Penayangan Dokumenter “Pesantren” Jadi Langkah Awal Destigmatisasi Pandangan Buruk tentang Pesantren

Film
25.07.22

Penayangan Dokumenter “Pesantren” Jadi Langkah Awal Destigmatisasi Pandangan Buruk tentang Pesantren

Sutradara Shalahuddin Siregar mendorong penontonnya melihat pesantren melalui perspektif yang berbeda lewat film dokumenter “Pesantren”

by Whiteboard Journal

 

Teks: Ghina Prameswari
Foto: OTONITY

Setelah terpilih sebagai salah satu film dalam ajang International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) pada 2019 lalu, film dokumenter “Pesantren” (judul Bahasa Inggris “A Boarding School”) akan tayang di bioskop pada 4 Agustus mendatang. 

Disutradarai oleh Shalahuddin Siregar–sutradara di balik dokumenter ciamik “Negeri di Bawah Kabut” dan “Lagu Untuk Anakku”–film dokumenter ini menjadi upaya Siregar dalam menghapus stigma negatif mengenai pesantren. Hal itu dilakukannya lewat penceritaan yang multidimensional serta pemilihan pesantren dengan pemimpin perempuan. Sesuatu yang tak sering ditemui dalam pesantren kebanyakan, sekaligus berperan sebagai penegasan bahwa pesantren tak selalu menganut paham yang kolot dan non-progresif. 

Sempat mengalami penundaan produksi pada tahun 2015 akibat kesulitan finansial, “Pesantren” selesai digarap di tahun 2019 dengan bantuan lokakarya “Dare To Dream” dan “Docs by The Sea”. Dalam kedua lokakarya tersebut, “Pesantren” dikembangkan bersama para ahli dan mendapat kesempatan disunting oleh salah satu penyunting film terbaik di Jerman, Stephan Krumbiegel. 

Jika telah familiar dengan karya Shalahuddin Siregar sebelumnya, “Pesantren” dapat dilihat sebagai sekuel dari dokumenter pendahulunya “Negeri di Bawah Kabut”. Seperti yang disampaikan oleh Ekky Wijaya, anggota dari Madani Film Festival” dan “Jakarta Film Week” dalam salah satu cuitannya, “Film “Pesantren” ini semacam sekuel tak resmi dari “Negeri di bawah kabut”, karena ada karakter anak-anak di film ini yg lanjut ke pesantren ini.” “Pesantren” telah menerima respon luar biasa dari sineas di dalam dan luar negeri. Dengan programmer IDFA, Sarah Dawson, menyebutnya sebagai film yang membuatnya “merasa lebih punya harapan tentang dunia”.whiteboardjournal, logo