Mengulik Moralitas Lewat Film

Film
13.03.18

Mengulik Moralitas Lewat Film

Film Musik Makan 2018

by Febrina Anindita

 

Yang menarik dalam pemutaran film adalah bagaimana makna lahir dalam benak penontonnya, dan bagaimana makna itu kemudian tumbuh dalam bentuk berbeda di setiap individu dalam ruang sinema tersebut. Dalam satu film yang sama, bisa tercipta berbagai moral cerita. Dan jika itu adalah salah satu parameternya, maka Film Musik Makan 2018 telah berhasil memupuk sekaligus membuat campur aduk angan-angan penontonnya.

Sesi pertama dari pemutaran dimulai dengan seleksi film pendek, antara lain “Joko” (Suryo Wiyogo), “Happy Family” (Eden Junjung), “Madonna” (Sinung Winahyoko), “Waung” (Wregas Bhanuteja) dan “Elegi Melodi” (Jason Iskandar). Lima film tersebut memulai sesi dengan hangat dengan berbagai bahasan serta pertanyaan yang disampaikan. Mulai dari komparasi antara prostitusi dan agama pada “Happy Family”, fetish terhadap bau di “Waung”, kematian bentuk rekonsiliasi dalam “Elegi Melodi” hingga sisi binatang manusia lewat dorongan seksnya di “Madonna” dan “Joko.”

Dari beragam premis yang ditawarkan dalam film tersebut, terdapat poin menonjol, yakni metafora. Kekuatan penceritaan dan simbol yang digunakan dalam menyampaikan ide cerita membuat penonton terlarut dan seringkali bertanya-tanya dengan moral yang ditampilkan di dalamnya. Contohnya pada “Malila: The Farewell Flower” karya Anucha Boonyawatana dari Thailand yang mengangkat isu bagaimana hidup manusia begitu rapuh dan kematian tidak bisa dihindari lewat metafora pembuatan ornamen khas Thailand, Bai Sri. Menceritakan 2 tokoh utama lelaki yang jatuh cinta satu sama lain, Boonyawatana tak hanya memotret detail intens hasrat manusia untuk dikasihi dan mengejar cinta demi kenyamanan hidup, tapi juga bagaimana hal tersebut bisa direnggut begitu kasar oleh kehidupan itu sendiri.

Dalam sekejap mata, film ini memiliki nuansa ala karya Apichatpong Weerasethakul yang mengajak penonton untuk berkontemplasi. Namun topik yang diangkat Boonyawatana menyentuh sisi kemanusiaan terdalam yakni konfrontasi manusia terhadap kehidupan yang dilupakan oleh masyarakat di kota. Penggunaan shot panjang yang mengangkat kesunyian dan tension antara tokoh utama dengan apik menyampaikan emosi begitu intens dan mentah – suatu hal yang jarang sekali bisa dinikmati oleh manusia di tengah kota.

Adapun poin kedua setelah metafora adalah kompleksitas dan “Mobil Bekas dan Kisah-kisah dalam Putaran” karya Ismail Basbeth mengantongi kedua poin tersebut. Basbeth memang dikenal sebagai sutradara yang banyak bermain dengan metafora, yang tak jarang membuat penonton bingung dengan pesan yang ingin ia sampaikan. Kecerdasan dan kegilaannya lewat film panjang ini memang patut diancungi jempol. Bayangkan, di film berbentuk omnibus ini ia membahas persoalan di Indonesia yang tak kunjung kelar, yakni militerisme dan petani lewat mempersonifikasikan mobil militer bekas yang diproduksi sebelum zaman kemerdekaan Indonesia. Ambisius memang, mengingat untuk film ini ia tak membuat script sama sekali. Adapun spektrum teks yang dijabarkan dalam film ini menyebar mulai dari budaya, sosial, ekonomi politik hingga kesenian sehingga membuat penonton bisa asyik sendiri memaknainya.

Referensi dan kecintaan Basbeth terhadap sutradara Abbas Kiarostami asal Iran dalam menggambarkan cerita dengan long take terlihat jelas di sini. Eksperimen ruang dan logika yang tercecer antara fragmen membuat film ini begitu kaya dan tak abis untuk dibahas – sebuah ideal dalam film alternatif yang memantik nalar untuk menjadi kritis.

Program dari kolektif ini – Film Musik Makan – sekali lagi masih pakem menjejakkan kakinya sebagai wadah film alternatif untuk menyebarkan eksistensi dan pesannya kepada publik lebih luas. Akses dan diskusi menjadi buah utama dari gelaran yang mencapat tahun ke-5. Selain film, tentu musik kembali ditawarkan dan kali ini terdapat Rental Video – sebuah trio Adrian Yunan, Harlan Boer dan Andri Boer yang menghasilkan lagu-lagu akustik berdasarkan film Indonesia yang mereka konsumsi pada era rental video. Tak lupa panganan dari sosok-sosok penting di dunia film lokal seperti Panggang Bro dan Nasi Pedes Cipete. Dengan adanya inisiatif seperti ini, adalah natural jika kita optimis terhadap perkembangan film alternatif yang kian mendapat perhatian lebih luas dari masyarakat lokal maupun internasional dan Film Musik Makan konsisten memiliki value untuk dihadiri tiap tahunnya.whiteboardjournal, logo

Tags