Arkipel: Grand Illusion, Curator’s Talk

25.08.15

Arkipel: Grand Illusion, Curator’s Talk

by Muhammad Hilmi

 

Penggunaan kata ‘kurator’ di medan perfileman Indonesia, belum umum. ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival adalah salah satu lembaga yang giat mengenalkan kata ini—untuk konteks filem—sejak perhelatannya yang pertama di tahun 2013. Sebagaimana tercermin di dalam konten festivalnya, pemilihan karya filem yang hendak disajikan ke publik, baik yang sifatnya kompetisi, presentasi utama, maupun presentasi khusus, semuanya didasarkan pada kerangka berpikir kuratorial: mempertimbangkan teks dan konteks mengenai isi/gaya/bentuk dari karya-karya sinema yang dihadirkan, tanpa mengabaikan konstelasi dan wacana sinema secara umum, terutama dalam hal mengaitjalinkan relevansi topik-topik terkini dengan alur sejarah dan kesezamanan sinema (termasuk ide, alat, medium, dan sistemnya).

Sebagai topik perbincangan yang baru pertama kali diketengahkan dalam perhelatan ARKIPEL oleh Forum Lenteng, layak didiskusikan bagaimana dan sejauh apa relevansi (serta signifikansi) istilah ‘kurator’ dan ‘kuratorial’ itu dalam konteks sinema Indonesia, lantas apa yang menjadikannya khas di hadapan penggunaannya di ragam ranah yang lain (misal, senirupa). Atau, ketimbang menyoroti perbedaan dari fungsi dan bentuk penggunaannya, bagaimana kita dapat mengelaborasi hal itu di tengah-tengah pengakuan ilmu pengetahuan atas fenomena lenyapnya batas-batas antara satu bidang tertentu terhadap bidang yang lain?

Interdisiplinaritas, agaknya, menjadi satu legitimasi atas inisiatif untuk mendudukkan sinema Indonesia sebagai perihal yang butuh di-kuratorial-kan.
Selain itu, posisi strategis seorang kurator (filem) di hadapan publik perfileman Indonesia juga ihwal yang perlu kita lebih bentangkan. Bagaimana peran khususnya dalam menggarap persoalan yang berhubungan dengan ‘gambar bergerak’, lantas mengelaborasinya dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat disumbangkan oleh ‘ranah visual’ yang lain? Bagaimana kemudian ia harus berhadapan dengan publik, dan bagaimana publik dapat berhadapan dengannya?

Berbeda daripada sekadar sebagai kritikus, esais, konvenor, atau pun semata penyelenggara acara, ‘kurator filem’ tampaknya lebih memainkan peran sebagai visioner yang dapat mempertautkan pemahaman antara karya, pengkarya, lembaga penyelenggara, pemangku kepentingan dan kebijakan, serta publik, untuk sama-sama menyetarakan—bukan menyamakan—perspektif dalam melihat persoalan paling polemis dari sinema, seni, media dan sosialita.

Kurator adalah pelaku visioner yang mempertautkan teori, sejarah, dan kenyataan-kenyataan yang ada sekarang; yang menentukan nilai, melihat gelagat, kecenderungan terkini di beragam lintas keranahan, membaca dan menentukan peta sinema dalam konteks festival-festival di berbagai wilayah global.

Menghadirkan para pembicara kunci—May Adadol (Thailand), Jonathan Manullang (Indonesia), dan Shireen/Merv (Filipina)—yang berpengalaman dalam topik ini, khususnya pada bidang ‘gambar bergerak’ dan ‘seni visual’, diskusi ini bertujuan untuk menemukan celah-celah taktis dalam rangka merumuskan gagasan ‘kurator filem’ bagi progresivitas wacana perfileman di Indonesia.

Curator’s Talk akan diadakan pada tanggal 25 Agustus 2015 bertempat di Auditorium Institut Kesenian Jakarta mulai pukul 2 siang sampai dengan pukul 4 sore.

Kami mengharapkan teman-teman untuk dapat hadir dan aktif di dalamnya, terimakasih.whiteboardjournal, logo