Mengingat Sentralitas Peran Hanny Kardinata dalam Perjalanan Desain Grafis Indonesia

Design
29.03.23

Mengingat Sentralitas Peran Hanny Kardinata dalam Perjalanan Desain Grafis Indonesia

Pendiri Ikatan Perancang Grafis Indonesia, Hanny Kardinata, merenungkan sejarah desain grafis di Indonesia seiring perilisan buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Reiko Iesha

Hanny Kardinata, desainer grafis senior Indonesia asal Surabaya, berperan besar dalam perjalanan desain grafis di Indonesia sebagai salah satu pendiri Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) yang sekarang dikenal sebagai Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI). Kardinata berperan dalam beberapa pameran bersama IPGI, salah satunya ‘Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit’ di tahun 1980. Pada saat ia mendirikan IPGI, Kardinata berharap untuk memasyarakatkan dan mensosialisasikan profesi desain grafis di Indonesia agar Indonesia dapat diakui dan muncul dalam peta desain grafis dunia. 

Kardinata mengawali kariernya yang panjang sebagai seorang desainer grafis mulai tahun 1975 ketika ia bekerja dalam Matari Advertising. Di tahun 1980, Kardinata berhasil mendirikan studio grafis ia sendiri, yaitu studio Citra Indonesia. Sering kali berperan sebagai Art/Creative Director, Kardinata menganggap sebagian besar karyanya sebagai hasil kerja tim. Walau begitu, Kardinata tetap membanggakan karya-karyanya, salah satunya yaitu desain ulang untuk majalah LARAS. 

Pada masa awal terbitan majalah LARAS sekitar tahun 1987, Kardinata membantu mendesain ulang edisi-edisi majalah LARAS yang gagal dipublikasikan. Dalam redesain ini, Kardinata menambahkan elemen-elemen grafis yang membantu membedakan majalah LARAS dari majalah-majalah lain yang pada masa itu cenderung berpenampilan serupa. Pekerjaan Kardinata dengan majalah LARAS memberi ia kesempatan untuk bekerja dengan matte paper untuk pertama kalinya, serta bertingkah sebagai visioner dengan membantu membuat majalah LARAS menjadi majalah pertama yang menggunakan teknologi laminasi dove sebagai cover majalah pada masa itu. 

Selama menjalani kariernya, kegemaran Kardinata dalam mencatat dan mengoleksi semakin bertumbuh. Kegemaran ini mendorong Kardinata untuk mendirikan lembaga pengarsipan Desain Grafis Indonesia (DGI) di tahun 2007. DGI berawal sebagai sebuah situs yang berisi informasi-informasi mengenai desain grafis Indonesia dan perkembangannya. Sekarang, DGI telah berkembang menjadi lembaga kolaboratif bagi perancang-perancang dan komunitas desain grafis di Indonesia. 

Seiring waktu berjalan, Kardinata tetap mempertahankan kegemaran ia dalam mengobservasi dunia desain grafis. Ia menyadari bahwa, pada masa sekarang, ketergantungan seorang perancang dengan komputer grafis terus bertumbuh besar. Dalam masa ia berkarya, setiap karya yang dihasilkan dengan menggambar di kertas menggunakan kuas selalu menghasilkan suatu tekstur yang membedakan satu desainer dengan desainer lain. Kardinata merasa bahwa sifat manusiawi dan kekhasan seorang desainer menghilang dengan komputer grafis. Ia khawatir bahwa di masa depan, hasil temuan manusia malah dapat mengurangi peran mereka.

Dengan kekhawatiran tersebut, Kardinata mencoba mempertahankan seni berbentuk fisik. Kardinata memiliki cita-cita untuk membuat Museum Desain Grafis Indonesia, suatu museum berisi segala arsip mengenai sejarah desain grafis Indonesia yang dimaksud untuk menjadi sumber pembelajaran komprehensif bagi yang ingin mengeksplorasi bidang ini. Sebagai langkah awal untuk pembuatan museum ini, Kardinata telah menyusun segala catatan dan koleksi yang berhasil ia kumpulkan sepanjang kariernya dalam bentuk buku berjudul Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia. 

Buku DGIDPDGD merupakan hasil kolaborasi bersama beberapa desainer Indonesia lintas generasi serta geografi, antara lain Agra Satria, Andi Rahmat, Bambang Widodo, Eka Sofyan Rizal, Listya Amelia, Tatiana Romanova, dan Yan Mursid. Dengan hasil kolaborasi ini, Kardinata berharap untuk mencerminkan visinya, yaitu untuk melupakan perbedaan, mengedepankan kebersamaan, dan menghilangkan pemisahan, agar segala elemen bangsa dapat bersatu dan komunitas desain grafis Indonesia bisa semakin cepat muncul di permukaan desain grafis dunia. 

Buku berisi sejarah desain grafis tahun 1900-an hingga 2010-an ini dapat dibeli melalui situs resmi Desain Grafis Indonesia.whiteboardjournal, logo