Desain dan Grafis bersama Andi Rahmat

12.07.17

Desain dan Grafis bersama Andi Rahmat

Amelia Vindy (V) berbincang dengan Andi Rahmat (A).

by Febrina Anindita

 

V

Bagaimana awal mula ketertarikan Andi pada desain dan apa yang kemudian membuat Anda tertarik menekuninya?

A

Pada dasarnya orang-orang pasti menyukai sesuatu yang bagus secara visual ya, dan saya pun memang sudah suka menggambar sejak kecil. Mulai dari TK hingga SD mata pelajaran yang nilainya paling bagus adalah pelajaran menggambar, walaupun mungkin tanpa saya sadari ternyata itu adalah jalannya. Natural saja. Waktu itu, di saat kebanyakan anak-anak kecil bermain dengan teman-temannya, saya lebih suka berdiam di rumah menggambar hal-hal yang sedang saya sukai. Ibu saya sampai heran, berbeda dengan anak-anak pada umumnya, anak-anak lain setiap pulang sekolah main dulu tapi saya malah memilih menggambar di rumah saja. Ketika saya dibelikan buku tulis pun, dalam seminggu mungkin bisa saya habiskan semua halamannya untuk tempat corat-coret, padahal itu adalah buku sekolah. Hal ini terus berlanjut hingga saya SMA. Pada saat kuliah, di tahun 2004 atau 2005 saya memilih untuk masuk jurusan desain, padahal saya mendapatkan tawaran jatah masuk dari keluarga besar saya yang banyak menjadi dosen atau dekan di UNPAD, tapi saya tidak mau meskipun bisa masuk tanpa ujian UMPTN.

Setelah masuk kuliah desain, ternyata kebiasaan pada saat saya kecil terbawa hingga saat itu, yakni punya geng atau sekumpulan teman bermain, lalu mereka mau pergi ke sana dan ke sini, pergi ramai-ramai, tapi tidak untuk saya, saya lebih suka sendiri dan tidak bergantung dengan orang lain dan sepertinya memang bawaan personal. Bukan berarti saya tidak peduli dengan yang lain ya, maksudnya saya punya pendirian dan tujuan sendiri. Jadi begitulah awal mulanya, dan mungkin karena ada gen juga dari orang tua saya. Dulu saat ayah saya masih sekolah gambarnya lumayan bagus (tertawa), jadi ada sedikitnya mungkin dari sana. Ayah saya memang bukan seseorang yang mahir menggambar atau seniman, justru lebih mengerti tentang bisnis, tapi di masa kecilnya beliau sama seperti saya, juga sering juara lomba gambar (tertawa). Menurut saya semua orang memang memiliki bakat seni, karena semua orang suka seni dan seni itu luas. Contohnya seperti ketika semua orang pasti suka mendengarkan musik, mau keroncong, Sunda atau Jawa, mau anak-anak atau orang tua, nah musik yang didengarkan itulah yang disebut seni.

V

Setelah lulus, Andi mengawali karir sebagai desainer untuk Studio 347, sebesar apa peran Andi pada proses pembuatan desain dan seperti apakah proses kreatifnya?

A

Sebetulnya saya di Studio 347 sudah semenjak saya di semester 3, jadi sebelum saya lulus kuliah pun saya sudah bekerja. Setiap usai kelas saya langsung ke kantor setiap hari dan kerja sampai malam. Tanpa sadar, ketika saya bekerja di sana pun awalnya saya tidak memikirkan persoal pendapatan, karena saya memang senang dengan pekerjaan ini, justru yang lebih saya pikirkan adalah bagaimana caranya apa yang saya kerjakan bisa diapresiasi atau bermanfaat. Ketika bicara soal desain, kalau hanya bereksperimen sendiri, “buat apa ya ini, mau diapakan ya?” Jadi saat itu yang saya inginkan adalah saya mau berkarya di saat ada mediumnya dan yang saya kerjakan ini rupanya bisa bermanfaat, ternyata setelah apa yang saya buat bisa jadi sesuatu.

Bicara soal proses, awalnya saya kenal dengan pemiliknya yaitu Dendy Darman dan menurut saya itu adalah sebuah tolak ukur, tentang bagaimana cara kerjanya, berhubungan dengan orang, tentang konsistensi dan kerja keras membangun usahanya, dari sana jugalah saya belajar. Tugas pertama saya, hanya ditugasi untuk mendesain t-shirt kemudian setelah sebulan hingga 2 bulan, mereka bilang saya tidak cocok mengerjakan itu, seharusnya bisa bertanggung jawab menangani hal yang lebih berat.

Kemudian saya diberikan tugas lain, bahkan diberikan kepercayaan untuk mengerjakan kerjaan Dendy dan kawan-kawan, mulai dari logonya harus seperti apa sampai sistem kantornya, harus bagaimana khususnya divisi desain. Jadi sebelum saya masuk ke Studio 347, tidak ada jam kerja, misalnya masuk jam 12 siang, pulang bisa sangat malam dan ketika malam pun sudah tidak produktif lagi. Hal ini disebabkan karena tidak adanya target desain dan rata-rata yang kerja pada saat itu kebanyakan adalah orang-orang yang juga “sebagai” katakanlah musisi Bandung juga, seperti Vincent Vega, Pure Saturday, Dimas Ario, dan Anto Arief jadi teman-teman atau praktisi di bidang musik, seni ataupun desain, nah mereka ini dulunya berkumpul di 347. Karena orang-orang yang tergabung di dalamnya adalah sosok-sosok keren bagi saya, sehingga ketika saya diberikan tawaran untuk ikut bergabung tentu saja saya melihat ini sebagai peluang untuk saya belajar, walaupun saat itu saya termasuk yang paling muda. Ketika saya masuk, para pemiliknya mengatakan meskipun mereka berempat adalah seorang desainer, namun tidak ada yang bisa sistematis.

Saya selalu berpendapat kalau bisnis tidak seharusnya seperti yang sedang dijalankan oleh 347 pada saat itu. Seharusnya ada sistem, program, target desain dan jam kerja. Karena kalau terlalu longgar ya tidak akan bisa, akhirnya setelah saya masuk ke sana, apa yang sebelumnya tidak ada dan perlu ada bisa terlaksana, mulai dari branding seperti urusan relevansi logo, typography hingga marketing strategy. Karena ide kalau tidak di-maintain akan mubazir, padahal ide tersebut bisa gunakan untuk tahun selanjutnya. Jadi pada saat itu saya lumayan banyak memberikan gagasan dan pendapat yang kemudian dapat diimplementasikan di sana, walaupun pada saat itu statusnya sebagai anak baru. Yang saya pelajari di kampus dan di lingkungan bisa coba dikontribusikan ke Studio 347. Kerja desain di sana pun cukup lama, sekitar 5 tahun, mulai dari semester 3 hingga lulus dan 2 tahun setelah lulus. Hingga saat ini saya masih berhubungan baik Dendy, terkadang pun saya masih suka bantu-bantu dan diskusi. Sempat ada rencana juga membantu Dendy juga untuk merayakan ulang tahun ke 20 Studio 347, jadi Nusae yang akan mengurus desain-desainnya.

V

Sempat bergabung dengan agensi periklanan di Jakarta, Lowe dan Leo Burnett Indonesia. Menurut pengalaman Andi adakah perbedaan signifikan mengenai proses kreatif di industri desain grafis pada Jakarta dan Bandung?

A

Kalau proses desain sih hampir sama ya semuanya, yang membedakan hanya waktu dan scope-nya, dalam artian seperti bobot proyek atau kasusnya. Contoh, untuk proyek A “oh risetnya tidak perlu terlalu dalam, karena pasarnya seperti ini jadi relevannya seperti ini”, tetapi ketika membuat konsep dengan kasus yang berbeda atau pun unik, di situlah membutuhkan riset mendalam dan waktu yang lebih lama. Perbedaan lainnya tentu ada pada atmosfernya menurut saya. Dunia advertising agency dan studio merupakan dunia yang berbeda, kalau advertising lebih tentang bagaimana caranya desain grafis menjadi bagian dari pemasaran, peningkatkan penjualan, keterkaitan brand dan saya kurang suka berada di bidang itu. Tapi dari sanalah saya jadi tau apa yang saya inginkan, ada pepatah mengatakan bahwa pengalaman yang berbeda itu sangat berharga, karena membuat kita paham di mana seharusnya kita menetap, kalau kita tidak pernah mencoba sesuatu yang berbeda, kita tidak akan tau hal tersebut cocok atau tidak untuk kita.

Menurut saya, dunia advertising adalah dunia yang berbeda untuk para desainer grafis, di mana desain grafis seharusnya adalah tentang cara pikir dan proses. Namun pemahaman saya tentang desain grafis dan proses desain jadi berbeda. Jadi, desainer grafis diberi tekanan untuk membuat desain yang tidak semestinya, yang justru seharusnya bisa mengedukasi masyarakat. Karena semata-mata hanya untuk jualan, tulisannya harus besar-besar, warnanya harus warna-warni dan font-nya pun harus lebih dari satu karena pasarnya adalah kalangan kelas menengah ke bawah. Sedangkan apa yang saya pelajari tentang desain grafis tidak seperti itu, jadi membuat seakan profesi desainer grafis rusak. Saya selalu mengingatkan ke teman-teman desainer grafis, kalau memang memiliki passion atau talenta yang lebih di desain grafis, saya sarankan untuk tidak masuk advertising.

Sedikit menambahkan, kalau di Bandung menurut saya lebih bisa bernafas (tertawa). Kalau di Jakarta pace kerjanya lebih cepat, dan suasana di Bandung lebih mendukung untuk berkarya sebetulnya. Di Jakarta baru sampai kantor saja sudah stres, kalau di sini lebih bagaimana menerapkan etos kerja Jakarta tapi dengan situasi Bandung. Karena kalau menurut saya, selagi muda buat apa mengulur waktu dengan pace kerja yang lamban, seharusnya kan bisa lebih produktif, sesuai waktunya saja kalau memang waktunya kerja ya kerja, waktunya santai ya santai. Sayang saja untuk saya, karena suasana di sini sudah enak tapi kok malah dibuat santai, sedangkan Jakarta alur kerjanya tidak santai dan suasananya pun kurang enak, sayang lah. Kita berkarya itu butuh tenang sebenarnya, membuat sesuatu yang baik itu tidak bisa dikejar-kejar, dan itu terjadi di Jakarta khususnya di dunia advertising. Tapi ya mau bagaimana lagi sudah begitu lingkungannya.

V

Seperti apa sebenarnya hubungan antara peran dan fungsi desain grafis terhadap identitas dan tatanan sebuah kota?

A

Sebenarnya itu sangat penting. Karena menurut saya desain grafis adalah medium untuk menyampaikan gagasan, meskipun tidak menjadi pemeran utama. Sebuah kota pasti memiliki identitas dan karakternya sendiri-sendiri dan di situlah fungsi dari desain grafis, untuk menyampaikan identitas dan karakter tersebut secara visual. Karena orang-orang bisa menilai mengenal sebuah kota berdasarkan apa yang mereka lihat secara visual, meskipun tidak seluruhnya berupa desain. Desain menurut saya sifatnya holistik, mulai dari interior, landscape, arsitektur, advertising, desain grafis dan itu semua harusnya saling berkesinambungan. Jadi sebuah identitas itu tidak bisa hanya desain grafisnya atau arsitekturnya saja, semuanya harus saling terintegrasi. Dan tidak terlepas juga dari budaya masyarakat dan pemerintahannya barulah bisa tercipta sebuah identitas yang kuat. Ketika yang menjadi identitas hanya desain dan tidak relevan dengan masyarakatnya bisa-bisa identitasnya kota tersebut tidak tersampaikan, atau mungkin hanya mampu memperlihatkan bagian permukaannya saja sehingga tidak menjadi diri sendiri.

Sebelumnya, untuk bisa menyampaikan, memecahkan masalah atau pun membuat solusi, secara fundamental dan pemahaman desain grafis kita harus kuat, dalam artian yang pasti secara teknis dan pemahaman minimal. Karena pemikiran tentang desain grafis sendiri tidak lahir dari Indonesia.

V

Bersama Nusae Design, Andi memfokuskan diri pada environmental graphic design yang didirikan bersama Dicky Sukmana dengan latar belakang seorang arsitek, elemen-elemen seperti apakah yang Nusae Design miliki dengan peleburan dua latar belakang tersebut dan seperti apa proses peleburannya?

A

Saya sudah berteman lama dengan Dicky meskipun dia adalah senior saya. Kami berdua memiliki kesamaan pemikiran tentang desain, menurut kami semua hal bisa jadi menarik karena desain, semua hal bisa tinggi harga dan nilainya juga karena desain. Kemudian kami berpikir bagaimana caranya mengemas hal-hal tersebut menjadi baik dan bisa menjadikan Nusae tidak sebagai wadah untuk bersaing dengan teman-teman yang sudah ada di bidang ini terlebih dulu, tetapi bisa menjadi pilihan lain bagi masyarakat di industri grafis desain. Contohnya seperti Hermawan Tanzil dan Leboye-nya atau Eric Widjaja dan Thinking Room, kami hadir bukan untuk menyaingi mereka namun ingin menjadi pilihan masyarakat di antara mereka.

Bagaimana pertemuan antara arsitek dan grafis desain sebetulnya kembali kepada kesukaan saya dengan desain karena menurut saya lebih jujur, dan tidak lagi harus mengada-ada. Saya menyukai desain era modern, kalau di Indonesia desain terlihat lebih dekoratif dan ilustratif, semua harus teriak, mulai dari berisik desainnya sampai semuanya harus warna-warni. Kita pun hidup di era modern, di mana pemikiran modern itu bukan diambil secara visual saja melainkan cara pikirnya. Bagaimana kita bisa membuat desain yang lebih efisien, mudah diterima oleh orang lain, diproduksi dan direalisasikan.

Sejak saya kuliah, typography sudah menjadi hal yang saya sukai dan setelah dipelajari ternyata typography pada desain grafis sangat penting, karena berfungsi untuk menyampaikan gagasan dan sebagai bentuk komunikasi di luar ilustrasi dan output lainnya. Typography di desain grafis tidak hanya sekedar teks saja tapi merupakan elemen visual, contohnya bagaimana pada satu halaman yang isi teksnya penuh tapi bisa tetap terlihat menarik. Mungkin yang bukan desainer grafis saat membuat teks paling yang diperhatikan sebatas spacing paragrafnya 1,5 lalu justify atau rata kira-kanan – ya sudah. Pada grafis desain, pemikiran mengenai typography tidak sebatas itu. Tentang apakah bidang kosong bisa diolah atau ubah grid paragrafnya – pokoknya bagaimana teks tersebut bisa terlihat menarik.

Kemudian ketika saya bertemu dengan rekan saya yang menguasai bidang arsitek, kira-kira hal apa yang bisa disinergikan, karena tidak akan bisa kalau tiba-tiba mengerjakan sesuatu tanpa memiliki sinergi atau pemahaman yang sama, meskipun mungkin hanya 10%. Saya juga percaya orang yang datang dan berteman dengan saya atau yang bergabung dengan Nusae pasti karena memiliki pemahaman atau garis yang sama.

Saat akhirnya mendirikan studio, kami harus punya positioning. Saya percaya bahwa kreatif itu adalah hak semua orang, bukan hanya milik orang-orang di bidang kreatif karena kreatif itu adalah bagaimana caranya kita bisa bertahan hidup dan berbeda dengan yang lain sehingga kita bisa menonjol dan hal inilah yang berlaku untuk semua orang. Kemudian kami mulai menarik kesimpulan apa yang membuat studio ini berbeda dengan studio yang lain, yaitu pemikirian kami tentang “design business” bukan ”business design.” Saya beranggapan, walaupun design business terdengar sulit karena lebih idealis, tapi tidak apa-apa, karena sekarang sudah banyak yang bukan orang desain, tapi business design jadi seperti tidak ada soul dan nilai desainya pun tidak bagus. Dari situlah kami mencari celah bagaimana design to business tapi desain dan bisnisnya sama-sama kuat, akhirnya saya bagi tugas partner saya yang buat bisnis.

Kenapa arsitek dan desain grafis, menurut saya desain grafis di arsitek lebih jujur, dalam artian ketika memfokuskan pada environmental graphic design, tujuan kami adalah bagaimana desain ini bisa langsung bersinggungan dengan publik dan menjadi solusi untuk masyarakat salah satu contohnya melalui signage. Sesederhana desain papan petunjuk, itu kan bisa langsung bisa masyarakat rasakan karena benar-benar menolong orang atau mempermudah hidup, karena menurut saya desain itu memang bisa menjadi problem solver karena bisa memecahkan masalah. Hal yang benar-benar eksplisit bisa langsung terasa adalah desain untuk keseharian, contohnya seperti signage entrance atau papan informasi.

Gunanya positioning saya sebagai desainer grafis dan rekan saya arsitek, ternyata mempertemukan kami pada environmental graphic design dan hal ini kami yakini sebagai hal yang membedakan Nusae dengan yang lain. Jadi apa yang kami kerjakan ini tidak instan, semata-mata mari membuat studio saja tapi bagaimana menjadikan apa yang suka dan bagaimana menyinergikannya. Kebetulan juga, hampir 95% teman saya adalah seorang arsitek, dari mulai kuliah teman saya kebanyakan memang arsitek. Sehingga saat mereka ada tugas butuh typography atau desain grafis pasti saya yang membantu dan secara natural teman-teman saya pun akhirnya memutuskan konsisten menjadi seorang arsitek setelah lulusnya. Dari lingkungan arsitek inilah saya paham bahwa arsitek itu tidak suka kalau bangunannya diganggu dengan desain grafis yang tidak terintegerasi dengan desainnya karena akan merusak arsitektur.

Arsitek itu sudah memikirkan detail ketika contohnya sedang membuat area komersil, ruang publik, mall atau kantor akan ada di mana toiletnya, pantry atau pusat informasi, fungsi desain grafis di sini adalah untuk mengkonfirmasi atau menekan saja bahwa benar di situlah toiletnya, pantry-nya atau pusat informasinya – seperti pelengkap. Pada dasarnya desain grafis pun berfungsi untuk bagaimana melengkapi yang kosong, misalnya di lingkungan di pojok sini butuh ada maps, atau untuk mempermudah masyarakat saat butuh ada papan petunjuk yang mengarahkan ke toilet, seperti itulah posisi desain grafis di lingkungan. Yang paling penting untuk diperhatikan juga adalah bagaimana desain kita tidak merusak lingkungan, misalnya ada ditemukan yang suka menempel signage dengan memakunya di pohon, saya sangat tidak suka melihat itu.

Desain adalah bagaimana memikirkan prosesnya mulai dari ide dan gagasan hingga akhirnya direalisasikan. Intinya ketika arsitek bikin bangunan, bagaimana caranya kita bisa berkolaborasi membuat identitas visualnya, mulai dari logo hingga situs yang bersinergi atau ada benang merahnya ketika sedang bekerja di satu tempat. Tapi bila proses kerja arsitek lebih dulu, desain grafis harus juga bisa merespon, bagaimana bahasa arsiteknya bisa kita terjemahkan ke bentuk desain grafis.

V

Pendekatan seperti apa yang Nusae Design lakukan saat mengerjakan desain-desainnya, terutama ketika bersinggungan dengan masyarakat?

A

Kami melakukan pendekatan melalui pengamatan pada behavior masyarakatnya, people and environment. Contohnya, ketika mengerjakan Gasibu Bandung, kebanyakan mental orang di sini kadang suka merusak, ketika ada sesuatu di ruang publik yang berbentuk sculpture, signage, desain atau apapun yang bentuknya nyeleneh atau unik pasti pada penasaran “itu apa”. Tapi penasarannya orang di sini bukannya menjaga malah merusak, entah divandalisasi, dicuri karena faktor ekonomi, dikupas-kupas catnya sampai digunakan untuk mematikan rokok. Jadi sebelum membuat sesuatu kami terlebih dahulu melihat bagaimana perilaku masyarakatnya.

Setelah melihat perilaku yang demikian, untuk proyek Gasibu akhirnya kami memutuskan untuk membuat signage dari besi yang sudah karatan, biar orang-orang mikirnya itu sudah rusak sehingga tidak bisa dirusak lagi. Bagaimana supaya tidak dicuri orang, kami lalu menanamnya dalam-dalam dan kami pastikan tidak bisa diambil. Jadi apapun yang bersinggungan dengan publik khususnya outdoor dan sulit di kontrol pasti yang menjadi perhatian kami adalah materialnya, bagaimana supaya tidak bisa dirusak dan lain-lain. Intinya adalah tentang bagaimana masyarakat dan lingkungannya.

Di samping itu, yang menjadi fokus lainnya adalah bagaimana bisa merealisasikan desain kami dengan hal-hal sederhana, tapi tetapi harus dikemas dengan rapi. Sesederhana membuat garis atau menempel poster yang lurus, tidak mengurangi atau melebihkan ukuran sehingga menyisakan bagian putih saat digunting, dan bagaimana bisa memaksimalkan bantuan alternatif dengan kualitas yang masih bagus. Yang terpenting adalah bagaimana memperlihatkan kalau desain bisa menyatu dengan masyarakat luas, karena desain yang baik adalah yang bisa tidak perlu dipertanyakan. Jadi arah kami ke sana sebetulnya.

V

Upaya seperti apa yang Andi lakukan pada karya-karyanya untuk bisa menyampaikan esensi desain grafis pada masyarakat luas?

A

Sebenarnya yang perlu dilakukan adalah lakukan proses desain yang baik pada setiap pekerjaan. Seperti apa proses desain yang baik? Desain yang baik adalah desain yang baik secara proses, mulai dari riset, desainnya untuk siapa, mapping, market-nya siapa, bahasa penyampaiannya harus seperti apa, konsep juga gagasan. Di awal, kami pasti menyiapkan gagasan sebanyak-banyaknya sebelum mendesain, kemudian dipilih gagasan mana yang lebih relevan dan akan lebih mudah sampai ke market-nya. Feeling pun terkadang diperlukan karena dengan menggunakan feeling, kita menggunakan sensibilitas kita terhadap sesuatu sehingga memiliki pengalaman dan tentu yang diperlukan – dalam hal ini adalah jam terbang. Baru setelah itu bisa melakukan proses desain yang baik. Proses yang baik adalah yang bisa dimengerti oleh target market-nya atau masyarakat, jadi bagaimana caranya kita membuat proses desain yang benar-benar baik step-by-step-nya mulai dari gagasan, diterjemahkan ke ide lalu divisualkan secara kasar terlebih dulu, kemudian menjabarkan ada kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan terjadi baru lah diterjemahkan, misalnya ke digital.

Digital pun memiliki proses yang panjang, mulai dari bikin grid system sampai hirearki komunikasinya, seperti apa sih yang pertama ingin disampaikan kepada masyarakat dan secara otomatis itulah yang perlu ditonjolkan. Jadi untuk menginformasikan desain yang baik kepada masyarakat, kami mencoba pun juga menggunakan proses desain yang baik menurut pemahaman kami, yang telah kami pelajari dari pendahulu kami. Saya meyakini bahwa kita harus tahu siapa pendahulu kita, baik di Indonesia maupun yang di luar Indonesia.

V

Bagaimana Andi melihat perkembangan industri desain grafis di Indonesia?

A

Wah sangat cepat ya, apalagi di era Internet. Berbeda ketika saat saya masih kuliah pada tahun 2005 hingga 2008. Mungkin tahun 2005 sudah ada internet, namun mengaksesnya tidak semudah sekarang. Buku desain pun susah ditemukan, saya ingat selama saya kuliah saya hanya punya 2 buku desain saja, hasil beli di Basheer dan Aksara. Saya menabung saat ingin membeli buku desain, karena harga sebesar Rp. 500.000 sangat mahal. Saya pun tidak pernah berpikir saya mampu atau tidak, tapi lebih pada saya mau atau tidak, jadi bukan soal seberapa kemampuan tapi seberapa besar kemauan, mampu sih belakangan saja yang penting kita mau atau tidak dulu. Sekarang budayanya pun sudah berbeda, zaman saya dulu berpikirnya bagaimana saya bisa belajar sebanyak-banyaknya dan terus penasaran tentang desain di Indonesia “Kok seperti ini ya? Kok seperti itu ya?” dari saat saya di semester 3 dan ketika itu saya pun baru mengetahui tentang desain modern ketika saya berkerja di Studio 347. Banyak sekali buku desain di sana, seperti typography modern, sebelumnya saya tidak pernah lihat karena di kampus pun tidak menyediakannya.

Mencari lewat media pun susah karena waktu itu internet pun belum seperti sekarang. Saya penasaran kenapa di Eropa, Singapura dan Swiss, desain bisa sangat menarik dan keren ya, karena bisa memberikan sesuatu yang mudah dicerna, kenapa di sini lebih art ya? Dan masih penasaran hingga sekarang. Yang pasti pemikiran saya pada tahun 2005 dan sekarang tentu berbeda, mungkin 10 tahun lagi pun akan berbeda lagi ya harapannya sih semoga tidak yang negatif ya (tertawa), maunya bisa semakin positif dan bermanfaat lah. Perbedaan lainnya, dulu saat saya belajar desain tidak banyak distraksi, fokus saja, belajar terus beda dengan sekarang, sangat banyak distraksi karena medianya pun sudah banyak juga memberikan berbagai informasi tentang desain yang seperti ini dan itu sehingga membuat bingung terkadang.

Saya merasa beruntung meskipun dulu tidak banyak informasinya tapi hal itu membuat saya menjadi lebih fokus. Kalau sekarang baru sebentar-sebentar cek Instagram, Whatsapp atau yang lain, jadi tidak fokus dan hal ini tidak bisa dipungkiri karena zamannya sudah demikian sehingga hal tersebut mempengaruhi behavior orang-orang, apa-apa maunya instan dan kurang menghargai proses. Seperti misalnya baru sebentar mendalami sesuatu kemudian dapat tawaran lain yang terlihat menarik, akhirnya dikerjakan juga, jadi ya susah konsistensinya.

Sedangkan untuk menjadi ahli atau mahir itu kan butuh proses, tidak instan. Kita butuh mencoba di hal yang sama dan salah berkali-kali yang akhirnya membuat kita belajar. Dan akan jadi lebih bahaya lagi kalau ditambah tidak memiliki fundamental atau basic-nya, karena itu bisa merepresentasikan bagaimana desain grafis di Indonesia, seperti belum siap tapi sudah berada di atas, jadinya kopong dan hal ini menjadi mayoritas. Bahaya lainnya, misal saya dapat proyek yang dibayar mahal, tapi sebenarnya kita tidak ahli – ya dosa menurut saya. Banyak yang menganggap desainer grafis itu seperti gaya hidup, “Keren ya jadi desainer grafis, foto Instagram-nya bagus” ya sebatas itu saja yang dilihat, padahal tanggung jawabnya sangat besar. Yang saya pelajari, desain grafis itu rasional, semuanya bisa diperhitungkan dan terukur, juga merupakan ilmu pasti yang semuanya bisa dijelaskan.

V

Apa proyek yang sedang Andi kerjakan atau persiapkan?

A

Proyek yang sedang dikerjakan sedang lumayan seru sih, dan dari awal kami tergabung tidak pernah punya target harus bisa dapat proyek A dan B, atau harus seperti ini dan itu, semua mengalir saja namun tetap konsisten. Sesederhana di awal kami mendirikan Nusae, sebagai environmental desaign graphic, kami harus punya proyek bandara ya, mengerjakan desain signage dan ternyata dua tahun kemudian kami diberikan kesempatan untuk mengerjakan signage Bandung. Lalu kemudian juga mengerjakan proyek bandara Banyuwangi bersama Andra Matin, tapi sekarang belum terealisasi. Jadi, kadang gagasan dan iseng-iseng punya angan atau keinginan mengerjakan sesuatu tuh tidak membuat kita harus mengejar hal tersebut, yang kami lakukan hanya konsisten dan melakukan yang terbaik di setiap proyek yang sedang dikerjakan – ya kalau sudah jalan pun akan datang sendiri. Karena konsistensi pada positioning kami di awal, orang pun jadi bisa melihatnya sendiri tanpa harus kami beri tahu Nusae itu seperti apa sih, kerjanya bagaimana, sudah mengerjakan apa saja, toh sampai sekarang sudah hampir 4 tahun kita pun tidak punya marketing.

Yang sekarang sedang dikerjakan ada kerjasama dengan Labo Architect + Design, mempersiapkan pameran Indonesian Architects Week di Korea bulan Agustus, Nusae dipercaya untuk menyiapkan seluruh kebutuhan grafis dan berkolaborasi bersama arsitek juga, yang menjadi kuratornya adalah Danny Wicaksono dan Defry Ardianta dari Surabaya. Lalu ada juga proyek bersama Leboye juga Table Six, kami bertiga akan berkolaborasi dalam satu proyek di Jakarta, tapi masih confidential (tertawa).

Menurut kami, kita harus berkolaborasi dan bersinergi dengan yang memiliki frekuensi dan kualitas yang sama sehingga bisa terlihat secara holistik. Kedepannya kami berencana juga membuat buku tentang pemikiran kami -juga tiap tahunnya kalau bisa selalu membuat pameran dan mengeluarkan zine. Karena di luar proyek-proyek komersil, kami pun punya banyak proyek-proyek non komersil. Kami pun tengah mengerjakan proyek membuat Islamic Center di China, awalnya proyek ini memang tengah mencari investor kemudian mendapatkan investor dari Turkey. Akhirnya direalisasikan Masjid ini, Nusae mengerjakan logo dan signage-nya, China Islamic Cultural Center, Labo mengerjakan arsitekturnya.

Lalu sedang mengerjakan proyek Taman Lalu Lintas, taman bermain anak-anak untuk edukasi lalu lintas, juga kemudian mendukung Andra Matin membuat kota baru di Tulang Bawang dan Resort di Batam dan beberapa proyek bersama arsitek lainnya. Kami sangat senang karena bisa bersinergi dengan sosok-sosok arsitek senior, memiliki jam terbang yang tinggi dan yang namanya sudah tidak asing baik di Indonesia maupun internasional. Terakhir, kami sedang membuat sebuah yayasan desain bernama Nusantara Typhography Center, yang bertujuan untuk memperlihatkan gagasan tentang desain di Indonesia bersama 2 studio lain yaitu Thinking Form dan Studio Kudos.whiteboardjournal, logo