Retrospeksi Industri Clothing Bandung

09.10.17

Retrospeksi Industri Clothing Bandung

Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti

by Febrina Anindita

 

Di awal tahun 2000-an, ada geliat yang menyeruak pada industri clothing lokal. Jika sebelumnya semua berlomba-lomba menjadi yang pertama untuk memakai brand internasional dari ujung kepala hingga kaki, ketika itu mulai terjadi pergeseran selera. Pelan tapi pasti, perhatian mulai beralih kepada produk buatan anak bangsa. Dan, Bandung adalah salah satu muara dari gejala ini.

Pada awal tahun 1990, Bandung memperlihatkan bagaimana bisnis ini menjadi sebuah peluang usaha yang menjanjikan. Yang menarik, pada prakteknya industri ini tidak hanya membicarakan jual dan beli pakaian saja, namun berangkat dari sana kemudian terbentuk sebuah ekosistem baru yang mampu merangkul berbagai subkultur, diantaranya olah raga (surfing dan skateboarding), musik dan desain. Tiga keywords ini cukup populer di tahun 90-an dan kemudian secara natural menjadi dasar bagi pelaku industri ini untuk bisa membuat sesuatu yang dapat dinikmati oleh semua yang bergelut, baik pelaku hingga penikmat.

Benihnya muncul dari kegelisahan Didit Eka Aditya, Helvi Sjarifuddin dan Richard Mutter ketika melihat bahwa toko-toko yang ada kurang menjawab kebutuhan anak-anak muda saat itu. Mereka lantas sepakat membuka dan mengelola sebuah studio musik yang juga digunakan sebagai toko untuk menjual berbagai macam barang di Jalan Sukasenang Bandung. Di bawah nama “Reverse”, mereka menjual rilisan fisik seperti CD dan kaset, t-shirt, majalah, poster hingga merchandise band yang dipesan dari luar negeri.

Sayangnya energi yang ada tak bertahan lama. Krisis moneter di tahun 1997 membuat nilai tukar dolar Amerika terhadap rupiah sangat tinggi, memaksa Reverse tutup karena harga jual barang yang tak lagi masuk di akal. Untungnya, semangat tetap membara di dada Helvi dan Didit. Semangat inilah yang kemudian mengantarkan gagasan ini ke level lainnya. Setelah Reverse tamat, pada tahun sama Helvi dan Didit bersama satu teman lama, Marin, memutuskan untuk membuat clothing line-nya sendiri yang diberi nama “Airplane” dan sebuah record label bernama Fast Forward pada tahun 1999.

Tak jauh dari situ, gairah yang sama berkembang di kepala Dendy Darman. Lahirlah kemudian 347Boardriderco di tahun 1995 sebagai perwujudan kegelisahannya. Bersama beberapa rekan, Dendy menawarkan konsep dan interest lain yang tentunya membawa angin segar untuk industri ini. Berawal dari coba-coba, Dendy membuat sebuah desain baju yang terinspirasi dari apa yang ia konsumsi, mulai dari film, musik hingga surfing culture yang ia geluti. Yang menarik dari Unkl347 (mereka berganti nama di tahun 2006) adalah cara mereka untuk memanfaatkan referensi mereka terhadap budaya populer dan menjadikannya sebuah peluang untuk menarik pasar hingga akhirnya menciptakan sebuah tren dan menjadi parameter. Hal inilah yang membuat brand yang satu ini menjadi sebuah bisnis clothing yang tidak hanya menjual pakaian, tetapi juga mampu menyatukan banyak lapisan kreatif dan menjadi icon karena keberhasilannya. Berawal dari jual kaos di lingkaran teman, menjadi penggerak selera anak bangsa yang diidolakan.

Maju dua dekade kemudian, industri yang sama masih ada di sana. Beberapa bertahan, namun banyak pula di antara nama lama yang menghentikan perjalanan di tengah. Meski, selalu muncul anak muda lain yang meneruskan langkah dalam nama dan gairah baru. Maternal Disaster dan Arena Experince adalah beberapa nama muda tersebut.

Sebagai clothing line, Maternal Disaster memiliki identitas dan konsep yang kuat sehingga ini memiliki daya tariknya tersendiri. Konsep ini kemudian diperkuat dengan kolaborasi bersama seniman atau pun musisi lokal, juga dengan aktivitas mereka yang cukup militan dalam merilis album musik dan gigs yang sejalan dengan estetika mereka. Sedangkan Arena Experince adalah sebuah distribution store (distro) yang menyediakan ruang untuk mendukung brand-brand lokal dalam segi promosi hingga penjualan. Distro yang satu ini cukup menonjol dibandingkan distro-distro di Bandung lainnya, karena secara visual mereka mampu merepresentasikan treatment seperti apa yang cocok dengan tren masa kini tanpa membuatnya terlihat berlebihan.

Pelan-pelan mereka kini menyejajarkan langkah dengan para seniornya, termasuk Unkl347 yang tahun ini merayakan dua dekade usianya dengan bersenang-senang dalam menjelajahi medium berkarya baru, mulai dari furniture hingga arsitektur.

Yang menarik dari fenomena ini adalah bagaimana industri ini terus hidup dengan percampuran pemain lama dan pemain baru yang dinamis. Hingga saat ini, salah satu pedoman yang terus dijalankan oleh Unkl347 agar terus bertahan di tengah ramai persaingan adalah menjaga ikatan antar komunitas. Poin sederhana ini sering kali dilalaikan oleh banyak pihak. Tanpa mereka sadari, justru hal tersebut yang dapat menjamin keberlangsungan sebuah industri. Dengan merangkul komunitas-komunitas lain, ternyata terbukti mampu membuka jalan juga kesempatan agar industri kreatif di Bandung bisa tumbuh dan berkembang bersama.

Tak heran kemudian saat industri clothing di Bandung selalu terasa bernyawa. Keberhasilan para pelaku kreatif di Bandung bisa dijadikan motivasi yang seharusnya dapat dijadikan contoh nyata yang menyulut semangat para pelaku di bidang tersebut untuk terus berkarya dan mendukung perkembangan industri clothing khususnya di Tanah Air. Komunitas yang ada harusnya tidak hanya menjadi faktor pendukung, melainkan sebagai sumber inspirasi dan referensi agar apa yang dilakukan bisa selalu relevan dengan ide-ide segar. Dengan menghubungkan banyak titik antar pelaku kreatif lokal, tentunya besar harapan akan lahir banyak alternatif-alternatif lain yang bisa mendefinisikan “fashion hari ini” tanpa perlu melirik jauh ke luar sana.whiteboardjournal, logo

Tags