Bencana Tren Fast-Fashion dalam Pusaran Kapitalisme

Fashion
28.12.22

Bencana Tren Fast-Fashion dalam Pusaran Kapitalisme

Ketika tren fashion silih berganti, besar kemungkinan manusia tak lagi punya kemampuan untuk mengimbanginya

by Whiteboard Journal

 

Teks: Alissa Wiranova
Foto: ELLE

Fairy core, goth core, barbie core, the bloke core, dan masih banyak lagi sederet core-core lainnya. Serentet istilah berakhiran -core ini terus-terusan menghantui dunia fashion, atau setidaknya, yang paling parah, adalah selama satu tahun belakangan ini. 

Kita intip saja dahulu salah satunya, yaitu barbie core. Tentu bukan tanpa alasan aktris Hollywood sekaliber Megan Fox tampil mempesona dengan atasan pink fanta ngejreng dan rambut panjang blonde. Penampilannya ini tentu mengingatkan kita pada Barbie, sesosok karakter boneka perempuan glamor bertubuh molek yang dikenal semua orang. 

Bukan cuma menyerupai barbie, tren lain semacam bloke core juga sempat merajai dunia fashion (tok) tahun 2022 ini. Tren ini menghadirkan perpaduan antara jersey sepak bola, celana longgar, dan sneakers yang sebisa mungkin sudah usang. Beda jauh dengan barbie core, tak ada sisi glamor dan elegan yang ditampilkan dalam bloke core. Sebaliknya, justru aspek ‘berantakan’ dan ‘mis-matching’ yang menjadikannya unik dan trendi. 

Terlepas dari tren fashion berakhiran –core mana yang elegan-tak elegan, atau indah-tak indah (baik secara konvensional maupun tidak), ada satu hal yang dapat kita semua sepakati: bahwa tren-tren ini tak pernah berumur panjang. 

“Modern fashion right now is veiled by gimmicks,” terang fashion analyst Mandy Lee dalam wawancaranya bersama Hypebeast. Kompetisi ketat yang terjadi pada sesama brand fashion di era kapitalisme seperti sekarang mengharuskan mereka untuk putar otak mencari cara agar mampu mendapatkan pembeli. Salah satunya adalah melalui media Tiktok, yang algoritmanya memungkinkan popularitas berbagai tren fashion untuk membludak. Lewat video-video yang ‘sejenak’ viral berisikan berbagai tren “….-core” ini, industri fast-fashion berlomba-lomba melakukan produksi masif pakaian trendi–yang sayang, usia hidupnya tak pernah seberapa. 

Siklus perputaran tren fashion yang super duper cepat ini tentu menimbulkan banyak masalah. Brand fast-fashion terkenal bernama Shein, misalnya. Merk yang beberapa kali mendapat sorotan karena menggunakan desain seniman tanpa izin ini ketahuan memperkerjakan para buruhnya selama 75 jam per minggu, dengan waktu libur hanya 2 sampai 3 hari dalam satu bulan. Hebatnya (tentu in a sarcastic way), Shein mampu menghasilkan omset sebesar 10 milyar USD di tahun 2020, menjadikan brand ini sebagai perusahaan digital fashion terbesar di dunia. 

Penghasilan sebesar ini rupanya seimbang pula dengan jumlah polusi yang dikeluarkan. Total sebanyak 6,3 juta ton karbon dioksida diproduksi Shein setiap tahunnya, sebagai buntut dari kebijakan perusahaan yang merilis 700 hingga 1000 styles pakaian baru per hari–yang tentu saja, jauh dari kata ramah lingkungan. 

Tapi yang jadi pertanyaannya hanya satu: mengapa manusia bisa begitu konsumtif mengikuti tren dalam membeli pakaian?

Seorang filsuf berdarah campuran Korea-Jerman bernama Byung-Chul Han, sedikit banyak mampu menjelaskan fenomena ini. Dirinya menyatakan bahwa kapitalisme di era kontemporer seperti sekarang tak pernah secara gamblang memaksa manusia untuk turut serta berpartisipasi dalam sistem ini. Sebaliknya, manusia seolah dibujuk dengan halus, agar secara ‘sukarela’ mau berkontribusi mendukung sistem yang (sebenarnya) destruktif. 

Misalnya ketika kita tengah menyaksikan video viral OOTD estetik ala-ala di FYP Tiktok. Tak ada seorangpun yang memaksa kita untuk membeli pakaian serupa. Tapi sayang, lima menit setelahnya, teknologi mulai memainkan perannya. Instagram ads tiba-tiba menampilkan sabrina top bermotif floral sebagaimana yang dikenakan selebtok tadi. Tanpa saya sadari, tiba-tiba sudah ada 3 unggahan Instagram mereka yang masuk ke dalam bookmark section. “Like is the digital amen,” tulis Byung Chul-Han dalam bukunya yang berjudul Psychopolitics. 

Meski begitu, tren fashion “…-core” yang dalam waktu sekejap bisa timbul-hilang timbul-hilang ini bisa jadi akan segera menemui akhir perjalanannya. Saya, misalnya–yang anak kosan dan sehari-hari biasa cuma beli combo telur dadar-tongkol balado di warteg terdekat–tentu tak akan mampu mengikuti setiap tren fashion yang terus-terusan silih berganti dalam waktu sekejap. Kalikan saja saya dengan entah berapa juta mahasiswa dan pekerja kelas menengah yang tersebar di seluruh Indonesia. Bisa jadi (dan hopefully), tren fast-fashion ini akan segera mati. whiteboardjournal, logo