak berkembang di Indonesia karena kecenderungan subjektivitas seniman dan orientasi untuk memproduksi kebendaan berupa 'karya' sebagai hasil akhir. Sebuah proyek seni menuntut keterbukaan dalam mengembangkan ide sebagai proses kerja. Keterbukaan itu bisa jadi berkolaborasi dengan aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan kesenian. Mulai tahun 2015, Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta menginisiasi proyek seni seniman perempuan: Wani Ditata Project. Proyek seni ini adalah tanggapan Komite SR-DKJ terhadap perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia, bahwa kegiatan seni yang mengarah pada riset dan fokus pada isu tertentu menjadi sangat relevan saat ini. Relevansi proyek seni ini adalah bagaimana pengembangan kegiatan kesenian dengan durasi tertentu dan mendalami satu subjek wacana akan sangat berdampak pada perkembangan seni rupa kontemporer—di mana dalam proses kerja sebuah proyek seni terdapat produksi ilmu pengetahuan yang akan didistribusikan di akhir proyek. Wani Ditata Project dengan sengaja mengundang delapan seniman perempuan dari Jakarta dan kurator muda Angga Wijaya sebagai fasilitator dalam mengembangkan proyek seni ini. Tujuan mengundang seniman perempuan adalah untuk membaca perkembangan seni rupa kontemporer di Jakarta, di mana seniman perempuan juga menjadi pemain utama saat ini. Sejak berdiri, Komite SR-DKJ belum pernah secara khusus meletakkan isu perempuan ini dalam program-programnya. Untuk itulah Komite SR-DKJ merasa perlu secara khusus mengembangkan proyek seniman perempuan, sekaligus untuk merangkum wacana sosial-politik kebudayaan yang dibaca melalui seniman-seniman perempuan. Semoga saja proyek seni ini dapat berkembang dan berkontribusi bagi perkembangan seni rupa kontemporer kita. Salam, Hafiz Rancajale Ketua Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta 2013 - 2015 -- Dewan Kesenian Jakarta mempersembahkan: Proyek Seni Perupa Perempuan Dewan Kesenian Jakarta: WANI DITATA PROJECT Aprilia Apsari, Julia Sarisetiati, Kartika Jahja, Keke Tumbuan, Marishka Soekarna, Otty Widasari, Tita Salina, Yaya Sung Kurator: Angga Wijaya Pembukaan: Sabtu, 3 Oktober 2015 | 19.00 – 22.00 WIB Dimeriahkan oleh: Disrobot Radio Irama Nusantara Pameran: 4 – 19 Oktober 2015 11.00 – 20.00 WIB Diskusi “Citra Dharma Wanita dalam Konstruksi Sosial”: Selasa, 6 Oktober 2015 | 15.00 – 17.00 WIB Pembicara: Julia Suryakusuma & Manneke Budiman Moderator: Maulida Raviola di Galeri Cipta II Jl. Cikini Raya No.73 Taman Ismail Marzuki Menteng, Jakarta Pusat 10330 Gratis!

22.09.15

Polka Wars Axis Mundi Review

Sadar Akan Keadaan. Entah kenapa, setiap mendengar nama Polka Wars, yang terbayang pada benak saya justru mengenai segala aktivitas sosial personilnya. Aspek musik mereka baru muncul belakangan. Mungkin, perspektif saya ini cukup cetek, tapi memang begitu adanya. Tapi, saya akan berusaha untuk lebih optimis dalam menulis ulasan ini: segala aktivitas sosial dan luasnya jaringan Polka Wars sebenarnya di sisi lain juga menunjukkan etos mereka yang cukup professional. Bahwa mereka mampu membedakan persona di atas dan di luar panggung. Sewaktu saya mewawancarai keempat personilnya, Aeng, Deva, Billy dan Dega sama sekali tak terasa sebagai selebriti, padahal beberapa bulan setelah hari itu, mereka tampak dengan mudah menjual habis tiket konser tunggal yang mereka laksanakan di Institut Francais Indonesia. Hal inilah yang semakin terasa pada saat saya keluar dari gedung IFI pada hari Sabtu itu. Secara pribadi, saya sangat puas dengan konser perdana Polka Wars dalam artian, saya tidak menyangka hasilnya akan seperti itu. Sekeluarnya saya dari gedung, saya lantas menyampaikan kepuasan saya ke masing-masing anggota, dan ucapan tersebut jelas bukan basa-basi semata. Konser dibuka oleh Bedchamber. ‘Milenial’ adalah kata yang pas untuk mendeskripsikan karakter mereka, namun di saat yang sama, term tersebut cukup mengalihkan perhatian dari musik mereka sendiri yang sebenarnya cukup apik terlepas dari segala influence yang mempengaruhi mereka. Penampilan mereka cukup menyenangkan. Walau kalau boleh jujur, saya tidak terlalu ingat secara detil musik mereka sehabis turun panggung. Mungkin, saat itu ada yang mengajak saya ngobrol. Sudah berulang kali saya putar Axis Mundi, album perdana Polka Wars. Kurang lebih saya tahu arah dan alur dari lagu-lagunya. Namun saat konser dibuka dengan segue antara “Horse’s Hooves” dan “Coraline”, saya sangat terkesan dengan sequencing dan keseluruhan setlist mereka. Dari awal pula, aransemen Polka Wars terdengar lebih ketat; lebih sadar panggung, dan mereka mampu melakukannya pada panggung solo perdana. Instrumen-instrumen ditambahkan, (saksofon, tehiyan) dan semuanya bukan malah menjadi novelti, namun penyegar bagi lagu-lagu Polka Wars. Nomor-nomor favorit saya adalah ketika Aeng, di paruh kedua konser (setelah penayangan dokumenter yang sayang sekali saya lewati bagian awalnya), menyanyikan lagu “Mad World” dan Deva menyanyikan nomor “Lovers”. Saya juga tidak menyangka “This Providence”, “Mokéle” dan “Tall Stories” akan terdengar serapi itu pada konser ini. Polka Wars suka meloncat-loncat: Deva bisa tiba-tiba menyanyi, bisa tiba-tiba memegang bas, lalu kembali lagi ke drum. Aeng juga memainkan piano. Seperti di Axis Mundi, saya cukup senang dengan nirformat ini—saya juga menyebut konsep ini sebagai format band yang egaliter di Koran The Jakarta Post—karena hal tersebut menunjukan bahwa prioritas Polka Wars lebih ke aransemen lagu daripada siapa memegang instrumen apa. Siapapun yang cocok di lagu/instrumen, maka dia yang akan memainkannya. Lagu terbaik di Axis Mundi, pasnya, dimainkan di akhir konser: “Piano Song.” Setelah melewati stand-up comedy dari Aeng, dokumenter pendek soal karir, dan tentu saja penampilan lagu-lagu dari album Axis Mundi (serta lagu “Obese Elves” yang di rekam di New York), “Piano Song” membungkus konser ini dengan mantap dan apik. Saya tidak menyangka bahwa mereka bisa mengeksekusinya seeksploratif di luar kenyamanan studio rekaman. Layaknya limbah pabrik, musik pun memiliki faktor eksternalitas tersendiri: imej dan kawan-kawannya. Bedanya dengan limbah, dalam konteks musik, faktor tersebut tidak begitu menjadi masalah. Begitu pula dengan Polka Wars, apalagi kalau kualitas penampilan mereka se-prima hari itu. Dan di hari itu, mereka telah mencapai banyak prestasi: konser perdana, konser tunggal, tiket laku, dan lain-lain. Kedepannya? Saya belum berani menjamin. Namun, saya berani menjamin satu hal: jika ada yang bertanya mengenai pendapat saya mengenai Polka Wars, maka ada hal baru yang saya akan katakan kepada dia. teks oleh: Stanley Widianto foto oleh: Omar Annas

02.07.15

Whiteboard Journal in Bahasa Indonesia

From art, design, music, to film, sports and food, Indonesia's creative scene never ceases to surprise us, and it has been an honor to share with you the stories of people, places, products, and events that make this archipelago such a fascinating place to live in. For the past 6 years, Whiteboard Journal has almost been exclusively in English. With our growing local readership, we have recently begun publishing stories in Bahasa Indonesia, and the number of articles in Indonesian will continue to grow in the future. As stories relevant to Indonesia and Indonesians is the center of our editorial team's vision, with Bahasa Indonesia we hope our stories could reach a wider audience, and that more individuals can learn about and appreciate the fascinating people, places, products, and events we discuss on the pages of our website. Article examples: OK VIDEO 2015 ESENSI DESAIN BERSAMA HANNY KARDINATA We would like to know what you think about our transition. Please tell us via our social media (links below) your opinion about Whiteboard Journal being a bilingual website, and whether or not you would enjoy more articles in Bahasa Indonesia. Thank you, our readers, for reading this announcement, and we truly look forward to your response. -- Selalu ada kejutan baru dari dunia seni, desain, musik, film hingga kuliner di Indonesia, dan sejauh ini sangat membanggakan bagi kami untuk berbagi cerita dari tokoh, tempat, produk, hingga acara yang membuat negara ini menjadi tempat yang selalu menarik untuk ditinggali. Selama ini, Whiteboard Journal telah mendedikasikan diri sebagai situs berbahasa Inggris. Setelah 6 tahun eksistensi situs ini, kami ingin memulai langkah baru dengan mulai menyajikan cerita dalam dua bahasa, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Langkah ini akan semakin kami kembangkan ke depannya. Visi utama kami untuk berfokus pada cerita serta peristiwa yang relevan di Indonesia menjadi pertimbangan utama dari keputusan ini. Dengan ini, kami juga berharap bahwa tulisan kami bisa dinikmati oleh khalayak yang lebih luas. Supaya cerita sekaligus inspirasi dari berbagai kalangan yang menjadi bahasan di website kami bisa menjangkau individu-individu baru. Contoh Artikel: OK VIDEO 2015 ESENSI DESAIN BERSAMA HANNY KARDINATA Kami ingin mengetahui pendapat Anda mengenai transisi ini, hubungi kami melalui aku social media kami atau pada link di bawah untuk menyatakan opini Anda mengenai format baru Whiteboard Journal sebagai situs dua bahasa. Terima kasih atas waktunya untuk membaca pengumuman ini, dan sekali lagi, kami menunggu pendapat Anda mengenai perihal ini. Please leave your comments via: Whiteboard Journal Facebook Page Whiteboard Journal Twitter

24.06.15

Vague – 23 Re-recorded & 7″ Vinyl

A bit late of a post but a goodie. After Vague released their well-received first album, Footsteps, they are about to drop a 7" record via Stockroom Recordings. This one-time recording has gone through its preorder for 140k Rupiah (not quite sure if it is still going on, but for inquiries contact stockroom81[at]gmail[dot]com) and will be available for 170k upon its release, which will be in late June/early July. The two songs on the 7" will be "23" and "Nothing," and Vague has given a little preview to the re-recorded "23", which first appeared via Tsefula/Tsefuelha Records. The sound crisper and the production richer, take a listen, and if you like what you hear, make your purchase!

Load More Articles whiteboardjornal, search

Subscribe to the Whiteboard Journal newsletter

Good stuff coming to your inbox, for once.