Art Handling bersama MG Pringgotono

27.09.17

Art Handling bersama MG Pringgotono

Ibrahim Soetomo (I) berbincang dengan MG Pringgotono (M).

by Febrina Anindita

 

I

Seperti apa awal mula ketertarikan MG Pringgotono terhadap seni rupa?

M

Kalau tertarik sudah semenjak SMP. Kemudian masuklah ke Seni Rupa UNJ (Universitas Negeri Jakarta), tapi sebenarnya memang tertarik jadi guru waktu itu. Setelah masuk UNJ, saya dapat banyak sahabat baru, pengetahuan baru, pengalaman baru, sharing dengan teman-teman, mengerjakan proyek-proyek lain, sampai eksperimen bersama teman-teman yang lain. Semakin ke sini, saya lalu berpikir bahwa proses mengajar bisa dilakukan di luar di ruang kelas, bisa di mana saja.

Waktu awal saya dan teman-teman di Serrum, sering membuat mural dengan statement-statement tertentu. Kami coba ikut berperan di edukasi publik lewat mural-mural di tembok itu. Lalu kemudian buat pameran dan mencoba belajar memfasilitasi ketika ada pameran. Dua itu yang kemudian menjadi manifestonya Serrum. Begitu dibuat, kami berpikir, “Cari tempat lagi, yuk.” Tidak di kampus lagi. Dulu kan tinggal di kampus.

Dari ide untuk saling berbagi, Serrum kemudian jadi ruang belajar bersama untuk belajar seni rupa, dan mengedukasi diri sendiri juga sih sebenarnya waktu itu. Ada program seperti Kuliah Terbang di mana kami mengundang orang-orang untuk sharing. Makin sering bikin acara, makin terasa fokusnya kalau Serrum itu membahas persoalan pendidikan lewat seni rupa.

I

Anda kemudian mengambil pendidikan seni rupa di Universitas Negeri Jakarta dan mempelajari semua bidang seni. Apakah hal ini mempengaruhi sudut pandang Anda dalam berkesenian?

M

Kalau buat saya pribadi, lumayan berpengaruh karena kemudian di benak saya media (berkarya) banyak, bisa apa saja. Kalau lihat karya saya, juga beragam sekali, dari mural, melukis, air brush, kemudian instalasi. Bersama Serrum juga, sifatnya process-based, lebih ke mengotak-atik sistem. Akhirnya output mediumnya juga jadi beragam.

I

Bersama teman-teman Universitas Negeri Jakarta, Anda membentuk Serrum – kolektif seni rupa berbasis pendidikan, apa alasan dasar dibuatnya kolektif ini?

M

Awalnya kami sama-sama merasa butuh tempat bersama untuk bisa saling sharing, tempat buat bisa berkarya bersama. Dulu kami berkarya di kampus, menginap di sana dan segala macam. Kalau kampus sudah tutup, kami panjat agar bisa tidur di sana. Akhirnya kami merasa mesti pindah, kemudian saat menemukan tempat baru, kami lalu punya keleluasaan untuk membuat event-event, bersenang-senang, membuat pameran kecil, seperti itu. Kami berpikir bahwa di situ kami bisa self-improvement, setiap orang harus belajar sesuatu. Kemudian apa yang bisa kami sharing, kami sharing melalui workshop-workshop.

I

Dalam berkarya, Serrum kerap mempresentasikan ulang proyek-proyeknya di pameran. Apakah ini pilihan artistik Serrum sebagai sebuah organisasi jika ikut serta dalam pameran?

M

Kami biasanya memulai dari diskusi tentang sesuatu, lalu bentuk dan proses pencariannya bagaimana, kemudian baru ketika hasilnya sudah diketahui, kami memutuskan seperti apa bentuk presentasinya. Itu yang kami diskusikan. Salah satunya di pameran Ekstrakurikulab, yang kemudian menjadi output-nya adalah instalasi dengan proyektor dari atas meja, karena memang karyanya adalah sebuah diskusi, focus group discussion, kami ingin mengajak orang begitu datang di hari kemudian juga bisa merasakan diskusinya apa, apa yang terjadi di atas meja? Gagasan artistik itu yang kami ambil.

I

Mengapa pada kemudian hari, Serrum pun mulai menjadikan art handling sebagai salah satu fokusnya?

M

Jadi memang salah satu fokusnya Serrum adalah commission work dan art handling, karena dari awal kami sering membantu dan terlibat di pameran, membantu display dan segala macam. Akhirnya memang jadi fokus utama karena dirasa tidak ada SDM khusus yang mengurus hal seperti itu. Yang ada selama ini itu sifatnya berupa pengalaman anak seni rupa saat berkuliah saja yang merasakan saat display itu bagaimana.

Kita belum punya divisi yang menjadikan art handling sebagai profesi. Dari awal kami tidak melihat itu, kemudian nyatanya “Oh, ini bisa.” Terbukti bahwa banyak orang bisa semakin handal dalam art handling, dan orang itu hidup dari situ. Seiring juga dengan kebutuhan pameran yang ada di Jakarta, makin dibutuhkan juga (art handling), akhirnya kami serius fokus ke situ.

I

Art handling membutuhkan pengetahuan materi dan teknis dalam menangani sebuah karya, di mana Anda – beserta Serrum mempelajari art handling?

M

Belajarnya dari pameran ke pameran. Beberapa diundang untuk terlibat di pameran, ada juga yang melibatkan diri. Tapi juga kenapa kami suka berpameran? Karena kami juga melihat bahwa pameran ini bagi kami adalah distribusi pengetahuan, jadi rasanya cocok sekali dengan apa yang Serrum bayangkan.

Sangat disayangkan kalau melihat pameran yang kurang digarap dengan baik, karena karya-karya ini jadi kurang bisa tersampaikan pesan-pesannya. Saat kurator membuat pameran tertentu, pasti karena ada statement yang ingin disampaikan. Sayang saja kalau ini tidak terkomunikasikan pada publik, baik dari lay out pameran, flow-nya, atau juga program-program yang ada di dalamnya, karena kami melihat pameran sebagai sebuah ruang lain untuk mendistribusikan pengetahuan selain ruang kelas. Maka dari itu kami juga lebih tertarik untuk menggali terus display yang bagus bagaimana, lay out yang baik bagaimana, alur pameran dan seterusnya, itu kami belajar melalui proses, tidak ada sekolahnya juga sih, jadinya dari pengalaman ke pengalaman kami sharing dan obrolkan terus menerus.

I

Apa saja pekerjaan yang dilakukan di bidang art handling dan seperti apa strukturnya?

M

Art handler ini seperti namanya, ia menangani karya seni. Dia adalah kepanjangan tangannya sang kurator atau galeri kalau tidak ada kurator. (Ia menangani) bagaimana membuat suatu karya terpajang sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh kurator, karena setiap karya itu terbuat dengan medium yang berbeda-beda, punya kerapuhan yang berbeda, pula punya tata cara pemasangan yang berbeda dari arahan senimannya. Bisa dibilang tidak selalu sama metodenya, jadi memang berdasarkan karya atau mediumnya, tapi memang ada beberapa pilihan misalkan mediumnya lukisan, tidak selalu spesifik.

Art handler adalah (orang) yang membantu sebuah pameran seni bisa terjadi. Sekarang ini kalau saya bercerita kepada teman-teman dalam lingkup art handling, saya selalu bertanya, “Kenapa pameran harus ada?”; “Kenapa harus ada biaya sedemikian jumlahnya untuk membuat pameran?” Karena di situ (ada) distribusi inspirasi, distribusi pengetahuan juga, dan art handling ini menjadi bagian terjadinya proses distribusi itu. Teman-teman art handler bukan cuma sekadar, “Gue bisa masang (karya), ya sudah.” Tidak begitu, tapi dia juga harus merasakan bahwa yang dia lakukan ini tidak kecil, agar bisa berdampak ia harus bisa merasakan itu. Jadi lebih bangga juga bekerja di art handling.

I

Menurut Anda, bagaimana tren art handling di dunia seni rupa Indonesia?

M

Belakangan ini sudah banyak orang berpikir (kalau buat pameran) butuh orang yang khusus. Lima tahun sebelumnya masih banyak yang berpikir kalau buat pameran ya sudah, kita pasang saja, (oleh) siapa saja yang penting tahu teknik mengebor, memaku dan segala macam, sudah. Walaupun kalau ada kurator yang tahu bahwa “Ini caranya gak dipegang, lu harus make sarung tangan,” seperti itu, itu dikatakan oleh kurator atau penyelenggara pameran kalau “Mas, megangnya hati-hati, ya.” Dan lainnya, (proses) ini selalu on the spot pada saat pemasangan. Tentu saja ini membuat senewen dan melelahkan bagi mereka, “Aduh, kok begini (menangani) karyanya?” Karena memang mereka tidak punya pilihan mau ke mana, tim mana yang bisa menangani (karya) tanpa harus diberitahu harus ini harus itu, (dulu) belum ada.

Sekarang karena kemudian makin banyak pameran, makin banyak teman-teman yang terlibat. Saya pikir tidak hanya Serrum, ada kelompok-kelompok kecil atau individu-individu yang pernah punya pengalaman itu dan mengetahui art handling dan akhirnya itu yang jadi pilihan buat penyelenggara, “Oh, ajak dia aja nih, dia sudah cara tahu pasang ini itu.” Mungkin mereka tidak secara serius mengklaim dirinya bahwa dia adalah seorang art handler, mungkin baru Serrum yang bilang bahwa kami adalah art handler, di Jakarta. Maka dari itu, belakangan ini juga semakin banyak pameran, kebutuhannya juga ada, jadi kami terus meningkatkan kinerja kami.

I

Agustus kemarin, Serrum mengadakan art handling training. Mengapa hal ini perlu diajarkan atau diperkenalkan kepada publik?

M

Seperti yang tadi saya ceritakan, tidak ada orang atau kelompok khusus yang mengklaim dirinya sebagai art handler. Memang ada individu-individu yang bekerja untuk galeri, seperti di beberapa galeri komersil dia bekerja, biasanya diambil dari tukang kayu, atau dia ahli teknis, yang kemudian juga akhirnya bisa memasang karya dan mengerti treatment karya itu seperti apa, itu ada galeri-galeri yang biasanya juga hanya satu atau dua orang. Mereka tidak ada basic atau pengetahuan seni rupa, kebetulan di Serrum rata-rata memang mahasiswa seni rupa, jadi background seni rupanya kita punya. Mereka juga seniman yang terlibat di pameran-pameran, sehingga juga bisa lebih bisa memahami medium dan segala macam.

Dikarenakan tidak ada satu bentuk pelatihan atau sekolah art handling di Jakarta, maka dari itu kemudian Serrum berpikir bahwa kami butuh membuat training untuk siapa saja yang tertarik, untuk bisa tahu bahwa penanganan karya seni itu seperti ini, kan banyak juga pameran-pameran, dibutuhkan juga kehati-hatian.

Kami juga berpikir untuk internal kami, diperlukan adanya seperti pelatihan dan menyamakan standar. Standar untuk menggantung karya seperti apa, lalu bagaimana panel ini harus diisi dengan 3 atau 4 lukisan, berapa jarak yang ideal, bagaimana menghadapi kalau misalnya kurator bilang di tembok yang 6 meter ini harus ada 3 karya yang jeda antara kayanya misalnya 20 sentimeter, yang karyanya itu berukuran 40 x 60 sentimeter, seperti itu. Itu matematis sekali, jadilah makanya mengapa teman-teman dilatih untuk menghitung komposisi, sehingga mengerjakannya lebih efisien dan tidak lama. Jadi langsung kalau ada 3 karya, mau jaraknya berapa, sudah ketahuan bidangnya di mana, seorang art handler akan mengambil meteran, mengukur, dan langsung tahu titik-titiknya, lalu pasang.

Seperti itu efisiensi waktu yang kadang pada praktiknya memang kalau di pameran, saat display, itu menghitung jam, misalnya besok di pameran, sang art handler baru terima karya pukul 12 malam, atau 10 malam, baru bisa display di jam sekian, lalu paginya ketika pameran dibuka, itu main waktu sekali.

I

Pameran-pameran besar banyak menggunakan art handler secara resmi, lalu bagaimana dengan kolektif-kolektif atau emerging artist yang baru membuat pameran sendiri? Apa yang akan terjadi kalau karya seni tidak diletakkan atau tidak ditangani dengan seharusnya?

M

Kalau konteksnya ada kelompok kecil atau kolektif yang membuat pameran sendiri, itu malah bagusnya harus dikerjakan sendiri kalau menurut saya, karena kolektif bisa merasakan bagaimana menyelenggarakan sebuah pameran, prosesnya, dan dari situ ada pengalaman buat masing-masing, karena kami juga melakukan itu, kami menikmati bahwa “Oh, pameran harus seperti ini.”

Kalau kemudian konteks pamerannya lebih advanced, kenapa harus menggunakan art handler? Apa yang terjadi kalau tidak ada art handler? Selain berpotensi kerusakan pada karya, tapi juga sebenarnya lebih ke bagaimana suatu karya diperlakukan dengan lebih hormat, karena misalnya, karya lukisan cat minyak yang dibuat tahun ini dengan yang tahun belasan pasti treatment-nya berbeda, karena ada usia yang berbeda, ada kerapuhan tertentu, belum lagi kalau persoalannya lukisan tersebut milik seniman yang terkenal. Bagi orang yang tidak memiliki gagasan mengenai seni rupa, hanya mengetahui teknis saja, pasti akan memperlakukan lukisan tersebut sama saja, “Ini pasang doang, kan?”

Apalagi di zaman kontemporer seperti ini, karya kalau dilihat secara kebendaannya, itu sama dengan benda-benda yang lain, secara materi sama saja. Misalnya sebuah gelas, kalau gelas itu ditaruh di base dan masuk ruang pamer, pasti sudah lain maknanya, value-nya juga berbeda, disakralkan. Artinya, penanganannya harus berbeda, apalagi kalau sebenarnya gelasnya mungkin seharga Rp. 15.000 di toko, sebenarnya sama, senimannya juga membeli gelas ini kurang lebih Rp. 20.000, tapi ini tidak sembarangan, ada ceritanya, ada konteks yang dibuat, ada riset yang panjang untuk dipresentasikan, sehingga gelas ini sudah tak berharga Rp. 20.000 lagi, katakan value-nya sudah bisa 25 juta.

Sederhananya, kalau dilihat secara ekonomi, apakah benda senilai 25 juta diperlakukan begitu saja tanpa dibungkus dan tanpa casing yang baik? Makanya karya-karya yang sudah miliaran harganya dikemas secara baik dan diantisipasi, kalau ada guncangan segala macam, dan itu yang terus membuat nilai Rupiahnya jadi tinggi.

Maka dari itu menjadi beresiko kalau sebuah karya tidak ditangani dengan baik, tidak hanya persoalan damage secara fisik saja. Pernah ketika pameran “Aku Diponegoro” kemarin, kami sampai tergeleng-geleng karena packing-nya kurang aman. Lukisan memang dipetikan, tapi di dalamnya langsung masuk karya tanpa menggunakan plastik atau foam, seperti itu.

I

Kini, pada praktek seni rupa kontemporer, sebuah karya mampu mengelaborasi ragam medium dan teknis. Jika melihat progresinya, apa tantangan yang dihadapi para art handler?

M

Dengan banyaknya medium yang bisa menjadi pilihan bagi seniman itu yang menjadi tantangan. Sekarang art handler tidak lagi bicara cara menggantung lukisan, tapi juga kabel HDMI yang cocok apa, jangan-jangan sudah ada HDMI-nya, tapi, “Kok (TV) tidak menyala?” Sering seperti itu, dan terkadang gara-gara kurang disodok (tertawa). Kami berhadapan dengan elektronik, koneksi internet, sinyal, sensor, seperti itu.

Memang itu ada di ranahnya seniman, tentu saja. Seniman bertanggung jawab membuat karya itu aktif di pameran, tapi kan tidak sedikit pameran yang tidak dihadiri oleh senimannya, bahkan tidak mengirimkan asisten pribadi seniman tersebut, mereka hanya datang dengan instruksi saja, itu harus dibaca oleh art handler, item-nya, skrupnya ada berapa, lalu kemudian dijadikan sampai karya itu rapi.

Seringkali juga ada improvisasi, ini konteksnya art handler yang sudah advanced. Kalau art handler bisa tahu sebenarnya suatu karya ini bekerjanya seperti apa, jadi ketika ada equipment atau pendukung yang tidak ada dan harus improvisasi, art handler bisa mengetahuinya. Itu pun negosiasinya dengan senimannya atau kurator.

I

Serrum telah menangani lembaga/institusi seni lokal dan internasional, bagaimana tren art handling dalam konteks global? Adakah perbedaannya dengan tren di Indonesia?

M

Bisa dibilang di Indonesia atau di Jakarta baru 2 tahun ini orang mulai butuh art handling. Kami juga selalu menyebutnya kalau ini art handling. Kalau di Serrum, secara struktur, yang paling bawah adalah asisten, bisa siapa saja, yang nanti diinstruksikan kalau teknisnya seperti ini, lalu kemudian ada art handler, lalu di atasnya ada senior art handler, kalau art handler ia tentu saja tahu bagaimana menaruh dan memasang karya, memasukkan dan mengeluarkan karya dari peti, packing dan seterusnya.

Kalau senior art handler, ia bisa tahu medium karya yang lebih banyak, dan bisa memberikan solusi teknis kepada seniman atau kurator, dan bisa memimpin art handler lainnya. Lalu kemudian di atasnya lagi, kami menyebutnya chief officer, dia yang memimpin semuanya, dia yang pertama kali membaca gambar desain pameran dan memberikan saran pada kurator mengenai tata letak karya bagaimana.

Kalau exhibition designer lebih mendapatkan input dari kurator maunya seperti apa dan mau dilihat oleh audiens bagaimana, lalu kemudian secara teknis mediumnya apa, apakah ia harus menggunakan proyektor? Kalau pakai proyektor, karya tersebut harus menggunakan ruang khusus. Apakah ia menggunakan headset atau speaker? Kalau pakai speaker berarti tidak boleh berdekatan dengan karya yang juga menggunakan speaker, agar tidak saling mengganggu. Exhibition designer yang menjaga hal seperti ini. Kalau sudah oke, chief officer yang mengoordinasi para art handler, begitu sistemnya.

(Metode) ini yang kita pakai, ini pun kami dapat dari belajar. Dari pameran-pameran yang ditangani, enaknya kerja kami itu ada struktur seperti ini. Bahkan ada lagi mover, atau orang loading. Jadi dia yang hanya mengantarkan karya dari truk atau ruang penyimpanan, dia tidak membuka karya itu, yang harus membuka adalah art handler.

Kami juga belajar dari kerja sama dengan Rhema Events & Art Services, art handler Singapura. Kami hampir setiap tahun bekerja sama karena mereka kekurangan SDM juga, seperti Art Stage Singapura. Dari Singapura kami juga ke Cina, karena sama masalahnya, butuh orang. Yang kami lihat, seperti Rhema, Helu-Trans, dan Agility yang sudah internasional, sebenarnya mereka logistic company dan shipping company, jadi mereka yang mengirimkan karya seni, tapi mereka juga menambah divisi penanganan karya seni, karena melihat ada kebutuhan.

Kalau di Indonesia, atau mungkin Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura, Helu-Trans banyak memakai (jasa) Yogyakarta juga, kalau Rhema bekerjasama dengan Serrum, kalau mereka ada event besar dan butuh SDM banyak.

Perbedaannya, saya melihatnya di sini masih pekerjaan lelaki, kalau di Eropa beda lagi, justru banyak perempuan sebagai art handler. Art handler itu sebenarnya awalnya tidak dari pameran ke pameran, tapi kerjanya di museum-museum di Eropa, kalau bicara Eropa memang ada yang disebut art handler, bagaimana menangani koleksi-koleksi museum. Adapun konservator, kalau memindahkan karya dari satu titik ke titik lainnya, misalkan pindah storage, itu art handler. Begitu ada sesuatu yang harus dirawat, ada kerusakan, baru dikirim ke konservator.

I

Sebagai bagian dari kolektif independen, bagaimana Anda melihat penanganan di museum atau galeri yang dikelola pemerintah?

M

Secara khusus, saya tidak punya pengalaman di sana. Saya hanya bisa melihat bagaimana benda-benda koleksi itu dipresentasikan. Kadangkala, karena kami semakin memahami, jadi melihatnya “Lho, kok begini banget presentasinya?” Ada cara yang lebih bisa membuat benda atau karya ini terlihat lebih bagus.

Akhirnya berkesimpulan bahwa pekerjaan ini belum menjadi perhatian khusus, yang menjadi perhatian khusus adalah konservator. Label konservator banyak dan lebih dikenal ketimbang art handler. Rata-rata, konservator museum-museum langsung bekerja dengan ahli kayu misalkan. Itu tebakan saya.

I

Dalam dunia pendidikan seni, masih banyak infrastruktur seni rupa, seperti art handling yang tidak dipelajari, sedangkan, peran-peran ini kian penting untuk disadari baik pelaku seni maupun publik. Menurut Anda, bagaimana institusi seni menyikapi fenomena ini?

M

Kalau saya ingat, di kampus saya dulu sempat ada mata kuliah namanya “Pameran.” Dosennya kebetulan bekerja di museum, jadi cara berpikirnya, cara display pamerannya adalah seperti museum kita. Tapi waktu itu kami jadi tidak begitu relate dengan pameran seni rupa, metodenya sudah old-school sekali. Tidak up-to-date.

Saya juga tidak tahu kalau kampus lain ada atau tidak persoalan ini, tapi menurut saya bisa menjadi penting bisa tidak, tapi yang jelas sebenarnya ketika kampus tersebut bercita-cita memproduksi seniman, setidaknya seniman yang diproduksi oleh kampus tersebut. Dia juga mestinya mengerti persoalan ruang, persoalan teknis, bagaimana display, bagaimana psikologi pengunjung. Itu juga saya rasa penting, tapi saya tidak tahu apakah itu harus menjadi mata kuliah khusus atau masuk ke mata kuliah lain, tapi yang jelas kalau memang berniat memproduksi, seniman pengetahuan itu harus diceritakan, karena makin ke sini makin kontemporer dan medianya bermacam-macam, dan makin banyak seniman yang konseptual, juga makin banyak yang skip dengan media dan teknis.

Sebenarnya ada beberapa pengalaman. Ada seniman yang mengotot kalau cara memasang karyanya seperti ini, lalu kami tanya “Cara kerja karyanya seperti apa? Feeling apa yang diharapkan ketika audiens melihat karya ini?” Ketika dijawab, lalu “Oh, kita bisa menggunakan teknik ini.” Tapi dia tetap mengotot, ya sudah. Kebetulan senimannya pergi dulu, lalu kami kerjakan dengan apa yang kami pikir ini bisa, ketika kembali datang dia oke-oke saja, tapi caranya berbeda, bukan cara yang dia tahu (tertawa). Ada seniman seperti itu, yang diberitahu oleh asistennya kalau caranya seperti ini, tapi kan cara bisa bermacam-macam, tidak hanya satu cara itu saja.

Seperti misalnya pemilihan equipment yang lebih rumit. Mau pakai media player, mau pakai Raspberry, mau pakai Matrox, atau langsung Mac Mini, itu semua kan player yang masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangannya, dan ada caranya tersendiri.

Jadi memang penting bagi seniman untuk memahami teknis dan ruang terlepas dari ada atau tidaknya kurikulum art handling, karena ada atau tidaknya art handler juga persoalan efisiensi waktu, kalau kita punya pengalaman buat pameran sama teman-teman di kampus, pemasangannya lama sekali sembari mengobrol dan diskusi, “Ini bagaimana, ya?” Jadi terlalu lama, kalau display-nya sudah diketahui sebelumnya, cepat dan ya sudah selesai. Tidak perlu deadline, “Wah, sudah mau pembukaan, nih?”

Saya juga mengalami itu dan itu jadi pelajaran sekali buat Serrum. Misalkan, harusnya kami terima karya dari seniman beserta alat dan cara pemasangannya, lalu kita mengetahui kalau, “Oh, ini bisa dua hari, bisa tiga hari, bisa seminggu.” Seperti itu.

I

Apa proyek yang sedang Anda maupun Serrum siapkan?

M

Serrum sedang menjalani program “Rumah Guru.” Program ini mempertemukan seniman dengan guru mata pelajaran untuk membuat metode pembelajaran yang lain. Kemarin kami sudah membuat “Rupamatika”, yang mempertemukan seniman dengan guru matematika, tentang bagaimana menjawab persoalan matematika dengan seni rupa, seperti belajar persamaan kuadrat menggunakan warna. Misalkan kami punya warna merah, oranye, dan biru, jadi di kelas kami sepakat kalau merah itu X, biru itu Y, dan C itu oranye, jadi 2X ditambah Y sudah bukan bilangan matematika lagi, tapi sudah oranye. 2X + Y itu oranye. Jadi seru. Lalu kesepakatannya dibalik, jadi ketika pelajaran menggambar, ketika murid meminjam warna oranye atau merah, mereka bilangnya X atau Y. Seperti itu, jadi seru.

Kemarin saat kami ke Lombok, kami berkolaborasi dengan guru olahraga dan seniman lokal sana. Kami mengolah materi cara hidup sehat. Jadi kalau olahraga kan selalu di lapangan, tapi ternyata guru ini selalu kesulitan kalau harus mengajar di kelas, kan ada teori-teori, ini dibuat kolase, jadi anak-anak menggunakan koran-koran bekas untuk membuat kolase. Jadi fun.

Program lain adalah KMD, “Kurikulab Masuk Desa”. Kami meriset dan mencari konten lokal apa yang bisa dijadikan muatan lokal atau masuk ke dalam kurikulum sekolah. Kami sudah menjalani bersama Jatiwangi Art Factory (JAF), ketika mereka menjalankan proyek “Tahun Tanah”, kami membuat komik sejarah tanah, dan itu dipakai di muatan lokal. Kami jadi fasilitator untuk menemui guru, kepala sekolah dan pendidik lokal, bahwa kurikulum dan modulnya sudah kami buat dan ini bisa dipakai. Silahkan. Proyek satu lagi, kami menampilkan proyek Pasar Ilmu di Asian Art Biennale di Taiwan.

Untuk art handling, kami sedang membuka art handling training lagi, karena bagi kami menjadi penting, kami kesulitan juga ketika ada yang meminta (jasa) art handling tapi SDM-nya tidak ada, sering terbelah-belah dan membingungkan juga, sehingga kami membutuhkan banyak orang, tapi jelas orang-orang itu butuh dilatih terlebih dahulu. whiteboardjournal, logo